PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan
berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang berisiko atau
dengan status gizi buruk. Di masyarakat, cara pengukuran status gizi yang paling
sering digunakan adalah antropometri gizi. Dewasa ini, dalam program gizi
masyarakat, pemantauan gizi anak balita menggunakan metode antropometri, sebagai
cara untuk menilai status gizi. Antropometri berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar
lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Berat badan merupakan ukuran
antropometri yang tepenting yang paling sering digunakan pada bayi baru lahir. Pada
masa bayi hingga balita, berat badan dapat digunakan untuk melihat laju
pertumbuhan fisik maupun status gizi.
Pertumbuhan anak dalam usia dini, yaitu masa balita sangat pesat terjadi. Secara
garis besar badan bayi usia lima bulan tumbuh dua kali lipat dibandingkan dengan
berat badan lahir, dan usia dua belas bulan tiga kali lipat dari berat badan lahir.
Pertumbuhan anak yang baik adalah yang mengikuti pola pertumbuhan normalnya.
Akan tetapi, pola pertumbuhan bayi dan anak balita di Indonesia menunjukkan
kecenderungan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan normalnya.
Penimbangan anak balita yang dilakukan tiap bulan (growth monitoring)
merupakan salah satu kegiatan yang vital dalam pemantauan status kesehatan dan
gizi. Dengan penimbangan bulanan yang teratur dapat diketahui growth fattering
lebih awal sehingga dapat dilakukan growth promotion untuk mencegah kejadian gizi
kurang dan buruk lebih dini.
Balita kurang gizi disebabkan karena kurangnya asupan makanan dan adanya
penyakit infeksi. Balita dengan status gizi kurang sangat rentan terhadap berbagai
penyakit. Menurut WHO, kekurangan gizi memberi kontribusi dua pertiga (2/3)
kematian balita dan dua pertiga (2/3) kematian balita tersebut terkait dengan praktik
pemberian makan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia dini. Oleh karena itu,
masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional
prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9% dan gizi kurang sebesar 13%. Prevalensi
sangat kurus pada anak balita secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu
5.3%, meskipun terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0%) dan tahun
2007 (6,2%). Prevalensi kurus sebesar 6.8% juga menunjukkan adanya penurunan
dari 7,3% (tahun 2010) dan 7,4% (tahun 2007). Kalimantan Barat menempati
posisi tertinggi ketiga kasus gizi buruk dengan prevalensi sebesar 9,5% dan posisi
tertinggi keempat kasus gizi kurang dengan prevalensi sebesar 17,9%. Berdasarkan
profil kesehatan UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan tahun 2015 tidak
ditemukan adanya kasus gizi buruk pada balita di wilayah kerjanya, namun masih
ditemukan adanya kasus balita dengan gizi kurang yaitu sebanyak 67 kasus sepanjang
tahun 2015.
Banyak faktor yang berperan dalam rendahnya capaian penimbangan berat badan
balita, apakah memang balita yang ditimbang sedikit, pasien menimbangkan berat
badannya ke fasilitas kesehatan lain sehingga tidak terlaporkan, pelaksanaan program
upaya perbaikan gizi balita yang kurang baik sehingga banyak pasien yang tidak
melakukan penimbangan berat badannya, atau pengetahuan masyarakat yang masih
kurang tentang pentingnya penimbangan berat badan balita sehingga tidak terlalu
peduli dengan kejadian gizi kurang dan gizi buruk lebih dini.
Pencapaian penimbangan berat badan balita yang masih di bawah target
menyebabkan perlunya dilakukan evaluasi untuk mementukan akar permasalahan
yang mendasari rendahnya pencapaian program upaya perbaikan gizi masyarakat di
Kecamatan Pontianak Selatan. Solusi pemecahan masalah yang efektif dan aplikatif
perlu dicari dan diterapkan demi terlaksananya program secara optimal untuk
1.2.
Rumusan Masalah