Anda di halaman 1dari 7

:: QIYAS ::

DI SUSUN OLEH :
THAIRAN ABABIL
HARIS NAWAFI

QIYAS
A. Pengertian Qiyas
Sebenarnya qiyas merupakan bentuk utama yang di pakai oleh nujtahid dalam upaya mereka
berijtihad menemukan hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya tidak di sebutkan di nash
secara tegas
Kata qiyas menurut etimologi qadr (ukuran,bandingan).sedangkan menurut terminologi qiyas
yaitu menyusun peristiwa yang tidak ada nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash
bagi hukumnya.
Menurut beberapa ulama qiyas dapat di artikan sebagai berikut:
1.Ibnu as-subki
Qiyas ialah menyamakan hukum sesuatu dengan hukum sesuatu yang lain Karena ada kesamaan
illah hukum mujtahid yang menyamakan hukumnya.
2. Al-amidi
Qiyas adalah keserupaan antara cabang dan asal pada illah hukum asal menurut pandangan
mujtahiddari segi kemestianterdapatnya hukum (asal) tersebut pada cabang.
3. Wahbah az-zuhaili
Qiyas ialah menghubungkan suatu masalah yang tidak terdapat nash syara tentang hukumnya
dengan suatu masalah yang terdapat nash hukumnya, karena adanya persekutuan keduanya dari
segi illah hukum.
Meskipun defenisi qiyas dari beberaopa ulama berbeda beda, tetapi pada hakikatnya sama,
dimana dari beberapa definisi tersebut mengandung unsur unsur qiyas yaitu: al-ashl (dasar,
pokok), al-faru (cabang), hukum ashl, dan illah.
Al-ashl (dasar, pokok)
Yang di maksud dengan al-ashl ialah segala sesuatu yang telah di tetapkan ketentuan hukumnya
berdasarkan nash,baik nash tersebut berupa al quran maupun al hadits.
Dalam kata lain maqis alaih (yang diqiyaskan atasnya). Al-ashl juga memiliki beberapa
persyaratan yaitu:

1.

Al-ashl tidak mansukh, artinya hukum syara yang akan menjadi sumber pengqiyasan
masih berlaku pada masa hidup rosulullah.
2.
Hukum syara. Persyaratan ini sangat jelas dan mutlak, sebab yang hendak ditemukan
ketentuan hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara bukan ketentuan hukum yang lain.
3.
Bukan hukum yang di kecualikan. Jia al-ashl ini merupakan pengecualian, maka tidak
dapat menjadi wadah qiyas.

1
Al-faru (cabang)
Adapun yang di maksud dengan al-faru ialah masalah yang hendak di qiyaskan yang tida ada
ketentuan nash yang menetapkan hukumnya. Dalam kata lain maqis. Al-faru juga memiliki
beberapa persyaratan yaitu:
1.
2.

Sebelum di qiyaskan tidak ada nash lain yang menentukan hukumnya.


Adanya kesamaan antara illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam alfaru
3.
Tidak ada dalil qhati yang kandungannya berlawanan dengan al-faru.
4.
Hukum yang terdapat pada al-ashl bersifat sama dengan hukum ang terdapat dalam alfaru.

Hukum Ashl
yang dimaksud hukum ashl ialah hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya
ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari al-quran maupun al-hadits. Hukum ashl juga memiliki
beberapa persyaratan yaitu:
1.
2.

Hukum tersebut adalah hukum syara,


illah hukum tersebut dapat di temukan, bukan hukum yang tidak dapat dipahami illah
nya.

3.
4.

Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushusiyah rosulullah.
Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya rosulullah,bukan ketentuan hukum yang
sudah di batalkan.

illah
yang di maksud dengan illah ialah suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa
terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.

C. Macam-macan qiyas
a.

Qiyas aula

(qiyas ini dinamai juga awlawi, qiyas qhati) yaitu suatu qiyas yang ilatnya itulah yang
mewajibkan hukum.atau dengan kata lain sesuatu qiyas hukum yang diberikan kepada pokok
lebih patut diberikan kepada cabang. Contoh qiyas tidak boleh memukul orang tua, kepada tidak
bolenya kita mengucapkan perkataan yang menyakitkan hatinya, kepada orang tua. Hukum
tidak boleh ini lebih patut diberikan kepaada memukul.daripada dihukumkan kepada
mengucapkan perkataan yang menyakitkan hatinya.
b.

Qiyas musawi

yaitu suatu qiyas yang ilatnya mewajibkan hukum. Atau mengqiyaskan sesuatu keapada sesuatu
yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut. Umpamanya: menjual
harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.
2
c.

Qiyas adna atau qiyas adwan

yaitu mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada
sesuatuyang memang patut menerima hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada gandum
dalam hal berlakunya riba fadhal karena keduanya mengandung ilat yang sama yaitu sama-sama
jenis makanan
d.

Qiyas al-aksi,

tidak adanya hukum karena tidak adanya ilat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang
sepertinya karena keduanya itu berlawanan tentang hal ilat.
e.

Qiyas assabri wa taqsim,

qiyas yang ditetapka ilatnya sesudah dilakukan penelitian dan peninjauan yang lebih dalam.
f. Qiyas Dalalah,

yaitu qiyas yang ilatnya tidak disebut tetapi merupakan petunjuk yang menunjukan adanya ilat
untuk menetapkan sesuatu hukum dari sesuatu pristiwa.

g. Qiyas fi manal ashli,


yaitu qiyas yang tidak dijelaskan washaf (sebab ilat) yang mengumpulkan antara pokok dan
cabang didalam mengqiyaskan itu
h. Qiyas al-ikhalati wal munasabati,
yaitu qiyas yang jalan menetapkan ilat yang dipetik dari padanya (yang dikeluarkan dengan
jalan ijtihad), ialah munasabah, yakni kemaslahatan memelihara maksud (tujuan)
i. Qiyas ilat,
yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain karena kesamaan ilatantara keduanya
membandingkan hukum minuman yang memabukkan kepada
khamar.

D. Kedudukan Qiyas dalam islam


Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam yang
keempat setelah al-Quran, al-hadist, dan ijma. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas
merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafii mengatakan bahwa ijtihad itu
sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui
tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih
dekat dengan objek.
Firman Allah SWT:

hendaklah kamu mengambil Itibar, hai orang-orang yang berfikiran
Hadist Nabi SAW :

- -
.- - . .

.

-
. . - -


-

Sesungguhnya Rosulullah SAW ketika beliau hendak mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman
beliau bertanya :, Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu
diajukan sebuah perkara? Muadz menjawab : Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab
Allah. Rasul bertanya lagi : Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam Kitab Allah?
Jawab Muadz, Dengan Sunnah Rasul, Rasul bertanya lagi : Jika dalam Sunnah juga
engkau tidak menemukannya?, Muadz menjawab : Saya akan menggunakan ijtihad dengan
nalar (rayu) saya. Rasul bersabda, Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri
utusan dari Rasulullah dengan apa-apa yang diridhoi Rosul-Nya.

Selain kriteria dalam dali-dalill di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh mujtahid :
1.

Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta illatnya untuk dapat
menghubungkan dengan hukum furu(cabang).
2.
Mengetahui aturan-aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan
dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat illat sebagai dasar qiyas dan
faktor yang menghubungkan dengan furu.
3.
Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salafyang shaleh dalam mengetahui illatillat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum
fiqih.
Seorang mujtahid harus mengetahui syarat-syaratnya yang mutabar , karena hal ini menjadi
kaidah ijtihad dan sebagai alat yang dapat mengantarkannya sampai pada hukum-hukum yang
rinci.
Namun, jika kita tilik sumber lain maka akan terdapat sedikit perbedaan dalam kehujjahan qiyas
ini karena ternyata para ulama masih banyak yang berbeda pandangan mengenai kehujjahan ini,
berikut yang telah diringkas :
1.

Jumhur ulama Ushul, mereka tetap menganggap qiyas sebagai dalil hukum berlandaskan
surat Al-Hasyr : 2 diatas dan An-Nisa : 59 yang mana surat ini terdapat urutan pengambilan
hukum, yaity menaati Allah (hukum dan Al-Quran), Rasulnya (hukum dan sunnah), dan
mentaati pemimpin (hasil ijtihad para ulama), serta para jumhur ulama ini juga mengambil
rujukan sumber hukumnya berdasarkan peristiwa Muadz bin Jabal ketika akan diutus menjadi
qodhi di Yaman.
2.
Sebagian ulama Syiah dan segolongan dari ulama Mutazilah seperti An-Nazzamjuga
ulama Dzaririyah tidak mengakui qiyas sebagai hujjah. Alasannya karena semua peristiwa
sudah ada ketentuannya dalam Quran dan sunnah baik yang yang ditunjukkan nash dengan
kata-katanya atau pun tidak seperti syarat nash (hukum yang tersirat). Karena itu kita tidak
memerlukan qiyas sebagai hujjah.
3.
Al-Kuffalusysyasyi, dari Syafiiyah dan Abdul Hasan Al-Bishri dari mutazilah,
keduanya berpendapat bahwa hukum melalui qiyas wajib kita lakukan secara agama atau
syariat.

Alasan madzab ketiga iniseperti juga alas an pada madzhab pertama tadi, yakni berdasarkan
dalil-dalill dan dialog Muadz dengan Rasul sewaktu akan dikirim menjadi qodhi di Yaman.

Kesimpulan
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yangn
lain yang terdapat nash baginya.
Meskipun banyak yang berbeda pendapat, meyoritas jumhur ulama mengatakan bahwa
qiyas merupakan hujjah (sumber hukum islam) yang ke empat setelah al-Quran, hadist, dan
ijma. Bahkan Imam SyafiI telah menhatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah
mengetahui jalan-jalan qiyas.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Suma, Muhammad. 2002. Ijtihad Ibnu Taimiyah. Jakarta : Pustaka Firdaus

Umam, Chaerul. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia

Baltaji, Muhamma. 2005. Metodologi ijtihad Umar Bin Khatab. Jakarta : Khalifa

Abdullah, Sulaiman Haji. 1996. Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam.
Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya

Anda mungkin juga menyukai