Laporan PJBL I PPOK Kelompok 9
Laporan PJBL I PPOK Kelompok 9
Oleh
Kelompok 9 :
NOVITA EKA SAPUTRI
105070200131001
ACHMAD VINDO G
105070200131002
DADANG PUTRAWANSYAH
105070200131003
A ZAHRIAR BADARUDIN
105070200131004
105070201131004
105070201131005
105070201131006
FARIDA AGUSTININGRUM
105070201131007
105070203131004
105070203131005
SLO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
PPOK juga merupakan klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma (Smelter & Bare, 2001;
Black, 1993). Pengertian terbaru menurut Perhimpuan Dokter Paru Indonesia
(2003), PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.
Bronkitis Kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding
alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK.
PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis
kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002). PPOK
merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan
penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. Penyakit Paru Obstruktif
Kronis /PPOK (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah suatu
penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema
atau bronkitis kronis atau keduanya.
2. Etiologi dan Pembagian Derajat PPOK
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan
faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi paru berulang
4.
5.
6.
7.
8.
Umur
Jenis kelamin
Ras
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Defisiensi anti oksidan
GEJALA KLINIS
SPIROMETRI
sputum
Sesak napas derajat 1 sampai
spirometri)
VEP1/KVP < 70 %
(nilai normal
derajat sesak 2
PPOK Sedang
PPOK Berat
VEP1/KVP < 70 %
50 % VEP1 < 80 %
sputum
prediksi
Sesak napas derajat 3
Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 VEP1/KVP < 70 %
Eksaserbasi lebih sering terjadi
30 % VEP1 < 50 %
prediksi
VEP1/KVP < 70 %
VEP1 < 30 % prediksi,
atau
VEP1 < 50 % dengan
gagal napas kronik
kanan
3. Epidemiologi PPOK
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi
PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur
18-64 tahun dengan nilai VEP berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,
dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun
2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab
kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12
negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada
usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar
6,7%.
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini
sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan
bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6
dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia. PPOK adalah masalah kesehatan
utama yang menjadi penyebab kematian no. 4 di Indonesia pada tahun 2010
menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya
pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak
adalah penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita
(84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29 penderita dengan proporsi
63,0%. Menurut hasil penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika (2009) di RS.
Haji Medan pada tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang
paling banyak adalah proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun
sebanyak 121 penderita (91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD
Aceh Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK
tertinggi pada kelompok usia 60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2%
dan perempuan 14,4%. Proporsi gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan
sesak napas (100%), disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%),
dan terendah mual sebanyak 11 pasien (8%).
4. Faktor Resiko PPOK
Riwayat rokok
o Perokok aktif
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami
gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas
yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Usia
mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok
akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga
dengan faktor genetik.
o Perokok Pasif
Perokok pasif atau Enviromental Tobacco Smoke (ETS) juga
dapat mengalami gejala-gejala respiratori dan PPOK disebabkan
oleh partikel-partikel iritatif terinhalasi sehingga mengakibatkan
paru-paru terbakar.
o Bekas perokok
3. Hiperaktivitas bronkus
4. Riwayat infeksi saluran nafas yang berulang.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri
berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan
juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan
dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya
eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan
dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat
umur diatas 40 tahun.
5. Jenis kelamin
Pria dan wanita memiliki resiko yang sama untuk terkena PPOK. Namun,
kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita.
6. Genetik
Defisiensi 1 anti tripsin, Dalam kondisi ini, tubuh tidak membuat cukup
protein yang disebut alpha 1- anti tripsin (protein yang diproduksi di hati
dan dilepaskan ke dalam darah). Alpha 1- anti tripsin melindungi paruparu dari kerusakan yang disebabkan oleh enzim protease seperti elastase
dan tripsin, yang bisa dilepas sebagai hasil dari suatu respon inflamasi
terhadap asap rokok.
7. Status sosioekonomi dan nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut
berhubungan erat dengan status sisioekonomi.
8. Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan
telah di teliti lama adalah defisiensi 1 antitripsin, yang merupakan protease serin
Emfisema
Asma Bronkhia
Oastruksi
pada
pertukaran
Jalan
napas
O2
bronchial
dan CO2 menyempit
terjadi
akibat
dan
kerusakan
mebatasidinding
jumlaha
Penumpukan lendir dan sekresi
yang
sangat
banyak
menyumbat
jalan napas
Peningkatan
usaha dan frekuensi pernapasan, penggunaan
Penurunan kemampuan
batuk efektif
Kematian
Faal paru
Dilakukan untukmenentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau
APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut
adalah bayangan bronkus yang menebal.
2. Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1. Gambaran
defisiensi
arteri,
terjadi
overinflasi,
pulmonary
Pada
kondisi
umur
55-60
tahun
polisitemia
Radiologi
Menggunakan CT - Scan resolusi tinggi untuk mendeteksi
emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos, dan mengetahui fungsi
respirasi paru
Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan seperti ekokardiografi dan menilai
fungsi jantung kanan
Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK
di Indonesia.
ABGs
Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun
dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan
emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau
asidosis,
alkalosis
respiratori
ringan
sekunder
terhadap
ECG
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial
disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi
(bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati
3. Terapi oksigen
Manfaat oksigen:
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi:
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain.
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi
dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu
nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa
nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat.
Kebutuhan
protein
seperti
pada
umumnya,
protein
dapat
toleransi
latihan
karena
meningkatnya
toleransi
karena
ergometri
dan
walking-jogging.
Ergometri
lebih
baik
daripada
walkingjogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3
menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah
itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal
selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa
minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu.
Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.
: Tn.K
Umur
: 65 tahun
Jenis Kelamin
: laki-laki
Agama
: Islam
Suku/Bangsa
: Indonesia
Diagnosa Medis
: PPOK
KELUHAN UTAMA
Tn.K merasakan sesak nafas sejak tadi malam jam 23.15
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
a. Provocative / Palliative
- Klien kehujanan setelah menengok cucunya yang ada di luar kota
b. Quality / Quantity
Bertambah sesak
Lebih parah berbunyi ngik ngik bertambah sesak bila digunakan untuk
h.
i.
j.
k.
Paru-paru / Respirasi:
ronki dan wheezing terdengar di kedua lapang paru
bentuk dada barrel chest
Pernafasan cuping hidung
terdapat penggunaan otot bantu pernafasan retraksi otot area
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap :
Radiologi:
-
ECG: deviasi aksis kanan, gelombang P Pa O2: 70 mmHg, Sa O2: 79%, pH: 7,25,
H CO3-: 20 mEq/L
DATA SUBYEKTIF
Tuan K, 65 tahun
DATA OBYEKTIF
Duduk dengan kedua tangan memegang tepi
brankart
Satu hari yang lalu kehujanan setelah Kondisi sadar, GCS 456
menengok cucu yang ada diluar kota
Serangan sesak napas sejak jam 23.15 WIB
Bertambah sesak sampai pagi ini
Tampak gelisah
TTV : RR 29x/menit, Nadi 115x/menit, regular,
paru
Berbunyi ngik-ngik
Bentuk dada barrel chest
Bertambah sesak bila digunakan untuk Pernapasan cuping hidung
berjalan dan mengangkat benda-benda berat
Batuk sejak 3 bulan yang lalu dan Terdapat penggunaan otot bantu pernapasan
Mengeluarkan dahak berwarna putih kental
retraksi
otot
area
sternocleidomastoideus
supraklavikular
dan
Suka merokok dengan rata-rata 1 pak Akral dingin dan berkeringat, Sianosis pada kedua
perhari selama 20tahun
mukosa bibir
bronkovaskuler,
jantung
tampak
membesar.
ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P pada lead
II, III tinggi dan lebih panjang
Spirometri: FEV1/FVC 60 %, BGA : PaO2 : 52
mmHg, PaO2 : 70 mmHg, SaO2 : 79%, HCO3- : 20
mEq/L, pH: 7,25
ANALISA DATA
N
O
1.
DATA
Data Subyektif:
ETIOLOGI
Bronkitis
KEPERAWATAN
kronik, Ketidakefektifan
Gangguan
Berbunyi ngik-ngik
Penurunan
kemampuan
batuk
efektif
berat
Batuk sejak 3 bulan yang lalu dan
Mengeluarkan dahak berwarna putih
kental
Suka merokok dengan rata-rata 1 pak
perhari selama 20tahun
Serangan batuk sejak 5 bulan yang lalu
MASALAH
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
Data Obyektif :
Duduk dengan kedua tangan memegang
tepi brankart
Tampak gelisah
TTV : RR 29x/menit, Nadi 115x/menit,
regular, TD
145/100 mmHg,
Suhu
penggunaan
pernapasan
retraksi
otot
bantu
otot
area
supraklavikular
dan
sternocleidomastoideus
Sianosis pada kedua mukosa bibir
Rontgen Toraks : pelebaran antar iga,
diafragma letak rendah, penumpukan
udara di retrosternal, tampak penurunan
vaskuler,
dan
bronkovaskuler,
peningkatan
bentuk
jantung
tampak
membesar.
ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P
pada lead II, III tinggi dan lebih panjang
Spirometri: FEV1/FVC 60 %, BGA :
PaO2 : 52 mmHg, PaO2 : 70 mmHg,
SaO2 : 79%, HCO3- : 20 mEq/L, pH: 7,25
2.
Data Subyektif:
Bronkitis
kronik, Gangguan
asma bronchial
Serangan sesak napas sejak jam 23.15
WIB
Gangguan
pertukaran gas
dan
penggunaan
pernapasan
retraksi
otot
otot
supraklavikular
frekuensi
pernapasan,
usaha
penggunaan
bantu
otot
bantu pernapasan
area Peningkatan
dan pernapasan,
sternocleidomastoideus
Akral dingin dan berkeringat
RR 29x/menit, TD 145/100 mmHg, Nadi
115x/menit
kerja
hipoksemia
secara
reversible
Gangguan pertukaran
gas
Data Subyektif:
Bronkitis
asma bronchial
Serangan sesak napas sejak jam 23.15
WIB
Gangguan
pergerakan udara dari
berat
Peningkatan
dan
Data Obyektif :
TD 145/100 mmHg
usaha
frekuensi
pernapasan,
penggunaan
otot
bantu pernapasan
ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P
pada lead II, III tinggi dan lebih panjang
Nadi 115x/menit, regular
Respon
sistemis,
kelemahan
fisik,
keletihan,
ketidakmampuan
beraktivitas
karena
sesak napas
Intoleran aktivitas
c. Rencana intervensi:
RENCANA
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.
obstruksi
2.
3.
4.
Bantu klien latihan napas Ventilasi maksimal membuka lumen jalan napas dan
dalam
5.
Pertahankan intake cairan Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan
sedikitnya
Lakukan fisioterapi dada Postural drainase dengan perkusi dan vibrasi membantu gaya
dengan
teknik
drainase,
perkusi,
fibrasi dada
sekresi
akan
mengalir
lebih
mudah
setelah
Kolaborasi pemberian obat: Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju
Bronkodilator.
(via
inhalasi)
golongan
0,25mg,
dengan berdilatasi
terbutaline
fenoterol
0,1%
HBr
solution,
mukolitik
ekspektoran
Kostikosteroid
N
O
RENCANA INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.
Pantau
napas
keefektifan
Kolaborasi
2.
aerosol
membantu
mengencerkan
sekresi
memperbaiki
pertukaran
gas.
Tindakan
mengurangi
keletihan
yang
menyertai
aktivitas makan.
3.
Setelah
inhalasi
bronkodilator
nebulizer,
klien
Kolaborasi
pemantauan
gas
darah
5.
Kolaborasi
oksigen via nasal
memantau
kemajuan
terapi
oksigen
dan
oksigen.
Klien
diinstruksikan
tentang
N
O
1.
RENCANA INTERVENSI
Pantau
kemampuan
klien Menjadi
RASIONAL
data
dasar
dalam
melakukan
intervensi
selanjutnya
Atur cara beraktivitas klien Klien dengan PPOK mengalami penurunan toleransi
sesuai kemampuan
3.
Ajarkan cara latihan otot-otot program pelatihan otot-otot pernapasan dapat diberikan
pernapasan
denga
baik.
Mengondisikan
otot-otot
DAFTAR PUSTAKA
1. Doengoes, Marilynn E. Mary Frances Moorhouse. Alice C. Geissler. 2000.
Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa: I Made Kariasa, Ni
Made Sumarwati. Editor: Monica Ester, Yasmin Asih. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
2. Muttaqin, Arif. 2008. Buku ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
3. Price, Sylvia. Lorraine Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Vol.2. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta : EGC.
4. Smetlzer, Suzanne C. Brenda G. Bare. 2002. Brunner & Suddart : Buku
ajar keperawatan Medikal Bedah Vol.1. Alih bahasa : Agung waluyo, dkk.
Editor : Monica Ester, Ellen Panggabean. Edisi 8. Jakarta : EGC.
5. Nanda International.2009-2011. Nursing Diagnosis Classification. USA
6. Wilkinson, Judith. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
NIC&Kriteria Hasil NOC. Edisi 7 Terjemahan. Jakarta: EGC.
7. Engram. Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal bedah
Volume 1. Jakarta : EGC.
8. Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta : EGC