PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang didapatkan
setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Angka kejadian pre eklampsia
untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti
jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, dan adanya perbedaan dalam
penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan frekuensi di lapangan berkisar antara 310%.
Wanita hamil berisiko mengalami pre eklampsi. Penyakit ini membahayakan
nyawa ibu dan janin, serta memiliki banyak sekali komplikasi, seperti HELLP
syndrom, perdarahan otak, gagal ginjal, hipoalbuminemia, ablation retina, edema
paru, solusio plasenta, hipofibrinogenemia, hemolisis, prematuritas, IUGR dan
kematian janin intrauterin (Wibowo, 1999).
Pre-Eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu (Sarwono, 2009).
Dengan demikian, pre eklampsi merupakan penyakit yang membahayakan
nyawa ibu dan janin sehingga diperlukan tatalaksana yang cepat, tepat, dan adekuat.
Dan satu-satunya jalan terbaik untuk penyembuhan dari penyakit ini adalah dengan
terminasi kehamilan.
Teknik anestesi yang lazim digunakan dalam sectio caesaria adalah anestesi
regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien.
Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada pasien obstetri yaitu
blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok kaudal.
Secara historis, terdapat sebuah keyakinan bahwa anestesi spinal pada pasien
PEB dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan penurunan perfusi uteroplasental
mencegah perluasan penggunaan anestesi spinal pada pasien ini. Pada penggunaan
teknik anestesi spinal didapatkan derajat hipotensi yang lebih besar daripada
1
penggunaan teknik anestesi epidural. Namun hipotensi yang terjadi ini mudah diatasi
dan durasinya biasanya sangat pendek (Henke et al, 2013). Terkait hal tersebut tetap
selalu ada kemungkinan timbulnya efek samping yang berbahaya bagi ibu dan janin.
Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada ibu selama anestesia harus
diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat membahayakan keadaan janin,
bahkan dapat menimbulkan kematian ibu. Komplikasi yang mungkin terjadi antara
lain aspirasi paru, gangguan respirasi, dan gangguan kardiovaskular. Karena anestesi
memiliki peranan yang penting
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PREEKLAMSIA
1. Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang
didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2005). Kelainan ini
dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria meningkat secara bermakna
atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ termasuk gangguan pertumbuhan
janin. Penyakit ini biasanya terjadi pada triwulan ke-3 kehamilan tetapi dapat
juga terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono, 2009).
Preeklampsia didefinisikan dengan adanya hipertensi dimana tekanan
darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg yang
diukur dua kali dengan selang waktu 4 -6 jam, menetap sekurang-kurangnya
selama 7 hari, disertai proteinuria ( 30 mg/liter urin atau 300 mg/24 jam)
yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu dan semua kelainan ini
akan menghilang sebelum 6 minggu post partum (Ananth, 2004).
Biasanya sindrom ini terutama muncul pada akhir trimester kedua
sampai ketiga kehamilan. Gejala akan berkurang atau menghilang setelah
melahirkan, sehingga terapi definitifnya adalah mengakhiri kehamilan
(Cunningham et al, 2013). Adapun beberapa komplikasi yang diakibatkan oleh
preeklampsia yaitu: IUGR, oligohidramnion, eklampsia hingga SIRS (Norma,
2006).
Pada kasus preeklampsia berat dapat terjadi impending eklampsia.
Impending eklampsia ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif
dari pasien yaitu jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya
nyeri epigastrik.
2. Faktor Risiko
a. Primigravida atau primipaternitas
sebelumnya
i. Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun
3. Perubahan Sistem dan Organ pada Preeklampsia
a. Volume plasma
Pada hamil normal plasma meningkat dengan bermakna
(hipervolemia) untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin.
Peningkatan tertinggi volume plasma pada kehamilan normal terjadi
pada kehamilan 32-34 minggu. Sedangkan pada kehamilan dengan
preeklampsia terjadi penurunanan 30%-40% dibandingkan kehamilan
normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi dengan
vasokonstriksi yang mengakibatkan hipertensi. Preeklampsia sangat
peka terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu cepat dan
banyak. Preeklampsia juga sangat peka terhadap kehilangan darah
waktu persalinan. Oleh karena diperlukan observasi yang ketat
(Sarwono, 2009).
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting untuk menegakkan
diagnosis
hipertensi
dalam
kehamilan.
Tekanan
diastolik
Menurunnya
aliran
darah
ke
ginjal
akibat
3)
2)
3)
4)
5)
n. Janin
Preeklampsia memberi pengaruh buruk pada keadaan janin
karena menurunnya perfusi uteroplasenter, hipovolemia, vasospasme
dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta.
Dampak preeklamsia pada janin :
1) IUGR
(Intrauterine
Growth
Restriction)
dan
oligohidramnion
2) Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak
langsung akibat IUGR, prematuritas, oligohidramnion dan
solutio plasenta (Sarwono, 2009)
4. Klasifikasi
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a.
Genuin Preeklampsia :
Gejala preeklampsia yang timbul setelah kehamilan 20 minggu
disertai dengan pitting edema, dan kenaikan tekanan darah 140/90
mmHg sampai 160/90 mmHg. Juga terdapat proteinuria 300 mg
urine/24 jam (esbach).
b.
Super Imposed Preeklampsia
Gejala preeklampsia yang terjadi kurang dari 20 minggu disertai
proteinuria 300 mg/24 jam dan bisa disertai edema. Biasanya didasari
hipertensi kronis sebelumnya.
Derajat preeklampsia :
a.
Preeklampsia ringan
Kriteria diagnostik :
1) Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang;
atau kenaikan sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik
15 mmHg.
2) Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan
dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
3) Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif 1+ atau 2+ pada
urin kateter atau mid stream.
8
5. Diagnosis
Diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya hipertensi dan
proteinuria. Preeklampsia dikatakan berat bila memenuhi 1 atau lebih dari 11
kriteria di atas (POGI, 2005).
Diagnosis eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan
adanya tanda dan gejala preeklampsia yang disusul oleh serangan kejang,
maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan. (Budiono, 2009).
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejalagejala edema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif antara lain: nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri
epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain: hiperrefleksia, eksitasi
motorik dan sianosis (Angsar, 2005).
Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi hipertensi kronis,
termasuk uji kerusakan target organ sekunder karena hipertensi dan faktor
resiko lain, meliputi:
1.
2.
3.
4.
Peningkatan
kadar
kortikosteroid
endogen
selama
Trombosit
<
100
ribu/ul
menunjukkan
adanya
5.
selama kehamilan.
Kadar asam urat serum, > 5 mg/dl merupakan marker yang sensitif
tetapi tidak spesifik untuk disfungsi tubuler pada preeklampsia.
10
6.
7.
epigastrium.
Protein urine, bila kualitatif +2 atau lebih, harus dihitung protein
urine 24 jam atau rasio protein:kreatinin. Abnormal bila kadarnya lebih
dari 300 mg/dl.
6. Pencegahan
Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya
preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai risiko terjadinya
preeklampsia (POGI, 2005).
Pencegahan dapat dilakukan secara medikal dan non medikal.
a.
b.
Pencegahan
2009).
1) Pemberian diuretik tidak terbukti dapat mencegah terjadinya
preeklampsia bahkan memperberat hipovolemia.
2) Pemberian kalsium: 1500-2000 mg/hari dapat dipakai untuk
suplemen pada pasien dengan resiko preeklampsia.
3) Zinc 200 mg/hari
4) Magnesium 365 mg/hari
11
Setelah
jam
medikamentosa,
sejak
terjadi
dimulai
kenaikan
pengobatan
darah
yang
persisten
-
Setelah
24
jam
sejak
dimulai
pengobatan
12
13
14
15
16
17
18
90% lahir preterm. Apabila kenaikan berat badan ibu selama hamil antara 40 45
pound maka berat badan lahir akan lebih dari 2500g (Park et al., 2009)
Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi, dari 1000 kehamilan trimester
pertama didapatkan 3,29% kehamilan kembar dan 5,39% hamil kembar dengan 1
embrio dan 1 kantong kehamilan kosong. Dari hamil kembar didapatkan 21.2%
dengan 1 janin mati dan diserap kembali. Keadaan tersebut saat ini selalu
dipertanyakan. Diagnosis kehamilan kembar pada trimester pertama didasarkan
dengan adanya 2 embrio hidup. Di Amerika didapatkan 70%-80% hamil kembar
dizigotik dan 20%-30% hamil kembar monozigotik. Pada kehamilan kembar
karena pengurangan janin atau reduced twin secara bermakna mempunyai risiko
yang lebih tinggi kejadian kelahiran preterm, berat badan lahir rendah, dan
sindroma gawat nafas dibandingkan dengan hamil kembar biasa (Schiff et al.,
2008). Delapan puluh persen zigositas dapat ditentukan pada saat lahir atau
segera setelah lahir (Silver RK et al., 2000) yaitu: 1. Dua puluh tiga persen hamil
kembar 1 amnion, ini berarti monozigotik, 2. Tiga puluh persen hamil kembar
dengan 2 korion karena mempunyai jenis kelamin berbeda, ini berarti dizigotik,
3. dua puluh tujuh persen mempunyai jenis kelamin yang sama tetapi dengan
golongan darah yang berbeda, ini berarti dizigotik. Sisanya 20% dengan jenis
kelamin sama tetapi golongan darahnya sama yang berarti kembar monozigotik
dengan 2 korion (plasenta terpisah atau berfusi) atau kembar dizigotik dengan
jenis kelamin sama (plasenta terpisah atau berfusi). Untuk memastikan maka
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu dengan kultur jaringan, analisa enzim,
DNA
mapping.
Terminologi
selanjutnya
ialah
quadruplet=kembar
4,
Definisi
19
Indikasi
a. Indikasi ibu: Panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan
obstruksi, stenosis serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum,
disproporsi janin dan panggul, bakat ruptura uteri, preeklampsia/
hipertensi.
b. Indikasi janin : kelainan letak, gawat janin.
3.
Komplikasi
a. Infeksi puerperal.
b. Perdarahan.
c. Komplikasikomplikasi lain seperti luka kandung kencing dan terjadinya
embolisme paru.
E. ANESTESI SPINAL
20
21
Pasien
dengan
gangguan
sistemik
berat
Pasien
dengan
kemungkinan
hidup
kecil.
Anamnesis
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Riwayat
meliputi
keadaan
umum,
berdasarkan
pernafasan,
sistem
organ
kardiovaskular,
yang
ginjal,
23
2.
Pemeriksaan Fisik
a.
b.
c.
d.
e.
f.
24
g.
3.
Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
a.
b.
c.
Membuat
amnesia,
misal
diazepam,
midazolam.
d.
e.
Mencegah
muntah,
misal
domperidol,
metoklopropamid.
f.
g.
h.
i.
pemakaian
obat
anestesi
sebelumnya,
riwayat
hospitalisasi
25
b.
c.
Barbiturat,
misal
Antikolinergik,
misal
Antihistamin,
misal
g.
H2 reseptor antagonis,
misal simetidine.
4.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
5.
Lidokain
Keuntungan utama adalah onsetnya cepat, bebas iritasi lokal.
Sebagian obat dimetabolisme di mikrosom hepar dan sebagian lagi
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah. Dosis
maksimal yang diberikan tanpa obat vasokonstriktor (adrenalin)
27
Fentanyl
Merupakan opioid agonis sintetis yang sering digunakan
untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini adalah
memudahkan
induksi,
mengurangi
kebutuhan
obat
anestesi,
Keuntungan:
1) Respirasi spontan.
2) Lebih murah.
3) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru
pada pasien dengan perut penuh.
28
Kerugian:
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general
system.
2) Menyebabkan post operatif headache.
7.
Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
b.
Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi
akibat blok sampai T-2.
c.
Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat
kendali nafas.
d.
Hematom
e.
Cedera saraf
f.
Mual-muntah
g.
8.
Penatalaksanaan
a.
Pemberian oksigen
29
Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mencukupi
kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
Selain itu jugaa untuk tindakan emergency pemberian obat.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan,
puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan
pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan,
luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam
24 jam adalah 2 ml/ kgBB/ jam. Bila terjadi dehidrasi ringan
2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 1
0Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %.
2) Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml / kgBB / jam
30
Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien paska
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
Skor
0
1
31
2
3
32
ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
34
Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Tanggal masuk
Tanggal pemeriksaan
No RM
: Ny. S
: 34 tahun
: Ibu rumah tangga
: Karang Anyar, Jawa Tengah
: 11 Mei 2016
: 11 Mei 2016
: 01333293
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Pasien merupakan konsulan TS obsgin dengan PEB, KPD 1 hari,
gemelli preskep-preskep pada sekundigravida hamil aterm belum
dalam persalinan dengan kelainan congenital janin II dan riwayat SC
10 tahun yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang G2P1A0 usia 36 tahun dengan usia kehamilan 37+4
minggu merupakan konsulan TS obsgin dengan PEB, KPD 1 hari,
gemelli preskep-preskep pada sekundigravida hamil aterm belum
dalam persalinan dengan kelainan congenital janin II dan riwayat SC
10 tahun yang lalu. Pasien merasa hamil 9 bulan. Gerakan janin masih
dirasakan. Kenceng-kenceng teratur belum dirasakan. Air kawah
dirasakan keluar sejak 1 hari SMRS. Lendir darah (-), nyeri ulu hati
(-), nyeri kepala (-) mual/muntah(-) pandangan kabur (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa
Riwayat tekanan darah tinggi
Riwayat sakit gula
Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat asma
Riwayat abortus
Riwayat operasi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway
: Bebas, patensi hidung (+/+), deviasi septum (-), buka mulut
Breathing
>3 jari, mallampati II, gerak leher bebas, TMD > 6cm
: Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan RBK -/-,
Exposure
B. Secondary Survey
Status gizi : Berat badan
: 88 kg
36
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Tinggi badan
: 155 cm
BMI
Mulut
Leher
stomatitis (-)
: trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran limfonodi
Abdomen
Ekstremitas
:
akral dingin
III.
oedem
-
- PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 11 Mei 2016 Pre-Operasi
PEMERIKSAAN
Darah Rutin
Hb
Hct
AL
AT
AE
Golongan Darah
Hemostasis
PT
HASIL
SATUAN
RUJUKAN
10,9
33
7,5
220
3,97
O
g/dl
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul
12.0 - 15.6
33 - 45
4.5 - 11.0
150 - 450
4.10 5.10
12,2
Detik
10,0 15,0
37
APTT
INR
Kimia klinik
GDS
SGOT
SGPT
Albumin
Kreatinin
Ureum
HbsAg
Elektrolit
Na darah
K darah
Cl darah
LDH
Proteinuria
IV.
V.
VI.
30,4
0,960
Detik
20,0 40,0
-
76
18
9
3,1
1.0
29
Non reactive
mg/dl
u/l
u/l
g/dl
mg/dl
mg/dl
60 140
< 31
< 34
3.5 5.2
0.6 1.1
< 50
Non reactive
137
4,3
110
369
+3
mmol/L
mmol/L
mmol/L
u/l
136 145
3,3 5,1
98-106
140-300
Negatif
KONSULTASI
Tidak ada
TERAPI
Pro SCTP-emergensi + insersi IUD
Injeksi MgSO4 20% loading dan maintenance dose
Nifedipin 10 mg per oral
Inj Vicillin 1 gr/24 jam
DIAGNOSA ANESTESI
Ny S, wanita 34 tahun, G2P1A0 dengan preeklampsia berat, KPD 1
hari gemelli (preskep-preskep) hamil aterm belum dalam persalinan pro ReSCTP Emergensi + Insersi IUD dengan status fisik ASA II-E plan regional
anestesi sub arakhnoid blok.
VII.
VII.
PROBLEM
Kehamilan
Hipertensi
Preeklampsia
Ketuban Pecah Dini
Gemelli
POTENSIAL PROBLEM
Perdarahan
38
> 3 jari, mallampati II, gerak leher bebas, TMD > 6cm
: Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-, frekuensi
nafas 22x/menit.
Circulation : Jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba di
SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,
bising tidak terdengar, tekanan darah 170/90 mmHg, nadi
110 x/menit irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik, akral
Disability
dingin (-).
: GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm /3mm,
Exposure
b.
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Secondary Survey
: sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
: bentuk mesocephal, rambut warna hitam
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa keruh (-/-)
: sekret (-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-), patensi (+/+), deviasi
septum (-)
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
Leher
stomatitis (-)
: trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran limfonodi
Abdomen
:
akral dingin
oedem
40
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
Sistole
Diastole
Nadi
41
BAB IV
PEMBAHASAN
Prinsip tatalaksana dari preeklampsia berat adalah penanganan aktif yaitu
terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan penyulit dapat
dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan. Kemudian pada pasien
dilakukan terminasi kehamilan dengan sectio caesaria emergensi atas indikasi
maternal. Indikasi maternal adalah untuk mencegah timbulnya komplikasi
eklampsia. Usia kehamilan pada kasus ini adalah kehamilan aterm.
Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi regional
sub arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan seperti
kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang kecil,
blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan penanggulangannya
sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan, sterilitas dijamin,
pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan bayinya segera setelah
42
melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga bukan tanpa risiko, risiko yang dapat
terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi,
disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi.
Ada beberapa permasalahan dari segi medik, antara lain:
1. Emergensi, karena jika tidak segera dilakukan tindakan akan dapat
menimbulkan komplikasi yang membahayakan baik ibu dan
2.
3.
4.
janinnya
Menyangkut 2 nyawa, yaitu nyawa ibu dan anak.
Diaphragma terdorong keatas, sehingga rentan timbul sesak nafas.
Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior
anestesia, modifikasi posisi dan kompresi tungkai pasien, serta pemberian cairan
intravena. Usaha meningkatkan volume cairan sentral dengan pemberian cairan
intravena merupakan cara yang mudah dilakukan untuk mencegah hipotensi pada
anestesia spinal. Cairan yang diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.
Teknik pemberian cairan dapat dilakukan dengan preloading atau coloading.
Preloading adalah pemberian cairan 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal,
sedangkan coloading adalah pemberian cairan selama 10 menit saat dilakukan
anestesia spinal. Pemberian cairan kristaloid sebagai preloading tidak
memperlihatkan manfaat untuk mencegah hipotensi.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk mencegah efek samping
hipotensi pada anestesia spinal namun tidak menurunkan angka kejadian
hipotensi. Hal ini ditunjukkan pada penelitian Mojika dkk. yang membandingkan
pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada operasi non-obstetrik.
Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid karena bertahan lebih lama
intravaskular. Keuntungan lain adalah jumlah volume koloid yang diperlukan
untuk mencegah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.
Pada tindakan-tindakan bedah sesar umumnya dipilih anestesi regional
sub arachnoid block/spinal karena mempunyai banyak keuntungan seperti
kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang kecil,
blok anestesi yang baik, pencegahan perubahan fisiologi dan penanggulangannya
sudah diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan, sterilitas dijamin,
pengaruh terhadap bayi sangat minimal, dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya aspirasi, dan ibu dapat kontak langsung dengan bayinya segera setelah
melahirkan. Tetapi anestesi spinal juga bukan tanpa risiko, risiko yang dapat
terjadi seperti mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi,
disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi.
Anestesi spinal terutama yang berdosis tinggi dapat menyebabkan
paralisis otot pernafasan, abdominal, intercostal. Oleh karena itu, pasien dapat
mengalami kesulitan bernafas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian
44
45
penambahan epinferin, klonidin dan opioid (morfin, pethidin, fentanyl) pada obat
tersebut. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine). Anestesi
spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk
hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara
vertebra lumbal 4-5, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian
disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27gauge ditusukkan dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS
(jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan
secara perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan
darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan
salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja
syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus
ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini
terjadi hipotensi.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 10 IU (1
ampul), diberikan per drip. Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah
perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit. Pada
pasien ini lahir bayi berjumlah 2. Bayi kembar siam perut menyatu, lahir pada
pukul 13.25 WIB, dengan BB 5600 gram, lahir hidup dengan kelainan
kongenital.
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke HCU Obsgyn. Observasi post
sectio caesari dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan secara ketat
meliputi vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate), dan
memperhatikan banyaknya darah yang keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap
46
BAB V
KESIMPULAN
Seorang wanita G2P1A0 34 tahun dengan, preeklampsia berat, KPD 1 hari
gemelli (preskep-preskep) hamil aterm belum dalam persalinan dengan kelainan
congenital janin II pro re-SCTP emergency + Insersi IUD dengan status fisik ASA II
E Plan RASAB. Dilakukan tindakan sectio caesaria pada tanggal 11 Mei 2016 di
kamar operasi IGD atas preeklampsia berat, KPD dan gemelli. Teknik anestesi
dengan regional anestesi sub arakhnoid block dipilih karena pengaruh terhadap bayi
sangat minimal dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi. Anestesi
dengan menggunakan Lidokain 2% 75 mg dan Fentanyl 25 mcg secara incremental,
oksigen 2 liter/menit. Untuk mengatasi nyeri post operasi digunakan Fentanyl 0,5
mcg/kgbb/jam dalam 500cc NaCl 0.9%. Perawatan post operatif ibu dilakukan di
HCU Obsgyn bangsal Mawar 1 dan dilakukan pengawasan pada tanda-tanda vital
serta tanda-tanda perdarahan. Perawatan anak selanjutnya dilakukan di NICU karena
conjoint baby, kelainan congenital dan potensial infeksi. Prosedur regional anastesi
sub arachnoid block pada sectio caesaria dalam kasus ini tidak mengalami hambatan
yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang
memerlukan penanganan serius.
47
DAFTAR PUSTAKA
Ananth K, Bdolah Y, Vikas P, Sukhatme (2004). Angiogenic Imbalance in the
Patophysiology of Preeclampsia : Newer Insight. Semin Nephrol. 24: 548-556.
Elsevier Inc.
Angsar, MD (2005). Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-Gestosis).
Surabaya: Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.
Budiono W (2009). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan.Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Creasy R (2014). Maternal Fetal medicine. Principle and practice.Volume 7.756 S
Cunningham, FG,Leveno KJ,Bloom SL,Hauth JC,Rouse DJ, and Spong CY (2013).
Pregnancy Hypertension. In: Williams Obstetrics23th Edition. USA: The
McGraw-Hil Companies.
Fausett MB, Barth WH Jr, Yoder BA, Satin AJ. Oxytocin labor stimulation of twin
gestations: effective and efficient. Obstet Gynecol 1997;90:2024.
Gahwagi MM, Busarira MO, Atia M. Premature Rupture of Membranes
Characteristics, Determinants, and Outcomes of in Benghazi, Libya. Open Journal
of Obstetrics and Gynecology. 2015. 5, 494-504.Jazayeri. 2015. Premature rupture
of membrane. http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview
48
Glosten B. 2006. Anestesia for Obstetric. In: Miller RD (Ed). Anesthesia. 5th ed.
Churchill Livingstone. USA: 2053-2055
Jazayeri A, Talavera F, Smith CV. 2015. Premature Rupture of Membranes.
http://emedicine.medscape.com/article/261137-overview#a7 . diakses: 5
Februari 2016.
Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 34-7, 72-80
Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds) Pengantar
Kuliah Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah
Dini. Cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2009. Pp 456-60.
Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, Hoyert DL, Strobino DM, Guyer B, et al. Annual
summary of vital statistics: 2006. Pediatrics 2008;121:788801.
Martohoesodo,S., Hariadi,R. 2002. Distokia karena kelainan letak serta bentuk janin,
dalam Ilmu Kebidanan Edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
Jakarta: 595-636
Mochtar R (2007). Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC
Morgan, GE. 2006. Critical care. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. Lange Medical
Books/Mc Graw-Hill. USA: 951-994
National Institute for Health and Clinical Excellence. 2011. Multiple Pregnancy.
(Diakses pada September, 2011).
Norma CS (2006). Immunology and genetic of preeclampsia.Clinical and
Developmental Immunology. 13 (2-4) 197-201.
Owen P. 2006. Caesarean section. http://www.netdoctor.co.uk.
Park KH, Hong JS, Kang WS, Shin DM, Kim SN. Body mass index, Bishop score,
and sonographic measurement of the cervical length as predictors of successful
labor induction in twin gestations. J Perinat Med 2009;37:51923.
POGI, 2005. Pedoman pengelolaan hipertensi dalam kehamilan di Indonesia Edisi 2.
Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI; Semarang. Hal 1, 11-15.
49
50
51
52