Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang didapatkan
setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Angka kejadian pre eklampsia
untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti
jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, dan adanya perbedaan dalam
penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan frekuensi di lapangan berkisar antara 310%.
Wanita hamil berisiko mengalami pre eklampsi. Penyakit ini membahayakan
nyawa ibu dan janin, serta memiliki banyak sekali komplikasi, seperti HELLP
syndrom, perdarahan otak, gagal ginjal, hipoalbuminemia, ablation retina, edema
paru, solusio plasenta, hipofibrinogenemia, hemolisis, prematuritas, IUGR dan
kematian janin intrauterin (Wibowo, 1999).
Pre-Eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu (Sarwono, 2009).
Dengan demikian, pre eklampsi merupakan penyakit yang membahayakan
nyawa ibu dan janin sehingga diperlukan tatalaksana yang cepat, tepat, dan adekuat.
Dan satu-satunya jalan terbaik untuk penyembuhan dari penyakit ini adalah dengan
terminasi kehamilan.
Teknik anestesi yang lazim digunakan dalam sectio caesaria adalah anestesi
regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien.
Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada pasien obstetri yaitu
blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok kaudal.
Secara historis, terdapat sebuah keyakinan bahwa anestesi spinal pada pasien
PEB dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan penurunan perfusi uteroplasental
mencegah perluasan penggunaan anestesi spinal pada pasien ini. Pada penggunaan
teknik anestesi spinal didapatkan derajat hipotensi yang lebih besar daripada
1

penggunaan teknik anestesi epidural. Namun hipotensi yang terjadi ini mudah diatasi
dan durasinya biasanya sangat pendek (Henke et al, 2013). Terkait hal tersebut tetap
selalu ada kemungkinan timbulnya efek samping yang berbahaya bagi ibu dan janin.
Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada ibu selama anestesia harus
diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat membahayakan keadaan janin,
bahkan dapat menimbulkan kematian ibu. Komplikasi yang mungkin terjadi antara
lain aspirasi paru, gangguan respirasi, dan gangguan kardiovaskular. Karena anestesi
memiliki peranan yang penting

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. PREEKLAMSIA
1. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Kelainan ini
dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria meningkat secara bermakna
atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ termasuk gangguan pertumbuhan
janin. Penyakit ini biasanya terjadi pada triwulan ke-3 kehamilan tetapi dapat
juga terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono, 2009).
Preeklampsia didefinisikan dengan adanya hipertensi dimana tekanan
darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg yang
diukur dua kali dengan selang waktu 4 -6 jam, menetap sekurang-kurangnya
selama 7 hari, disertai proteinuria ( 30 mg/liter urin atau 300 mg/24 jam)
yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu dan semua kelainan ini
akan menghilang sebelum 6 minggu post partum (Ananth, 2004).
Biasanya sindrom ini terutama muncul pada akhir trimester kedua
sampai ketiga kehamilan. Gejala akan berkurang atau menghilang setelah
melahirkan, sehingga terapi definitifnya adalah mengakhiri kehamilan
(Cunningham et al, 2013). Adapun beberapa komplikasi yang diakibatkan oleh
preeklampsia yaitu: IUGR, oligohidramnion, eklampsia hingga SIRS (Norma,
2006).
Pada kasus preeklampsia berat dapat terjadi impending eklampsia.
Impending eklampsia ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif
dari pasien yaitu jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya
nyeri epigastrik.
2. Faktor Risiko
a. Primigravida atau primipaternitas

b. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple,


c.
d.
e.
f.
g.
h.

diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.


Umur kehamilan yang ekstrim (< 18 tahun atau > 35 tahun)
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya
Riwayat keluarga pernah preeklamsia atau eklampsia
Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan
Obesitas
Ras kulit hitam, karena tingginya prevalensi hipertensi kronis

sebelumnya
i. Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun
3. Perubahan Sistem dan Organ pada Preeklampsia
a. Volume plasma
Pada hamil normal plasma meningkat dengan bermakna
(hipervolemia) untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin.
Peningkatan tertinggi volume plasma pada kehamilan normal terjadi
pada kehamilan 32-34 minggu. Sedangkan pada kehamilan dengan
preeklampsia terjadi penurunanan 30%-40% dibandingkan kehamilan
normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan
vasokonstriksi yang mengakibatkan hipertensi. Preeklampsia sangat
peka terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu cepat dan
banyak. Preeklampsia juga sangat peka terhadap kehilangan darah
waktu persalinan. Oleh karena diperlukan observasi yang ketat
(Sarwono, 2009).
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting untuk menegakkan
diagnosis

hipertensi

dalam

kehamilan.

Tekanan

diastolik

menggambarkan resistensi perifer, sedangkan tekanan darah sistolik


menggambarkan besarnya curah jantung. Tekanan darah menjadi
normal beberapa hari pascapersalinan, kecuali beberapa kasus
preeklampsia berat, kembalinya 2-4 minggu pascapersalinan.

Timbulnya hipertensi adalah vasosapasme menyeluruh (Sarwono,


2009).
c. Fungsi ginjal
Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut ;
1)
2)

Menurunnya

aliran

darah

ke

ginjal

akibat

hipovolemia sehingga terjadi oligouria, bahkan anuria.


Kerusakan
glomerulus
mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas membran basalis sehingga terjadi

3)

kebocoran dan mengakibatkan proteinuria.


Terjadi glomerular capillary endotheliosis akibat

sel endotel glomerular membengkak disertai deposit fibril.


4)
Gagal ginjal akut terjadi karena nekrosis tubular
ginjal. Bila sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami
nekrosis, maka dapat terjadi keadaan ireversibel.
5)
Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal
karena vasospasme pembuluh darah. Dapat diatasi dengan
dopamin agar terjadi vasodilatasi pembuluh darah ginjal
(Sarwono, 2009).
d. Hasil Laboratorium
Proteinuria, dapat dilakukan dengan (a) urin dipstik: 100mg/1
atau +1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam,
(b) pengumpulan proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila
proteinuria 300mg/24 jam.
Asam urat, pada umumnya meningkat karena hipovolemia
sehingga aliran darah ke ginjal menurun, mengakibatkan filtrasi
glomerulus juga menurun sehingga menurunnya sekresi asam urat.
Kreatinin, terjadi peningkatan disebabkan karena penurunan
filtrasi glomerulus karena hipovolemia.
Oligouria dan anuria, karena hipovolemia sehingga aliran
darah ke ginjal menurun. Berat ringannya oligouria menggambarkan

berat ringannya hipovolemia, hal ini berarti menggambarkan berat


ringannya preeklampsia.
Kadar total elektrolit pada preeklampsia sama seperti hamil
normal. Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada
preeklampsia maka tidak terjadi retensi natrium yang berlebihan,
sehingga restriksi konsumsi garam tidak diperlukan (Sarwono, 2009).
e. Tekanan osmotik koloid plasma atau tekanan onkotik
Pada preeklampsia tekanan onkotik makin menurun karena
kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vaskuler (Sarwono,
2009).
f. Koagulasi dan fibrinolysis
g. Viskositas darah
Pada preeklampsia, viskositas darah meningkat, mengakibatkan
meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke
organ (Sarwono, 2009).
h. Hematokrit
Pada preeklampsia hematokrit meningkat karena hipovolemia
yang menggambarkan beratnya preeklampsia.
i. Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema terjadi
karena hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapiler. Edema
yang patologik adalah edema yang nondependen pada muka dan
tangan atau edema generalisata dan biasanya disertai dengan
kenaikan berat badan yang cepat (Sarwono, 2009).
j. Hematologi
Perubahan hematologi berupa peningkatan hematokrit akibat
hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan
gejala hemolisis mikroangiopatik (Sarwono, 2009).
k. Hepar

Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan


perdarahan. Bila terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer,
akan terjadi nekrosis sel hepar dan terjadi peningkatan enzim hepar.
Perdarahan dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan disebut
subkapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa
nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar
sehingga perlu pembedahan (Sarwono, 2009).
l. Neurologi
Perubahan neurologik dapat berupa :
1)

Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak sehingga


menimbulkan vasogenik edema.

2)

Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi


gangguan visus berupa pandangan kabur, skotoma,
ablasio retina.

3)

Hiperrefleksia sering dijumpai pada preeklampsia berat


tetapi bukan faktor prediksi eklampsia.

4)

Kejang eklampsia. Hal ini belum diketahui dengan jelas.


Faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklampsia ialah
karena edema serebri, vasospasme, dan iskemia serebri.

5)

Dapat terjadi perdarahan intrakranial walaupun jarang


terjadi (Sarwono, 2009).

m. Kardiovaskuler dan Paru


Perubahan kardiovaskuler disebabkan oleh peningkatan cardiac
afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat
hipovolemia (Sarwono, 2009).
Penderita preeklamsia berat mempunyai risiko berat terjadinya
edema pulmo dapat disebabkan karena payah jantung kiri, kerusakan
endotel kapiler paru, dan menurunnya diuresis (Sarwono, 2009)

n. Janin
Preeklampsia memberi pengaruh buruk pada keadaan janin
karena menurunnya perfusi uteroplasenter, hipovolemia, vasospasme
dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta.
Dampak preeklamsia pada janin :
1) IUGR

(Intrauterine

Growth

Restriction)

dan

oligohidramnion
2) Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak
langsung akibat IUGR, prematuritas, oligohidramnion dan
solutio plasenta (Sarwono, 2009)
4. Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a.
Genuin Preeklampsia :
Gejala preeklampsia yang timbul setelah kehamilan 20 minggu
disertai dengan pitting edema, dan kenaikan tekanan darah 140/90
mmHg sampai 160/90 mmHg. Juga terdapat proteinuria 300 mg
urine/24 jam (esbach).
b.
Super Imposed Preeklampsia
Gejala preeklampsia yang terjadi kurang dari 20 minggu disertai
proteinuria 300 mg/24 jam dan bisa disertai edema. Biasanya didasari
hipertensi kronis sebelumnya.
Derajat preeklampsia :
a.
Preeklampsia ringan
Kriteria diagnostik :
1) Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang;
atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik
15 mmHg.
2) Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
3) Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada
urin kateter atau mid stream.
8

4) Edema: lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria


b.

diagnostik kecuali anasarka.


Preeklampsia berat
Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
1)Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110
mmHg atau lebih
2)Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam
3)Oliguria, air kencing kurang dari atau sama dengan 400 cc dalam 24
jam
4)Kenaikan kreatinin serum
5)Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen
6)Terjadi edema paru-paru dan sianosis
7)Terjadi kelainan serebral dan gangguan penglihatan
8)Terjadi gangguan fungsi hepar
9)Hemolisis mikroangiopatik
10) Trombositopenia (< 100.000 sel/mm3)
11) Sindroma HELLP (POGI, 2005; Sarwono, 2009; Rustam Mochtar,
2007).

5. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan
proteinuria. Preeklampsia dikatakan berat bila memenuhi 1 atau lebih dari 11
kriteria di atas (POGI, 2005).
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan
adanya tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang,
maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. (Budiono, 2009).
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejalagejala edema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif antara lain: nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri
epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain: hiperrefleksia, eksitasi
motorik dan sianosis (Angsar, 2005).
Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi hipertensi kronis,
termasuk uji kerusakan target organ sekunder karena hipertensi dan faktor
resiko lain, meliputi:

1.

Urinalisis; CBC; natrium, kalium dan kreatinin serum; dan


kadar glukosa darah.

2.

Creatinine clearance, mikroalbuminuria, protein urine 24


jam, kalsium serum, asam urat, glycosilated hemoglobin, TSH, dan
ECG.

3.

Lipid serum (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida)


meningkat selama kehamilan, sehingga pemeriksaan ditunda hingga
postpartum.

4.

Peningkatan

kadar

kortikosteroid

endogen

selama

kehamilan normal menyulitkan evaluasi hipertensi sekunder karena


peningkatan kortikosteroid adrenal.
1.

Tes rutin untuk menilai pasien preeklampsia meliputi:


CBC
Trombosit < 150 ribu/ul, 75% sekunder karena trombositopeni
dilusi selama kehamilan, 24% karena preeklampsia, dan sekitar 1%
kasus karena kelainan trombosit yang tidak berhubungan dengan
kehamilan.

Trombosit

<

100

ribu/ul

menunjukkan

adanya

preeklampsia atau ITP.


Hemoglobin > 13 g/dl menunjukkan adanya hemokonsentrasi.
Kadar hemoglobin yang rendah berhubungan dengan hemolisis
2.
3.
4.

mikroangiopati atau defisiensi besi.


Elektrolit
BUN
Kreatinin serum pada kehamilan < 0,8 mg/dl, bila lebih
menunjukkan adanya kontraksi volume intravaskuler atau keterlibatan
ginjal pada preeklampsia. Creatinin clearance meningkat sekitar 50%

5.

selama kehamilan.
Kadar asam urat serum, > 5 mg/dl merupakan marker yang sensitif
tetapi tidak spesifik untuk disfungsi tubuler pada preeklampsia.

10

6.

Enzim hepar dan bilirubin yang meningkat menggambarkan


keterlibatan hepar pada preeklampsia, dan dapat timbul tanpa nyeri

7.

epigastrium.
Protein urine, bila kualitatif +2 atau lebih, harus dihitung protein
urine 24 jam atau rasio protein:kreatinin. Abnormal bila kadarnya lebih
dari 300 mg/dl.

6. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya
preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai risiko terjadinya
preeklampsia (POGI, 2005).
Pencegahan dapat dilakukan secara medikal dan non medikal.
a.

Pencegahan dengan non medikal


1) Melakukan tirah baring, meskipun tidak terbukti mencegah
preeklampsia dan persalinan preterm.
2) Restriksi garam tidak terbukti dapat menegah preeklampsia.
3) Suplemen makanan :
a) Minyak ikan kaya asam lemak tidak jenuh, misalnya
omega-3 PUFA
b) Antioksidan : vitamin C, vitamin E, karoten
c) Elemen logam berat : zinc, magnesium, kalsium.

b.

Pencegahan

dengan medikal (Sarwono,

2009).
1) Pemberian diuretik tidak terbukti dapat mencegah terjadinya
preeklampsia bahkan memperberat hipovolemia.
2) Pemberian kalsium: 1500-2000 mg/hari dapat dipakai untuk
suplemen pada pasien dengan resiko preeklampsia.
3) Zinc 200 mg/hari
4) Magnesium 365 mg/hari

11

5) Obat antitrombotik (aspirin 100 mg/hari) dapat mencegah


preeklampsia.
6) Obat antioksidan misalnya vitamin C, vitamin E dan karoten
(Sarwono, 2009)
7. Penanganan
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah timbulnya
kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta
kerusakan dari organ-organ vital dan melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono,
2009).
Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu
pengeluaran trofoblast. Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan
yang salah. Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin (Cunningham, et
al., 2013).
PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan Neurologi, dan
kemudian ditentukan jenis perawatan atau tindakannya. Perawatannya dapat
meliputi:
a.

Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri


setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.
Bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1) Ibu :
a) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :
-

Setelah

jam

medikamentosa,

sejak
terjadi

dimulai
kenaikan

pengobatan
darah

yang

persisten
-

Setelah

24

jam

sejak

dimulai

pengobatan

medikamentosa, terjadi kenaikan desakan darah


yang persisten
b) Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c) Gangguan fungsi hepar

12

d) Gangguan fungsi ginjal


e) Dicurigai terjadi solutio plasenta
f) Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan
2) Janin :
a) Umur kehamilan lebih dari 37 minggu
b) Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari
NST nonreaktif dan profil biofisik abnormal)
c) Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat
(IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG
d) Timbulnya oligohidramnion
3) Laboratorium :
Trombositopenia progresif yang menjurus ke HELLP
syndrome (POGI, 2005).
Pengobatan Medisinal
1) Segera masuk rumah sakit
2) Tirah baring ke kiri secara intermiten
3) Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500
cc (60-125 cc/jam)
4) Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan
terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis
lanjutan.
5) Anti hipertensi diberikan bila tensi 180/110 mmHg.
6) Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung
kongestif, edema anasarka.
7) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
(POGI, 2005).
b.

Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap


dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan,

13

meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi


keselamatan ibu.
1) Indikasi
Kehamilan kurang bulan (<37 minggu) tanpa disertai
tanda-tanda impending eklampsi dengan keadaan janin baik.
2) Pengobatan Medisinal
Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan
secara aktif. Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v.
cukup i.m. saja (MgSO4 40% 8 gr i.m.).
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejangkejang dapat diberikan:
a) Larutan sulfas magnesikus 40% (4 gram) disuntikan
i.m. pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis
permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam
menurut keadaan. Tambahan sulfas magnesikus hanya
diberikan bila diuresis baik, reflek patella positif, dan
kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit.
b) Klorpromazin 50 mg i.m.
c) Diazepam 20 mg i.m.
8. Komplikasi
a. Kejang.
b. Perdarahan otak.
c. Edema pulmo
d. Gagal ginjal akut.
e. DIC.
f. Sindroma HELLP.
g. Infark/ruptur hepar
9. Prognosis

14

Prognosis PEB dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,820,5%,


sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,248,9%. Kematian ini
disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, di samping itu
penderita eklampsia biasanya sering terlambat mendapat pertolongan.
Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem
paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena
prematuritas dan hipoksia intra uterin.
B. KETUBAN PECAH DINI
1. Definisi
Ketuban Pecah Dini ( amniorrhexis premature rupture of the
membrane PROM ) adalah pecahnya selaput korioamniotik sebelum terjadi
proses persalinan. Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila seorang ibu
hamil mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu satu jam kemudian
tidak terdapat tanda awal persalinan, dengan demikian untuk kepentingan
klinis waktu 1 jam tersebut merupakan waktu untuk melakukan pengamatan
adanya tanda-tanda awal persalinan. Bila terjadi pada kehamilan < 37 minggu
maka peristiwa tersebut disebut KPD Preterm (PPROM = preterm premature
rupture of the membrane - preterm amniorrhexis (Gahwagi, 2015).
Menurut Yulaikah (2009) ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban
sebelum terdapat tanda persalinan, dan setelah ditunggu satu jam belum
terdapat tanda persalinan. Waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi
kontraksi rahim disebut ketuban pecah dini (periode laten). Kondisi ini
merupakan penyebab persalinan premature dengan segala komplikasinya.
2. Epidemiologi
Ketuban pecah dini terjadi pada sekitar 8-10% kehamilan. Risiko
infeksi intrauteri yang meningkat bila interval antara pecah ketuban dan
pelahiran semakin lama. KPD Preterm terjadi pada kira-kira 1% dari seluruh

15

kehamilan dan berkaitan dengan 30-40% kelahiran prematur. Hal ini


kemudian menjadi penyebab utama yang teridentifikasi dari kelahiran
prematur dan komplikasinya, termasuk sindroma distress pernapasan, infeksi
neonatus, dan perdarahan intraventrikular. Setelah ketuban pecah dini aterm,
90% kasus memulai persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam.
(Jazayeri, 2015).
3. Etiologi
Penyebab KPD menurut Manuaba (2009) meliputi :
a) Serviks inkopeten
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada
otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah,
sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu
menahan desakan janin yang semakin besar. Serviks smemiliki suatu kelainan
anatomi yang nyata, yang bisa disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium
uteri atau merupakan suatu kelainan congenital pada serviks sehingga
memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules
dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti
dengan penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi.

16

b) Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, dan kelainan


genetik)
c) Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban, Infeksi genitalia dan
meningkatnya enzim proteolitik. Masa interval sejak ketuban pecah
sampai terjadinya kontraksi disebut fase laten. Makin panjang fase laten
makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda usia kehamilan, makin
sulit upaya pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin dan
komplikasi ketuban pecah dini meningkat.
d) Multipara, grandemultipara, pada kehamilan yang terlalu sering akan
mempengaruhi proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang
terbentuk akan lebih tipis dan yang akan menyebabkan selaput ketuban
pecah sebelum tanda tanda inpartu.
e) Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda, dan sevalopelvik
disproporsi. Hidramnion atau sering disebut polihidramnion adalah
banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc. Hidramnion dapat terjadi pada
kasus anensefalus, atresia esophagus, gemeli, dan ibu yang mengalami
diabetes melitus gestasional. Ibu dengan diabetes melitus gestasional akan
melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan pada semua usia
kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan berlebih. Kehamilan

17

ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih sehingga


kemungkinan terjadinya hidramnion bertambah 10 kali lebih besar.
f) Kelainan letak yaitu letak lintang.
g) Penduluran abdomen (perut gantung)
C. KEHAMILAN KEMBAR
Kehamilan kembar ialah kehamilan dengan 2 janin atau lebih. Kehamilan
kembar termasuk kehamilan risiko tinggi, karena kematian perintal 3-5 kali lebih
tinggi dari kehamilan tunggal, dan kematian neonatus 10 kali lebih tinggi dari
kehamilan tunggal (Martin et al., 2006). Kematian perinatal janin pertama 9 kali
dari hamil tunggal dan kematian perintal janin kedua 11 kali dari hamil tunggal
(Seyb et al., 2009). Yusrizal dari Palembang (2005) mendapatkan angka kejadian
hamil kembar 2.8%, atau 1:35, sedangkan Hardiyanto mendapatkan angka
kejadian kembar 1,5% atau 1:95.5. Walaupun angka kejadian kehamilan kembar
telah dilaporkan antara 1% - 3% dari seluruh kehamilan tetapi angka kejadian
yang sesungguhnya dari seluruh hasil konsepsinya lebih tinggi. Hal ini karena
pada studi epidemiologis tidak memasukan terjadinya abortus spontan dan lahir
mati. Angka kejadian yang dilaporkan hanya kehamilan kembar yang lahir hidup.
Kalau terjadi ancaman abortus pada akhir trimester I, keadaan ini dapat dipantau
terus sampai terjadi resorpsi sempurna dan janin yang masih hidup dapat hidup
terus sampai lahir tanpa meninggalkan bekas apapun.
Di Amerika angka kejadian kehamilan kembar lebih dari 2% (Batista et
al., 2007). Pada kehamilan kembar kemungkinan terjadinya abortus spontan lebih
tinggi daripada kehamilan tunggal. Makin banyak jumlah janinnya makin tinggi
terjadinya abortus. Pada triplet angka kejadian abortus 25% (Fausset et al., 2007).
Empat puluh lima persen 50% hamil kembar lahir kurang dari 37 minggu
dibandingkan dengan 9,6% pada hamil tunggal, dan 50% lahir dengan berat
badan kurang dari 2500g, sedangkan pada hamil tunggal hanya 6% . Pada triplet

18

90% lahir preterm. Apabila kenaikan berat badan ibu selama hamil antara 40 45
pound maka berat badan lahir akan lebih dari 2500g (Park et al., 2009)
Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi, dari 1000 kehamilan trimester
pertama didapatkan 3,29% kehamilan kembar dan 5,39% hamil kembar dengan 1
embrio dan 1 kantong kehamilan kosong. Dari hamil kembar didapatkan 21.2%
dengan 1 janin mati dan diserap kembali. Keadaan tersebut saat ini selalu
dipertanyakan. Diagnosis kehamilan kembar pada trimester pertama didasarkan
dengan adanya 2 embrio hidup. Di Amerika didapatkan 70%-80% hamil kembar
dizigotik dan 20%-30% hamil kembar monozigotik. Pada kehamilan kembar
karena pengurangan janin atau reduced twin secara bermakna mempunyai risiko
yang lebih tinggi kejadian kelahiran preterm, berat badan lahir rendah, dan
sindroma gawat nafas dibandingkan dengan hamil kembar biasa (Schiff et al.,
2008). Delapan puluh persen zigositas dapat ditentukan pada saat lahir atau
segera setelah lahir (Silver RK et al., 2000) yaitu: 1. Dua puluh tiga persen hamil
kembar 1 amnion, ini berarti monozigotik, 2. Tiga puluh persen hamil kembar
dengan 2 korion karena mempunyai jenis kelamin berbeda, ini berarti dizigotik,
3. dua puluh tujuh persen mempunyai jenis kelamin yang sama tetapi dengan
golongan darah yang berbeda, ini berarti dizigotik. Sisanya 20% dengan jenis
kelamin sama tetapi golongan darahnya sama yang berarti kembar monozigotik
dengan 2 korion (plasenta terpisah atau berfusi) atau kembar dizigotik dengan
jenis kelamin sama (plasenta terpisah atau berfusi). Untuk memastikan maka
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu dengan kultur jaringan, analisa enzim,
DNA

mapping.

Terminologi

selanjutnya

ialah

quadruplet=kembar

4,

quintuplet=kembar 5, sextuplet=kembar 6, dan octuplet=kembar 7.

D. SECTIO CAESARIA TRANS PERITONEAL PROFUNDA (SCTP)


1.

Definisi
19

Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan


membuka dinding perut dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara sectio
caesaria yang dikenal saat ini, yaitu sectio caesaria transperitonealis profunda,
sectio caesaria klasik/ korporal, sectio caesaria ekstraperitoneal, dan sectio
caesaria dengan teknik histerektomi.
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio caesaria
transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan
teknik sectio caesaria transperitonealis profunda antara lain : Perdarahan akibat
luka insisi tidak begitu banyak, bahaya peritonitis tidak terlalu besar, parut pada
uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri di masa mendatang tidak
besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak mengalami kontraksi
yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini menyebabkan luka dapat sembuh lebih
sempurna.
2.

Indikasi
a. Indikasi ibu: Panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan
obstruksi, stenosis serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum,
disproporsi janin dan panggul, bakat ruptura uteri, preeklampsia/
hipertensi.
b. Indikasi janin : kelainan letak, gawat janin.

3.

Komplikasi
a. Infeksi puerperal.
b. Perdarahan.
c. Komplikasikomplikasi lain seperti luka kandung kencing dan terjadinya
embolisme paru.

E. ANESTESI SPINAL

20

Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang


pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi
yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu
saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu
menghentikan impuls saraf di area itu.
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri
dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita tetap sadar. Sensasi
nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan
tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek
mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun,
oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka
pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu
berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi
(Joomla, 2008).
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5
(obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki. Anestesi
ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain
hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain,
atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.

21

Kontraindikasi: pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung,


kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi.
Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:
1. Persiapan pra anestesi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi
dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan
baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya,
sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih tehnik serta obatobat anestesi
yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA
(American Society of Anesthesiology).
ASA I

Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir,

tanpa kelainan faal, biokimiawi, dan psikiatris. Angka


mortalitas 2%.
ASA II

Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai

dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau


proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III

Pasien

dengan

gangguan

sistemik

berat

sehingga aktivitas harian/ live style terbatas. Angka


mortalitas 38%.
ASA IV

Pasien dengan gangguan sistemik berat yang

mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi.


Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V

Pasien

dengan

kemungkinan

hidup

kecil.

Tindakan operasi hampir tak ada harapan hidup dalam


22

24 jam, baik dengan operasi maupun tanpa operasi.


Angka mortalitas 98%.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat
dengan mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA
I E, ASA II E.
Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang meliputi:
1.

Anamnesis
a.

Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur,


dll.

b.

Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan


dihadapi.

c.

Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita


yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus,
penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit
jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.

d.

Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat,


intoleransi obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan
interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi,
antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll.

e.

Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari


tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan
intensif paska bedah.

f.

Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat


mempengaruhi tindakan anestesi seperti merokok, alkohol, obat
penenang, narkotik, dan muntah.

g.

Riwayat keluarga yang menderita kelainan


seperti hipertensi maligna.

h.

Riwayat
meliputi

keadaan

umum,

berdasarkan
pernafasan,

sistem

organ

kardiovaskular,

yang
ginjal,
23

gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan


dermatologi.
i.

Makanan yang terakhir dimakan.

2.

Pemeriksaan Fisik
a.

Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi


cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah
pembedahan.

b.

Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta


suhu tubuh.

c.

Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya


trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi
ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula
pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan
mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati
sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk,
tonsilla palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja

d.

Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.

e.

Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.

f.

Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau


tanda regurgitasi.

24

g.

Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,


adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat
pungsi vena atau daerah blok saraf regional.

3.

Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
a.

Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal :


diazepam.

b.

Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.

c.

Membuat

amnesia,

misal

diazepam,

midazolam.
d.

Memberikan analgesia, misal pethidin.

e.

Mencegah

muntah,

misal

domperidol,

metoklopropamid.
f.

Memperlancar induksi, misal : pethidin.

g.

Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal


pethidin.

h.

Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan,


misal : sulfas atropin.

i.

Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas,


misal : sulfas atropin
Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis

pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan


demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat

pemakaian

obat

anestesi

sebelumnya,

riwayat

hospitalisasi

sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap

25

jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana


anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan
sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
a.

Narkotik analgetik, misal


morfin, pethidin.

b.

Transquillizer yaitu dari


golongan benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam.

c.

Barbiturat,

misal

Antikolinergik,

misal

Antihistamin,

misal

pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.


d.
atropin dan hiosin.
e.
prometazine.
f.

Antasida, misal gelusil.

g.

H2 reseptor antagonis,
misal simetidine.

4.

Prosedur Anestesi Spinal


a.

Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya


kekuatan motorik dan berkaitan keyakinan kalau paralisisnya hanya
sementara.

b.

Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah


masuk saat menginjeksi obat anestesi lokal.

c.

Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin


untuk mengambil lumbal pungsi, tetapi bila kesulitan, posisi duduk
akan lebih mudah untuk pungsi. Asisten harus membantu
memfleksikan posisi penderita.
26

d.

Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik


tertinggi krista iliaka kanan kiri akan memotong garis tengah
punggung setinggi L4-L5.

e.

Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2


vertebra lumbalis.

f.

Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4L5, L5-S1.

g.

Setelah tindakan antiseptik daerah punggung


pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan
dengan penyuntikan jarum lumbal no. 22 lebih halus no. 23, 25, 26
pada bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang
horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang
sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa
ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater subarachnoid.

h.

Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes


keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid. Cabut jarum, tutup luka dengan kasa steril.

i.

Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20


menit pertama, jika terjadi hipotensi diberikan oksigen nasal dan
ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000 ml NaCl atau hemacel cukup
untuk memperbaiki tekanan darah.

5.

Obat Anestesi Spinal


a.

Lidokain
Keuntungan utama adalah onsetnya cepat, bebas iritasi lokal.
Sebagian obat dimetabolisme di mikrosom hepar dan sebagian lagi
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah. Dosis
maksimal yang diberikan tanpa obat vasokonstriktor (adrenalin)
27

adalah 3 mg/kg BB dan 7 mg/kg BB bila dengan adrenalin.


Umumnya digunakan 1-2 % dengan mulai kerja 10 menit dan
relaksasi otot baik. 0,8% blokade sensorik baik tanpa blokade
motorik, 1,5% lazim digunakan untuk pembedahan, 2% untuk
relaksasi pasien berotot.
b.

Fentanyl
Merupakan opioid agonis sintetis yang sering digunakan
untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah
memudahkan

induksi,

mengurangi

kebutuhan

obat

anestesi,

menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan


melakukan pemberian pernafasan buatan.
Fentanyl dapat menyebabkan bradikardi sehingga memicu
penurunan tekanan darah dan cardiac output. Fentanyl juga memiliki
efek vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan hipotensi
orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien
dengan hipovolemia, juga dapat menyebabkan depresi pusat
pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan respon
turunnya CO2. Mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi
narkotik pada pusat muntah di medulla. Posisi tidur dapat
mengurangi efek tersebut.
Sediaan

: dalam ampul 50 mcg/cc

Dosis : 0,05 ug/kgBB


Pemberian : IV, IM, intradural
6.

Keuntungan dan Kerugian Anestesi Spinal


a.

Keuntungan:
1) Respirasi spontan.
2) Lebih murah.
3) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru
pada pasien dengan perut penuh.
28

4) Tidak memerlukan intubasi.


5) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal.
6) Fungsi usus cepat kembali.
7) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan.
b.

Kerugian:
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general
system.
2) Menyebabkan post operatif headache.

7.

Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal


a.

Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.

b.

Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi
akibat blok sampai T-2.

c.

Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas.

d.

Hematom

e.

Cedera saraf

f.

Mual-muntah

g.

Blok spinal tinggi atau spinal total

8.

Penatalaksanaan
a.

Pemberian oksigen

29

Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obatobat narkotik,


anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
1) Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
2) Naiknya konsumsi oksigen
3) Airway closure
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
1) Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
2) Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode
hipotensi
3) Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan
b.

Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi
kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
Selain itu jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan,
puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan
pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan,
luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam
24 jam adalah 2 ml/ kgBB/ jam. Bila terjadi dehidrasi ringan
2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 1
0Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml / kgBB / jam
30

Sedang = 6 ml / kgBB / jam


Berat = 8 ml / kg BB / jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana
perdarahan kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan
dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang
hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat
dipertimbangkan pemberian plasma / koloid/ dekstran dengan
dosis 1 2 kali darah yang hilang.
3) Setelah operasi
Pemberian Pemberian cairan pasca operasi ditentukan
berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan
sehari-hari pasien.
9.

Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien paska
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.

Bromage Scoring System


Kriteria
Gerakan penuh dari tungkai
Tak mampu ekstensi tungkai

Skor
0
1

31

Tak mampu fleksi lutut


Tak mampu fleksi pergelangan kaki

2
3

F. TEKNIK ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA


Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarknoid) ialah
pemberian obat anestetik lokal kedalam ruang subaraknoid. Anestesia spinal
diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid
di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 . Teknik ini cukup sederhana,
cukup efektif dan mudah dikerjakan. Walaupun teknik ini sederhana, dengan
adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi darianestesi spinal dan faktor-faktor
yang mempengaruhi distribusi anestesi lokal di ruangintratekal serta komplikasi
anestesi spinal akan mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi
spinal.
1. Teknik anestesi spinal pada sectio caesaria
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi
lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah
punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal
dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau
27) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum
lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai
akhirnya menembus duramater- subarachnoid. Setelah stilet dicabut,
cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.
Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik Pin prick test,
menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan
kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.
2. Pembagian tingkat anestesi spinal:
a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.

32

b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah


umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan
sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang
lebih tinggi.
3. Indikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah
yang diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah).
4. Kontraindikasi absolut anestesi spinal
a. Pasien menolak
b. Infeksi pada tempat suntikan
c. Hipovolemia berat, syok
d. Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e. Tekanan intrakranial meninggi
5. Kontraindikasi relatif anestesi spinal:
a. Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
b. Kelainan psikis
c. Bedah lama
d. Penyakit jantung
e. Hipovolemia ringan
f. Nyeri punggung kronis
6. Obat anestesi spinal pada sectio caesaria
Obat anestetik yang sering digunakan: Lidocain 1-5 %, Bupivacain
0,25-0,75 %.
7. Mekanisme kerja
33

Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam


ruang subarakhnoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke
dalam cairan serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superfisial
dari korda spinalis, tetapi tempat kerja yang utama adalah serabut
preganglionik karena mereka meninggalkan korda spinal pada rami
anterior. Karena serabut sistem saraf simpatis preganglionik terblokade
dengan konsentrasi anestesi lokal yang tidak memadai untuk
mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi sistem
saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira-kira sekitar dua
segmen spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang
sama, tingkat anestesi motorik rata-rata dua segmen dibawah anestesi
sensorik.
8. Komplikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
a. Hipotensi
b. Brakikardi
c. Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
d. Menggigil
e. Mual-muntah
f. Total spinal
g. Sequelae neurologic
h. Penurunan tekanan intrakranial
i. Meningitis
j. Retensi urine
BAB III
LAPORAN KASUS
I.

ANAMNESIS
A. Identitas Penderita

34

Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Tanggal masuk
Tanggal pemeriksaan
No RM

: Ny. S
: 34 tahun
: Ibu rumah tangga
: Karang Anyar, Jawa Tengah
: 11 Mei 2016
: 11 Mei 2016
: 01333293

B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Pasien merupakan konsulan TS obsgin dengan PEB, KPD 1 hari,
gemelli preskep-preskep pada sekundigravida hamil aterm belum
dalam persalinan dengan kelainan congenital janin II dan riwayat SC
10 tahun yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G2P1A0 usia 36 tahun dengan usia kehamilan 37+4
minggu merupakan konsulan TS obsgin dengan PEB, KPD 1 hari,
gemelli preskep-preskep pada sekundigravida hamil aterm belum
dalam persalinan dengan kelainan congenital janin II dan riwayat SC
10 tahun yang lalu. Pasien merasa hamil 9 bulan. Gerakan janin masih
dirasakan. Kenceng-kenceng teratur belum dirasakan. Air kawah
dirasakan keluar sejak 1 hari SMRS. Lendir darah (-), nyeri ulu hati
(-), nyeri kepala (-) mual/muntah(-) pandangan kabur (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa
Riwayat tekanan darah tinggi
Riwayat sakit gula
Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat asma
Riwayat abortus
Riwayat operasi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
35

Riwayat sakit gula


Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat asma
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok
Minuman beralkohol
Ketergantungan obat

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

6. Riwayat asupan gizi


Pasien biasa makan 3x sehari dengan nasi, sayur dan lauk pauk
serta buah-buahan. Kesan asupan gizi cukup.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang wanita usia 34 tahun, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS Kesehatan.
II.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway
: Bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-), buka mulut
Breathing

>3 jari, mallampati II, gerak leher bebas, TMD > 6cm
: Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan RBK -/-,

frekuensi nafas 20 x/menit.


Circulation : Jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba di
SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
tekanan darah 170/90 mmHg, nadi 104 x/menit irama
Disability

teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral dingin (-).


: GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,

Exposure

reflek cahaya +/+.


: suhu 36,8 0C

B. Secondary Survey
Status gizi : Berat badan

: 88 kg

36

Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Hidung

Tinggi badan

: 155 cm

BMI

: 36.6 (kehamilan 37+4 minggu)

Mulut

: sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)


: bentuk mesocephal, rambut warna hitam
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa keruh (-/-)
: sekret (-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-), patensi (+/+), deviasi
septum (-)
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)

Leher

stomatitis (-)
: trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran limfonodi

Abdomen

(-), gerak leher bebas, TMD > 6cm


:dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, distensi, bising
usus (+) normal, timpani, hepar dan lien tidak teraba, supel,
nyeri tekan (-), teraba tiga bagian besar, intrauterin, Janin I :
djj (+), punggung kiri, presentasi kepala, Janin II : djj (+),
punggung kanan, presentasi kepala, tinggi fundus uteri 30
cm.

Ekstremitas

:
akral dingin

III.

oedem
-

- PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 11 Mei 2016 Pre-Operasi

PEMERIKSAAN
Darah Rutin
Hb
Hct
AL
AT
AE
Golongan Darah
Hemostasis
PT

HASIL

SATUAN

RUJUKAN

10,9
33
7,5
220
3,97
O

g/dl
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul

12.0 - 15.6
33 - 45
4.5 - 11.0
150 - 450
4.10 5.10

12,2

Detik

10,0 15,0

37

APTT
INR
Kimia klinik
GDS
SGOT
SGPT
Albumin
Kreatinin
Ureum
HbsAg
Elektrolit
Na darah
K darah
Cl darah
LDH
Proteinuria
IV.
V.

VI.

30,4
0,960

Detik

20,0 40,0
-

76
18
9
3,1
1.0
29
Non reactive

mg/dl
u/l
u/l
g/dl
mg/dl
mg/dl

60 140
< 31
< 34
3.5 5.2
0.6 1.1
< 50
Non reactive

137
4,3
110
369
+3

mmol/L
mmol/L
mmol/L
u/l

136 145
3,3 5,1
98-106
140-300
Negatif

KONSULTASI
Tidak ada
TERAPI
Pro SCTP-emergensi + insersi IUD
Injeksi MgSO4 20% loading dan maintenance dose
Nifedipin 10 mg per oral
Inj Vicillin 1 gr/24 jam
DIAGNOSA ANESTESI
Ny S, wanita 34 tahun, G2P1A0 dengan preeklampsia berat, KPD 1
hari gemelli (preskep-preskep) hamil aterm belum dalam persalinan pro ReSCTP Emergensi + Insersi IUD dengan status fisik ASA II-E plan regional
anestesi sub arakhnoid blok.

VII.

VII.

PROBLEM
Kehamilan
Hipertensi
Preeklampsia
Ketuban Pecah Dini
Gemelli
POTENSIAL PROBLEM
Perdarahan

38

Nyeri post Operasi


Infeksi
VIII. PELAKSANAAN OPERASI
Operasi dilaksanankan pada tanggal 11 Mei 2016 di OK IGD
a.
Primary Survey
Airway
: Bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-), buka mulut
Breathing

> 3 jari, mallampati II, gerak leher bebas, TMD > 6cm
: Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-, frekuensi

nafas 22x/menit.
Circulation : Jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba di
SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising tidak terdengar, tekanan darah 170/90 mmHg, nadi
110 x/menit irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral
Disability

dingin (-).
: GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,

Exposure

reflek cahaya +/+.


: suhu 36,5 0C

b.
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut

Secondary Survey
: sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
: bentuk mesocephal, rambut warna hitam
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa keruh (-/-)
: sekret (-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-), patensi (+/+), deviasi
septum (-)
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)

Leher

stomatitis (-)
: trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran limfonodi

Abdomen

(-), gerak leher bebas, TMD >6cm


:dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, distensi, bising
usus (+) normal, timpani, hepar dan lien tidak teraba, supel,
nyeri tekan (-),teraba tiga bagian besar, intrauterin, Janin I :
39

djj (+), punggung kiri, presentasi kepala, Janin II : djj (+),


punggung kanan, presentasi kepala, tinggi fundus uteri 30
cm.
Ekstremitas

:
akral dingin

oedem

Anestesi dimulai pukul 12.30 berlangsung 120 menit, sampai


pukul 14.30. Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 12.45 14.20 WIB.
Dilakukan regional anestesi sub arachnoid block dengan lidokain 75 mg
dan fentanyl 25 mcg secara intratekal. Setelah menunggu beberapa saat,
perlahan pasien teranestesi. Kemudian dilakukan tindakan sectio
caesaria dengan posisi supine pada pasien. Durante operasi diberikan
injeksi ranitidin 50 mg, injeksi metoklopramid 10 mg, injeksi oxytocin
10 IU, O2 2 lpm dengan nasal kanul. Perdarahan durante operasi
sebanyak 200 ml.
Perhitungan cairan durante operasi adalah (BB = 88 kg)
1. EBV pasien = 90 cc/kg x 88 kg = 7920 cc
2. ABL pasien = (33-24)/100 x 3 x 7920 = 2138 cc
3. Kebutuhan cairan selama operasi:
Maintenance = 128 cc/jam
Stres Operasi = 6 x 88 = 528 cc
Puasa (terpenuhi) = 6 x 2 x 88 = 1056 cc
Maka, kebutuhan cairan jam I = 128 + 528 = 656 cc/jam
Kebutuhan cairan jam II = 128 + 528 = 656 cc/jam
Grafik 1. Catatan hemodinamik selama operasi

40

180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

Sistole
Diastole
Nadi

Pasien melahirkan bayi I-II kembar siam perut menyatu, pukul


13.25, dengan berat badan Bayi I-II: 5600 gram, skor APGAR Bayi I 35-6 dan Bayi II 1-1-1 yang kemudian dirawat di ruang NICU.
Di ruang pemulihan, sesuai skala bromage, setelah operasi
selesai dilakukan, skor = 2 (pasien tidak mampu fleksi lutut) 30 menit
setelah operasi, skor = 1 (pasien tidak mampu ekstensi tungkai) 45
menit setelah operasi, skor = 0 (gerakan penuh dari tungkai) 60 menit
setelah operasi, kesadaran compos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg,
nadi 76 x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, Sp0 2 99% dengan nasal
kanul 2 lpm, Numeric Rating Scale (NRS): 1.
Setelah operasi, pasien dirawat di HCU Obsgyn untuk mendapat
perawatan lebih lanjut. Keadaan umum pasien baik, kesadaran compos
mentis, tekanan darah 130/70mmHg, nadi 76x/menit, frekuensi napas
20x/menit. Analgetik post op diberikan Fentanyl 0,5 mcg/kgbb/jam
dalam 500cc Nacl 0.9% dan maintenance cairan kristaloid 90 cc/jam.

41

BAB IV
PEMBAHASAN
Prinsip tatalaksana dari preeklampsia berat adalah penanganan aktif yaitu
terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan penyulit dapat
dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan. Kemudian pada pasien
dilakukan terminasi kehamilan dengan sectio caesaria emergensi atas indikasi
maternal. Indikasi maternal adalah untuk mencegah timbulnya komplikasi
eklampsia. Usia kehamilan pada kasus ini adalah kehamilan aterm.
Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi regional
sub arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan seperti
kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang kecil,
blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan penanggulangannya
sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan, sterilitas dijamin,
pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan bayinya segera setelah

42

melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga bukan tanpa risiko, risiko yang dapat
terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi,
disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi.
Ada beberapa permasalahan dari segi medik, antara lain:
1. Emergensi, karena jika tidak segera dilakukan tindakan akan dapat
menimbulkan komplikasi yang membahayakan baik ibu dan
2.
3.
4.

janinnya
Menyangkut 2 nyawa, yaitu nyawa ibu dan anak.
Diaphragma terdorong keatas, sehingga rentan timbul sesak nafas.
Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior

ibu. Hal ini juga mempengaruhi sirkulasi fetomaternal.


Permasalahan lain yang perlu diperhatikan juga adalah adanya
permasalahan dari segi bedah, yaitu antara lain:
1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli kandungan untuk
mengeluarkan bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah
induksi.
2. Perdarahan durante dan post operasi.
3. Trauma
Permasalahan dari segi anestesi antara lain adalah:
Pemberian obat-obat anestesi yang sesuai :
1. Anestesi spinal : Lidokain 100 mg dan Fentanyl 25 mcg.
2. Maintenance : Oksigen 2 liter/menit.
Pada kasus ini, saat dilakukan anestesi spinal, saat operasi tidak terjadi
penurunan tekanan darah yang berarti. Tekanan darah yang turun setelah anestesi
spinal biasanya sering terjadi. Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang
menjalani anestesi spinal. Hipotensi terjadi karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac output.
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi.
Untuk mengatasi bradikardi yang terjadi diberikan sulfas atropin
0,25 mg IV.
2. Penurunan resistensi perifer
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 60 mmHg atau terdapat gejalagejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk menghindari
cedera ginjal, jantung dan otak. Empat alternatif cara pencegahan hipotensi pada
anestesia spinal adalah pemberian vasopresor, modifikasi teknik regional
43

anestesia, modifikasi posisi dan kompresi tungkai pasien, serta pemberian cairan
intravena. Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan pemberian cairan
intravena merupakan cara yang mudah dilakukan untuk mencegah hipotensi pada
anestesia spinal. Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.
Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan preloading atau coloading.
Preloading adalah pemberian cairan 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal,
sedangkan coloading adalah pemberian cairan selama 10 menit saat dilakukan
anestesia spinal. Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading tidak
memperlihatkan manfaat untuk mencegah hipotensi.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk mencegah efek samping
hipotensi pada anestesia spinal namun tidak menurunkan angka kejadian
hipotensi. Hal ini ditunjukkan pada penelitian Mojika dkk. yang membandingkan
pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada operasi non-obstetrik.
Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid karena bertahan lebih lama
intravaskular. Keuntungan lain adalah jumlah volume koloid yang diperlukan
untuk mencegah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.
Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi regional
sub arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan seperti
kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang kecil,
blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan penanggulangannya
sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan, sterilitas dijamin,
pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan bayinya segera setelah
melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga bukan tanpa risiko, risiko yang dapat
terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi,
disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi.
Anestesi spinal terutama yang berdosis tinggi dapat menyebabkan
paralisis otot pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karena itu, pasien dapat
mengalami kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian

44

oksigen yang adekuat dan pengawasan terhadap depresi pernafasan yang


mungkin terjadi.
Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan keadaan
umum yang buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada beberapa kasus
dapat diberikan premedikasi secara intravena atau intramuskular dengan
antikolinergik disertai pemberian antasida, antagonis reseptor H2 atau
metoclopramide. Pemberian obat anti mual dan muntah sangat diperlukan dalam
operasi sectio caesaria emergensi dimana merupakan usaha untuk mencegah
adanya aspirasi dari asam lambung. Pada pasien ini diberikan Ranitidin 50 mg
dan metoclorperamid 10 mg.
Pada pasien ini, obat yang digunakan adalah Lidokain 75 mg dan
Fentanyl 25 mcg. Bupivakain tidak digunakan karena memiliki efek
kardiotoksisitas 9 kali lebih tinggi dibanding lidokain. Toksisitas Bupivakain
sering muncul sebagai neurotoksisitas stimulaneus (kejang) terlebih dahulu
sebelum akhirnya muncul kardiotoksisitas.
Fentanyl merupakan opioid agonis sintetis yang sering digunakan untuk
premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi,
mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca
bedah, memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan. Fentanyl dapat
menyebabkan bradikardi sehingga memicu penurunan tekanan darah dan cardiac
output. Fentanyl juga memiliki efek vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik.
Induksi menggunakan Lidokain merupakan anestesi lokal golongan
amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau
sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses
konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Onset kerja cepat jika
dibandingkan dengan Bupivakain. Durasi kerja obat berkisar 45-60 menit. Perlu
diupayakan usaha untuk memperpanjang lama analgesia, antara lain dengan

45

penambahan epinferin, klonidin dan opioid (morfin, pethidin, fentanyl) pada obat
tersebut. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine). Anestesi
spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk
hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara
vertebra lumbal 4-5, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian
disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27gauge ditusukkan dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS
(jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan
secara perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan
darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan
salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja
syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus
ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini
terjadi hipotensi.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU (1
ampul), diberikan per drip. Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit. Pada
pasien ini lahir bayi berjumlah 2. Bayi kembar siam perut menyatu, lahir pada
pukul 13.25 WIB, dengan BB 5600 gram, lahir hidup dengan kelainan
kongenital.
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke HCU Obsgyn. Observasi post
sectio caesari dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan secara ketat
meliputi vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate), dan
memperhatikan banyaknya darah yang keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap

46

diberikan 2 liter/menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke


ruangan bangsal.

BAB V
KESIMPULAN
Seorang wanita G2P1A0 34 tahun dengan, preeklampsia berat, KPD 1 hari
gemelli (preskep-preskep) hamil aterm belum dalam persalinan dengan kelainan
congenital janin II pro re-SCTP emergency + Insersi IUD dengan status fisik ASA II
E Plan RASAB. Dilakukan tindakan sectio caesaria pada tanggal 11 Mei 2016 di
kamar operasi IGD atas preeklampsia berat, KPD dan gemelli. Teknik anestesi
dengan regional anestesi sub arakhnoid block dipilih karena pengaruh terhadap bayi
sangat minimal dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi. Anestesi
dengan menggunakan Lidokain 2% 75 mg dan Fentanyl 25 mcg secara incremental,
oksigen 2 liter/menit. Untuk mengatasi nyeri post operasi digunakan Fentanyl 0,5
mcg/kgbb/jam dalam 500cc NaCl 0.9%. Perawatan post operatif ibu dilakukan di
HCU Obsgyn bangsal Mawar 1 dan dilakukan pengawasan pada tanda-tanda vital
serta tanda-tanda perdarahan. Perawatan anak selanjutnya dilakukan di NICU karena
conjoint baby, kelainan congenital dan potensial infeksi. Prosedur regional anastesi
sub arachnoid block pada sectio caesaria dalam kasus ini tidak mengalami hambatan
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius.
47

DAFTAR PUSTAKA
Ananth K, Bdolah Y, Vikas P, Sukhatme (2004). Angiogenic Imbalance in the
Patophysiology of Preeclampsia : Newer Insight. Semin Nephrol. 24: 548-556.
Elsevier Inc.
Angsar, MD (2005). Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-Gestosis).
Surabaya: Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.
Budiono W (2009). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Creasy R (2014). Maternal Fetal medicine. Principle and practice.Volume 7.756 S
Cunningham, FG,Leveno KJ,Bloom SL,Hauth JC,Rouse DJ, and Spong CY (2013).
Pregnancy Hypertension. In: Williams Obstetrics23th Edition. USA: The
McGraw-Hil Companies.
Fausett MB, Barth WH Jr, Yoder BA, Satin AJ. Oxytocin labor stimulation of twin
gestations: effective and efficient. Obstet Gynecol 1997;90:2024.
Gahwagi MM, Busarira MO, Atia M. Premature Rupture of Membranes
Characteristics, Determinants, and Outcomes of in Benghazi, Libya. Open Journal
of Obstetrics and Gynecology. 2015. 5, 494-504.Jazayeri. 2015. Premature rupture
of membrane. http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview

48

Glosten B. 2006. Anestesia for Obstetric. In: Miller RD (Ed). Anesthesia. 5th ed.
Churchill Livingstone. USA: 2053-2055
Jazayeri A, Talavera F, Smith CV. 2015. Premature Rupture of Membranes.
http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview#a7 . diakses: 5
Februari 2016.
Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 34-7, 72-80
Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds) Pengantar
Kuliah Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah
Dini. Cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2009. Pp 456-60.
Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, Hoyert DL, Strobino DM, Guyer B, et al. Annual
summary of vital statistics: 2006. Pediatrics 2008;121:788801.
Martohoesodo,S., Hariadi,R. 2002. Distokia karena kelainan letak serta bentuk janin,
dalam Ilmu Kebidanan Edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta: 595-636
Mochtar R (2007). Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC
Morgan, GE. 2006. Critical care. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. Lange Medical
Books/Mc Graw-Hill. USA: 951-994
National Institute for Health and Clinical Excellence. 2011. Multiple Pregnancy.
(Diakses pada September, 2011).
Norma CS (2006). Immunology and genetic of preeclampsia.Clinical and
Developmental Immunology. 13 (2-4) 197-201.
Owen P. 2006. Caesarean section. http://www.netdoctor.co.uk.
Park KH, Hong JS, Kang WS, Shin DM, Kim SN. Body mass index, Bishop score,
and sonographic measurement of the cervical length as predictors of successful
labor induction in twin gestations. J Perinat Med 2009;37:51923.
POGI, 2005. Pedoman pengelolaan hipertensi dalam kehamilan di Indonesia Edisi 2.
Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI; Semarang. Hal 1, 11-15.
49

Roesli M, Tampubolon OE. 1989. Pendidikan anestesiologi mahasiswa. Dalam:


Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. CV Infomedika.
Jakarta: 9
Sarwono Prawirohardjo, 2009. Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Prawirohardjo. Jakarta.
Schiff E, Cohen SB, Dulitzky M, Novikov I, Friedman SA, Mashiach S, et al.
Progression of labor in twin versus singleton gestations. Am J Obstet Gynecol
2008;179:11815.
Seyb ST, Berka RJ, Socol ML, Dooley SL. Risk of cesarean delivery with elective
induction of labor at term in nulliparous women. Obstet Gynecol 2009;94:600
7.
Silver RK, Haney EI, Grobman WA, MacGregor SN, Casele HL, Neerhof MG.
Comparison of active phase labor between triplet, twin, and singleton
gestations. J Soc Gynecol Investig 2000;7:297300.
Sulistryowati S, AbadiA, Hood J, Soetjipto S(2010). The Influence of Low HLA-G
Protein Expressionon HSP-70 and VCAM-1 Profile in Preeclampsia Indonesian. J
Obstet Gynecol. 34(4): 185-190.
Wibowo B, Rachimhadi T. Preeklampsia dan Eklampsia, dalam : Ilmu Kebidanan. Edisi
III. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, pp. 281-99; 2009

50

LAMPIRAN (Kondisi Bayi)

51

52

Anda mungkin juga menyukai