Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KELOMPOK PJBL I

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

Oleh
Kelompok 9 :
NOVITA EKA SAPUTRI

105070200131001

ACHMAD VINDO G

105070200131002

DADANG PUTRAWANSYAH

105070200131003

A ZAHRIAR BADARUDIN

105070200131004

VINA NUR PUSPITASARI

105070201131004

ANISFUL LAILIL MUNAWAROH

105070201131005

DIANITA AYU RETNANI

105070201131006

FARIDA AGUSTININGRUM

105070201131007

DYANA LIDYAHARI WINARKO 105070203131003


BAYU HADI WIBOWO

105070203131004

DANIIAL BAGUS SAINTIKA

105070203131005

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN K3LN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
MARET, 2012

PJBL I Blok Respiratori


Kasus
Tn. K, usia 65 tahun, datang ke IRD RS dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang
dengan ditemani oleh anaknya. Menurut cerita dari anaknya Tn. K satu hari yang
lalu kehujanan setelah menengok cucunya yang ada diluar kota. Serangan sesak
nafas yang dialami saat ini dirasakan sejak tadi malam jam 23.15, dan bertambah
sesak sampai pagi ini sehingga keluarga memutuskan dibawa ke UGD RSSA. Tn.
K mengeluh nafasnya terasa sesak sekali berbunyi ngik-ngik bertambah sesak bila
digunakan untuk berjalan dan mengangkat benda-benda berat. Tn. K juga
mengeluh batuk sejak 3 bulan yang lalu dan mengeluarkan banyak dahak
berwarna putih kental. Pada saat dilakukan pengkajian saat ini Tn. K duduk
dengan kedua tangan memegang tepi brankart. Menurut anaknya Tn. K pada
waktu muda suka merokok dengan rata-rata 1 pak perhari selama 20 tahun.
Serangan batuk yang saat ini dialami ayahnya sudah terjadi sejak 5 tahun yang
lalu. Pasien dalam kondisi sadar, GCS 456, dan tampak gelisah. Setelah dilakukan
pemeriksaan fisik didapatkan hasil RR: 29x/menit, ronki dan wheezing terdengar
di kedua lapang paru, bentuk dada barrel chest, Pernafasan cuping hidung,
terdapat penggunaan otot bantu pernafasan retraksi otot area supraklavikular dan
sternocleidomastoideus, nadi: 115x/menit, regular, tekanan darah: 145/100
mmHg, suhu: 37,5C. akral dingin dan berkeringat, sianosis pada mukosa bibir,
CTR 3. Rongent toraks: terdapat pelebaran antar iga, diafragma letak rendah,
penumpukan udara daerah retrosternal, tampak penurunan vaskuler dan
peningkatan bentuk bronkovaskuler, jantung tampak membesar. ECG: deviasi
aksis kanan, gelombang P pada lead II, III tinggi dan lebih panjang. Spirometri :
FEV1/FVC 60%, BGA: Pa CO2: 52 mmHg, Pa O2: 70 mmHg, Sa O2: 79%, PH:
7,25, H CO3 -: 20 mEq/L, Therapi: IV Line Na Cl 0,9% : 20 tts/menit, Amofilin
250 mg IV (5 mg/kg BB), Metilpredisolon 260 mg IV (4 mg/kg BB), Nebulizer:
Ventolin : Bisolvon : Na CL 0,9% = 1:1:2, Venturi Masker 6 lpm.

SLO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Mahasiswa mampu menjelaskan definisi PPOK


Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dan pembagian derajat PPOK
Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi PPOK
Mahasiswa mampu menjelaskan factor risiko PPOK
Mahasiswa mampu menjelaskan patofiosiologi PPOK
Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis PPOK
Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi PPOK
Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan diagnostic PPOK
Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan PPOK
a. Umum
b. Obat
c. Terapi O2
d. Rehabilitasi
e. Asuhan keperawatan

1. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
PPOK juga merupakan klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronchitis kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma (Smelter & Bare, 2001;
Black, 1993). Pengertian terbaru menurut Perhimpuan Dokter Paru Indonesia
(2003), PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.
Bronkitis Kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding
alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK.
PPOK adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis
kronis, bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002). PPOK
merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan
penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. Penyakit Paru Obstruktif
Kronis /PPOK (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah suatu
penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema
atau bronkitis kronis atau keduanya.
2. Etiologi dan Pembagian Derajat PPOK
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan
faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi paru berulang

4.
5.
6.
7.
8.

Umur
Jenis kelamin
Ras
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Defisiensi anti oksidan

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi


(pembagian derajat) PPOK (GOLD, 2009), yaitu:
KLASIFIKASI
PENYAKIT
PPOK Ringan

GEJALA KLINIS

SPIROMETRI

Dengan atau tanpa batuk


Dengan atau tanpa produksi

VEP1 80% prediksi

sputum
Sesak napas derajat 1 sampai

spirometri)
VEP1/KVP < 70 %

(nilai normal

derajat sesak 2

PPOK Sedang

PPOK Berat

Dengan atau tanpa batuk


Dengan atau tanpa produksi

VEP1/KVP < 70 %
50 % VEP1 < 80 %

sputum
prediksi
Sesak napas derajat 3
Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 VEP1/KVP < 70 %
Eksaserbasi lebih sering terjadi
30 % VEP1 < 50 %
prediksi

PPOK Sangat Berat

Sesak napas derajat sesak 4 dan 5

dengan gagal napas kronik


Eksaserbaasi lebih sering terjadi
Disertai komplikasi kor

pulmonale atau gagal jantung

VEP1/KVP < 70 %
VEP1 < 30 % prediksi,
atau
VEP1 < 50 % dengan
gagal napas kronik

kanan
3. Epidemiologi PPOK
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi

PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur
18-64 tahun dengan nilai VEP berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,
dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun
2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab
kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12
negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada
usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan
Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar
6,7%.
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini
sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan
bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6
dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia. PPOK adalah masalah kesehatan
utama yang menjadi penyebab kematian no. 4 di Indonesia pada tahun 2010
menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya
pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak
adalah penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita
(84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29 penderita dengan proporsi
63,0%. Menurut hasil penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika (2009) di RS.
Haji Medan pada tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang
paling banyak adalah proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun
sebanyak 121 penderita (91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD
Aceh Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK
tertinggi pada kelompok usia 60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2%
dan perempuan 14,4%. Proporsi gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan
sesak napas (100%), disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%),
dan terendah mual sebanyak 11 pasien (8%).
4. Faktor Resiko PPOK

Faktor resiko yang menyebabkan terjadinya PPOK:


1. Kebiasaan merokok.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:

Riwayat rokok
o Perokok aktif
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami
gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas
yang lebih tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Usia
mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok
akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga
dengan faktor genetik.
o Perokok Pasif
Perokok pasif atau Enviromental Tobacco Smoke (ETS) juga
dapat mengalami gejala-gejala respiratori dan PPOK disebabkan
oleh partikel-partikel iritatif terinhalasi sehingga mengakibatkan
paru-paru terbakar.
o Bekas perokok

Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian


jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja (bahan


kimia, zat iritan, gas beracun).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu
jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia,
debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus
oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK.

3. Hiperaktivitas bronkus
4. Riwayat infeksi saluran nafas yang berulang.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri
berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan
juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi.
Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK,
dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan
dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya
eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan
dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat
umur diatas 40 tahun.
5. Jenis kelamin
Pria dan wanita memiliki resiko yang sama untuk terkena PPOK. Namun,
kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih
banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita.
6. Genetik
Defisiensi 1 anti tripsin, Dalam kondisi ini, tubuh tidak membuat cukup
protein yang disebut alpha 1- anti tripsin (protein yang diproduksi di hati
dan dilepaskan ke dalam darah). Alpha 1- anti tripsin melindungi paruparu dari kerusakan yang disebabkan oleh enzim protease seperti elastase
dan tripsin, yang bisa dilepas sebagai hasil dari suatu respon inflamasi
terhadap asap rokok.
7. Status sosioekonomi dan nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut
berhubungan erat dengan status sisioekonomi.
8. Genetik
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan
telah di teliti lama adalah defisiensi 1 antitripsin, yang merupakan protease serin

inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi 1 antitripsin


adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan
perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada
beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang
terdapat pada kromosom 2q.
9. Paparan Partikel Inhalasi
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama
hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat
berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan
terintegrasi secara langsung terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai
macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debudebu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab
PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan
perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental
smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada
perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada
orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh
rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya
menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi
anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi
meningkat. Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa ternyata
mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat didiagnosis,
memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat
spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang
mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak
mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status
merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan
derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada,
ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang
(7,1%, p<0,02).
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang
terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun

bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya


insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik
berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang
dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American
Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan
memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran
hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan
peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara
diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi
seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida
(SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada
saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada
fungsi paru.
10. Stres Oksidatif
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus
dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi
yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan
keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres
oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paruparu. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang
penting terhadap patogenesis PPOK.
5. Patofisiologi PPOK

PATOFISIOLOGI PENYAKIT PARU OSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


Bronkitis Kronis

Emfisema

Asma Bronkhia

Oastruksi
pada
pertukaran
Jalan
napas
O2
bronchial
dan CO2 menyempit
terjadi
akibat
dan
kerusakan
mebatasidinding
jumlaha
Penumpukan lendir dan sekresi
yang
sangat
banyak
menyumbat
jalan napas

Gangguan pergerakan udara dari dan keluar paru

Peningkatan
usaha dan frekuensi pernapasan, penggunaan
Penurunan kemampuan
batuk efektif

Ketidakefektifan bersihan jalan napas, Resiko tinggi infeksi pernapasan


Respon sistemis dan psikolog

Keluhan sistemis, mual intake nutris tidak


Keluhan
sadekuat,
psikososial,
malaise,kecemasan,
kelemahan,ketida
dan k

Peningkatan kerja pernapasan, hipoksemia secara reversibel

Ketidakseimbangan nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh,


Kecemasan,
Gangguanan
Defisiensi
pemenu
pen
Gangguan pertukaran gas

Resiko tinggi gagal napas

Kematian

6. Manifestasi Klinis PPOK


Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
1. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue
bloater).
2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:


1. Kelemahan badan
2. Batuk
3. Sesak napas
4. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
5. Mengi atau wheeze
6. Ekspirasi yang memanjang
7. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
8. Penggunaan otot bantu pernapasan
9. Suara napas melemah
10. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
11. Edema kaki, asites dan jari tabuh
7. Komplikasi PPOK
Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
Infeksi Respiratory

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,


peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.
Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.
8. Pemeriksaan Diagnostik PPOK

Faal paru
Dilakukan untukmenentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik

Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau
APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml.
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut
adalah bayangan bronkus yang menebal.
2. Corak paru yang bertambah
Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1. Gambaran

defisiensi

arteri,

terjadi

overinflasi,

pulmonary

oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada


emfisema panlobular dan pink puffer.
2. Corakan paru yang bertambah.
3. Pemeriksaan faal paru

Uji latih kardiopulmoner


Terdiri dari sepeda statis (ergocycle), jentera (treadmill), dan jalan
6 menit lebih rendah dari normal

Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

Uji coba kortikosteroid


Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20
% dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid

Analisis gas darah


Untuk menilai gagl napas kronik stabil, dan gagal napas akut pada
gagal napas kronik. Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi
hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi
vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia.

Pada

kondisi

umur

55-60

tahun

polisitemia

menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan


merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.

Radiologi
Menggunakan CT - Scan resolusi tinggi untuk mendeteksi
emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos, dan mengetahui fungsi
respirasi paru

Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan seperti ekokardiografi dan menilai
fungsi jantung kanan

Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK
di Indonesia.

Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema


pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.

ABGs
Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun
dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan
emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau
asidosis,

alkalosis

respiratori

ringan

sekunder

terhadap

hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).

ECG
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial
disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi
(bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)

Exercise ECG, Stress test


Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi
keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
9. Penatalaksanaan PPOK
1. Edukasi
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
2. Obat obatan
a. Bronkodilator
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah


penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti
uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati hati
3. Terapi oksigen
Manfaat oksigen:
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi:
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain.
Macam terapi oksigen :
- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi
dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu
nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa
nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat.

Kebutuhan

protein

seperti

pada

umumnya,

protein

dapat

meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi


terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
6. Rehabilitasi

Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,


psikososial dan latihan pernapasan.
1. Latihan fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
a. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
b. Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan. Latihan ini
diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup
untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan
otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut
bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk
latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan
pada otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya
apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan
maka latihan endurance yang diutamakan.
Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita
PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak
sebesar pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat
meningkatnya

toleransi

latihan

karena

meningkatnya

toleransi

karena

meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen.


Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian
oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat.
Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita
PPOMJ menghenikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan
otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor
yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan
fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan
penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti
enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
Di rumah
- Latihan dinamik
- Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, joging, sepeda
Rumah sakit
- Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan
subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting
daripada hasil pemeriksaan subyektif atau obyektif. Pemeriksaan ulang setelah 6-8
minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang obyektif tentang beban
latihan yang sudah dilaksanakan.
- Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah
adalah

ergometri

dan

walking-jogging.

Ergometri

lebih

baik

daripada

walkingjogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3
menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah
itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantung 60%-70% maksimal
selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa
minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminggu.
Denyut nadi maksimal adalah 220 - umur dalam tahun.

- Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk penderita dapat


diperkecil. Walaupun demikan latihan jasmani secara potensial akan dapat
berakibat kelainan fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan :
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi
atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan
2. Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila
diperlukan dapat diberikan obat.
3. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas. Teknik
latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki
ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga
untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn.K

Umur

: 65 tahun

Jenis Kelamin

: laki-laki

Agama

: Islam

Suku/Bangsa

: Indonesia

Diagnosa Medis

: PPOK

KELUHAN UTAMA
Tn.K merasakan sesak nafas sejak tadi malam jam 23.15
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
a. Provocative / Palliative
- Klien kehujanan setelah menengok cucunya yang ada di luar kota
b. Quality / Quantity

Bertambah sesak
Lebih parah berbunyi ngik ngik bertambah sesak bila digunakan untuk

berjalan dan mengangkat benda benda berat.


c. Regio / Radiasi
dada
d. Saveruty / Keparahan (scala)
Sulit untuk melakukan aktivitas karena bertambah sesak
e. Time / Waktu
Batuk sejak 3 bulan yang lalu dan mengeluarkan banyak dahak berwarna
putih kental.
RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Sejak 5 tahun mengalami batuk-batuk, sering merokok dengan rata2 1 pak
perhari selama 20 tahun.
RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
RIWAYAT PSIKOSOSIAL
PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum
- Compos mentis (kesadaran penuh)
- GCS 4 5 6
- Tampak gelisah
- Pada saat dilakukan pengkajian saat ini Tn. K duduk dengan kedua
tangan memegang tepi brankart
b. Tanda-tanda Vital
Tensi : 145/100 mmHg
RR : 29x/menit
Nadi : 115x/menit
Suhu : 37,50C
BB :
TB :
c. Pemeriksaan ABC
PEMERIKSAAN HEAD TO TOE
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Kepala dan Rambut


Mata
Hidung
Telinga
Mulut, Gigi, Lidah, Tonsil, dan Pharing: sianosis pada mukosa bibir
Leher dan tenggorokan
Dada atau Thorax

h.
i.
j.
k.

Paru-paru / Respirasi:
ronki dan wheezing terdengar di kedua lapang paru
bentuk dada barrel chest
Pernafasan cuping hidung
terdapat penggunaan otot bantu pernafasan retraksi otot area

supraklavikular dan sternocleidomastoideus


Jantung / kardiovaskuler dan Sirkulasi
sianosis pada mukosa bibir, CTR 3
Payudara dan Ketiak
Abdomen
Ekstremitas / Musculoskeletal (kaji tonus otot, pergerakan, proses inflamasi)
Genetalia dan Anus
Integument
akral dingin dan berkeringat
Neurology

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap :
Radiologi:
-

Rontgen toraks: terdapat pelebaran iga, diafragma letak rendah,


penumpukan udara daerah retrosternal, tampak penurunan vaskuler dan
peningkatan bronkovaskuler, jantung tampak membesar.

ECG: deviasi aksis kanan, gelombang P Pa O2: 70 mmHg, Sa O2: 79%, pH: 7,25,
H CO3-: 20 mEq/L
DATA SUBYEKTIF
Tuan K, 65 tahun

DATA OBYEKTIF
Duduk dengan kedua tangan memegang tepi

brankart
Satu hari yang lalu kehujanan setelah Kondisi sadar, GCS 456
menengok cucu yang ada diluar kota
Serangan sesak napas sejak jam 23.15 WIB
Bertambah sesak sampai pagi ini

Tampak gelisah
TTV : RR 29x/menit, Nadi 115x/menit, regular,

Napasnya terasa sesak sekali

TD 145/100 mmHg, Suhu 37,5C, CRT 3 detik


Ronkhi dan wheezing terdengar di kedua lapang

paru
Berbunyi ngik-ngik
Bentuk dada barrel chest
Bertambah sesak bila digunakan untuk Pernapasan cuping hidung
berjalan dan mengangkat benda-benda berat
Batuk sejak 3 bulan yang lalu dan Terdapat penggunaan otot bantu pernapasan
Mengeluarkan dahak berwarna putih kental

retraksi

otot

area

sternocleidomastoideus

supraklavikular

dan

Suka merokok dengan rata-rata 1 pak Akral dingin dan berkeringat, Sianosis pada kedua
perhari selama 20tahun

mukosa bibir

Serangan batuk sejak 5 bulan yang lalu

Rontgen Toraks : pelebaran antar iga, diafragma


letak rendah, penumpukan udara di retrosternal,
tampak penurunan vaskuler, dan peningkatan
bentuk

bronkovaskuler,

jantung

tampak

membesar.
ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P pada lead
II, III tinggi dan lebih panjang
Spirometri: FEV1/FVC 60 %, BGA : PaO2 : 52
mmHg, PaO2 : 70 mmHg, SaO2 : 79%, HCO3- : 20
mEq/L, pH: 7,25
ANALISA DATA
N
O
1.

DATA
Data Subyektif:

ETIOLOGI
Bronkitis

KEPERAWATAN
kronik, Ketidakefektifan

Serangan sesak napas sejak jam 23.15 asma bronchial


WIB

bersihan jalan napas

Gangguan

Bertambah sesak sampai pagi ini

pergerakan udara dari

Napasnya terasa sesak sekali

dan keluar paru

Berbunyi ngik-ngik

Penurunan

Bertambah sesak bila digunakan untuk


berjalan dan mengangkat benda-benda

kemampuan

batuk

efektif

berat
Batuk sejak 3 bulan yang lalu dan
Mengeluarkan dahak berwarna putih
kental
Suka merokok dengan rata-rata 1 pak
perhari selama 20tahun
Serangan batuk sejak 5 bulan yang lalu

MASALAH

Ketidakefektifan
bersihan jalan napas

Data Obyektif :
Duduk dengan kedua tangan memegang
tepi brankart
Tampak gelisah
TTV : RR 29x/menit, Nadi 115x/menit,
regular, TD

145/100 mmHg,

Suhu

37,5C, CRT 3 detik


Ronkhi dan wheezing terdengar di kedua
lapang paru
Bentuk dada barrel chest
Pernapasan cuping hidung
Terdapat

penggunaan

pernapasan

retraksi

otot

bantu

otot

area

supraklavikular

dan

sternocleidomastoideus
Sianosis pada kedua mukosa bibir
Rontgen Toraks : pelebaran antar iga,
diafragma letak rendah, penumpukan
udara di retrosternal, tampak penurunan
vaskuler,

dan

bronkovaskuler,

peningkatan

bentuk

jantung

tampak

membesar.
ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P
pada lead II, III tinggi dan lebih panjang
Spirometri: FEV1/FVC 60 %, BGA :
PaO2 : 52 mmHg, PaO2 : 70 mmHg,
SaO2 : 79%, HCO3- : 20 mEq/L, pH: 7,25
2.

Data Subyektif:

Bronkitis

kronik, Gangguan

asma bronchial
Serangan sesak napas sejak jam 23.15
WIB

Gangguan

pertukaran gas

Bertambah sesak sampai pagi ini

pergerakan udara dari


dan keluar paru

Napasnya terasa sesak sekali


Data Obyektif :
Peningkatan
Tampak gelisah

dan

penggunaan

pernapasan

retraksi

otot
otot

supraklavikular

frekuensi

pernapasan,

Sianosis pada kedua mukosa bibir


Terdapat

usaha

penggunaan
bantu

otot

bantu pernapasan

area Peningkatan
dan pernapasan,

sternocleidomastoideus
Akral dingin dan berkeringat
RR 29x/menit, TD 145/100 mmHg, Nadi
115x/menit

kerja

hipoksemia

secara

reversible
Gangguan pertukaran
gas

Pernapasan cuping hidung


Kondisi sadar, GCS 456
Spirometri: FEV1/FVC 60 %, BGA :
PaO2 : 52 mmHg, PaO2 : 70 mmHg,
SaO2 : 79%, HCO3- : 20 mEq/L, pH: 7,25
3.

Data Subyektif:

Bronkitis

kronik, Intoleran Aktivitas

asma bronchial
Serangan sesak napas sejak jam 23.15
WIB

Gangguan
pergerakan udara dari

Bertambah sesak bila digunakan untuk dan keluar paru


berjalan dan mengangkat benda-benda

berat

Peningkatan
dan

Data Obyektif :
TD 145/100 mmHg

usaha
frekuensi

pernapasan,
penggunaan

otot

bantu pernapasan
ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P
pada lead II, III tinggi dan lebih panjang
Nadi 115x/menit, regular

Respon

sistemis,

kelemahan

fisik,

keletihan,
ketidakmampuan
beraktivitas

karena

sesak napas
Intoleran aktivitas

DIAGNOSA DAN INTERVENSI


1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penyakit paru
obstruksi kronis.
a. Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 4x2 jam, jalan napas mulai
kembali efektif dengan berkurangnya kuantitas dan viskositas sputum
untuk memperbaiki ventilasi paru dan pertukaran gas.
b. Kriteria hasil:
i. Klien mampu menyatakan dan mendemontrasikan batuk efektif
ii. Tidak ada suara napas tambahan
iii. Wheezing dan ronkhi berkurang

iv. RR klien mulai kembali norma (16-20x/menit) tanpa ada penggunaan


otot bantu pernapasan

c. Rencana intervensi:

RENCANA

INTERVENSI

RASIONAL

Mandiri
1.

Pantau warna, kekentalan, Karakteristik sputum dapat menunjukkan berat ringannya


dan jumlah sputum

obstruksi

2.

Atur posisi fowler

Meningkatkan ekspansi dada

3.

Ajarkan cara batuk efektif

Batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan


pengeluaran secret yang melekat di jalan napas

4.

Bantu klien latihan napas Ventilasi maksimal membuka lumen jalan napas dan
dalam

5.

meningkatkan gerakan secret ke dalam jalan napas

Pertahankan intake cairan Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan
sedikitnya

2500ml/hari mengefektifkan pembersihan jalan napas. Alasan lain untuk

kecuali tidak diindikasikan

memperbanyak intake cairan adalah kecenderungan klien


untuk bernapas melalui mulut yang meningkatkan kehilangan
air. Menghirup air yang diuapkan juga membantu, karena uap

ini dapat melembabkan percabangan bronchial.


Kolaborasi
6.

Lakukan fisioterapi dada Postural drainase dengan perkusi dan vibrasi membantu gaya
dengan

teknik

drainase,

postural gravitasi untuk membantu menaikkan sekresi sehingga dapat

perkusi,

dan dikeluarkan atau diisap dengan mudah. Terapi yang dapat

fibrasi dada

mendilatasi bronkhiolus seperti terapi aerosol, bronkodilator


aerosolisasi, atau tindakan pernapasan tekanan positif
intermiten (IPPB), harus diberikan sebelum postural drainase
karena

sekresi

akan

mengalir

lebih

mudah

setelah

percabangan trakeobronkial berdilatasi. Klien diinstruksikan


bernapas dan batuk efektif untuk membantu mengeluarkan
sekresi. Postural drainase biasanya dilakukan ketika klien
bangun, untuk membuang sekresi yang telah terkumpul
sepanjang malam dan sebelum istirahat, untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas tidur
7.

Kolaborasi pemberian obat: Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju
Bronkodilator.
(via

Nebulizer area bronkus yang mengalami spasme sehingga lebih cepat

inhalasi)

golongan
0,25mg,

dengan berdilatasi
terbutaline

fenoterol

0,1%

HBr

solution,

orciprenaline sulfur 0,75mg


Agen

mukolitik

ekspektoran

dan Agen mukolitik menurunkan kekentalandan perlengketan


secret paru untuk memudahkan pembersihan.
Agen ekspectoran akan memudahkan secret lepas dari
perlengketan jalan napas.

Kostikosteroid

Berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia dan


menurunkan reaksi inflamasi akibat edema mukosa dan
dinding bronkus.

2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi/perfusi


a. Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 4x24 jam, pertukaran gas
membaik.
b. Kriteria hasil:
i. RR normal (16-20x/menit)
ii. Nadi normal (70-90x/menit)
iii. Warna mukosa dan kulit normal
iv. Tidak ada dipsnea
c. Rencana intervensi:

N
O

RENCANA INTERVENSI

RASIONAL

Mandiri
1.

Pantau
napas

keefektifan

jalan Bronkospasme dideteksi ketika terdengar mengi


saat auskultasi dengan stetoskop. Peningkatan
pembuatan mucus sejalan dnegan penuruanan aksi
mukosiliaris menunjang penurunan lebih lanjut
diameter bronchi dan mengakibatkan penurunan
aliran udara serta penurunan pertukaran gas, yang
diperburuk kehilangan daya elastisitas paru.

Kolaborasi
2.

Kolaborasi pemberian obat Terapi


bronkodilator secara aerosol

aerosol

membantu

mengencerkan

sekresi

sehingga dapat dibuang. Bronkodilator yang dihirup


sering ditambahkan ke nebulizer untuk memberikan
efek bronkodilator langsung pada jalan napas, dengan
demikian

memperbaiki

pertukaran

gas.

Tindakan

inhalasi atau aerosol harus diberikan sebelum waktu


makan untuk memperbaiki ventilasi paru dan dengan
demikian

mengurangi

keletihan

yang

menyertai

aktivitas makan.
3.

Lakukan fisioterapi dada

Setelah

inhalasi

bronkodilator

nebulizer,

klien

disarankan untuk meminum air putih untuk lebih


mengencerkan secret. Kemudian membatukkan dengan
ekspulsif/postural drainase akan membantu pengeluaran
sekresi.
4.

Kolaborasi
pemantauan

untuk Sebagai bahan evaluasi setelah melakukan intervensi


analisis

gas

darah
5.

Kolaborasi
oksigen via nasal

pemberian Oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia. Perawat


harus

memantau

kemajuan

terapi

oksigen

dan

memastikan klien patuh dalam menggunakan alat


pemberi

oksigen.

Klien

diinstruksikan

tentang

penggunaan oksigen yang tepat dan bahaya peningkatan


laju aliran oksigen tanpa ada arahan yang eksplisit dari
perawat.

3) Intoleran Aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


dan kebutuhn oksigen
a. Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 4x24 jam, ketidakmampuan
beraktivitas yang dialami karena serangan sesak napas dapat berkurang
dan mampu menjalankan aktivitas seperti berjalan.
b. Kriteria hasil:
i. RR normal (16-20x/menit)
ii. Nadi normal (70-90x/menit)
iii. Mampu berjalan tanpa diiringi rasa sesak napas
c. Rencana intervensi:

N
O
1.

RENCANA INTERVENSI

Pantau

kemampuan

klien Menjadi

dalam melakukan aktivitas


2.

RASIONAL

data

dasar

dalam

melakukan

intervensi

selanjutnya

Atur cara beraktivitas klien Klien dengan PPOK mengalami penurunan toleransi
sesuai kemampuan

terhadap kegiatan berat. Aktivitas yang membutuhkan


mengangkat lengan atas setinggi thoraks menyebabkan
sesak napas atau distress pernapasan.

3.

Ajarkan cara latihan otot-otot program pelatihan otot-otot pernapasan dapat diberikan
pernapasan

untuk membantu menguatkan otot yang digunakan dalam

bernapas. Program ini mengharuskan klien bernapas


terhadap suatu tahanan selama 10-15 menit setiap hari.
Resisten secara bertahap ditingkatkan dan otor menjadi
terkondisi

denga

baik.

Mengondisikan

otot-otot

pernapasan membutuhkan waktu yang lama dan klien


diinstruksikan untuk melanjutkan latihan di rumah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Doengoes, Marilynn E. Mary Frances Moorhouse. Alice C. Geissler. 2000.
Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa: I Made Kariasa, Ni
Made Sumarwati. Editor: Monica Ester, Yasmin Asih. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
2. Muttaqin, Arif. 2008. Buku ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
3. Price, Sylvia. Lorraine Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Vol.2. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta : EGC.
4. Smetlzer, Suzanne C. Brenda G. Bare. 2002. Brunner & Suddart : Buku
ajar keperawatan Medikal Bedah Vol.1. Alih bahasa : Agung waluyo, dkk.
Editor : Monica Ester, Ellen Panggabean. Edisi 8. Jakarta : EGC.
5. Nanda International.2009-2011. Nursing Diagnosis Classification. USA
6. Wilkinson, Judith. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
NIC&Kriteria Hasil NOC. Edisi 7 Terjemahan. Jakarta: EGC.
7. Engram. Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal bedah
Volume 1. Jakarta : EGC.
8. Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai