Anda di halaman 1dari 73
PPS/3w/21/80 Serat SASTRAMIRUDA Alih Bahasa KAMAJAYA Alih Aksara SUDIBJO Z. HADISUTJIPTO Departemen Pendidikan dan Kebudayaan PROYEK PENERBITAN BUKU SASTRA INDONESIA DAN DAERAH Jakarta 1981 Sang Prabu bersabda : . Baik Pralemba, engkau mengharap-harap tugas yang berat, agaknya ini sudah dekat. Pergilah engkau masuk ke daerah negeri Wiratha. Puteri Wiratha musna dari keraton, aku diserahi untuk mencarinya. Bilamana engkau dapat menemukannya, besar ganjar- anku padamu. Berangkatlah engkau hari ini juga dan waspadalah bilamana kata Sinuhun Wiratha itu ternyata bohong.” Hatur Pralemba : “Hamba siap melaksanakan tugas, namun di manakah arah dan letak negeri Wiratha itu?” Sabda Prabu : “Tika engkau belum tahu letak negeri Jawa, aku beri ijin untuk membawa si Tejamantri dan si Saraita.” Hatur yaksa Pralemba : ”Hamba siap melaksanakan kewajiban. Setelah selesai perin- tah Sri Paduka, hamba, Pralemba, mohon diri keluar dari peng- hadapan, semoga seberangkat hamba Sang Prabu mendapat kese- nangan dan kesejahteraan, hamba pamit mati.” Sabda Sang Prabu : ”Engkau tidak kusuruh mati, aku suruh engkau menyelesai- kan tugas. Aku telah membuka jalannya. Tidak lain aku mengura- ngi makan dan tidur, semoga pahalanya menjadi sumbangan akan keselamatan perjalananmu”. Pralemba hatur jawaban : ”Bagaikan mendapat hadiah ajimat yang keramat!” Kotak dipukul, gamelan memperdengarkan gending Ayak- ayakan nem Pinjalan. Raksasa menyembah, lalu mundur. Sang Prabu masuk ke keraton. Wayang di pentas dicabut semua, gamel- an dipercepat iramanya menjadi Playon. Menyusul adegan Pralemba dengan raksasa penggoda, begal, (banyareng), ketiga raksasa Gombak. Gamelan berhenti, lalu Suluk greget-saut nem hingga selesai. Raksasa penggoda bertanya : *Kiraka, seperti *her mina kata’, (her: air, mina: ikan, kata: ucapan); seperti ikan diterjang air besar, adindamu Demang 82 Sangkirnajanggi minta kabar berita, apakah Sinuhun hendak menari bersenang-senang?” Pralemba berkata : ”Engkay minta kabar berita, adikku. Ya, atas kehendak Gustimu, kakandamu ini diutus mencari puteri Wiratha yang telah hilang, bernama Dewi Durgandini. Kalau berhasil dapat diketemu- kan, besar ganjarannya, sebab putri Wiratha akan diperistri Ingkang Sinuhun!” Ucapan Sangkirnajanggi dan Bandungbrenggala : ”Ooya.ha ha, jika demikian, ijinkanlah kami ikut kakak, heh heh heh.” Kata Pralemba : ”Ya adik, tak lain hanya kawan segolongan saja yang diper- kenankan ikut, tetapi apakah adik sudah tahu di mana letak negeri Wiratha?” ° Dijawab : *Belum, belum.” Pralemba berkata : ”Adik, perintah Sinuhun, .aku diijinkan membawa Lurah:Te- jamantri yang telah mengetahui pulau Jawa. Panggillah dia meng- hadap!” Sangkirnajanggi memanggil : ”He he, apakah di luar ada Togog dan Saraita, majulah kemari. Ada pekerjaan, Togog!”” Togog menjawab : ”O saya, mari Saraita bersama-sama maju ke sana”. Saraita menjawab : Ayo, Thuk-un.” (sebutan Togog oleh Saraita) Dalam Suluk greget-saut nem, Saraita dan Togog maju, sehabis Greget-saut, Sangkirnajanggi mengucap : ”Togog, sebabnya kamu saya panggil karena atas perintah Ingkang Sinuhun, kawan bupati raksasa ditugaskan pergi ke negeri Wiratha untuk mencari warta tentang hilangnya putri di Wiratha. Jika kabar itu benar, kita ditugaskan untuk mencarinya. Apabila 83 dapat diketemukan, akan menerima ganjaran dari Gustimu, namiun kawan bupati raksasa belum tahu di mana letak negeri Wiratha itu, apakah engkau mengetahuinya, Gog?” Togog menjawab : ”O ya sudah tahu hamba. Negeri mana pun di Jawa hamba sudah mengetahui dan hamba sudah pernah mengabdi di Wiratha, Mandraka, Cempala, Madura. Itu semuanya adalah kerajaan besar, tetapi yang dianggap sebagai junjungan hanyalah negeri Wiratha”. Kala Pralemba mengucap : “Jika demikian, Lurah, karena perintah Kanjeng Sinuhun, engkaulah yang ditunjuk menyertai aku, engkau menjadi "Karta- wadana” (= srati Jw. = penggembala), sebagai penunjuk jalan”. Togog menyatakan sanggup. Sangkirnajanggi menyambung : ”Sudah Gog, keluarlah dan umumkanlah para prajurit raksa- sa, semuanya yang di gua-gua, di tanah miring, di sarang badak, di tempat merak bermandi debu, perintahkanlah berangkat ke tanah Jawa, hari ini juga!” Togog berkata : ”O ya ki Lurah, karena baru sekali ini hamba akan memberi- kan perintah kepada para raksasa, barangkali mereka kurang per- caya kepada hamba, bagaimanakah?” Kala Sangkirnajanggi menjawab : ”E janganlah khawatir dalam hatimu Gog. Seandainya ada yang berani menentang perintahmu, engkau diberi wewenang menghukum denda sakit sampai matinya. Kau tak terbawa- ‘bawa bila dihaturkan Kangjeng Sinuhun; aku sendiri yang bertanggung jawab. Sudahlah, perintahkanlah Gog.” Togog menyatakan sanggup : "Ee ya, sanggup kalau begitu. Marilah Saraita, umumkanlah kepada para raksasa.” Saraita berkata : ”Ayo kang Thok-un.” Disusul Suluk greget-saut nem. Togog dan Saraita mundur, setelah selesai diceritakan : Di sanalah Wijamantri dan Saraita sudah mengumumkan ke- 84 pada para prajurit raksasa. Mereka tidak lekas berkumpul, maka Lurah Wijamantri segera naik ke panggung untuk membunyi kan tanda isyaratnya raksasa. Genta berbentuk jam sebesar lum- bung yang kalau dipukul berbunyi keras, suara terdengar sejauh enampuluh pal. Para raksasa yang mendengar suara genta gugup dan segera datang; yang sedang dalam perjalanan mendengar tanda itu, segera kembali dan datang dengan senjatanya. Apakah senjata para raksasa itu? Denda (gada), gandi (palu besa), lori (gada ke- cil), palu yaitu alat pemukul, lumpung (tombak pendek), piling (tongkat pemukul) dan muksala (jenis tongkat pemukul), di antaranya ada yang membawa kendaraan. Apakah. berkendaraan raksasa? Ialah senuk (tapir), adal-adal (jenis. gajah), banteng, badak, singa. Kendaraan singa meraung, yang mengendarai me- ngerang (gereng-gereng), kedua-duanya makan orang. Menakutkan mengerikan bagi yang melihatnya. Setelah siap, berbarislah me- Teka, Dalang Suluk greget-saut nem cilik, Togog Saraita. kembali menghadap Bupati. Selesai suluk, Togog lalu berkata : ”O mohon diketahui kyai Lurah, semua prajurit raksasa telah berkumpul, sewaktu-waktu’ diperintahkan berangkat, telah siap.” Sangkirnajanggi berkata kepada Pralemba : *"Kiraka, semua prajurit yaksa sudah siap,” Jawab Pralemba : Ya adik, perintahkanlah segera berangkat.” Sangkirnajanggi mengucap : ”Gog, pukullah canang, berangkatkanlah para prajurit. Kau jadilah perintis.” Jawab Togog menyanggupi : *’Marilah Saraita memukul canang”. Saraita menjawab : "Ayo, Thok-un.” Dalang Suluk greget-saut’ nem, Togog dan Saraita mundur, kemudian Bupati yaksa mengucap : "Marilah adik, berangkat obor bersambung terus sampai pagi. Mari, mari!” 85 Kotak dipukul, gamelan berbunyi Playon nem, wayang Peram- pan raksasa dijalankan ke arah kiri, Sangkirnajanggi di depan memimpinnya. Prampogan-manusia bertemu dengan Prampogan raksasa, ganelan dihentikan, disusul Suluk greget-saut nem; setelah selesai kenudian lalu sanya-menanya. +: "Lo:.ini prajurit bersenjata dari mana, berbaris melintang di jaln?” « Dijawab: ”Aku ini prajurit dari Wiratha, kamu raksasa dari mana, junlahmu banyak lagi bersenjata?” _ Jawabnya: . "Aku raksasa dari Madenda, akan menuju ke Wiratha. Kamu prgurit Wiratha, mau ke mana?” Prajurit Wiratha menjawab : “Ketahuilah, aku. mengiringi Gustiku di Kadipaten berusaha mencari raja putri yang hilang.” Prajurit raksasa menjawab : “Baik bubarkanlah prajurit Wiratha, Gusti saya di Madenda yang akan mencari hilangnya putri di Wiratha.” Prajurit Wiratha bersama-sama mengucap : *Bagaimanakah ini kawan-kawan, sebaiknya kita memberi- tahu Gusti.” Jawab ramai : Ah, seperti anak saja, barisan sudah siaga disuuh membubar- kan, itu peraturan siapa? Mari lepaskanlah selubung tombakmu, siapkanlah krabin!” Dalang Suluk, kemudian prajurit manusia bersama-sama meng- ucap : Hai raksasa Madenda, kembalilah, jangan masuk ke daerah Wiratha.” Yaksa menjawab : ”Apakah dayamu? Boleh terus, tidak boleh aku pun terus. Janganlah menghalang-halangi, aku akan lewat.” Kotak dipukul, berbunyi Playon, Prampogan berperang, 86 Prampogan. raksasa kalah, lalu mundur. Sangkirnajanggi terkejut melihat kerusakan yang menimpa pasukannya, lalu. berhadapan sendiri melawan Prampogan manusia. Raksasa menghunus keris, dikeroyok ia bertahan hingga prajurit Wiratha menderita kerusak- an. Banyak yang menderita lukeluka, dan mundur mengerang kesakitan. Dalang Suluk greget-saut nem. Sesudah selesai, Patih Nirbita berkata : "Hai hai, prajurit Wiratha, apakah sebabnya barisanmu men- jadi rusak dan banyak yang menderita luka?” Jawab wadya: ”Hendaklah menjadikan periksa kyai Patih, kerusakan para wadya karena diserang oleh yaksa dari Madenda yang sanggup akan mencari hilangnya Rajaputeri.”” Patih menjawab : ’Kalian kembalilah ke tempatmu, jangan merubah barisanmu, nantilah akan kutanya pada mereka.” Prajurit bersembah : ”Hendaknya berhati-hati.” Dalang Suluk greget-saut, Prampogan diundurkan, setelah se- lesai Patih berkata : ”Hai hai raksasa, siapakah namamu dari manakah asalmu.” Sangkirnajanggi menjawab : ”Engkau bertanya? Saya datang dari negara Madenda, nama saya tidak ada empat ialah Ditya Sangkirnajanggi. Engkau siapa- kah namamu? Kiranya termasuk golongan priyayi, apakah ke- dudukanmu?” Patih menjawab : ”Engkau bertanya? Aku bernama Nirbita. Aku ini adalah Man- tri wisesa (berkuasa) di Wiratha.” Yaksa berkata : . ”E la jelasnya engkau Patih?! Mundurlah Nirbita. Tentang hilangnya Gustimu, engkau jangan turut campur, Sinuhun di Madenda yang mencarinya.” 87 Patih menjawab.: e'Htulah’ aturanmu-séndiri. Saya’tidak di bawah perintahnya Raja Madenda: Apabila Gustimu bermaksud hendak mencari yang hiling akan diterima baik. Memang ‘kalau dapat menemukannya, Sinuhun: di Wiratha merelakan puterinya untuk diambil sebagai Pemaisuri Rajamu, tetapi engkau melarang usahaku, lebih baik: Nirbita pulang namanya saja.” Ss irmajanggi menjawab : im ie FL babo, tidak mau ‘diajak baik- , Nirbita. Apakah engkau hendak' menandingi Ngabei Sangkirna janggi. Jika dapat kusayangi, miundutlah: ‘Engkau tentu tidak akan mampu melawan aku.” lane? Suiluk. ‘greget-saut nem'Patil bersiap-siap, miengeraskan ydy'setéluh' selesai; Talu-iniengu Ya Dewa Bathara, raksasa.térkituk, kai! Biarpun ads ‘empat orang. “seperti engkau, patih Nirbita tidak takut’.Masi, majulah!” i smengisyaratkan gamelan, Playon nem, lalu.perang gagal, salin; mang dan kalah. Akhimnya raksasa kalah, dan Jari, ber- teriak-tériak' minta bantuan kawannya. ® ‘Dity’ Bandungbrenggala maju perang,” bertemu dedean S: imnajanggi. Gamelan’ berhenti, lalu’ Suluk greget-saut nem, sételah sélesif Nirbita menantang : ¥ mai, tandingilah perangku! Inilah patih Nirbita. Jangan lari, hai taksasa.” : ae ‘Sangkirnajanggi berucap : > "Kiraka, minta bantuan.” A Banduingbrenggala menjawab : (ah, apakah: perlunya peringisan, nyatanya tak mampu. De- igarlali kau ditantang, kenapa tidak menjawab?” » « . ‘Satigkirnajangei menjawab : ”O kiraka, bagaimanakah mesti eee a Adikmu ini sudah kalah.” ° Bandungbrenggala berkata : *Lah mulutmu itu apa gunanya, jika tidak untuk menjawab.” Sangkirnajanggi berucap : ”O, kiraka, mulut kan dipakai untuk makan, tidak perlu di- 88 perselisihkan. Kiraka, masabodo!” Bandungbrenggala berucap keras : ”O, kiranya hanya sampai di situ. Ya, tandingilah aku. Jangan menantang orang yang sudah lari. Lawanlan Tumenggung Ban- dungbrenggala.”” Patih Nirbita menyahut : ”Lah, mari mendekat kemari, raksasa Tupamu seperti klemuk (wadah minyak besar). Tidak usah aku pakai senjata, kuhempas- kan ke tanah, rontog tulang rusukmu.” Yaksa menjawab sambil tertawa : ”Eng hah hah hah, enak benar suaramu! Marilah, kuraih dan kugigit lehermu, tentu putus.” Kotak dipukul dan gamelan Playon nem, lalu perang ramai. Patih bertahan, diterkam tidak luka, dapat dipegang musuh dan dibuangnya, Patih jatuh pingsan. Raksasa menantang : "Hah rebutlah aku, apa dayamu, mana kau dapat melawan aku?! Itulah yang kau minta. Tak mau mundur, Nirbita, bisa kau mati berdiri. Jangan coba menandingi Bandungbrenggala, Ayo, majulah lagi.” Patih menjawab : “I i ya Dewa Bathara, tak dapat diabaikan raksasa terkutuk, kau! Janganlah enak-enak tertawa. Tantangan gertakmu sia-sia saja, Hanya itu kemampuanmu.” Raksasa menjawab : “Bobot keberanian . musuh.. Mau maju kembali, rajulah. Janganlah lari darimedan perang!”” Patih menjawab : ”Heh tidak jamak Nirbita meninggalkan lawan mentah-men- tah. Terhina di dunia, kalau sampai begitu!” Kemudian gamelan membunyikan Playon nem, perang ramai dan raksasa lari terbirit-birit dan berjumpa dengan Sangkirnajanggi. Gamelan suwuk, lalu Suluk greget-saut. Setelah selesai, Sangkir- najanggi mengucap : *Bagaimanakah kiraka, menanglah peperanganmu?” 89 Jawabnya : "O cilaka sekali, dik. Tidak mengira gerak kridanya patih Wixtha. Tangannya berat seperti besi. Jadi, dua orang kalah se- mui” Sangkirnajanggi berkata : Lah, itulah! engkau suka sering menggampangkan sesuatu.” _. Patih: menantang + ‘Hai berhentilah raksasa yang wajahmu seperti klemuk.” Kedua orang raksasa lari terbirit-birit. Dalang Suluk greget-saut, raksasa Pragalpa maju perang, tetapi Tog menghalang-halanginya sambil bersembah. : * *B’ bagaimana “ki Lurah? Kiranya tidak ‘Keruan yang akan di- capi.” Jawab Pragalpa : Prajurit dari Wiratha berusaha mencari puteri! Jadi tidak berar kata Raja Wiratha, menyerahkan hilangnya puteri kepada Guttimu, tetapi ternyata masih juga mencarinya sendiri dengan meigutus Patihnya.” Bersembah. Togog : © Jah itu keliru ki Lurah. Bukankah baik ada kawan yang tumt mencarinya. Nanti jika sudah ketemu, gampanglah. Kalau meieka mempertahankannya, pantas direbut dengan perang. Maiilah kita cari di lain tempat saja.” Gamelan berbunyi Ayak-ayakan nem, disusul cerita : Maka, setelah prajurit raksasa mundur, sukarialah barisan Wi- ratha, Raden Durgandana memuji ketangkasan patih Nirbita, ternyata menang bertanding dengan raksasa. Para prajurit lalu ber- istirahat tidak diperkenankan menguber-uber .raksasa yang telah mundur, Gamelan berbunyi lagi, tak lama kemudian dihentikan, lalu disusul Suluk Pathet nem, setelah selesai Durgandana berkata : *Bapa, dari pertolongan Dewa, maka perangmu kita menang. Sekarang apakah barisan raksasa telah mundur?” Patih bersembah : "Dari doa restu Raden, sekarang raksasa telah bubar semua. Bagaimanakah kehendak Raden sekarang? Apakah kita menerus- kan perjalanan?” 90 R. Durgandana bersabda : "Bapa, prajurit supaya bersiaga di sini. J anganlah bubar se- belum ada perintahku. Anda ikutlah mencari ayunda Dewi. Mari- lah kita menyamar.” Patih bersembah : ”Hamba siap, Gusti.” Gamelan berbunyi Ayak-ayakan nem, wayang lalu diangkat, kayon. ditancapkan di tengah, gamelan -dihentikan, lalu dalang Suluk Lasem sampai selesai, kemudian diceritakan : Demikianlah Raden _Durgandana bersama patih Nirbita meninggalkan barisan untuk.menyamar mencari ayundanya yang hilang. © Bergantilah yang diceritakan, keadaan di Suralaya. Para Ja- wata membakar kemenyan (isyarat berbunyi gending ,,Menyan- seta”). Adegan Bathara Guru dihadap. oleh Naradha. Gamelan dihentikan, lalu dicéritakan : Inilah adegan yang disebut Kahyangan di Guruloka, ya’ di Suralaya. Siapakah Jawa di Kahyangan Suralaya, ialah Sang Hyang Pramesthi Guru, ya Sang Hyang Bathese Nilakantha, Sang Hyang Siwahboja, Sang Hyang Bathara Girinata, Maka bernama Sang Hyang Pramesthi Guru, karena Dewa berguru padanya. Bathara Nilakantha karena cacat toh (tahi lalat) putih di tenggorokannya, yaitu pada waktu para Dewa mencari tirta (air) Calukthana. Bathara Siwahboja; karena tangannya empat. buah: Sanghyang Girinata ‘karena: berkeraton di Sorga, di Kahyangan yang ter- letak di puncak gunung. Pada waktu itu Hyang Girinata sedang duduk di Balai Cemara- kata, dihadap oleh para Jawata Nayaka, di antaranya terdapat Sang Resi'Naradha yang ijuga disebut Sang Hyang Kanekaputra. Demikianlah Sri. Paduka Sang Hyang Girinata sedang dirundung kesedihan, karena sorga Kahyangan ditimpa bencana gara-gara”. Suralaya goncang, kawah seperti dikebur, mendidih air bercampur lumpur, bergeser jembatan ”ogal-agil”. Geger semua Jawata dan Bidadari. Segera mereka menghadap Sang Hyang Rudrapati. Cerita dihentikan, gamelan berirama naik, tak lama kemudian dihentikan dan disusul Suluk pathet nem, kemudian Bathara Guru bersabda : *Kakang: Resi Naradha, kami minta jawaban apakah yang 91 r®nyebabkan timbulnya gara-gara.” Sambil tertawa terbahak-bahak Resi Naradha memberikan ja- vexban : ”O heng heng heng, bregojeng bregojeng, hak hong kali go- wing, gerowong kali paraga, kali code sapa sing gawe! O 0, (Ucap- latah tak berarti) hi hi, hah hah hah, kutebak adhi Gum susah, tanpak tertegun-tegun. Adhi Guru, ini belum seberapa, sebentar lagi Jawata akan terbalik (sifatnya).” Sang Hyang Guru bersabda dengan cemberut : ; "Hai kakang. Resi Naradha, apakah sebabnya kakang senang, selang, hati kami susah? Ditanya tidak memberi penerangan, béhkan mengejek-ejek. Apakah kakang akan berjalan tanpa para J awata semuanya?” . Naradha menjawab dengan tenang : » ”Adi Guru, kakang ini telah terbiasa senang. tertawaan sejak maida sampai sekarang.” Sang Hyang Guru*bersabda : “Hendaklah dihentikan kebiasaan itu, di masa sekarang kita sudah sama-sama tua. Janganlah ‘suka sembrana. Marilah kakang jeliskan sebab dari gara-gara ini.” Jawab Resi Naradha; “Adi Guru menanyakan sebab dari -gara-gara, ialah umat Dewa si Palasara yang pada -waktu-ini melakukan bertapa wah- dad (menjauhi wanita) di Saptarengga. Ia amat memusatkan samadi; rupanya permohonannya telah. terkabul. Itulah sebabnya gate-gara. Dan juga ananda Durgandini, semula memohon kepada Dewa untuk dihilangkan penyakit tubuhnya berbau amis; ia men- dapat sasmita supaya melayani penyeberangan di bengawan Silugangga. Diramalkan-kemudian akan sirna penyakitnya. Ia benar-benar melayani penyeberangan. Itupun rupanya telah ter- kabul permohonannya. Oleh karenanya gara-gara menjadi makin besar.”” Dalang Suluk Kedu, setelah selesai Sang Hyang Guru bersabda kepada Resi Kaneka: ”Bagaimanakah kakang, yang’ demikian itu tak dapat diper- bolehkan. Palasara tak boleh wahdad, sebab telah ditentukan oleh 92 Hyang yang menguasai segala-galanya, bahwa keturunan -‘Wisnu ‘ Bramalah yang akan menurunkan raja di pulau Jawa dan. telah kami tetapkan jodohnya, yaitu si Durgandini.” Jawab Resi Naradha : “Adi Guru apakah kehendak adi Gun, kakang ini hanya me- nyerah. Kini Palasara dan Durgandini sama-sama ‘telah terkabul permohonannya.” 5 Sang Hyang Guru bersabda : : "Kakang, tak ada jalan lain dari pada kami sendiri turun ke dunia. Kakang supaya menyertai kami. ménggoda si Palasara.” Jawab Naradha : ; ”¥a, baiklah.” Kotak dipukul gamelan berbunyi Ayak-ayakan nem. Dewa Guru Narada diangkat dan berjalan diudara. Gamelan dihentikan, lalu diceritakan : ay Maka Sang Hyang Jagad Pratingkah dan Resi Naradha‘sudah meninggalkan Suralaya, terbang ‘di udara, bermaksud ke gunung Saptarengga, menggoda Bagawan Palasara yang sedang bertapa. Ayak-ayakan, -kemudian dijantur. Dewa turun dari udara, Kayon ditancapkan di tengah, gamelan dihentikan, lalu Suluk Kedu. Setelah selesai diceriterakan : Di sanalah, setelah Sang Hyang Girinata turun dari‘Suralaya, terbang di atas gunung Saptarengga, maka gara-gara makin besar karena perbawa Sang Tapa dan tambahan pula dengan turunnya Jawata dari Kahyangan. Suluk greget-saut dan sesudahnya di- ceritakan : . Seketika bumi bergoncang, ekor Hyang Nagaraja menggapai- gapai, suara gentar gemeletar bersahut-sahutan. Kotak dipukul, gamelan membunyikan Playon Kerepan. Petruk dan Gareng bergelut, sondol-menyondol. Waktu itu Semar berdiri, gamelan dihentikan disertai Suluk Lasem, lalu dicerita- kan: = Janganlah pura-pura tidak tahu, siapakah yang baru saja turun dari pertapaan. Ia bukan Wasi Jajanggan Puthut yang mencari Cantrik, Bambang kalau ia putera Pendeta, melainkan abdi pana- ‘kawan’ Saptarengga, abdi amat.setia sekali. Siapakah namanya? Talah . lurah Nayataka, Margapringga, Kukusnya jati ngareng, Kethekemeng ya Lurah Semar, sedang mencari dua orang putera- 93 ra, yang kedua-duanya laki-laki serta anak yang gagah-gagah se- Bua, Siapakah nama dua orang anaknya itu, putera yang tua berna- wa Lurah Nalagareng, Branjangkawat, Pegadwaja Pancalpamor, kebut menurut nama anaknya Pak Cemenong. Putera yang muda. bernama Lurah Petruk Kebobongoh Ketiodobleng, Bun- §4andriya, ya Lurah Kanthongbolong, Wadah kedudlong, di- sut menurut anaknya, Pak Keniyah. Mereka itu ayah dan anak ~ sna-samia Lurah, karena. tidak ada yang disebut jajar (pangkat @’ bawah lurah), maka mereka saling memerintah, menjadi -Iwah pribadinya sendiri-sendiri, Sudah lama ki Lurah Semar turun xi bukit, tidak tercela, bahwa bendaranya (majikannya) yang ‘businar cahyanya, cemerlang wajahhya, bagus warnanya, sedang aldi panakawannya mukanya seperti anak kerbau bertiduran, yg memancar -air kencingnya, yang mancur duburnya. Maka Bekatalah Semar : "E Biyung, o anu. Kenapa dipanggil tidak menjawab? Ee -exgkau anak ‘Mana, itu si penggembala, I kurangajar anak itu . . . 4 teng, heng; mel mel, mel saya masukkan makanan di mulutmu ngmel, kesenangan kau.” F Diberi jawaban : Ada apa kyai, siapakah yang dipanggil oleh kyai?” Semar berkata : ”E ya engkaulah, ha demikianlah mestinya kalau dipanggil, jadi memuaskan hatiku. Apakah engkau tadi melihat anakku satria di Kadipaten dan adiknya satria Kebutulan.” Jawabnya: _ *Siapakah kyai, tidak ada.” Kata Semar : ”E pergi ke manakah mereka? Anakku Nalagareng Petruk tidak ada, apakah pergi jagong? Kalau jagong, perlengkapannya tempat rokok, kalung rantai arloji, senjatanya pedang blong- seng, tombak ules masih ketinggalan..Apakah pergi mencari ikan? Jika mencari ikan, susuk pecak keruk kepit (perlengkapan mencari ikan) tidak dibawanya, Apakah menyabung ayam? Kalau menya- bung ayam, korok kepoh (alat membersihkan ayam jantan yang berdarah) yang sudah. disiapkan tidak dibawa. Apakah pergi ke 94 menggeledah ke pasar? Ini kompolnya (kantong goni) masih ketinggalan. Lha pergi-ke mana saja? Coba saya menyanyikan Jagu; biasanya jika mendengar nyanyianku, tembang Dandanggula dengan irama Kagok barang miring, lalu dengan segera mereka pulang, mari saya perdengarkan laguku yang sudah kuna kalau tidak lapuk.” ”Adhuh yana, adhuh yana, ingsun nembang bae mana, adhuh yana, put baligo kuning kembange, raden, Tuntuh‘luhe, karepe tan tinimbangan..Adhuh yana, adhuh yana, .ingsun nembang bae mana, adhuh yana, ingsun nembang bae mana, puter wisma: derigul kang tandhing yuda, raden, marenana emak- emak payudara.” Diucapkan, Nalagareng cepat berbalik dan jatuh karena me- langgar bambu melintang di jalan, lalu menggerutu: ~*~ "E e raja bambu dengan dinding-dindingnya! Apa perlunya babi hutan itu berteriak-teriak. K akek, kakeknya.” Semar tertawa terbahak-bahak sambil berkata : "He itulah anakku datang sungguh. Anakku Nalagareng datanglah kemari, lama engkau kucari. Datanglah, tak perlu me- manggil-manggil.” Nalagareng menjawab : "Eng tidak, kecuali rama menyanyi lagi.” Semar menjawab : Ya ya datanglah kemari, biarlah akan kunyayikan lagi.” Semar segera bemyanyi seperti di muka, setelah selesai Gareng datang memeluk Semar. Sambil tertawa ia berkata : ”O hok o hol o rama, rama suaminya ibu.” Kata Semar : ”E ini bagaimana? Sudah, duduklah. Kau pergi ke mana sam- pai berpisah dengan adikmu Petruk?” Nalagareng menambah sambil menyembah : ”O sembah hamba rama, jika ada kesalahan hamba, rama.” Jawaban Semar : ”Ya, ya, saya terima.” 95 Nalagareng berkata lagi : ”Ya seribu kulanuwun hingga tigaratus juta anggris emas. Semar manjawab : ”Ya sudah saya terima, jangan terlalu banyak yang kau bawa. Sudahlah, taruhlah di situ saja, besok diangkat dengan gerobag seyur.” Nalagareng berucap : 0. kyai, kalau dihormati hatimu: menjadi besar, matamu mnyala seperti api yang telah jadi di anglo.” “Gareng lalu duduk berjajar, Semur-bertanya : *Manakah adikmu? Di manakah dia? M3 Gareng thenjawab : "0. a, anakmu. itu, dulu-dulunya bagaimana? Orang yang seperti itu! Apakah tidak kau beri pendidikan. E kalau saya suiah. marah_sekali, tidak hitung-hitung lagi. Ini sudah dekat misim gelap. Berapalah harga obat sepatrum!” Seniar berkata : "E lo janganlah, jangan, berapakah saudaramu. Biarpun ada Salah kata-katanya, atau tingkah lakunya, lah engkaulah yang wejib. mengemong, sebab engkaulah pengganti rama. Dan soalnya apa?! Janganlah suka bertengkar dengan saudara; akan senang orang yang tak suka pada kalian.” Gareng menjawab : ”E maklum rama, anakmu itu tidak tahu kebenaran, menying- kitkan kebaikan. Sebabnya : semula kami berdua bersama-sama membeli kambing masing-masing limapuluh uang. Apakah yang terjadi?, Petruk minta‘bagian. Dia minta bagian belakang. Saya setuju, ya.karena mengemong dia. Selanjutnya dia kusuruh meng- gembala tidak mau, mencari rumput juga tak suka, Disuruh jawab- nya, sebab ia kebagian yang belakang. Bagian itu sehari-harinya tidak dimakan, tetapi membuang. Itu kan orang gila mabuk ke- cubung! Geger antara kami, lalu ia mengajak menjual kambing itu ke pasar. Si Petruk yang menuntun, sedangkan saya meng- gerakkannya dari belakang. Sudah saya beritahu caranya orang jual-beli hewan (blantikan)..Petruk sanggup menunggu dan saya yang menawar. Selanjutnya saya meninggalkan tempat sebentar 96 untuk berganti pakaian, berbaju dan berikat kepala, berikat pinggang sarung, berkalung saputangan membawa tongkat. Se- telah pasar ramai, ada seorang petani yang mencari kambing betina untuk dijadikan bibit. Orang itu menawar untuk pértama kali satu setengah reyal, lalu saya (pura-pura berdagang kambing) menawar tiga setengah. Apakah yang terjadi? Ia berkata : "Kang Gareng, apakah kau buta, menawar kambing sendiri?” Saya kejapi mata dengan mengangguk, justru ia teriak-teriak : "E Kang Gareng sudah menjadi berubah ingatan. Ini kambing kita sendiri.’ Maka rama, saya menjadi amat marah, lalu gelut dengan Petruk.” Kata Semar : Lah selanjutnya bagaimana dan kemanakah dia?” Jawab Nalagareng : ”O ya ramai sekali, pasar menjadi gempar dan saya dibanting ke tanah, jatuh pada orang menjual dawet. Maka sekarang saya sudah betubbetul ikhlas. Lihatlah rama, kalau ada cerek bukan cereknya serta ada lesung yang batuk, kalau tidak saya ya Petruk- lah yang remuk.” Semar berkata : "E janganlah, kalau terjadi, itu kan berarti malapetaka.” Saat itu, lalu terdengar Petruk batuk-batuk. Nalagareng ber- kata kepada Semar : ’Saya kira rama memang benar, apakah perlunya orang me- nuruti hawa nafsu.” Semar berkata : *Lanjutkanlah jika kau sampai_hati membunuh adikmu. Kalau kekurangan beaya, sayalah akan memberi urunan. Tukar- kanlah sarungku ini dengan obat.” Nalagareng : "Tidak rama, saya sudah sadar kembali, Truk, Kantong, awak- nya, awaknya!” (kata ejekan karena sebutan Petruk Kanthong bolong). Petruk menjawab : .-: .”"Manakah sikutnya?!” (kata ejekan karena sikut Gareng beng- kok). Nalagateng : “Itulah rama, apa ita pantas?!” Semar berkata : ”Sebetulnya engkaulah -yang mendahului, panggillah dia.” Nalagareng memanggil-manggil : »Truk, datanglah kemari, dipanggil rama.” _ Petruk datang sambil menyanyi, setelah sampai di muka Nala- greng ia berkata : ”Alim, hhamba adikmu si Sobrah yang berganti baru datang. ” Semar berkata : ”Ayo, kita: bersamasama menghadap kepada Panembahan, jaigan sering meninggalkan tempat semau-maunya saja.” Nalagareng. Petruk menyanggupi, lalu bersama-sama naik ke pertapaan. Dalang bercerita: Naiklah Lurah Semar seenaknya ke pertapaan bagaikan ?*Katon busanane Sang Yogi” (isyarat dalang menghendaki gending Srkaton). Bunyi gending Srikaton mengiringi adegan Bagawan Palasara, yang digunakan wayang Arjuna-tua, Semar bersama anak-anaknya datang, gamelan dipercepat iramanya, lalu dalang menceritakan : Itulah pertapaan Giri Saptarengga. Siapakah nama sang Bega- wan? Ia bernama Bagawan Palasara, nyatalah ia Pendeta keturun- an Jawata bertapa membanting raga di puncak bukit Saptarengga, di Padepokan Martawu. Sudah tampak pertanda tapanya diterima Dewa. Penglihatannya waspada, ucapannya tepat seperti Jawata yang sebenarnya. Bagawan Palasara baru lepas dari samadinya memusatkan jiwaraga. Gamelan ditanjakkan, tak lama kemudian dihentikan, disusul Suluk Jengking. Setelah selesai, Semar ber- sembah : *Bagaimanakah Panembahan, apakah sudah selesai bersamadi memuja?” Jawab Palasara : "Masih kurang sedikit, kakang, barangkali ada pertolongan dari Dewa.” Semar bersembah : ”Hai menurut perasaan saya sudah demikian lama, belum juga selesai?” 98° Petruk berkata : “Begini saja rama, jika kurang sedikit, supaya lekas masak, apinya dibesarkan, Kalau_ tidak, disimpan di genthong, supaya Jekas masak.” Nalagareng berkata : *Petruk kalau berkata seenaknya saja, orang samadi disama- kan memetik mangga.”” . Dalang lalu Suluk: Pathet sanga (sembilan), setelah selesai di- ceriterakan : 7 Di sanalah Bagawan Palasara yang, sedang berwawansabda de- ngan .tiga orang penakawannya tentang akan paripurna memuja samadi, tiba-tiba datanglah percobaan Dewa berupa burung pipit (emprtit) sejodoh yang bercinta-mesra di atas rambut Bagawan Palasara. - Gamelan Pathet sanga, burung akan ditangkap sang Pendeta, tetapi tak berhasil, berulang kali tak berhasil. Dalang Suluk, Bagawan Palasara bertanya kepada ki Lurah Semar: **Kakang burung apakah ini?” Semar menjawab : “Ttu agaknya burung pipit sudah lama berhinggap.” Petruk berkata : ”Tadi maiahan seperti bermain-main, burung gila, sebab di sana kan tidak ada sarang.” . Nalagareng menyambung : - "E apakah kepala Kangjeng Panembahan itu dianggap seperti dahan kayu untuk tempat berhinggap?” Dalang Suluk greget-saut sanga, setelah selesai diceritakan : Di sanalah, Bagawan Palasara marah sekali karena ketenang- annya terganggu. Burung tak berhasil ditangkap, maka Sang Baga- wan lalu membidikkan panahnya Aryasangkali. Suluk greget-saut, disusul kata Sang Pendeta : "Kakang, ke manakah burung tadi?” Semar menjawab : *Lah itulah beterbangan di muka pintu gerbang.” Bersumpahlah Palasara : Kakang jika sayd tidak dapat menghabiskan nyawa burung itu, saya malu bertegak sebagai pendita.” . Gamelan berbunyi Playon sembilan, Palasara dengan peng- ikutnya mengejar burung. Setiap kali panah hampir dilepaskan, birung terbang cepat ke. angkasa tinggi. Sebelum jauh, kembali biterbangan di muka Palasara. Maka Sang Bagawan mengikuti Mengejarnya hingga terlunta-lunta di hutan. Gamelan dihentikan, Kayon ditancapkan. di tengah, Sisusul pithet sembilan, setelah selesai diceritakan : Maka perjalanan Bagawan Palasara, masuk hutan lebat naik Sinung turun ke tepi pantai, diikuti oleh para panakawannya. Tentang perjalanan sang Pendeta dihentikan- ceritanya, ‘berganti dengan cerita tentang raksasa yang berbaris seperti ’Jang- Aoik kena kili” (isyarat dalang menghendaki gending *Jangkrik- genggong”). Gamelan membunyikan lagu ladrangan ,,Jangkrik-genggong.” ‘Adegan ‘Ditya Pralemba,. Ditya Sangkirnajanggi, Ditya Bandung- ~~ brenggala, Gamelan dijantur lalu diceritakan : Bergantilah yang diceritakan, di tengah hutan,.barisan raksasa utusan dari kerajaan Madenda, selesai perangnya dengan wadyaba- Ja Wiratha, mereka lalu mencari puteri Wiratha, tetapi tak berhasil menemukannya. Sekarang barisan raksasa itu beristirahat. Sesuai dengan watak raksasa murka, mereka mengganggu keamanan di ~sekitarnya, Boleh tidak boleh mereka meminta sesuatu dengan paksaan. Oleh karenanya banyak perdesaan menjadi sepi, karena ditinggalkan penduduknya yang dilanda ketakutan. Barangnya di- rayah. dan orang laki-laki yang diketemukan disiksa, sedang orang- orang perempuan diboyong. Desa-desa menjadi sepi karena pen- duduknya mengungsi ke jurang-jurang dan ke gunung-gunung. Di- tya Pralemba yang memimpin barisan raksasa itu _memberi ke- bebasan seluas-luasnya kepada: wadyabalanya. Gamelan ditanjakkan, kemudian dihentikan masih dalam irama cepat, lalu Suluk greget-saut sanga. Setelah selesai, diceritakan : Berkata Pralemba : Adi Sangkirnajanggi, engkau apakah melaksanakan tugas atasan ataukah untuk keperluanmu sendiri?” 100 Jawab Sangkirnajanggi : ™Bagaimanakah kiraka ini, sampai bertanya seperti itu?” Pralemba berkata :’ "Kalau sebagai utusan, tidaklah sepatutnya seperti tingkah lakumu itu, Di manamana membuat kerusuhan, menjarah ra- yah. Diutus mencari puteri yang hilang belum tentu dapat mene- mukannya, barisanmu ramai-ramai mengadakan joged, : berpesta dengan tayuban. Itu semua tidak pantas sebagai tingkah laku punggawa. Sebenarnya anda dengan aku ini berbeda dengan raksa- sa hutan, tetapi tingkahmu seperti orang yang tak tahu adat, tak tahu .aturan. Kalian menjarah rayah itu, kalau diketahui yang berkuasa di sini, tentu.akan diambil tindakan. Soal kecil. niscaya menjadi besar, Padahal kalau apa-apa kamu sendiri tidak akan mampu menyelesaikannya.” Sangkirnajanggi menjawab : ”O kiraka, begitu saja sudah khawatir..Andaikata yang mem- punyai daerah. marah, janganlah kakak turut campur tangan. Biarlah dia menemui adinda Sangkirnajanggi sendiri, anyah hah hah hah.” ‘ Lalu Suluk greget-saut sangat kecil, kemudian diceritakan : Di sana para raksasa dari Madenda yang sedang kerepotan, maka bergantilah yang diceritakan perjalanannya Bagawan Pala- sara. menerjang barisan raksasa, maka, seketika menyebabkan heboh di kalangan raksasa. Setelah lurah Wijamantri memeriksa- nya, segera ia melaporkan kepada raksasa petugas. Lalu Suluk greget-saut lagi, Togog Saraita setelah menghadap, Suluk greget-saut selesai, Sangkirnajanggi bertanya : ”Engkau. Gog, datang di tengah-tengah barisan tanpa dipanggil, mari katakan apa perlumu.” Togog menjawab : *Harap diketahui, yang menyebabkan hamba tergesa-gesa menghadap adalah karena barisan raksasa diterjang oleh orang berjalan. O, ia berwajah bagus seperti Dewa mendarat.” Sangkirnajanggi berkata : . ”Berapa kawannya Gog, sampai membuat heboh di barisan kita?” i 101 “ Togog menjawab : ”O kawannya hanya tiga orang, tetapi mereka kurangajar sekali, raksasa kecikkecil semuanya lari dan bubar kucar-kacir. Saraita hampir saja tertangkap oleh mereka.” Sangkirnajanggi berkata kepada Pralemba : ”Bagaimanakah kakak, ada orang yang menerjang barisan kita, membuat rusaknya wadya raksasa. Jika disetujui segera akan saya tangkap.”” Jawab Pralemba : i *Lidok ujaring daplok apa kataku?! Itulah percobaan dari Dewa, dik, Baik-baiklah kau tanya yang jelas dahulu, barangkali dia dapat memberitahukan tentang puteri Wiratha yang musna. Perhatikanlah, apabila ditanya dia gugup, lalu segera ambillah senjatanya.”” Sangkirnajanggi berkata : “Ya hamba sanggup. Baiklah kakak tinggal, saya berangkat. Mari Gog, tunjukkaniah. Betapa wajah orang yang amat pembera- ni itu.” Kotak dipukul, gamelan membunyikan lagu Playon sembilan. Adegan Bagawan Palasara, Semar, Gareng, Petruk. Raksasa datang - dengan suara yang menakut-nakuti, tangan meraih-raih seakan- akan hendak menerkam. Togog Saraita datang, gamelan dihenti- kan, lalu Greget-saut, selanjutnya raksasa berkata : ”He he catcandala (orang jahat), cucudik pencari drawa (yang suka merusak), ya anakku ya kenthol, ya bagus, siapakah namamu dan di manakah rumahmu? Di manakah rumah dan siapakah namamu? Ditanya tidak mau menjawab, apakah tuli apakah bisu, apakah khawatir hilang yang di dalam mulutnya, intan permata? Apakah melamun? Malah tersenyum seperti berjumpa kekasih- niya!” Togog menyambung : *Pelahan-pelahan saja, orangnya pendiam, tampaknya tenang.” Sangkirnajanggi berkata : "Ya Gog, benar katamu. Ditanya, enak-enak makan sirih. ° Pantas benar orang ini!” Semar menangis, membelakangi raksasa dan menelungkan 102 di pangkuan bendaranya, ”Lahe bapa bendaraku, marilah kembali. saja, atau lari, atau menyingkir, raksasanya besar sekali.” Sang Tapa bersabda : *Semar, janganlah menangis, jangan membesarkan hati raksa- sa.” Sangkirnajanggi berkata : ”Ya ya ya bohong, siapa namamu manakah rumahmu, siapa nama dan mana rumahmu?” Petruk menjawab : ”Ya kau tanyakan namaku, nama kecif atau nama tua?” Sangkirnajanggi berkata - ”Aku tidak bertanya padamu, rupamu seperti lecung bocalak, penyakit kau!” Petruk menjawab : ”E. susurmu! Rupa orang disamakari belo (kuda kecil) kun- cung. Kau seperti kerbau! Kalau rupamu itu seperti rik ra nget rep dar.” Sangkirnajanggi bertanya : ”Apa katamu itu, bangsat!’” Jawab Petruk : ”Rupamu seperti rik ra nget rep dar, artinya : Kirik (anak anjing) lara (sakit) banget (keras) arep (akan) modar (mati)! Maka tiap hari kau meringis!” Sangkirnajanggi berkata : ”I babo, barangkali orang itu mau gila, Gog.” Togog menjawab : ”O baik diamkan saja orang itu, kyai, supaya tidak menjadi- jadi. Orang itu memang selalu gila.” Sangkirnajanggi berkata : ”Heh orang bagus, dari manakah asalmu, siapakah namamu dan apakah maksudmu dengan keberanian yang. besar tanpa takut menerjang barisan kami?” 103 Bagawan Palasara menjawab : *Sebaliknya engkau raksasa, di manakah dangka-mu (kediam- arjraksasa), dan siapakah namamu?” Sangkirnajanggi menjawab : *T babo, hardawalepa (murka angkuh) orang ini.” Kata Palasara : ”Engkau yang lebih banyak salah!” Sangkirnajanggi menjawab : "Ditanya belum memberi jawaban sudah ganti bertanya men- juxjung dangka.” Palasara : ”Sudah biasa orang bertanya ganti ditanya.” Sangkirnajanggi berkata : ”Ya engkau betul dan saya yang salah, tapi saya bukan raksa- sa sembarangan. Aku raksasa priyayi, abdi raja, berhak duduk di Jantai, bersandar kendaga, berpayung perada.”” Palasara berucap : "Biarpun kau bupati, tetapi tetap bersifat raksasa, maka saya tetap menanyakan dangke-mu.” i Raksasa_menjawab : ”Ya jika kau tak mau kalah, janganlah kau pura-pura tak tahu. Aku dari negeri Madenda, abdi Prabu Narpaceda. Namaku tidak lain Ngabei Sangkirnajanggi. Sebaliknya siapakah nama- mu dan dari manakah kau datang dan ke mana tujuanmu.” Palasara menjawab : "Kau tanya dari mana aku datang? Aku dari Saptarengga, padepokan. Martawu. Namaku tak lain Bagawan Palasara. Aku datang di sini mencari buruanku ialah burung pipit.” Raksasa berkata : ”O lah kebetulan namanya, kalau kau Pendeta, sesungguhnya saya ini menjalankan tugas, diperintahkan mencari hilangnya puteri di Wiratha. Dialah calon Permaisuri Gustiku, tetapi aku tak dapat menemukan. Maka tunjukkanlah kepadaku. Engkau’" yang mengaku sebagai Pendeta, tentunya tidak khilaf. Tunjuk- 104 kanlah di mana sang puteri berada. Kalau ketemu, tentu kuberi upah”. Palasara menjawab : "Tidak akan aku mencari upah. Itu bukan pekerjaanku .di- perintah oleh raksasa,” Dalang Suluk greget-saut dan setelah selesai raksasa berkata: *I babo, gawat orang ini! Tak mau dibuat baik. Togog siap- kanlah tali pengikat, akan kuikat tangannya, biar ia berikat ping- gang mimang (akar bertuah) dan berkadang Dewa.” Kotak dipukul, gamelan membunyikan Playon, selanjutnya adegan Perang-kembang. Sangkirnajanggi lari minta ‘bantuan. Pralemba maju perang, gamelan dihentikan, lalu Greget-saut hing- gaselesai, Palasara menantang : Keroyoklah ini Resi Saptarengga, siapa, mau bertanding de- ngan aku, tentu kulawan.” Sangkirnajanggi berkata : "Kakang, hamba minta bantuan, musuh hamba bukan se- wajarnya.” Ucapan Pralemba : *Kau bisa mulai tak mampu mengakhiri. He he jangan cepat- cepat tertawa karena merasa menang, menantang orang yang sudah lari. Inilah Kala Pralemba, seranglah, sekecil kau sependek badanmu, kutelan, musnalah bangkaimu.” Palasara menjawab : ”*Majulah raksasa, tidak aku lari.” ‘ Gamelan berbunyi Playon sanga. Perang, raksasa kalah. Raksa- sa _beristirahat, ditancapkan, lalu Suluk greget-saut, Palasara me- nantang : *Seranglah, tak mungkin engkau menang, raksasa yang kejam! Baiklah engkau mundur saja.” Raksasa menjawab : "I bojleng, bojleng belis lanat ajejegong. Kelihatannya lemas lunglai, tetapi geraknya cepat cekatan seperti burung prenjak dalam pertarungan, seperti burung Jayang-layang menyambar air. Kuterkam ke kiri dia ke kanan, kuterkam ke kanan dia ke kiri, 105 serti menerkam bayangan. Terbentur di tengah, rambutku di- rggut seperti tercabut rasanya. Tangannya kecil, tetapi seperti tinba besi; ditepak batang hidungku sampai pusing kepalaku. emang perwira Pendeta ini. Siapakah namamu?” Sang Resi menjawab : ”Tak ada lain, aku Bagawan Palasara dan sebaliknya engkau, rzksasa, siapakah namamu.” Yaksa menjawab : ”Tidak ada empat seperti Tumenggung Kala Pralemba. Hai, Pdasara, mundurlah engkau sebelum aku marah sekali. Tidaklah kaw akan mampu menandingi; badanmu kecil, perawakanmu pen- d« hanya setinggi tongkat.” Ucapan Sang Resi : ’Tambahlah lagi-raksasa yang seperti engkau hingga empat, tilak aku akan bergeser.” Yaksa berucap dengan menggeram : "I bojleng kelubukan, belis lanat ajejecang! Segan untuk dibuat baik, ya hati-hatilah. Jauh engkau kubentur, dekat kusam- bar, tidak kau akan selamat!” Gamelan Playon sanga, yaksa maju perang. Palasara tertang- kap, lalu dibuang, jatuh berdiri. Gamelan dihentikan, Suluk gre- get-saut sampai selesainya, raksasa menantang : *Apakah dayamu? Mana kau mampu menandingi aku? Ku- kejapkan mataku kau tak hilang, mati berdiri kau, Palasara. Kau tak mau kusayang, suka sakit tak urung mati, kau!” Berkata Sang Resi : *Janganlah segera senang hatimu. Tertutuptempurung mata- mu, cucilah mukamu. Lihatlah, tak ada rusak sedikit pun pakai- anku. Katakanlah aku luka parah, kalau kau lihat lecet kulitku atau rontok buluku, kau katakan aku mati dalam peperangan ini.” Yaksa menjawab : ”Engkau memang kebal, artinya tidak jadi mati berdiri, masih selamat, kukira kau mati berdiri. Ayo, jangan seperti lelaki sendiri. Balaslah. ‘Apa pula senjatamu, tidaklah aku akan lari.” Dalang Suluk pathet sembilan, Semar dengan anak-anaknya i06 _ datang. ‘Setelah Pathetan selesai, Sernar menangis dengan menge- uh: *Lae bapa bendaraku, ya momonganku. Saya harap lari saja, Panembahan.” Resi berkata : *Kakang, jangan berkecil hati, tak ada yang kurasakan sakit. Hanya bau mulut raksasa yang aku tak tahan. Mari ambilkanlah si Haryasangkali, akan kupanah saja musuh itu.” Semar menantang, lalu. Nalagareng dan Petruk, kemudian Palasara menantang : ”Raksasa, apakah yang kupegang ini?” Jawabnya yaksa : ”Watga sopana antaka, yaitu telah déekat dengan ajal! Warga : dekat, sopana : jalan, antaka: pati. Dekat pada jalan ajal, bila tak benar menyambutnya. Ayo, lepaskanlah. Kubuka dadaku. Panahmu tak sebesar daun padi, ditimang-timang, tak akan mempan. Tidak!” Sang Resi bersabda : : ”Ya aku lepaskan. Kalau keliwat tinggi, lonjaklah; kalau rendah berjongkoklah; kalau tak sampai, sambarlah!” Suluk greget-saut Astakosala. Pendeta membentangkan busur- nya. Pada saat Suluk selesai, panah dilepaskan. Gamelan berbunyi Playon. sanga. Raksasa'‘maju menyerang, terkena tepat pada dada- nya. Mengerang-erang, gamelan dihentikan, lalu diceritakan : Di sanalah Ditya Kala Pralemba, setelah terkena panah pada hulu hatinya, tidak mendua kali, mati seketika, roboh di tempat. Disusul Suluk greget-saut, raksasa telah mati. 1 Palasara menantang : *Seranglah ini, orang ”kawasa anglanadikara” (kuat tangguh sakti). Kepunglah aku seperti orang menjala, rebutlah seperti rusa mati! Manakah yang menyamai aku, tak ada menandingi aku. Kukira mampu mengembalikan panahku, nyatanya lebih keras pohon pisang. Menantang seperti kuat mematahkan batang besi. Ayo, kalau masih ada sisa selain yang mati. Jangan berganti-ganti, majulah bersama-sama mengeroyok aku.’” Palasara pergi, kemudian diceritakan : 107 Demikianlah matinya Ditya Pralemba, Ngabehi Bandungbreng- aa. Suluk greget-saut. Suara yaksa : ”O kakang, tidak kau mati sendiri, aku bela kau, kakang. He, Yaehe janganlah. mati tanpa meninggalkan- nama, siapakah nama- mu” Palasara menjawab : Tak Jain aku Bagawan Palasara, engkau siapa namamu? ‘Yaksa menjawab : "Kau juga menanyakan namaku? Aku adalah Bandungbreng- gah. Hai, mari belakan aku dengan kematian saudaraku!” Sabda Palasara : Baik, majulah!” ‘Yaksa berucap : ”Kutangkap kau, kugigit-gigit tulangmu.” Gamelan. membunyikan playon sembilan; yaksa berperang deigan Palasara. Resi menarik keris, raksasa dibunuh seketika. Gamelan dihentikan disuluki greget-saut; setelah selesai sang Reii menantang : ”Seranglah aku, orang kuat tangguh sakti. Kepunglah aku se- peri orang menjala, rebutlah seperti rusa mati. Manakah yang menyamai aku, tak ada yang mampu menandingi aku, Kalau masih ada sisa selain yang mati, janganlah bergantian maju, ayo majulah besama-sama.” Ditya Sangkimajanggi berperang dengan kerisnya dan me- nantang : ”Heh Palasara, apakah yang kupegang ini?” Palasara menyahut : "Ee raksasa, majulah, kau akan menikamkan kerismu? Ti- kamlah aku, pilihlah mana yang hendak kau tikam, tidak aku akan lari!” Yaksa berkata : . "He. berhati-hatilah kutikam dengan senjataku, rongoklah jasadmu.” Gamelan membunyikan Playon sembilan, lalu berperang. Pala- io8 sara kebal, tak mempan ditikam. Keris direbut, raksasa ditikam, mati oleh kerisnya sendiri. Gamelan suwuk. Togog Saraita berdiri sambil mengucap : "He Palasara sampai membunuh Bupati yaksa. Tak urung, gagak kukatakan kuntul, kuntul kukatakan gagak (kuputar balik peristiwa ini!) aku laporkan bohong kepada Gustiku. Mari Sarai- ta, kita mundur.” Jawabannya : Mari Thok-un, baik kita laporkan Gusti.” Gamelan membunyikan Ayak-ayakan sembilan. Setelah Togog dan Saraita mundur, disusul dengan adegan Bagawan Palasara dan para penakawannya. Gamelan disuwuk, lalu Suluk pathet sembi- Jan, kemudian Palasara berkata : "Kakang, apakah sudah tidak ada yang ketinggalan rak- sasa yang jahat itu?” Semar menjawab : ”Sudah tidak ada lagi yang ketinggalan. Setelah Bupatinya mati, semuanya lalu bubaran.” Palasara berkata : ’Sekarang bagaimanakah maksud Panembahan? Baiklah kem- bali saja.” Palasara berkata : ”Kakang saya belum merasa puas bila si burung belum ter- tangkap olehku.” Nalagareng menyambung: . ”O betul Panembahan, nantilah saya kejarnya.” Petruk berkata : ”Tidak usah dikejar, nanti akan saya goreng sampai pada bulunya sama sekali.” Maka tampak lagilah burung pipit. Palasara mengikutinya, me- nunggu burung berhinggap hendak dipanahnya. Gamelan membunyikan Ayak-ayakan sanga, disusul Palasara berjalan diiringi para penakawannya. Kayon lalu ditancapkan di tengah, gamelan dihentikan, disusul Suluk pathet sanga, kemudian diceritakan : Di sanalah Resi dari Saptarengga terus mengikuti burung pipit 109 beterbangan, ke mana pun ia ikuti sampai terluntadunta hingga mencapai Bengawan Silugangga. Sang Resi lalu. berhenti mem- perhatikan perahu penyeberangan. Bergantilah yang diceritakan, orang yang melayani penyebe- rangan di bengawan, mencipta ”renyep” ing driya (memikirkan keindahan batin). Kata-kata tersebut memberi isyarat kehendak dalang akan gending Renyep, mengiringi adegan Lara Amis dan para dayang- dayangnya. Tak lama kemudian gending dihentikan lalu dicerita- kan: Inilah adegan yang diceritakan, di tepi Bengawan Silugangga, ada sebuah ratna manikam terlepas dari rantainya. Seorang putri bagaikan anak rakyat, padahal sesungguhnya ia puteri dari kraton Wiratha yang bernama Kusumaning Ayii Dewi Durgandini, disebut pula Retna Matswaganda. Sang puteri telah meninggalkan Mandra- pura, karena dalam hatinya amat sedih oleh karena menderita penyakit, badannya berbau amis. Ia mendapat sasmita dari Dewa, diramalkan akan: hilang penyakitnya bilamana mau menjalankan perahu penyeberangan. Para dayang-dayang yang tak pisah dari sang Dewi selalu mengikutinya. Gamelan suwuk, disusul Suluk pathet sanga gede, lalu disusul sabda sang Puteri : “Biyung (Bibi), kamu itu siang malam selalu menangis, apa- kah kamu sudah tidak sanggup mengikuti aku? Kalau memang demikian, baiklah kamu kem bali saja.” Haturnya emban (dayang-dayang) : "Duh Gusti hamba, tidak sekali-kali hamba akan berpisah dengan paduka. Adanya hamba dan abdi paduka si Jemunak dari’ nyai Menje selalu berlinang air mata adalah karena amat menaruh iba hati kepada paduka. Dan kalau air sedang pasang, hamba tidak paduka ijinkan menggantikan paduka menjalankan perahu. Kalau sampai paduka menemui bahaya, aduh Gusti apakah jadinya? Tidak urung abdi paduka ini akan menemui kemarahan ayahanda Prabu. Itulah sebabnya hamba dengan teman-teman selalu menangis tiap-tiap hari. Berkatalah Sang Retna : “Hai emban, janganlah engkau salah paham, bahwa aku tidak mau menerima ibu-sayangmu. Aku amat berterima kasih 110. padamu, tetapi kamu tahu, bahwa aku sedang melaksanakan pe tunjuk Dewa. Demikianlah sasmitanya, bahwa kelak akan ada pemberian ampun dari Dewa, penyakitku akan lenyap, jika aku menjalankan pekerjaan penyeberangan, padahal hingga kini belum ada tanda- tanda kemurahan Dewa. Oleh karena itu masih akan kulanjutkan, dan aku sudah bertekad, biar bertahun-tahun atau berwindu- windu, aku tak akan mengakhiri petunjuk Jawata bila‘belum ber- hasil cita-citaku. Maka kalau ada orang lain, janganlah engkau berbahasa krama (halus), pakailah yang ngoko (kasar) saja. Dan lagi biyung, aku semalam bermimpi, aku merasa seperti di dalam keraton. Di dalam mimpiku ada seekor naga yang bagus rupanya dan memancarkan sinar. Aku gugup dan hendak berdiri; -seketjka naga itu lalu membelit sekujur badanku. Ketika itulah aku ter- bangun dari impian saya itu. Marilah biyung, Kau berikan arti impianku itu.” Haturnya emban : ”Aduh Gusti, ular itu penjelamaannya bisa dan penjelmaan- nya priya. Barangkali Gusti hamba akan mendapatkan anugerah jodoh dari Jawata.” Sampai di sini lalu disusul Suluk sembilan, kemudian diceri- takan : Demikianlah Dewi Lara Amis sedang berwawansabda dengan para dayang-dayangnya, maka bergantilah yang diceritakan. Ba- gawan Palasara yang mengejar burung pipit, terhenti karena ter- halang bengawan.,Burung tampak beterbangan di seberang barat. Sang Begawan mencari perahu penyeberangan. Para penakawan- nya segera memanggil-manggil. Panggilan mereka terdengar oleh Sang Dewi. Suluk pathet sembilan hingga selesai. Dewi Lara Amis ber- sabda : . ”Biyung agaknya ada orang memanggil-manggil akan menye- berang. Lepaskan tali pengikat perahumu.” Haturnya emban : ”Hamba, Gusti.” Petruk berteriak : ”He perahu penyeberangan, cepatlah ke mari.” 1 Durgandini menjawab : »Nanti, nanti, anda tunggu sebentar.” Berbunyi Ayak-ayakan, Lara Amis menjalankan perahu ke alah timur sampai di pinggir. Bagawan Palasara dengan pengikut- nya terhenti di tepi bengawan. Palasara berkata : ’Berapakah biaya penyeberangan tiap-tiap orang?” Jawab Durgandini : "Bagus, tidak saya tentukan, hanya sesuka hati atau serelanya, Biarpun tanpa uang, tetapi akan saya seberangkan, maka jangan khawatir. Anda naiklah perahu dengan kawan-kawan anda.” Kata Palasara : *Apakah terlalu berat ditumpangi empat orang.” Durgandini menjawab : *Sungguh kuat perahu ini. Biasanya perahu saya ini, pada waktu air pasang, kuat untuk menyeberangkan sepuluh orang, paling banyak sampai duabelas. Jika kebetulan airnya surut, kuat * dinaiki lima belas orang atau sampai duapuluh. Marilah anda naik perahu.”” Bagawan Palasara berkata kepada para panakawannya : ”*Kakang mari bersama-sama naik perahu sini.” Semar dengan anak-anaknya naik ke perahu, berdekatan de- ngan para dayang-dayang. Perahu lalu dijalankan, diiringi Suluk pathet sembilan sampai selesai, kemudian diceritakan : Di sanalah, ketika Bagawan Palasara melihat Dewi Durgandini, maka berkata ia dalam hatinya, Rupanya bukan orang seberangan yang melakukan penyeberangan ini. Demikian juga Dewi Durga- ndini ketika melihat wajah Bagawan Palasara merasa terkejut dalam hatinya. Dalam hatinya ia berkata, bahwa laki-laki itu bukan orang sembarangan. Sinar mata dan cahaya wajahnya menandakan, bahwa ia keturunan Witaradya (orang mulia), lebih- lebih ketika ia naik perahu, seketika muatan perahu terasa lebih berat. Maka berkatalah Durgandini dalam hatinya "I jagad Dewa Bathara, selama aku menjalankan penyeberangan, baru sekali ini- Jah aku melayani orang yang seberat ini hingga sukar jalannya perahu ini.” 112 Dalang Suluk greget-saut Manyura kecil, setelah selesai diceri- takan: Maka terjadilah peristiwa, air bengawan bertambah besar. Ba- gawan Palasara setelah agak lama memperhatikan Dewi Lara Amis timbul asmaranya. Ia memang jejaka yang kasip, maka kare- na besar cipta asmaranya, seketika keluarlah air maninya, disusul oleh gara-gara berupa angin prahara. Perahu hanyut dari penye- berangan. Gamelan berbunyi Srempegan tanggung, lalu diceritakan : Demikianlah Resi Palasara mengusapkan air maninya pada katir perahu kanan kiri, maka seketika perahu menjadi hamil. Bersamaan dengan peristiwa itu datanglah air besar, maka banjirlah. Perahu hanyut lalu tenggelam. Dayang-dayang dan pana- kawan mengambang di air pasang. Gamelan berbunyi Srempegan manyura tanggung. Setelah ber- henti, dalang lalu Suluk Greget-saut manyura, kemudian dicerita- kan: Demikianlah, maka terpisah dari perahu Bagawan Palasara, Dewi Durgandini dan para dayang-dayang serta panakawan. Sete- lah Sang Resi tersangkut pada batu, Dewi Durgandini lalu dipe- gangnya. Setelah air surut, perahu jatuh terdampar di tepi be- ngawan. Gamelan berbunyi Playon manyura. Palasara — Durgandini, Semar — nyai emban, Gareng — nyai Menje, Jemunah — Petruk, hanyut _berpasang-pasangan. Kayon dipakai (dijalankan) sebagai melukiskan mengalirnya air. Bagawan Palasara, Dewi Durgandini, para panakawan, dan dayang-dayang duduk di hutan dekat batu- batu yang menghentikan kehanyutannya. Gamelan dihentikan, Suluk manyura, Dewi Durgandini ber- kata: ”Perkenankanlah saya bertanya Raden, dari manakah asal dan ke manakah tujuan Raden? Siapa pulakah nama Raden?” Jawab Palasara : *Sebenarnya saya berasal dari Saptarengga, padepokan Mer- tawu. Kalau mau menyebut nama saya, ialah Bagawan Palasara. Saya sampai di sini karena mengikuti terbangnya burung pipit hingga akhirnya menemui bahaya banjir dan hanyut seperti ini. Sebaliknya. saya ingin tahu, dari mana asal anda, seorang wani- 113 ta bekerja untuk penyeberangan. Saya lihat anda masih bertingkat usia remaja.”” Dewi Durgandini menjawab : ”Saya ini asli dari Wiratha, nama saya mBok Lara Amis. Se- babnya bekerja untuk penyeberangan adalah melaksanakan sas- nita Jawata.” Lalu disusul Suluk Sastradatan hingga selesai, kemudian di- teritakan : Di sanalah, selama Dewi Durgandini duduk berwawansabda, tertimpa sinar matahari, dan keluar keringatnya bercucuran yang berbau amis sekali. Ketika Bagawan Palasara mencium bau yang amis, ia merasa mual memuak. Para panakawan muntah- muntah semuanya dan mengiranya bau mayat. Suluk manyura, setelah selesai Palasara berkata kepada lurah Semar : ”Kakang aku mencium bau seperti bau bangkai. Bau apakah ini kiranya?” Semar menjawab : ”E sudah lama saya mencium, tetapi agaknya tidak ada apa- apa. Entah Gareng dan Petruk.” 0 Nalagareng dan Petruk tertawa, kemudian berkata : ”O sukurlah kyai, yang berbau itulah perutmu, karena senang makan bangkai kadal.” Dewi Rara Amis berkata : "Sudahlah, jangan anda salah sangka. Sesungguhnya demikian Panembahan, saya ini ialah puteri Prabu Basukethiiswara di Wi- tatha. Saya menderita penyakit, tetapi bukan sesuatu luka. Hanya keringat badan saya berbau amis sekali. Dalam kesedihan yang me- muncak, saya menerima sasmita dari Dewa, kalau saya melaksana- kan pekerjaan penyeberangan, maka saya akan menemukan jalan memperoleh kesembuhan. Oleh karena itu saya berjanji, siapa yang dapat menyembuhkan penyakit saya, biarpun hanya untuk sekejap, maka saya sanggup mengabdi kepadanya sebagai tukang menanak nasi.”’ Maka setelah Bagawan Palasara mendengar keluh kesah Dewi Durgandini, timbullah perasaan di dalam hatinya,.’Kasihan sekali bau orang ini kalau sampai menjadi cacad badannya. Cobalah akan saya beri pertolongan.’ ! 114 Berkatalah Palasara kepada Semar : *Kakang, cobalah carikan kunyit di dalam hutan ini, lalu tumbuklah. dengan kapur. Dulu saya pernah melihat orang sakit seperti Raden Ayu. Saya beri pengobatan kunyit dan kapur dapat menjadi sembuh.” Semar sanggup, lalu pergi mencari kunyit. Setelah ditumbuk dengan kapur, lalu dihaturkan sang Begawan, kemudian lalu di- borehkan (dioleskan) seluruh badan Dewi Durgandini. K otoran- nya satu sendok dibuang ke sungai, ditelan oleh ikan paus yang seketika hamil. Kotoran yang tinggal pada tangan Bagawan Pala- sara dibuang juga ke sungai dan ditelan oleh ketam (yuyu) dan mendatangkan kehamilannya pula. Demikianlah berkat sabda Pendeta utama, hilanglah penyakit Dewi Durgandini. Suluk Sas- tradatan sampai selesainya, Bagawan Palasara bersabda : **Bagaimanakah Raden Ayu, apakah rasanya badan telah men- jadi baik, hilang penyakitnya?” Dewi Durgandini menjawab : ”Ya, badanku sekarang terasa ringan, dan baunya seperti se- mula sudah tidak ada lagi.” Resi Palasara berkata : *Bagaimanakah sumpah aden Ayu, akan bersediakan men- jadi penanak nasi? Apakah sumpah itu akan ditepati ataukah tidak?” Dewi Durgandini berkata : ”Ya, saya tepati, tetapi saya mohon dibuatkan keraton. Jika Sang Resi dapat memenuhi permohonan itu, biar pagi atau sore hari,saya akan melayani Sang Bagawan.”” Jawab Resi Palasara : *Baiklah Raden Ayu, barangkali saja Jawata memperkenan- nya. Kakang Semar, saksikanlah, hutan ini aku namakan Gajah- oy.” Sabda pendeta mendapat jawaban alam, seketika terdengar suatu ger” bersahut-sahutan getar-gemeletar dunia seisinya. Semar.menjawab : : ”Ya, baik dan pantaslah nama itu!” 115 Palasara berkata : Raden Ayu, tinggallah. Saya akan pergi.” Retna Durgandini menjawab : *Silakan.” Bagawan Palasara méninggalkan tempat diiringi para pana- kawannya. Gamelan membunyikan Ayak-ayakan manyura. Setelah sampai di tengah hutan, gamelan dihentikan, dususul Suluk greget-saut manyura gede, lalu diceritakan: Dj sanalah Bagawan Palasara melihat-lihat hutan besar dengan kijang, rusa, badan dan bantengnya. Lalu berdirilah sang Bagawan mengheningkan cipta, menutup segenap nafsunya, mohon kepada Dewa mencipta hutan agar menjadi negeri yang melebihi negeri Wiratha. Seketika cipta Pendeta utama yang keturunan Jawata Yang Maha Asih, tak lama kemudian hutan tercipta, seketika men- jadi negeri, lengkap tanpa tiada kekurangan sesuatu apa pun. Semua hewan menjadi bersifat manusia dan mencari-Gustinya. Gamelan Playon manyura, kemudian dihentikan, lalu disusul Suluk greget-saut manyura sampai selesai. Bersabdalah Palasara kepada Semar : *Kakang, negeri ini saya sebut Ngastina, ya Gajahoya.” Semar menjawab : Baik.” Seketika terdengar suara menggelegar, getar alam bersahut- sahutan, . Gemalan berbunyi Ayak-ayakan manyura. Adegan Dewi Dur gandini dengan ketiga dayang-dayangnya, juga nyai emban Sam- bita, Gamelan dihentikan disusul Suluk pathet manyura. Setelah se- lesai bersembahlah emban : Gusti, betapakah kehendak Gusti setelah sembuh dari penya- kit paduka? Paduka masih menuntut kepada Bagawan Palasara agar dapat memiliki kraton seperti di Wiratha. Ini termasuk mus- tahil. Seandainya tidak terlaksana, betapakah jadinya? Padahal menurut perasaan hamba, meskipun sang Bagawan bukan putera raja, tidaklah kurang patut beristerikan puteri raja.” Berkatalah Dewi Durgandini : aa ”Saya menuntut demikian, karena ia mengaku seorang Resi. 116 Kalau benar Resi itu sakti, niscaya segala ciptanya dan permohon- annya diijinkan oleh Dewa. Kalau tak dapat memenuhi tuntutan- ku, meskipun urung, janganlah karena aku. Jadi tak berarti aku mengingkari janji.” Pembicaraan mereka terputus, karena datangnya Bagawan Pa- lasara. Gamelan berbunyi Ayak-ayakan. Setelah duduk sekalian panakawannya, gamelan dihentikan, disusul Suluk sendhon Sastradatan. Setelah selesainya Palasara berkuta : ”Marilah Raden Ayu, saya persilakan melihat tuntutan anda. Kraton telah jadi, saya sebut negeri Ngastina, ya Gajahoya, karena semula tempat pemukiman gajah. Kalau ada yang kurang pantas, harap memberitahukan saya.” Dewi Durgandini menjawab : “Baiklah.” Lalu berbunyi Ayak-ayakan. Kayon dipakai sebagai gapura. Dewi Durgandini masuk ke dalam kraton, Jalu berganti_ adegan. Adegan Bagawan Palasara duduk di dalam bangsal penghadap- an. Lengkap yang menghadap, wadya punggawa penjelmaan bi- natang hutan. Keadaan negeri seperti telah lama terbentuk. Banyak orang berlalu lintas berdagang berlayar, dan telah banyak orang berdiam di negeri. Maka Bagawan Palasara bertegak sebagai Raja dan mengangkat punggawa mantri serta nayaka. Gamelan disirep, kemudian dihentikan. Dalang lalu Suluk ma- nyura, Setelah selesai Palasara bersabda : "Kakang Semar dengan anak-anakmu, turunlah ke Pancaniti. Undangkanlah bahwa aku berkenan menjadi Raja di negara Ngas- tina dengan gelar Prabu Dipakeswara dan perintahkanlah untuk mengangkat mantri punggawa. Hanya Patih dalam dan Patih luar, akan kuangkat ‘sendiri. Kakang, pilihkanlah orang yang pantas untuk menghadap kepadaku di hari penghadapan yang akan datang. Sekarang aku akan masuk ke dalam kraton.” Semar menjawab : *’Baiklah, saya laksanakan.” Prabu Dwipakeswara masuk ke dalam puri keputerian. Maka beralih yang diceritakan, ialah keadaan di dalam keraton. Jumlah para parekan . banyak. sekali bagaikan puteri boyongan perang. Gamelan dijantur, lalu diceritakan : 117 Demikianlah keadaan di dalam keraton di Ngastina, Retna Durgandini terheran-heran melihat peri keadaan di dalam keraton. Banyak sekali mutiara dan batu akik di halaman muka bertaburan berbagai macam batu-batuan hingga mengalahkan pura Endra- bawana (kayangan Batara Indera). Semuanya di sekitar keputeri- an telah diperiksa oleh sang Dewi. Maka di dalam hatinya ia me- muji pertolongan Dewa. Melihat semuanya itu seketika keluar- lah. airmatanya, karena teringat ayah bundanya, namun ditutupi dengan memuji kemurahan Jawata, dan manusia hanya menerima- nya." Maka datanglah Prabu Dwipakeswara dijemput oleh Dewi Dur- gandini dengan menyembah dan membasuh kedua kaki sang Prabu. Sang dyah lalu disambut, dipondong masuk ke dalam kera- ton, lalu duduk berjajar di Jantai. Gamelan menanjak iramanya, tak lama dihentikan, lalu Suluk pathet manyura. Bersabdalah Prabu Dwipakeswara : "Dinda Ratu apakah sudah mengetahui semua keadaan di dalam: keraton?” Berkatalah Dewi Durgandini : "Ya kakanda Prabu, semua sudah hamba periksa, semuanya Jengkap tak ada yang mengecewakan, malahan lebih baik keraton di Ngastina daripada keraton hamba di Wiratha.” Palasara berkata : . *Sekarang aku serahkan ‘seisi keraton ini, betapa pula kehen- dakmu.” Permaisuri menjawab : *Ya Sinuhun, curah kasih paduka sangat hamba junjung ting- gi.” Prabu Palasara bersabda ;~ ”Emban Sasmita, biasakanlah engkau dengan kawan-kawanmu -di dalam keraton. Kini Gustimu Permaisuri yang mengatur keada- an di dalam keraton Ngastina dan engkaulah yang aku pilih men- jadi pemuka para emban dengan kuberi nama emban Sasmita- sari.” Para emban menghaturkan kesediaannya’ lalu’-mundur dari hadapan Raja. Prabu Dwipakeswara menghampiri permaisurinya, is lalu dibawa masuk ke dalam’bilik peraduan. Dalang Suluk Sastradatan, kemudian Kayon ditancapkan di tengah, lalu diceritakan: Demikianlah Prabu Dwipakeswara sudah menyampaikan hasratnya di bilik peraduan. Sesuai dengan sifat hakekat remaja puteri diserang oleh asmara untuk pertama kalinya, maka tingkah lakunya serba sulit. Bergantilah yang diceritakan, ialah di tepi bengawan Silu- gangga. Di sana diceritakan ada dua orang satria. Gamelan mem- bunyikan Ladrangan Kanda manyura. Adegan dua orang satria kembar (yang dipakai wayang Utara-Wratsangka), gamelan di- . jantur, lalu diceritakan : Di manakah yang diceritakan sekarang? Ialah di tebi behgawan Silugangga, tatkala Bagawan Palasara menyeberangi bengawan terserang banjir besar. Perahu hanyut terbawa arus. Setelah air- nya surut, peranu tenggelam, kemudian terdampar di tepi be- ngawan dekat hutan. Setelah perahu pecah, maka muncullah dua orang satria kembar warna, hanya tampak yarig muda dan tua. Keduanya belum mempunyai nama. Mereka duduk berjajar dekat perahu. Gamelan dipercepat iramanya, lalu disuwuk; disusul Suluk Sastradatan sampai selesai, kemudian diceritakan : ”Adinda, bagaimanakah akhir lelakon kita ini? Sudah lama saya berada di tepi bengawan ini. Bilamana aku pergi, hatiku ingin kembali ke sini. Setelah aku dekat kayu melengkung (katir pera- hu), hatiku menjadi tenteram. Bagaimanakah adinda?” Kata saudaranya : . *Kanda, saya pun demikian pula, kalau pergi harus kembali ke tempat dekat kayu panjang ini*), hatiku lalu merasa ten- teram, perut kenyang tanpa makan. Saya sering bermain-main di pinggiran hutan, bertemu dengan anak-anak yang menggembala sapi. Saya dikiranya orang dari hutan, katanya karena tidak tentu yang menurunkan saya. Bagaimanakah ini, kanda?” *) Katir perahu itulah yang pada waktu banjir bandang diusap dengan air mani Pala- sara, Kemudian menjadi hamil dan akhirnya pecah melahirkan dua satria kembar itu. - 119 ‘Jawab yanglain: ™Dinda, memahg: benar yang mengatakan demikian. Marilah ita pergi mengabdi. Kata orang banyak di sebelah. barat ini ada rgeri baru yang disebut negeri Ngastina.” Setelah kedua-duanya sepakat lalu berangkat. Berbunyi Ayak- a@jakan manyura, dua satria berjalan ke sebelah kiri. Tak lama kmudian mereka berhenti. Gamelan. pelahan, lalu diceritakan : Demikianlah, perjalanan ‘dua orang satria, telah masuk ke Gerah - negeri. Ngastina, heran melihat ramainya negeri. Ada oung:datang dari lain-lain negeri, dan mereka pun meneruskan Pagalenannya, ‘Gamelan: berbunyi Ayak-ayakan, alu: pelahan dua “wayang saria itu dijalankan, kemudian Kayon ditancapkan di. tengah. Berganti adegan di sebuah liang dalam air. Yuyu (ketam) Tkna dengan anaknya, berupa puteri cantik rupawan. Gamelan Ayak-ayakan disirep lalu diceritakan : “Inilahadegan . di. dalam bengawan Silugangga, di tepinya. F Wiktu: banjir bandang, yuyu (ketam) keluar dari air, ke lereng bengawan, menjelang bertelur. Maka tampaklah olehnya sesuatu yng ‘bercahaya, lalu disapit dan dimakannya. Yang bercahaya dan dinakannya itulah kotoran tangan begawan Palasara, sisanya mumborehi. Dewi Durgandini. Setelah ketam memakan sisa kotor- anvitu; ‘kemudian hamil, menetas dan lahirlah wanita manusia yang arnat cantik rupanya. Gadis itu menanyakan siapa ayahnya. Gamelan Ayak-ayakan, dihentikan, lalu suluk Sastradatan. Yuyu Tikna berkata : *Rara,-engkau: kulihat berbeda dengan biasanya. Apakah se- babnya?.Katakanlah.” Si anak menjawab : “Biyung (ibu), adanya saya berlainan dari biasanya, karena saya merasa tidak krasan lagi tinggal di dalam liang ini. Ingin saya berkumpul dengan bangsa manusia. Dan siapakah biyung, yang menganakkan aku? Siapakah ayahku?” Jawab Yuyu Tikna : ’Anak yang kusayangi, aku tidak merasa, bersanggama, kecuali pada waktu bengawan banjir, aku keluar dari liang ini. Ada barang 120 sesuatu yang bersinar hanyut terbawa. air. Barang yang bercahaya itu_kumakan, kemudian aku merasa hamil dan Jahirlah engkau, anakku, Bilamana engkau ingin berkumpul manusia, janganiah pergi asal pergi. Baiklah engkau mengabdi pada Raja. Di sana ada negeri baru yang disebut Ngastina. Kau mintalah nama kepada sang Prabu dan katakanlah semua yang kuterangkan padamu.” Si anak menyanggupi pesan biyungnya, lalu berangkat. Gamelan Ayak-ayakan manyura, Setelah. berjalan sebentar, gamelan dihentikan. Kayon ditancapkan di tengah, lalu Suluk ma- nyura, kemudian diceritakan : Maka anak gadis yuyu Tikna telah laju perjalanannya menuju negeri Ngastina. - . Bergantilah yang diceritakan, ikan-ikan “liwung” (= bingung; sasmita untuk gending Liwung) kucar-kacir ditimpabanjir bandang bengawan Silugangga. Berbunyi Ladrangan ,,Liwung”. Ikan paus berhadapan dengan Rajamala. Gamelan dijantur, lalu diceritakan : Berganti yang diceritakan, di kedung bengawan Silugangga, Ratu ikan paus telah menyahut dan memakan kotoran dari tangan Bagawan Palasara, sisa obat boreh kunyit-kapur yang digunakan mengobati Dewi Durgandini. Maka Ratu ikan Ppaus itu scketika menjadi hamil. Setelah telurnya menetas, lahirlah anak manusia laki-laki, tetapi dengan insang seperti seekor ikan dan dapat hidup di dalam air dan di daratan. Anak itu besar perkasa se- perti raksasa, berjambang, dadanya berbulu lebat sampai di ke- tiaknya. Ia belum mempunyai nama, Pada suatu hari ia duduk ber- sama biyung (ibu)-nya, si Ratu ikan Ppaus. Gamelan dipercepat iramanya. Setelah suwuk, disusul suluk. Ratu ikan paus berkata : . ”Anakku, kulihat engkau bermuram durja, apakah yang men- jadi sebabnya? Katakanlah kepadaku, barangkali aku dapat mem- buat senang hatimu. Kalau engkau ingin makan apa pun, sebutkan- Jah, aku yang akan mencari untukmu.” Jawab anaknya : ’Biyung, aku bertanya kepadamu, siapakah ayahku?” 121 Kata ibunya: Hai anakku, sesungguhnya engkau tidak berayah. Aku mengandung engkau, tetapi tidak merasa bersanggama. Peristiwa- nya terjadi waktu ada banjir bandang. Setelah air hampir surut, aku berpesiar. Aku melihat sesuatu yang bersinar, lalu kusahut dan kumakan. Aku lalu merasa menyidam, akhirnya lahirlah engkau, anakku. Jadi, aku tidak tahu siapakah ayahmu.” Jawab anaknya : *Biyung, Jagi aku merasa tidak krasan di dalam air, karena tak:ada kawanku bermain-main. Aku kepingin berkumpul dengan manusia, biyung. Ijinkanlah aku ke daratan, biyung.” Jawabnya biyung : »Baiklah anakku, jika engkau ingin ke daratan bergaul de- ngan manusia, tetapi janganlah berpetualangan ke mana-mana. Baiklah engkau mengabdi kepada Raja. Di sana ada negeri baru yang namanya Ngastina, juga disebut Gajahoya. Datanglah langsung..ke sana dan katakanlah, bahwa engkau datang dari kedung (lubuk) di sini. Hanya saja, tengoklah aku sewaktu- waktu dan aku berpesan, jika kau dalam melaksanakan tugas Raja menemui bahaya, biarpun engkau mati, tujuh kali sehari, asal eng- kau tersentuh air, pastilah engkau hidup kembali. Sudah, berang- katlah anakku, aku doakan.. selamat.” . Sang anak telah menyatakan kesanggupannya melaksanakan pesan biyungnya, lalu pergi. Gamelan berbunyi Playon tanggung manyura, setelah sampai di daratan berhenti, gamelan dihentikan, disusul suluk greget-saut manyura, kéemudian... diceritakan : _ Demikianlah jejaka di kedung Silugangga, sudah keluar dari lubuk bengawan. Ia berjalan melalui hutan dan perdesaan. Semua orang yang berpapasan dengan dia, menyimpang. Kini ia telah sampai pada perbatasan negeri, dan bermaksud langsung menuju ke keraton, terus menghadap pada Raja. Gamelan berbunyi Ayak-ayakan. Rajamala berjalan, Tak lama kemudian Kayon ditancapkan di tengah. Gamelan dihentikan, se- telah selesai Pathetan, lalu diceritakan : Di sanalah jejaka di pekedungait’ berjalah. Kini gariti dicerita- kan, di Ngastina pada waktu ,,menjelang bangbang wetan” (= ram- 122 yang Jw.; sebagai sasmita akan dibunyikan gendirig Ramyang) ramailah suara orang. ' Dibunyikan gending ,,Ramyang”’, adegan Prabu Dwipakeswara dihadap oleh para dayang-dayang, lurah Semar dengan anak-anak- nya. Gending dijantur, lalu diceritakan : Negeri manakah yang meridapat giliran diceritakan di sini, ialah negeri Ngastina juga disebut Gajahoya. Raja pendeta yang disebut Prabu Begawan Dipakeswara, ya Prabu Palasara, duduk di balai penghadapan, di Sitinggil: Sang Prabu telah memerintahkan Lurah Semar untuk menetapkan para mantri punggawa dan Patih- dalam yang bernama Handakawana, di bawahnya bernama Handa- kasumeler. Telah tetap berdiri tegak dan ramai negeri Ngastina. , Lurah Semar menyembah hendak melapor. ° Gamelan menanjak, tak lama kemudian diberhentikan. Setelah Pathetan, Prabu Palasara bersabda : ”Apakah kakang telah selesai menetapkan para mantri pung- gawa?”” Jawab Semar : ”Ya Sinuhun, ‘segala sesuatu sudah saya perintahkan kepada yang telah saya tunjuk menjadi mantri dan lain-lainnya menurut kepantasan masing-masing. Dan yang menjabat patih dalam si Handakawana, di sampingnya Handakasemeler, dan kedua si Gajahsuwasa dengan didampingi si Swalajadibya.” Sabda Raja : ”Baiklah kakang, saya setuju.” Lalu Pathetan, selanjutnya diceritakan : Sedang sang Prabu di Ngastina berwawansabda, tiba-tiba datanglah satria kembar. Gamelan membunyikan ayak-ayakan, disusul satria menyembah dan duduk di hadapan Raja, gamelan dihentikan, lalu diceritakan : Maka Prabu Dwipakeswara setelah melihat dua orang satria yang baru saja datang, terheran-heranlah di dalam hatinya. Demi- kian kata dalam hatinya : ‘Dari manakah gerangan anak ini, kembar dan elok wajahnya.’ Demikian pulalah terpikir oleh dua orang satria itu, "Ya Jagad Dewa Bathara, sungguh bagus luar biasa Raja di Ngastina ini, besar keratonnya, besar pula perbawanya.’ Dua orang satria duduk berdampingan dengan kepala menunduk; Gamelan dipercepat iramanya, lau Pathetan, kemudian sang Nata 123 bersabda : Kamu berdua orang, bahagialah kedatanganmu di hadapanku. Dari manakah asalmu dan apakah maksud kedatanganmu di sini?” Dua orang satria bersama-sama bersembah : ”Hamba haturkan terima kasih atas sambutan dan sabda Kang- jeng Sinuhun, hamba sambut dengan kedua tangan, hamba ikatkan pada ujung rambut, hamba tekankan di atas kepala menjadi darah daging keselamatan, hamba junjung tinggi sebagai jimat keramat. Sinuhun menanyakan akan asal hamba? Hamba berasal dari bengawan Silugangga, tidak berayah dan hamba berdua be- lum mempunyai nama. Seingat hamba bersama adik ini, telah menjaga kayu panjang berbentuk melengkung yang namanya pun hamba tidak tahu. Niat hati, bila diperkenankan akan mengabdi Kangjeng Sinuhun.” Gamelan berbunyi Pathet manyura; kemudian diceritakan : Maka setelah Sri Ngastina mendengar haturnya dua orang sa- tria itu, seketika teringat benar akan peristiwa waktu keluar air maninya (melihat kecantikan Dewi Durgandiri) dan air mani di- usapkannya pada kedua katir perahu kanan kiri. Akhirnya tidak ragu-ragu lagilah Bagawan Palasara, bahwa dua orang satria itu terjadi dari air maninya. Maka bersabdalah sang Prabu : *Baiklah, aku terima permohonanmu.akan mengabdi kepada saya. Kamu berdua aku angkat menjadi putera dan aku beri nama, anakku yang tua Raden Kancana, yang muda Raden Rupakenca.” Sabda Raja pendeta disambut oleh suara guruh getar gemeletar bersahut-sahutan. Dua satria itu bersembah : ”Sabda Sinuhun hamba junjung tinggi.” Kedua mereka lalu bersujud pada sang Prabu. Sang Prabu lalu memanggil Patih Handakawana. Setelah patih menghadap sang Prabu bersabda : ”Hai Handakawana, umumkanlah kehadiran puteraku di Ka- dipaten, perintahkanlah sambutan kepadanya.” Patih bersembah : ”’Hamba laksanakan.” Sabda Prabu : ”Para wanita, kuperintahkan kamu memohon Ibu Ratu meng- hadap padaku.” Para emban menyanggupi dan mundur. Gamelan Pathet ma- 124 mnyura. ‘ Tiba-tiba datanglah seorang remaja puteri di hadapan sang Prabu, lalu duduk di hadapan Raja bertunduk kepala. Prabu Palasara Wersabda : "Hai anak gadis, selamatlah kedatanganmu di hadapanku. Dari manakah asalmu dan siapakah namamu?” Yang ditanya menjawab : . *Maaflah, Gusti. Hamba menghaturkan terima kasih atas sambutan Paduka. .Sabda Paduka hamba sambut dengan kedua tangan, hamba ikat di ujung rambut, hamba tekan. di atas kepala, merata ke dada hamba menjadi darah: daging keselamatan, hamba junjung tinggi sebagai ajimat keramat. Kangjeng Sinuhun me- nanyakan asal hamba, ialah dari bengawan: Silugangga. Ibu bernama Yuyu Tikna, dan hamba belum mempunyai nama. Bila diperkenankan, hamba akan mengabdi kepada Paduka, dan mohon diberi nama.” Sabda sang Prabu : “Baiklah, saya terima dengan senang hati maksudmu untuk mengabdi. Sekarang engkau aku angkat sebagai puteriku sulung, di belakangmu itulah adik-adikmu. Janganlah segan-segan. Dan engkau aku beri nama Dewi Rekathawati.” Sabda Sinuhun Ngastina disambut oleh suara guruh getar- gemeletar bersahut-sahutan. Dalang Suluk manyura, kemudian datanglah Ratu Permaisuri dan bersabdalah Prabu Dipakeswara : “Ibu Ratu, adinda kupanggil menghadap perlu kuberitahu, inilah puterimu si Rekathawati yang tertua. Adiknya kembar, yang tua si Kencaka, yang muda si Rupakenca,” ) _ Permaisuri amat menyetujuinya. Setelah puteri-puteri ber- sujud kepada Ibu Ratu, sang Permaisuri bersembah : ”Sinuhun, bila diperkenankan putera-puteri hamba akan hamba bawa masuk ke dalam keraton.” Sabda sang Prabu : “Baiklah, dan hendaknyalah mereka adinda beri pakaian.” Permaisuri mengiakan dan bersabda : ”Marilah putera-puteriku masuk ke dalam keraton.” Gamelan. berbunyi Ayak-ayakan. Permaisuri diiringi puteraz.:.. puteri dan dayang-dayang masuk ke dalam keraton. 125 Patih:mundur ke pagelaran, Ayak-ayakan dilirihkan, lalu ‘alang bercerita : 2 Di sanalah, rekyana patih Handakawana telah mengumum- lan kepada semua punggawa Ngastina, bahwa puteri raja diberi tama Dewi Rekathawati dan diangkat sebagai Sekar Kedaton. lutera-putera diberi nama Kencaka, Rupakenca diberi tempat di ladipaten Sarojabinangun. Bergantilah yang diceritakan, Gamelan dijantur, disusul ke- @tangan Rajamala, langsung ke hadapan Prabu. Bersabdalah Prabu Dipakeswara : : ”Engkau yang baru datang. Selamat datang, siapakah namamu (an di manakah asalmu? Apa pulalah maksudmu menghadap pada- lu? Dan siapakah namamu?” Yang baru datang menjawab tanpa bahasa krama : ”Jika anda bertanya, saya datang dari bengawan Silugangga. buku ikan paus. Saya tidak mempunyai nama. Kedatangan saya nenghadap Raja, bila diperkenankan saya ingin mengabdi dan ninta diberi nama.” ‘Gamelan Pathet manyura, lalu diceritakan : Di sanalah Prabu Dwipakeswara setelah mendengar haturnya anak yang baru datang, sudahlah tidak khilaf lagi, kemudian bersabda : “Baiklah, aku angkat engkau sebagai puteraku, kuberi nama Rajamala.” : Sabda Raja itu disambut oleh suara'guruh getar gemeletar bersahut-sahutan, kemudian sang Nata bersabda : "Kakang (kepada Semar), bawalah anakmu ki Rajamala ke dalam keraton, supaya diberi pakaian.” Jawab Semar : »Baiklah.” Gamelan membunyikan Ayak-ayakan, Sang Prabu meninggal- kan tempat, Kayon ditancapkan di tengah, disusul adegan Raden Durgandana dan Patih Nirbita. Ayak-ayakan dilirihkan, lalu di- ceritakan : Di sanalah, perjalanan Raden Durgandana dan Rekyana Patih Nirbita mencari kemusnaan Retna Durgandini, telah masuk hutan naik-turun jurang, mendaki gunung,. tetapi, belum. memperoleh 126 berita. Maka |perjalanannya tersesat-sesat hingga sekarang sampai- jah di perbatasan negeri Ngastina. Mereka berhenti séjenak, meli- hat dengan keheranan terbentuknya negeri baru yang sejahtera. Banyak orang berjalan keluar masuk tanpa berhenti. Demikianlah kata dalam hatinya., “Inilah ada negara baru, siapakah yang . bertegak sebagai Rajanya?’ Ayak-ayakan, setelah diredakan, lalu . dihentikan, disusul Suluk greget-saut manyura, selanjutnya percakapan. R. Durgandana berkata : 5 “Bapa Nirbita, tersesatlah perjalanan kita sehingga sampai di negeri manakah ini? Negeri besar serta ratnai sejahtera.”” Jawab Patih : . "Hamba sungguh \belum tahu akan negeri ini. Menurut pendapat hamba negeri ini, masih termasuk wilayah negeri di Wi- ratha.” Kata rajaputera : “Jika demikian, apakah ini berarti suatu pemberontakan? Manakah batas negeri Wiratha?” Patih bersembah : Yang menjadi batas ialah bengawan besar Silugangga.” Dalang Suluk greget-saut. Durgandana mengencangkan pakai- annya, lalu berkata : *Sudahlah bapa, jika demikian, maka teranglah Raja baru itu Raja _pemberontak, seyogyanya ‘dimusnakan saja sebelum diketahui ayahanda.” Jawab Patih : ”Aduh anakmas, Gusti hamba, baiklah memanggil dahulu prajurit yang berbaris di batas negeri pemberontak yang besar ini, tetapi ‘jika Gusti setuju, baiklah mundur saja dari negeri ini.” Kata Durgandana : *Bapa, sudahlah tidak usah mundur. Aku bersumpah, jika aku dapat memotong leher kraman, tentu aku dapat menemukan ayu- nda; bila tidak dapat menemukan ayunda, biarlah aku hancur oleh Raja pemberontak itu.” Durgandana’ berangkat akan menyerang. Gamelan bunyi Pla- yon manyura, Patih menyusul. Hingga di sini, dalang lalu me: 127 rBatcapkan Kayon di tengah, kemudian menceritakan : Sételah Raden Durgandana dan patih Nirbita berangkat akan r#ifiyerang, bergantilah yang diceritakan. Prabu Palasara selalu »eling” kepada putera (ingat = eling; menjadi isyarat akan dibunyi- an gending Eling-eling mengiringi adegan); Prabu Palasra.dihadap tig: orang puterinya, Semar Gareng Petruk diiringi gending »7Hling-eling”, Gending disirep, lalu diceritakan: Bergantilah yang diceritakan, ialah di negeri Ngastina, Prabu Bagwan Palasaran sebagai Ratu yang bergelar Sri Dwipakeswara, duduk di tengah-tengah peridapa. Yang duduk dekat di mukanya iala Raden Rupakenca, kedua Raden Kencakarupa, ketiga Raden Rajmala dari lubuk bengawan. Empat orang putera-puteri raja temasuk Sekar Kedaton Dewi Rekathawati amat disayang , oleh sang Prabu. Dewi Rekathawati, adalah puteri sulungnya, cantik indah rupanya hingga menjadi pembicaraan asyik di seluruh négeri. Sifat sang puteri bagaikan *menyan kobar” (= kemenyan terbakar; sebagai isyarat dibunyikan gending Menyan kobar). Diceritakan, waktu itu Permaisuii: Ngastina telah mengandung lima ‘bulan. Amat senanglah hati sang Prabu, bersukur kepada Bathara. Keadaan demikian menambah pula keselamatan negeri. Gending dipercepat, lalu dihentikan, disusul Suluk Sastrada- tan: Setelah suluk selesai, bersabdalah Sang Prabu : - "Kakang Semar, Permaisuri mengajak menghadap ke Wiratha untuk menghaturkan sembah kepada Kangjeng Sinuhun, sekaligus memberitahu berdirinya negeri Ngastina. Bagaimanakah pendapat- mu serta apakah yang baik dilaksanakan?” Jawab Semar : "Baik, baiklah menghadap ke Wiratha, karena sang Permaisuri telah meninggalkan keraton tanpa pamit. Tentulah dicarinya. Ke- dua, paduka telah mendirikan keraton negeri Ngastina yang ter- masuk wilayah negeri Wiratha. Bila diketahui ramanda Prabu Wi- ratha, tidak urung paduka didakwa memberontak. Itu berat hukumannya.” Prabu Palasara bersabda : ”Ya benarlah haturmu kakang, tetapi maksudku menunggu lahirnya jabang bayi, sebab Permaisuri sekarang sedang me- ngandung.” ° ‘ 8 5 128 Semar bersembah : *Lebih utama Sinuhun berdua dengan. Permaisuri datang menghadap, tetapi baiklah sebelumnya memberitahukan akan ke- datangan paduka, sebab-tentu masih lama akan dilaksanakannya maksud itu.” . Petruk berkata kepada Nalagareng : “Kang Gareng, Kangjeng Ratu mengandung, tetapi tidak diada- kan selamatan, surtanah sampai seribu hari. Besok kita nantikan, pembagian berkatnya lehgkap dengan piring dalam ‘ugungan.” Nalagareng menjawab : - "Salah Truk kau! Yang memakai berkat piring dalam‘usungan itu sélamat bersih desa.” Sampai di sana, dalang lalu Suluk greget-saut manyura, disusul cerita: Di sanalah Prabu Palasara sedang berwawansabda, tiba-tiba terdengar suara ramai prajurit di alun-alun, meneriakkan ada orang mengamuk. Banyak orang yang sudah tewas. Maka bersabdalah Prabu Palasara : ‘ “Anakku, Kencaka dengan saudara-saudaramu, keluarlah un- tuk mengetahui, apakah yang menyebabkan kegemparan itu?” Para putera menyanggupi. Gamelan berbunyi Playon ma- nyura. Menyusul adegan Durgandana dan patih Nirbita. Gamelan di- hentikan, setelah Greget-saut manyura kecil, patih Nirbita ber- sembih ; *Aduh Gustiku, apakah maksud paduka hendak membunuh. sembarang orang di sini? Jika disetujui hamba akan membunuh orang, tetapi hanya yang berkedudukan sebagai punggawa, sukur punggawa pahlawan pemberontakan. Sukur pula kalau Rajanya mau melawan perang. Janganlah Gusti maju perang selama Nirbita masih selamat.” Jawab sang Durgandana : ”Bapa, benarlah niatmu itu, tetapi jika anda menghadapi yang berat, mintalah bantuanku. Sudah, segeralah anda mengamuk mantri bupati pemberontak itu!” o«Nirbita sanggup, lalu menghunus keris dan mengamuk:.Gamel- an’ berbunyi Kerepan. Nirbita dikeroyok para bupati Ngastina, 129 Ujungsabawa, Kidang-angkas, Wirasardula dan Jayataksaka.. Se- telah empat orang bupati itu tewas, para mantri lainnya ketakutan. » Adegan Kencaka, Rupakenca, Rajamala, patih Handakasume- ler dan. Handakawana. Gamelan dihentikan. Setelah greget-saut patih bersembah : ”Hamba menghaturkan, bahwa abdi paduka bupati semua tewas berperang dengan orang mengamuk.” ; Sabda satria di Kadipaten : ™Berapakah banyaknya orang yang mengamuk yang dapat membunuh para bupati atau mantri?” ,,Jawab patih : "Yang mengamuk hanya seorang. ‘Ada temannya:seorang, te- tapi tidak: tirut:mengamuk.” Kata sang Rajaputera : “Bapa, usahakanlah agar orang mengamuk itu dapat tertangkap hidup.” ‘Path menyangeupinya lalu maju perang: Gamelan membunyi- kan Kerepan, Handakasemeler berhadapan dengan patih Nirbita, gamelan’ dihentikan. Setelah greget-saut, Handakasumeler berkata: “Hai awaslah, engkau orang dari mana, menyerahlah, akan kuliatlapkan engkau kepada Gustiku. Tidaklah engkau akan di- sakiti.” Jawab Nirbita : ”Hai orang Ngastina, jika akan selamat, suruhlah Rajamu ber- sujud’ kepada Gustiku. Dan engkau tidak. akan kusakiti, tetapi haturkanlah anak. isteri dan harta bendamu. Kalau tidak, tentu kupotong lehermu.” Jawab Handakasumeler : * babo si keparat, tak usah Gustiku, Handakasumeler ini ten- tu mampu menyelesaikan dengan kamu.” Lalu .berperang. Gamelan membunyikan. Kerepan manyura, Handakasumeler lari, lalu patih Handakawana berganti maju perang. Gamelan dihentikan, sesudah greget-saut, Nirbita me- nantang : i ”Rebutlah ini patih Nirbita, ‘tak dapat kau menandingi aku. 130 Siapakah yang akan sanggup menandingi aku? Manakah Raja Ngas- ‘ tina? Keluarlah ke medan perang, janganlah selalu mengadu prajurit.” Handakawana berkata : "I jagad Dewa Bathara, Nirbita, kalau boleh kusayang, baik kau menurut kutangkap, jangan kepala batu. Kau ini orang men- cari penyakit mendekati pati.” Jawab Nirbita : Apa boleh buat! Baiklah kau r-undur, orang Ngastina. Apa- kah kamu golongan priyayi? Apakah kau berani perang melawan Nirbita?” Handakawana menjawab : i a *Janganlah kau tutup mata. Inilah patih Handakawana. Re- butlah aku seperti merebut bayangan. Kalau Handakawana tidak dapat menangkap kau, lebih baik menggantung diri.” Selanjutnya, berperang: dan saling mengalahkan. Patih Nirbita dilempar jauh. Majulah' R. Durgandana. Gamelan dihentikan. Se- telah Greget-saut, Handakawana menantang : ”Rebutlah, siapakah yang memadai aku, siapakah yang berani menandingi aku..Melawan perang, Handakawana, tak akan ada yang kuat!” Durgandana menjawab : "Hai Handakawana, jangan lekas-lekas tertawa. Ketahuilah, aku yang sanggup melawan perangmu.” Jawab Handakawana : "Siapakah engkau itu, bagus dan masih nmda? Jika kau boleh kusayang, baiklah kau menyerah saja, janganlah menantikan sa- kit.” ~ Sahut Durgandana : ”Hai, Handakawana, jangankan engkau yang maju, biarlah Rajamu keluar di sini, tentu kutandingi dengan segala dayanya.” Lalu berperang, gamelan berbunyi Kerepan manyura. Handa- kawana kalah, lalu menghunus keris. Durgandana ditikam tetapi tidak mempan. Handakawana terpegang rambutnya, diikat dan »iseditempeleng, pecah. kepalanya dan mati seketika. Bangkainya di- buang jatuh di pagelaran keraton Ngastina. . 131 » Raden Rajamala maju perang, gamelan diberhentikan, setelah geget-saut Durgandana menantang : ”Rebutlah, satria berkuasa tetap tangguh, kepunglah se- Jerti orang menjala, bersoraklah seperti menyaksikan rusa yang nati. Siapakah memadai aku, siapa pula berani menandingi aku? Nanakah Raja Ngastina, keluarlah, mari bertanding!” Raden Rajamala mengucap : *T jagad Dewa Bathara.. Durgandana, lebih baik kau menyerah, Auhadapkan kau kepada ayahanda Prabu!” : Durgandana menjawab : *Siapakah namamu?” Sambut Rajamala : : “*Janganlah pura-pura tak tahu, inilah ‘Raden Rajamala, raja- putera Ngastina yang bungsu: Tidak usah Kangjeng Raja, aku saja cikup.” a Lalu_berperang, gamelan kerepan. Rajamala dipukul mukanya, jatuh pingsan, dihujani pukulan, dibuang jauh. ‘Rupakenca’ datang rmenolong, dirangsang dibanting jatuh -pingsan, lalu dibuang. Ke- tiga satria lalu cepat diambil wadya Ngastina, kemudian dilarikan masuk.pintu gerbang. . . Lurah Semar dengan anak-anaknya berlari-larian memberi- tahukan Sang Prabu. Adegan Prabu Dwipakeswara dan Permaisuri; Gamelan dihentikan dengan diiringi Suluk Sastradatan sampai selesai. 7 Durgandini bersembah : ”Sinuhun, apakah yang menyebabkan geger wadya Astina?” Sabda Prabu : “Ibu Ratu, di alun-alun ada orang yang mengamuk. Sekarang sedang kusuruh menangkap orang itu hidup-hidup, meskipun su- dah banyak korban yang jatuh karenanya. Sebab hendak aku tanya asal dan maksud orang yang mengamuk itu.” Tiba-tiba datanglah Lurah Semar dengan anak-anaknya berlari- larian. Gamelan berbunyi Kerepan, sesudah berhenti tanpa suluk, Semar bersembah : *Harap Sinuhun ketahui,.para Bupati yang berperang dengan orang yang mengamuk menemui tewas. Handakawana mati, putera 132. paduka tiga-tiganya jatuh pingsan.” Prabu Dwipakeswara tanpa berpamitan kepada permaisuri lalu lari keluar. Gamelan Kerepan, lalu suwuk. Semar bersem#ah kepada Permaisuri : "Kakanda paduka terus lari karena marah sekali. Bagaimana- Kah kalau lalu berperang membunuh orang, padahal Gusti Per- maisuri sedang mengandung. Apakah itu dapat Gusti benarkan?” Dewi Durgandini berkata : "Sika demikian, marilah kakang. menyusul\ke Sitinggil. Rara Rekathawati, marilah puteriku ikut.” Sang puteri sanggup mengikuti ibundanya. Gamelan berbunyi Kerepan. Permaisuri: dan puterinya berangkat, diiringi Semar dan anak-anaknya. . . Adegan Raden Durgandana. Gamelan dihentikan, setelah Gre- get-saut, Prabu Palasara menantang : ”Mari, rebutlah aku Prabu Palasara, ya Prabu Dwipakeswara, manakah orang yang mengamuk? Dekatlah kemari.” Durgandana menjawab : *Jangan pura-pura tak tahu, aku Raden Durgandana. Kalau boleh kusayang, lebih baik kau menyerah, kubawa sebagai pe- sakitan. Kalau kamu tak mau kubuat baik, rasakanlah pukulan tanganku.” Gamelan berbunyi Kerepan, lalu perang, saling membuang, berganti-ganti tertindih, Durgandana kalah dilempar jatuh di tanah, lalu mengambil gandewa. Gamelan dihentikan; setelah Greget-saut, Prabu Dwipakes- wara menantang. : ”Rebutlah ini Prabu Dwipakeswara, tiada yang menyamai, siapakah yang berani menandingi aku? Janganlah lari dari medan perang. Kembalilah Durgandana, aku tunggu.” Sahut Durgandana : *T jagad Dewa Bathara, nyata perwira Raja Ngastina. Hai Pala- sara, apakah yang kupegang ini!?” Jawab Palasara : se, Mari Durgandana, lepaskanlah senjatamu, tidak. aku-akan la- Senjata dilepaskan. Gamelan Kerepan. Keluar (dari senjata Durgandana) api berkorbar-kobar. Palasara' mencipta senjata hujan bercampur api. Api (Durga- ndana) sirna. Raden Durgandana lalu melepaskan panah pamung- kas (terakhir, mengakhiri) seperti kilat. Panah telah ditangkap Prabu Palasara, gamelan dihentikan. Raden Durgandana berkata : "Hai, memang sakti Raja Ngastina. Balaslah biar aku puas, Janganlah merasa jantan sendiri.” Sabda Raja Ngastina : "Baiklah, kalau kau kehendaki aku akan balas, tetapi kalau masih ada, habiskan dahululah tenagamu.” . Jawab Durgandana i ”Sudahlah cukup, mari balaslah.” Prabu Palasara bersiap akan melepaskan panah Haryasangkali. Hampir senjata itu dilepaskan, pada saat itu Dewi Durgandini te- dah sampai di Sitinggil melihat dari kejauhan, tidak ragu-ragu lagi, bahwa lawan Prabu Palasata adalah adindanya Raden Durgandana. Maka sang Dewi menjerit dan lari diikuti Dewi Rekathawati. Sang Dewi bertiarap di pangkuan sang Prabu. Gamelan berbunyi Kerepan. Setelah tenang berhadapan satu sama lain, gamelan dihentikan, kemudian Sendon Sastradatan. Sri Palasara meletakkan senjatanya, lalu bersabda : *Betapakah kehendakmu, Ratu? Adinda dan ananda tiba-tiba menangis di hadapanku.” Dewi Durgandini bersembah : *Sebabnya, putera paduka si Rara hamba bawa, adalah karena hamba ingat sedang mengandung. Bilamana Sinuhun sampai mem- bunuh sesuatu, tiada baiklah akan jadinya. Setelah hamba sampai di Sitinggil, ‘tampaklah oleh hamba, bahwa lawan’ paduka ber- perang adalah adik hamba si Durgandana.” Maka sangat heranlah Prabu Palasara, tiga saat tak dapat ber- kata. Sementara itu Raden Durgandana dan patih Nirbita dari ke- jauhan tidak ragu-ragu, bahwa. Dewi Durgandinilah yang meng- hadang-hadangi Sri Ngastina akan melepaskan panahnya. Secepat- nya kedua mereka berlari-larian menghampiri Dewi Durgandini. Dewi Durgandini pun melambaikan tangan kepada mereka. amelan memburniyikan Ayak-ayakan manyura. Setelah Dur- 134 gandana bertiarap di pangkuan ayundanya, gamelan dilirihkan, ke- mudian diceritakan : Di sanalah Dewi Durgandini bertemu dengan saudaranya satria di Kadipaten Wiratha bagaikan mimpi. Sama sekali tak menduga akan bertemu adindanya di sana. Demikian pula Raden Durganda- na senang tak terperi dan keluarlah airmatanya yang tak dapat di- cegahnya. Ia menyebut-nyebut seperti orang yang kehilangan ke- seimbangan, sedang Prabu Palasara tertegun tanpa berkata. Setelah duduk bersama dengan tenang di Bangsal Witana, gamelan dijantur, tak lama kemudian dihentikan, Ialu disusul Suluk. Per- maisuri bersembah : ?*Sinuhun, inilah saudara hamba si Durgandana, ” Prabu Dwipakeswara bersabda : “Adinda, selamat datang di keraton Ngastina, apakah selamat perjalanan adinda.” Sembah Durgandana : *Terima kasih atas sambutan kakanda Prabu, hamba terima dengan kedua tangan, hamba ikatkan di ujung rambut, hamba te- kankan pada kepala merata ke dada menjadi darah’ daging kese- lamatan hamba. Sabda paduka hamba junjung tinggi sebagai aji- mat keramat, sembah bakti hamba Kangjeng Sinuhun.” Jawab sang Prabu : *Adinda menghaturkan sembah_ bakti kepada kakanda, sebelum dan sesudahnya rakanda terima dengan kedua tangan, ka- kanda tekankan ke hulu hati, semoga menjadi segumpal daging se- tetes darah keselamatan. Siapakah yang berada di belakang adi- nda?” Jawabnya: *Kakanda Prabu menanyakan pengikut hamba, ialah Nirbita, Patih di negeri Wiratha.” Sang Prabu menyambut Patih, lalu dijawab dengan meng- haturkan sembah bakti dan keselamatannya di perjalanan. Raja bersabda kepada Raden Durgandana : ”Apakah maksud kehendak adinda dengan membunuh orang- rang di Ngastina? Hendaklah adinda berkata: terus: terang kepada kakanda.” 135 Sembah Durgandana : *Duh kakanda Prabu, adinda mohon maaf yang. sebesar-be- arnya. Sebabnya hamba langsung melakukan pembunuhan de- igan .mengamuk bersama bapa Nirbita, pada mulanya hamba nencari ayunda Durgandini yang musna. Belum sampai_berhasil henemukannya, tiba-tiba mengetahui negara baru berdiri di vilayah. negeri Wiratha. Dugaan hati hamba yang mendirikan Jegeri baru itu. tentulah-pemberontak: Sama sekali tidak mengira, an, menemukan ayunda Dewi di sini dan telah menjadi Permai- ari kakanda dan sekarang telah mengandung.” Prabu Palasara bersabda : "Kecuali. ayunda mengandung, ia telah juga mempunyai enpat orang anak dari kakanda.. Yang sulung ini, puteri:-berhama Rekathawati, kemudian kembar bernama Kencana Rupakenca, ‘Yang bungsu bernama Rajamala yang semuanya telah kalah ber- Jerang dengan adinda.” Hatur Durgandana : , , ’Baiklah; kakanda Prabu. Hamba mengucapkan sukur yang se- Tesar-besarnya ke hadapan Bathara.. Kemudian karena hamba di- utus ayahanda untuk mencari ayunda Dewi dan sekarang sudah di- ketemukan, maka jika berkenankan di hati, harap kakanda Prabu segera menghadap ke Wiratha bersama-sama ayunda Ratu, betapa besar kegirangan ayahanda paduka.” ‘Sabda Raja: *Mudahlah adinda, tidak urung tentu demikian. Marilah kita bersama-sama masuk ke dalam keraton dahulu. Adinda Ratu ma- suklah dahulu ke dalam keraton.” , Permaisuri menyanggupinya lalu mundur bersama Retna Re- kathawati. Dalang Suluk manyura, kemudian diceritakan? Demikianlah, dalam hati’Prabu Palasara berharap agar Raden Durgandana beristerikan “dengan puterinya Dewi Rekathawati. Lalu Suluk lagi hingga selesai, disusul oleh sabda sang Prabu : ”Apakah adinda ingin pula beristeri?” Jawab Durgandana : ”Kakanda Prabu, betapakah hamba berkeingirian demikian, sedang ayahanda ‘beserta Ibu Suri dalam kesedihan. Bila adinda mefaksanakan perkawinan, apakah kata orang!?” 136 . Sabda Raja : *Janganlah demikian, adinda, Sesungguhnyalah, bila anda ber- kenan di hati, kakanda beri calon. Sukur bilamana sudi mengaku isteri kepada puteri kakanda, Retna Rekathawati.” Maka Raden Durgandana merasa seperti keguguran bukit kembang, kebanjiran samudera madu (merasa bahagia sekali), ber- sembahlah ia : “Duh kakanda Prabu, kalau memang paduka menghendaki yang demikian, hamba sangat menjunjung tinggi maksud kakanda. Hamba iringi janji, bilamana hamba bénar-benar dapat mem- persunting puteri paduka Dewi Rekathawati, hamba tak. akan memikirkan wanita lainnya.” | Hatur jawaban Raden Durgandana disambut oleh suara guruh dan getar gemeletar bersahut-sahutan. Sang Prabu bersabda lagi : *Jika demikian, adinda saya kawinkan sekarang saja.” Jawab Durgandana: Baik, silakan.” Raja bersabda kepada Lurah Semar : . **Kakang, katakanlah_ kepada Durgandini, supaya Rekathawati dihias-penganten. Setelah selesai, lalu akan saya kawinkan dengan adinda Durgandana.” Semar menyanggupi..Gamelan membunyikan Ayak-ayakan manyura. Berganti adegan Dewi Durgandini dan Dyah Rekathawati beserta parekan dayang-dayang. Gemalan dijantur, Jalu dicerita- kan: Demikianlah Dewi Durgandini sedang mengatur pakaian kerajaan di Prabasuyasa, tiba-tiba datanglah Lurah Semar. Gamel- an setelah dijantur, lalu dihentikan tanpa Pathetan, Prameswari bertanya : ”Engkau kakang diutus apakah oleh Sinuhun masuk ke dalam keraton?” Jawab Semar : *Hamba diutus oleh paduka Sang Prabu bersabda agar puteri paduka’ Dewi Rekathawati dirias-penganten, akan segera ‘dikawin- kan dengan adinda paduka Raden Durgandana.” 137 Kata Permaisuri : *Kalau demikian, ‘aku amat menyetujui.” Dalang suluk Sendon Sastradatan. Dewi Rekathawati dan Per- maisuri diangkat. Dewi Rekathawati dirias, lalu Suluk. Permaisuri membawa puterinya, disusul Ayak-ayakan Sastradatan. Adegan Prabu Palasara, Durgandana, Kencaka, Rupakenca, Ra- jamala, Semar dengan anak-anaknya. Permaisuri datang mengha- dapkan Dewi Rekathawati. Setelah kesemuanya duduk dengan teratur, gamelan dihentikan, disusul Suluk Sastradatan, kemudian Sang Prabu bersabda kepada Durgandana: ”Silakan adinda, saya hanya menitipkan segumpal daging, jika ada kesalahannya Rekathawati, hendaklah adinda memberi maaf sebesar-besarnya. Bila suddh tidak dipakai, janganlah dibuang di sémbarang tempat.” ome Durgandana menyatakan kesanggupannya. Dewi Rekathawati menyembah Raden Durgandana, kemudian digandeng oleh 'Durga- ndana masuk ke dalam keraton. Suluk Sastradatan, disusul' sabda Sang Prabu.kepada para puteranya: ”Putera-puteraku, langsungkanlah pesta bersama punggawa dan patih Nirbita di Srimanganti.” Para putera menyanggupinya. Gamelan berbunyi Ayak-ayakan, wayang diangkat semua, Kayon ditancapkan di tengah. Gamelan dijantur, lalu diceritakan : 1 Demikianlah telah dilangsungkan perkawinan Rajaputeri Ngas- tina dengan Rajaputera Wiratha. Pertemuan jejaka dan gadis, ke- duanya sangat berkasih-kasihan sehingga memuaskan ayahanda Prabu dan ibunda Permaisuri. Bergantilah yang diceritakan, Raja Talkanda yang baru saja kehilangan isterinya, wafat waktu melahirkan putera bagaikan terkena ”pucung” (mabuk; sasmita akan dibunyikan lagu Puoung), disusul oleh gending ,,Pucung”. 7 Adegan Prabu Santanu dan Patih Ekasrengga, dayang-dayang memangku jabang bayi Raden Bisma. Gamelan dijantur, lalu’ di- ceritaka: Negeri manakah yang ganti diceritakan, ialah negeri Talkanda. Maha Prabu Bagawan Santanu Murti sedang duduk di pendapa. Yang dekat di hadapannya adalah Patih Ekasrengga. Sesungguh- nyalah.Prabui Santanu Murti. baru saja kehilangan Permaisuri::.: + yang bernama Dewi Jenawi wafat pada waktu melahirkan bayi. 138 Yang ditinggalkannya adalah seorang putera, diberi nama Raden Dewabrata, juga disebut Raden Bisma, dengan nama panggilan Jahnawiputra, ya Raden Ganggasuta, Raden Santanuja. Demikian- lah Rajaputera yang masih bayi itu belum .mendapatkan inya (nang) pengasuh. Siapa yang diisap air susunya, meninggal se- ketika. Hal yang demikian itu. telah membuat kebingungan sang Prabu, sedang sang putera senantiasa menangis. . Gending ditanjakkan, lalu dihentikan, kemudian Pathetan, dan Prabu Santanu.bersabda: Hai, bagaimanakah Ekasrengga puteraku ini? Tidak seorang- pun yang kuat.disusu olehnya.” Jawab Patih :: - ”Maaf Prabu, caranya, ialah Mmengumpulkan para wanita yang sedang menyusui. Dari mereka itu siapakah yang kuat menyusui putera paduka, dialah yang dijadikan inya penyusu.” Sabda sang Prabu : “Baik Patih, benar pendapatmu itu, tetapi kehendak Bathara- lah kiranya, bahwa puteraku ini tidak boleh diasuh orang di Tal- kanda, sebab sudah berapa banyak orang perempuanlah yang kau hadapkan untuk menyusuinya, tetapi asal diisap susunya oleh si bayi, lalu tidak keluar lagi air susunya. Oleh karena itu Patih, kau tinggallah, aku akan mencari Penyusu puteraku. Bagaimana- kah kalau berlarut-larut ia tidak minum air susu?!”? Patih bersembah : *Baiklah, Sinuhun, tetapi apakah Paduka tidak perlu di- iringi. wadyabala?” Sabda ‘sang Prabu Santanu : ”Tidak usah, aku akan menyamar masuk pedesaan. Hanya penyusu puteraku sajalah yang perlu kau usahakan.” Gamelan melagukan Ayak-ayakan manyura. Prabu Santanu berangkat bersama parekan yang menggendong puteranya. Setelah wayang dijalankan ke kiri, Kayon lalu ditancapkan di tengah, ke- mudian diceritakan: Telah pergilah Prabu Santanu keluar dari pintu belakang. Maka setelah sampai di wilayah negeri lain, ia lalu’ berhenti di-bawah: po- hon *gayam” (sasmita akan dibunyikan lagu Kembang Gayam), lalu berbunyi gending »Kem bang Gayam.” 139 ‘Adegan Prabu Palasara dihadap para putera Ratna Rekatha: wati ‘bersama suami Raden Durgandana, dan Kencaka, Rupakenca, Rajamala, Semar Nalagareng Petruk. Gending dijantur, kemudian diceritakan : : Di negeri Ngastina, Prabu Palasara yang duduk di tengah pen- dapat: berdekatan dengan putera mempelai berdua. Di belakang- nya satria di Kadipaten Sarojabinangun, Raden Kencaka, Rupa- kenca, tiga satria di Sobrah Lambangan Raden Rajamala, beserta penakawan’ Lurah Semar dengan anak-anaknya. Ternyatalah mem- pelai berdua saling cinta-menyintai dengan penuh kemesraannya bagaikan mimi dan- mintuna. Oleh karenanya sang Prabu sangat bergembira dalam hatinya, sehingga menambah ‘keindahan dan ketenteraman negeri Ngastina. Sekarang negeri Ngastina »ber- tambah sejahtera,, wadyabala -kecil tenteram hatinya,. serba murah barang-barang yang dibelinya.. Di Srimanganti para pung- gawa lengkap menghadap. Patih Nirbita duduk bersama Patih Handakasumeler.. Para nayaka yang tewas dalam peperangan se- karang kedudukannya telah diganti. Gamelan dihentikan, lalu Pathetan, kemudian Sang Prabu ‘bersabda : u ”Adinda, maksud saya menghadap ayahanda Prabu di Wira- tha menunggu sampai lahirnya jabang bayi ayunda Permaisuri.” Jawab Durgandana : *Sinuhun, meskipun -paduka belum menghadap, bila diper- kenankan, biar Patih Nirbita sajalah yang hamba utus memberi- tahu ayahanda Prabu, supaya tidak selalu menanti-nantikan’ ke- datangan hamba serta kabar berita usaha hamba mencari ayunda Dewi. Niscaya akan senang hati ayahanda mendengar, bahwa ayunda telah dapat diketemukan dalam keadaan selamat dan telah dipermaisurikan penguasa negeri Astina.”” Sabda Prabu : ’Baiklah adinda, kakanda menyetujui maksud adinda. Dan kakanda memberi nama kepada adinda, Raden Matswapati.” Sabda Prabu Palasara disambut oleh suara guruh getar geme- letar bersahut-sahutan. ~/Raden’ Durgandana’ menghaturkan terima kasih, kemudian sang Prabu bersabda lagi kepada para puteranya : 140. *Putera-puteraku, keluar dan perintahkanlah kepada Bupati, bahwa mulai sekarang saudaramu Durgandana kuberi nama, Ra- den Matswapati.” Para putera menyanggupi.. Raden Durgandana mohon diri akan keluar, lalu diizinkan. Pathetan manyura, semua wayang di- angkat, tinggal Prabu Palasara dengan’ Dewi Rekathawati, lalu diceritakan : Setelah para putera Ngastina dan Raden Durgandana kelitar, maka yang di dalam keraton, Dewi Durgandini merasa sakit hendak melahirkan. Segeralah mengutus emban untuk mohon ke- hadiran sang Prabu. Suluk greget saut, emban datang bersembah : ..Gusti, mohon_ diketahui; bahwa. Gusti ‘Permaisuri. merasa sakit hendak melahirkan.” : brit oe See Prabu Falasara dan Dewi Rekathawati lalu masuk ke dalam keraton. Semar dan para anak-anaknya diperintah memberitahu- kan kepada para putera dan patih. Gamelan berbunyi Kerepan Ma- nyuta, Kayon ditancapkan di tengah, gamelan dihentikan, kemu- dian greget-saut, lalu diceritakan : e i Demikianlah Prabu Palasara sudah sampai di keraton, ter- kejut melihat sang Permaisuri menderita kesakitan akan melahir- kan. Segera sang Prabu membantu. sang Prameswari dengan.meng- angkat badan Permaisurinya (nyundhang Jw.), dan sedang Dyah Rekthawati memegang dengkul ibunda. Maka Prabu Dwipakeswara mengheningkan cipta memohon kepada Jawa semoga Permaisuri- nya dapat segera melahirkan bayinya. Benar-benar sang Prabu ke- turunan Jawata dan pertapa sakti, maka permohonannya. ter- kabul. Permaisurinya ditimbul embun-embunnya, seketika lahir- lah. sang bayi disetai suara guruh getar gemeletar bersahut-sahut- an. Lahirlah bayi seorang putera, Gamelan berbunyi:Kerepan. Kayon.digunakan sebagai hujan angin, alu ditancapkan di tengah. Gamelan disuwuk, Jalu dihentikan tanpa pathetan, disusul cerita: Demikianlah inya babu pengasuh bersama-sama menerima ja- bang bayi, ada pula juga yang memegang Permaisuri. Diceritakan, bahwa sudah terjadi pertolongan Dewa dan Bidadari Dewi Durga- ndini segera bangun dan keadaannya seperti biasa sehingga mem- bikin orang terheran-heran, akhirnya menyenangkan semua da- yang-dayang yang melayaninya..,..,. 2 Demikianlah jabang bayi lalu disambut oleh Sang Prabu, di- bawanya keluar ke Peringgitan, Gamelan berbunyi Ayak-ayakan. 141 Adegan Prabu Dwipakeswara memangku putera dihadap oleh Ra- den Durgandana, Raden Kencaka, Raden Rupakenca, Raden Ra- -amala, Semar, Nalagareng, Petruk. Tak lama kemudidn gamelan dihentikan: Setelah Pathetan manyura besar, putera di Kadipaten bersembah : *Mohon ‘diketahui paduka Prabu, hamba sudah mengundang- kan nama kakanda Raden Matswapati dan Nirbita pun sudah be- sangkat pulang ke Wiratha.” Sabda Prabu : ; ”Kebetulan puteraku, ibunda Ratu baru saja telah melahirkan saudaramu, seorang pria. Adinda (kepada Raden Durgandana/Mat- swapati), endaklah menyaksikan, bahwa bayi ini’ kakanda beri tama Kresnadwipayana. Ia saya jadikan putera yang tertua.” Sabda Prabu Palasara ‘disambut oleh suara guruh getar-geme- Jetar bersahut-sahutan. A "Dan harap disaksikan, bahwa Kresnadwipayana ini aku jadi- kan putera tertua di antara saudara-saudaranya semua.” Semuanya menyambut gembira, kemudian sang Prabu ber- sabdalagi : ”Adinda, * hendaklah diketahui, bahwa sekarang kakanda meletakkan kedudukan sebagai Raja dan akan meneéniskan bertapa di Saptarengga lagi. Adapun ayunda Durgandini kakanda serahkan kepada ‘adinda untuk diserahkan kepada ayahanda Prabu di Wi- ratha, Kalau kemudian ada jodohnya, kakanda rela ia bersuami lagi. Dan kakanda titip isteri adinda Rekathawati dan tiga orang saudaranya. Kemudian setelah puteraku Kresnadwipayana telah dewasa; dialah yang bertahta sebagai Raja di Ngastina.” . Sampai-di sini, -dalang lalu Suluk Tlutur barang miring, kemu- dian diceritakan : * Di sanalah, ‘setelah Raden Durgandana mendengar sabda sang Prabu, sekejap tak dapat berbicara, akhirnya bersembah dengan bercucuran’ air mata. Segenap putera Prabu pun menderita kesedihan. Setelah dalang Suluk, Durgandana bersembah : "Duh Baginda yang hamba sembah, bagaimanakah maksud paduka meletakkan kedudukan Raja, dan apakah sebab yang’ se- sungguhnya hingga ayunda paduka cerai. Kalau boleh hamba ber- sembah,.,hendaklah ayunda mati hidup tetap mengabdi-paduka:-+» Bila. kakanda. hendak meneruskan bertapa, hendaklah setelah 142 putera paduka K resnadwipayana dewasa.” Sabda Prabu : ”Adinda, janganlah salah duga, karena yang demikian itu telah dipastikan oleh Jawata. Lagi pula janganlah jabang bayi minum air susu.” Sampai di sini, dalang lalu Suluk Tlutur barang miring, Dewi Durgandini datang bersama Retna Rekathawati. - Sehabis suluk, Durgandana bersembah : aid . . . *Ayunda, ketahuilah, bahwa kakanda Prabu sekarang telah meletakkan kedudukan sebagai Raja lalu hendak kembali ke Sap- tarengga. Ayunida diserahkan kepada ‘hamba, Bila kemudian’ dda kehendak 'ayunda ‘untuk bersuami, kakanda’ Prabi ‘telah rela. Dalam ‘pada ‘itu bila puteranda jabang bayi selamat, kelak'hendak- lah ia bertahta di négeri Ngastina: Hari ini’ puteranda Kresna- dwipayana dibawa bertapa ke giri Saptarengga.”* . Dalam melagukan Suluk Tlutur barang miring, kemudian di: ceritakan : Maka setelah Dewi Durgandini mendengar hatur adindanya Raden Durgandana, amat terkejut sekali bagaikan mati tanpa pingsan, tegak seperti tugu Sinukarta (= mulia, keramat). Keluar- lah airmatanya dengan deras, demikian pula Dewi Rekathawati. Maka Prabu Dwipakeswara telah pamit serta memberi isyarat kepada para panakawannya tiga orang, lalu pergi. Puteranya di- gendong sendiri. Seketika Dewi Durgandini, jatuh’ pingsan. Gamelan kerepan. Palasara sambil menggendong puteranya be- rangkat diiringi para panakawannya, Durgandini jatuh pingsan, saudara dan putera memberikan pertolongannya. Gamelan disuwuk, lalu Suluk Tlutur. Raden Durgandana berkata (kepada Raden Kencaka) : *Adinda, perintahkanlah untuk menyediakan joli jempana, ayunda akan saya bawa berangkat ke Wiratha, dan panggillah Patih Handakasumeler.” Raden Kencaka menyanggupinya, Suluk greget-saut, Setelah Rajaputera’ kembali bersama patih Handakasumeler, berkatalah Durgandana : ”Handakasemeler, ayunda dan Gustimu Rekathawati dan adi- nda ketiga-tiganya semuanya "saya *bawa’ pulang ke negara Wira- tha. Tinggallah anda di sini, aku hanya membawa prajurit Kadi- - 143 paten seperlunya.” Hatur Handakasemeler menyanggupinya. Gamelan berbunyi Ayak-ayakan. Wayang Perampogan dan Kayon dipakai sebagai joli jempana, lalu dijalankan ke kiri. Gamelan lalu dijantur, Kayon ditancapkan di tengah, lalu di- ceritakan : Maka telah berjalanlah prajurit Ngastina mengikuti sang Prameswari, selalu mengandung kesedihan. Dewi Durgandini se- lalu menangis. Selesai gamelan dijantur, kayon diangkat. Palasara dengan para abdi panakawannya dijalankan ke kanan. Tak Jama kemudian berhenti, gamelan dijantur, lalu diceritakan: Demikianlah, perjalanannya Begawan Palasara diiringi oleh tiga orang abdinya, setelah meninggalkan negeri Ngastina men- jelajah pedesaan. Sampai di tepi hutan, mereka berhenti di bawah pohon beringin, berteduh agar tidak berat bagi putera yang digendongnya. Bersamaan dengan itu, perjalanan Bagawan Santanu Murti, dengan emban yang menggendong putera Raden Bisma, yang baru berusia setengah bulan. Usahanya mencari pengasuh sang putera, masuk desa ke luar desa, namun belum berhasil. Sudah kehendak Dewa, bahwa dari kejauhan tampak Bagawan Palasara. Makin dekat Bagawan Santanu Murti tidak Tagu-ragu kepada adi-. ndanya, Resi Saptarengga. Demikian pula Bagawan Palasara juga tidak ragu-ragu akan kakandanya Resi di Talkanda, saudaranya satu perguruan. Segera Prabu Talkanda menyambutnya. Gamelan sehabis di- jantur dan sesudah Prabu Santanu. duduk yang seyogianya, gamelan dihentikan lalu Sendon Sastradatan manyura besar. Se- telah selesai Palasara menyambut kedatangan kakanda dengan saling menyatakan keselamatannya, maka Semar dengan anak- anaknya menghaturkan sembah kepada Prabu Santanu yang di- sambut dengan terima kasih. Palasara berkata : »Tidaklah terduga sama sekali bahwa adinda dapat bertemu dengan paduka. Ke manakah kiranya maksud kakanda dan bayi itu anak siapakah?” Sri Santanu menjawab : ”Sudah semestinya adinda tidak menduga ake *ertemu 144 | dengan kakanda, sebab jauh dari negeri Talkanda datang di negeri ini, kakanda secara kebetulan berhadapan muka dengan adinda. Ini negeri manakah? Adapun jabang bayi ini adalah putera ka- kanda yang ditinggalkan oleh ibunya. Saudaramu si Jenawi me- ninggal waktu melahirkan anak. Jabang bayi belum mendapat penyusunya. Sudah beberapa orang mencoba menyusuinya, tetapi air susunya lalu tidak keluar lagi. Oleh karenanya kakanda bawa si bayi keluar masuk desa untuk mencari penyusu, tetapi béelum menemukan wanita yang kuat diisap susunya oleh si bayi, putera- mu ini.” | Sampai di sini, lalu diberi Sendon Sastradatan manyura besar. Setelah selesai Palasara bersembah : "Kakanda, negeri ini hamba beri nama Astina, juga Gajahoya. Barangkali kakanda belum pernah mendengamya, karena negeri ini baru saja dibangun dan putera paduka itu siapakah namanya, kakanda?” Jawab Sri Santanu Murti : *Anakmu ini saya beri nama si Dewabrata. Adinda bertemu dengan kakanda di Astina ini, dari manakah adinda dan siapakah yang bertegak sebagai Raja Astina? Adinda menggendong bayi, anak siapakah dia? Kalau adinda beristeri, belum kakanda dengar kapan adinda kawin. Melihat tanda-tandanya, kiranya tak lain bayi itu anak adinda. Karena kakanda tidak dapat menduga, maka katakanlah dari awal kejadian sampai akhirnya, agar jelas dan puas hati kakanda.” Jawab Palasara : *Baiklah kakanda, sesungguhnya yang membangun negeri Astina ini ialah adinda, atas Permintaannya puteri Wiratha Dewi Durgandini.. Sesudah negeri tercipta, sang Dewi kawin dengan adinda. Adapun yang menduduki tahta pun adinda pula. Berapa lama kemudian, setelah puteranda Kresnadwipayana ini lahir, adinda bawa ke Saptarengga, 145-- Sabda Santanu : ”Adinda, apakah anak dapat hidup tanpa menyusu?” Jawab Palasara : ”Barangkali dapat dengan karunia Dewa Yang Maha Kuasa.” Sabda Santanu : ’Kalau dapat hidup demikian, pasti lebih dari sesama manusia, sebab. yang lumrah bayi hidup dari air susu. Selain dari itu, adinda, umpama kakanda menyusukan puteranda si Dewabrata ini (kepada Dewi Durgaridini), apakah adinda rela?” . , Semar.memberi sasmita untuk merelakan, dengan mencubit paha Palasara. Kata Palasara: 3 . Baiklah,: jika: kakanda menghendaki dan kakanda betisteri- kan Durgandini sama sékali adinda pun sudah rela. Negeri Ngas- tina di Gajahoya adinda serahkan titip kepada kakanda. Kelak bila putera adinda Kresnadwipayana ini sudah dewasa saja, hendaklah kakanda lalu menyerahkan negeri Astina kepadanya.” jabda Santanu -: "Janganlah adinda khawatir, asal puteramu ini tetap selamat, tidaklah kakanda mengingkari amanatmu.” Hatur Palasara : *Bilamana kakanda telah menyanggupi, baiklah kakanda te- rima sumping buatan Durgandini ini dan harap kakanda memakai- nya.” Suluk Sastradatan, sesudah bertukar sumping; Prabu Santanu berpamitan pergi ke Wiratha. Palasara berjalan ke Retawu. Kedua- nya: saliig berpisah. Santanu berjalan “ke kiri, gamelan Ayak- ayakan. Pada waktu Semar, Nalagareng dan Petruk berhenti, ga- melan. suwuk, ‘lalu greget-saut manyura besar, kemudian Semar berkata: ”Anakku Nalagareng dan Petruk, lepaskan ikat pinggangku ini, dan hendaklah aku kau “karung’. Aku melepaskan nazar, hatiku puas.” . Ucapan anak berdua : :2Apakah:: sama menemukan barang sesuatu? Tahu-tahui sekarang melepaskan nazar.” 146 Jawab Semar : E lebih dari menemukan sesuatu. Lihatlah di kelak kemudian hari, akan tejadi hal-hal menurut waktunya: Manakah‘ada saudara seperguruan suka beristerikan jandanya?! Itu pertanda kotor budi- nya, tidaklah akan selamat pendeta di Talkanda. Tapanya seperti dikotori lumpur.” Setelah Semar. dikarung (dipakaikan karung sebagai sarung), maka ia berjalan sambil bersuara embek-embek seperti kambing. Gamelan berbunyi Kerepan, tak lama kemudian dihentikan, lalu Kayon ditancapkan di tengah dan diceritakan : Maka telah berjalanlah Bagawan Palasara diiringi oleh pana- kawannya tiga orang, selalu besuka-suka sepanjang jalan. Bergantilah yang diceritakan, »yakni “ di negeri “Madenda selalu mengenangkan ”Rina” (siang hari; isyarat akan dibunyikan gending ,,Rina-rina”). Gending Rina-rina mengiringi adegan: Prabu Narpaceda dengan Raden Hendrakusuma dan patih Hendrasu- darga. Gending dijantur, lalu diceritakan : Negeri manakah yang berganti diceritakan, ialah negeri Maden- da, Prabu Narpaceda duduk di tengah pendapa, memanggil adinda- nya, Raden Hendrakusuma, sedang Patih Hendrasudarga telah pula di hadapan sang Prabu. Berkatalah Prabu dalam hatinya, ’Apakah kiranya berhasil perjalanan wadyabala raksasa?’. Gending diperce- pat iramanya, lalu dihentikan. Setelah disuluki greget-saut, Sri Baginda bersabda : ”Bapa patih menghadap padaku tanpa kupanggil, apakah per- Junya, segeralah anda katakan.” "Gusti, hamba menghadap setelah hamba menerima laporan Wijamantri, bahwa perjalanan wadya raksasa menemui tewas di wilayah negeri Wiratha karena berperang dengan Pendeta dari Saptarengga bernama Bagawan Palasara, tetapi sebelum tewas telah bertanding pula dengan Rajaputera Wiratha yang membawa sepasukan prajurit.”” Suluk greget-saut, lalu diceritakan: Demikianlah, Prabu Madenda setelah mendengar laporan sang Nindyamantri (patih), bahwa Para utusan raksasa banyak yang gugur, seketika seperti ditampar telinganya, amat marah sekali, bulu matanya bagaikan berdiri,.:bibimya gemetar, mata- nya membelalak, suaranya mengerang-erang seperti singa men- dapat mangsa. 147 Disusul greget-saut, kemudian sang Prabu bersabda : "Sungguh tidak -pantas Raja Wiratha. Kiranya tidak jujur maksudnya::Bapa, segeralah anda bersiap dan kerahkanlah! Se- paroh dari semua-Bupati akan kubawa. Yang separohnya perin- tahkan menjaga negeri. Patih mengikuti aku.” Patih bersembah menyanggupiny a. Raja bersabda kepada saudaranya : ‘"Adinda, anda tinggallah menjaga negeri, kakanda berangkat ke Wiratha hari ini juga.” Jawab adindanya :. . "Bila demikian kehendak kakanda, ijinkanlah hamba meng- ikuti kakanda.” .."Tidak adinda, tidak usahlah adinda ikut. Di kemudian hari bila kakanda selamat, adinda kupanggil.” Adindanya menyanggupi, lalu terdengar isyarat prajurit be- rangkat. Gamelan Kerepan. Setelah semuanya berangkat,’Kayon ditancapkan di tengah, gamelan berhenti, lalu diceritakan: Telah berangkatlah Prabu di Madenda, banyak sekali prajurit dan para bupati yang mengiringi Sri Baginda, sepanjang jalan selalu “angerang-erang” (mengumpat-umpat; isyarat akan berbunyi gending Frang-erang). Adegan negeri Wiratha diiringi gending ,,Erang-erang.” Bergantilah yang diceritakan, yaitu di negeri Wiratha, Prabu Basukeswara sedang duduk di pendapa menyambut kedatangan Rekyanapatih Nirbita. Seketika berkatalah “Prabu dalam , hati- nya: "I jagad Dewa Bathara, inilah Nirbita, datang di hadapanku tidak bersama-sama dengan Gustinya!” Demikianlah seolah- olah terdengar laporan Patih yang tak berbeda dengan kata hati ki-Patih : "I babo, betapakah senang hati sang Prabu mengetahui puterinya selamat dan telah bersuami pula dengan seorang Raja.’? Gending dipercepat iramanya; setelah dihentikan, dilagukan Suluk Sastradatan. Sabda sambutan sang Prabu : *Selamatlah Nirbita kedatanganmu di hadapanku dan selamat- lah pula anda di dalam perjalanan. Manakah Gustimu dan apakah sebabnya tidak kelihatan hadir?” Patih bersembah : » eh y’Kanjeng Sinuhun, sambutan paduka hamba terima dengan’ke- 148 = dua tangan, hamba tekankan pada kepala, hamba ikat di ujung rambut, hamba junjung tinggi sebagai ajimat keramat. Dengan doa restu Paduka Sri Baginga, perjalanan hamba selamat. Mohon Paduka ketahui, bahwa putera paduka telah berhasil menemu- kan sang Rajaputeri yang ada di negeri Astina, telah bersuami. dengan Prabu Dwipakeswara. Waktu sekarang puteri paduka se- dang mengandung, dan sudah menjelang melahirkan. Itulah sebabnya beliau belum menghadap Sri Paduka bersama hamba. Demikianlah Gusti hamba di Kadipaten, telah dikawinkan dengan puteri Prabu Dwipakeswara yang bernama Dewi Rekathawati. Putera paduka diberi nama Raden Matswataka,”” Dalang Suluk Sastradatan, disusul oleh tertawa sang Prabu karena senang hatinya, kemudian bersabdalah Prabu : J jagad Dewa Bathara, maka kepergian kalian terhitung lama. Berapa jauhkah negeri Astina itu dari Wiratha?” Patih bersembah : "Yang dicipta menjadi negeri Astina ialah hutan di dekat be- ngawan Silugangga, jadi masih wilayah Wiratha sebelah timur.” Sang Raja bersabda lagi : : "Sika demikian, segera undangkanlah kepada para hamba di Wiratha sampai kalangan atas dan yaja-raja mancapraja, supaya mengiringi perjalananku menengok ke Astina. Untuk permaisuri sediakanlah joli jempana.” Rekyana Patih bersembah menyanggupi, lalu mundur. Gamelan membunyikan Ayak-ayakan, disusul oleh kedatangan Rajaputera dan para saudaranya, putera Astina Dewi Durgandini bertiarap di pangkuan Sang Prabu, Permaisuri segera keluar ke pen- dapa, memeluk puterinya yang baru tiba dengan menangis terharu. Gamelan dijantur, lalu diceritakan: Di sanalah Prabu Basukethiiswara, setelah melihat kedatangan kedua orang putera-puterinya sangatlah bergemibra, diamat-amati- nya, tampaklah puterinya habis melahirkan, tetapi cucunya tidak kelihatan. Demikian pula menantunya Raja Astina juga tidak tampak bersama dengan sang puteri, sehingga sang Prabu keheran- heranan. Maka keluarlah dari dalam Prabasuyasa Permaisuri Wi- tatha, dan setelah melihat cKehadiran puterinya yang amat dirindukannya, sang Permaisiri menangis menjerit, Puterinya dipeluknya, air matanya keluar deras bagaikan hujan. Dewi Dur- 149 gandini menangis dan lebih merasa terharu sekali, Banyak-banyak yang dirasakan dalam ‘hatinya dan seperti terlihat jelasjelas Resi Saptarengga dan puteranya Raden Krisnadwipayana. Sang puteri berkeluh Kesah merintih sedih schingga para saudaranya ikut pula menangis. Para emban dayang-dayang yang di dalam keraton ter- kejut_mendengar suara tangis, dan keluarlah mereka berjejal di serambi, akhirnya ikut pula menangis sehingga ramai sekali suara tangis gemuruh bagaikan memenuhi keraton. Maka Sri Baginda diam sedih laksana tugu keramat, menahan air' mata hingga matanya kemerah-merahan, Beliau selalu ber- usaha menghibur puterinya. Beberapa lama kemudian Dewi Dur- gandini terhibur, lalu duduk dekat ayahanda Prabu dan Ibunda Permaisuri yang menciumi puterinya tak puas-puasnya, Gamelan Ayak-ayakan;' setelah: dijantur, disusul Suluk Tlutur barang miring. Kemudian sang Prabu bertanya kepada Dewi Dur gandini, selama ia meninggalkan negeri Astina, tetapi sang puteri masih belum mampu menjawab karena masih ‘sesak dada oleh tangisnya. Sang Prabu lalu bertanya kepada Raden Durgandana : ”“Anakku, katakanlah bagaimana lelakon ayundamu, ‘dari “per mulaan sampai akhir, karena berbeda dengan keterangan yang dihaturkan oleh Nirbita. Apakah sebabnya demikian?” Raden Durgandana bersembah : ”Kanjeng Dewaji, puteri Paduka ayunda Dewi pergi meninggal- kan negeri karena sasmita petunjuk Dewata, bila ingin sembuh dari penyakit badannya betbau, agar ia melayani penyeberangan di bengawan Silugangga. Setelah dilaksanakan, ada seorang Resi yang diseberangkan dan yang memberi obat sehingga penyakit puteri Paduka menjadi sembuh. Ayunda hendak diperisteri Baga- wan Palasara, namun minta dibuatkan keraton yang sama dengan keraton Wiratha. Setelah jadi negeri Ngastina karena cipta. sang Resi, Bagawan. Palasara bertahta menjadi Raja bernama Prabu Dwipakeswara. Hamba dan Nirbita melihat negeri baru berdiri di wilayah Wiratha, menduga bahwa itu mesti negeri pemberontak. Oleh karenanya hamba dan Nirbita mengamuk sehingga akhirnya diketahui oleh ayinda Dewi. Hamba alu dikawinkan dengan puteri kakanda Prabu bernama Rekathawati. Sepeninggal Nirbita, ayunda melahirkan putera diberi nama Kresnadwipayana, tetapi lalu-dibawa ke pertapaan Saptarengga. Puteri paduka ayuda Dewi 150. “diserahkan kepada hamba untuk dihadapkan ayahanda Prabu. Di kemudian hari, bila ada jodoh ayunda Dewi, kakanda Prabu sudah rela. Beliqy hanya menitipkan negeri Astina. Setelah cucunda dewasa hendaklah dinaikkan tahta menjadi Raja di As- tina.” Menyusul suluk Tlutur barang miring, lalu diceritakan : Di sanalah Dewi Durgandini merasa tertekan jiwanya, ingat kepada suami dan putera, seketika jatuh pingsan. , Gamelan Kerepan, Sang Prabu dan Permaisuri serta para putera menolong Durgandini, lalu dibawa ke Datuiaya. Setelah sadar, se- nantiasa_menanyakan puteranya, Prabu Basukesthi keluar lagi. Raden Durgandana dan Patih Nirbita duduk di hadapannya. Gamelan dihentikan, disuluki Greget-saut, kemudian; bersabdalah Sang Prabu : "Hai Nirbita, undangkanlah kepada para Raja dan Mantri Bupati di Wiratha, bahwa sekarang untuk Gustimu, puteriku, akan aku adakan sayembara pilih. Biarpun orang tak berharga, asal dipilihnya, tentulah menjadi suaininya.” 7 :Patih menyanggupinya, lalu keluar cepat. Gamelan Kerepan. Kayon ditancapkan di tengah, lalu diceritakan : Maka Sri Baginda di Wiratha dengan Dewi Durgandini serta Permaisuri dan putera satria. di Kadipaten, naik panggung. Para Raja Mantri Bupati berjejal di alun-alun. Tak Seorang pun yang menarik:hati sang Rajaputeri. Di. bawah waringin kurung (beringin dipageri) di alun-alun berteduhlah Prabu Santanu Murti diiringi oleh dayang-dayang menggendong puteranya, tampaklah jelas dari Panggung. Dewi Durgandini menjawil adindanya Raden Durgandana, Keduanya mempunyai dugaan yang sama. Sang Prabu Wiratha bertanya telah diberitahu akan dugaan mereka. Maka Raden Durgandana segera menuju kepada yang berada di bawah pohon beringin. Gamelan berbunyi Ayak-ayakan.. Prabu Santanu dipanggil dengan isyarat lambaian tangan, lalu ke pagelaran. Ayak-ayakan dihentikan, Raden Durgandana berkata : *Kulihat ada pendatang’ baru. Di manakah asal anda, siapakah nama anda, kakanda, demikianlah kiranya saya pantas memanggil anda.” 151 Jawabnya : "Raden, ‘kiranya belum mengenal saya, Karena jauh negeri Aya, yaitu Talkanda. Saya ini Prabu Santanff Murti.” Raden Durgandana berkata : *Apakah maksud Sinuhun datang di Wiratha ini, dan jabang layi itu anak siapakah?” Jawab Prabu Santanu : "Jabang bayi ini anak saya, namanya Dewabrata, seorang piatu ‘Yang ditinggalkan ibunya waktu melahirkannya. Kedatangan saya ¢ Wiratha ini akan mengikuti sayembara atau mencarikan penyusu Tagi anak saya ini.” Kata Raden Durgandana : , *Kakanda Prabu, maksud Paduka kebetulan bersamaan dengan alanya sayembara, tetapi putera paduka baik ditinggalkan pada ayunda Dewi.” Santanu menjawab : "Saya serahkan dengan kedua tangan, Raden, asal anak ini mendapat air susu.” * Gamelan membunyikan Ayak-ayakan, Prabu Santanu dibawa masuk ke dalam keraton, jabang bayi digendong oleh Rajaputera Wiratha. Adegan Prabu Basukethiiswara, Permaisuri, Dewi Durgandini. Dewi Rekathawati, Kencaka, Rupakenca dan Rajamala. Durgan- dina datang, Santanu tinggal di belakang. Gamelan dihentikan. Sthabis Pathetan manyura besar, Durgandana bersembah : ”Harap Kanjeng Rama mengetahui, bahwa yang kelihatan di bawah -pohon beringin keramat bukanlah kakanda Prabu Astina, melainkan hanya serupa belaka. Ia Raja di Talkanda, Prabu Santa- mu Murti. Raja itu mencari susuan untuk puteranya, karena ibu- nya meninggal dunia. Sekarang ia sudah hamba bawa ke Srime- nganti, dan puteranya telah pula diserahkan, asal memperoleh pe- nyusu baginya.” Sabda sang Prabu : ”Anakku Durgandini, apakah anda berkenan pada permohon- an Raja di Talkanda?” 152 Durgandini bersembah : . _"Jangankan bayi itu putera raja, sekalipun ia anak seorang sudrapapa, asal mirip dengan cucu paduka, hamba terima biar sebagai pelayan penanak nasi. Keinginan hamba, asal memper- oleh ganti anak hamba.” - Prabu Wiratha memberikan isyarat memanggil Sri Talkanda. Raden Durgandana keluar dan kembali disertai Prabu Santanu, Raden Bisma digendongnya sendiri. Sampai di hadapan sang Prabu, Dewi Durgandini tak sabar lagi menyambut Raden Dewa- brata dan diciuminya, lalu dibawa ke dalam keraton. J. abang bayi tenang dan lalu disusuinya. Gamelan Sendon Sastradatan. Setelah tenang berhadapan satu sama lain, Prabu Wiratha bersabda : "Anak Prabu, selamat datang.” Jawab Raja Talkanda : Ham ba junjung tinggi sambutan rama Nata yang telah dilim- pahkan kepada hamba. Hamba terima dengan kedua tangan, ham- ba tekankan pada dada, hendaknya tertanam di hulu hati, menjadi darah daging keselamatan dan cahaya bersinar. Sembah bakti ham- ba ke hadapan Sri Baginda.” Prabu Basukethi bersabda : ”Sembah ananda Prabu, sebelum dan sesudahnya kuterima dengan kedua tangan. Ananda Prabu telah memenangkan sayem- bara. Saya serahkan isteri anak Prabu dan negeri Astina. Saya titip, setelah cucu saya Kresnadwipayana dewasa, saya percayai menjadi raja.” Jawab Prabu Santanu : ”Semua sabda paduka hamba sanggup melaksanakan.” Prabu Santanu dibawa masuk ke dalam keraton, tiba-tiba ter- dengar geger hiruk pikuk karena datangnya Raja Madenda, dilawan oleh para putera Wiratha dan Astina. Perang sampak, Raja Madenda tewas, demikian pula wadya punggawanya. Berbunyi lagu Kinanthi mengiringi adegan Prabu Basuke- thi, Durgandana, Rupakenca, Kencakarupa, Rajamala, lalu Tancap Kayon. ° TAMAT 153

Anda mungkin juga menyukai