Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

Oleh:
Serlia Marthasari
1102012272

Pembimbing:
dr. Marjanty, Sp.S

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi


Kepanitraan Klinik Ilmu Syaraf
Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I R.S Sukanto-Jakarta
Periode 9 Mei - 11 Juni 2016

Identitas
Nama

: Ny. Y

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 41 tahun

Agama

: Islam

Status

: Menikah

Alamat

: Jl. Darto Tonggara I RT 11/10

Tanggal masuk RS

: 09 Mei 2015

Tanggal pemeriksaan : Mei 2015

Anamnesa
Keluhan utama:
Sakit kepala sejak 2 bulan SMRS
Keluhan tambahan:
Pandangan kabur dan pasien hanya terbaring di tempat tidur
Riwayat sekarang:
Pasien datang mengeluhkan nyeri kepala 2 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, disertai
penurunan kesadaran dan pandangan yang kabur. Nyeri kepala dirasakan setiap hari dan dapat
muncul secara tiba-tiba, baik saat istirahat ataupun saat beraktivitas. Dapat reda jika paseien
mengkonsumsi obat warung yaitu bodrex yang diminum tidak teratur hanya saat pasien merasa
sakit kepalanya kambuh. Muntah dan mual saat nyeri kepala tidak ada, mimisan tidak ada,
kejang tidak ada, kelemahan anggota gerak tangan dan kaki sejak 2 bulan yang lalu
mengakibatkan pasien hanya terbaring di tempat tidur, trauma kepala tidak ada, perubahan
perilaku tidak ada, demam tidak ada, batuk lama tidak ada, sesak nafas tidak ada.
Riwayat penyakit dahulu:
Pasien sudah sering mengeluh sakit kepala seperti ini sebelum sejak tahun 2015. Sakit kepalanya
mulai ia rasakan sejak ia keluar dari pekerjaannya. Keluarga pasein mengatakan pasien mulai
stres dan sering terlihat memijat dahinya. Di tahun yang sama, pasein pernah berobat mata di RS
Budi Asih karena pandangannya kabur, hanya diberikann obat untuk rawat jalan. Pasien sudah

menggunakan KB sejak riwayat melahirkan Tahun 2014. Riwayat hipertensi disangkal, riwayat
trauma kepala disangkal, riwayat DM disangkal.
Riwatat penyakit keluarga:
Hipertensi (-)
DM (-)

Riwayat Kebiasaan:
Merokok (-)
Lain-lain (-)

Pemeriksaan fisik
Status generalisata
Kesadaran umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Apatis

GCS

E4 M 6 V 3

Tanda-tanda vital
Tekanan darah

: 130/90mmHg

Nadi

: 87x/menit

Laju pernafasan

: 20x/menit

Suhu

: 36.7oC

Kepala

: Normocephal

Mata
pupil +/-

: Sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis-/-, pupil isokor

Hidung

: Bentuk hidung normal, tidak ada deviasi septum, tidak ada sekret

Mulut

: Mukosa basah

Telinga

: Bentuk simetris, tidak ada masa, tidak ada nyeri tekan

3mm/3 mm, reflek

Leher

: Letak trakea di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak teraba
ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorak
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Simetris pada keadaan statis dan dinamis


: Fremitus tactil dan vokal simetris kanan dan kiri
: Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi
Cor
: Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
: Suara napas vesikular, ronki (-), wheezing (-)
Abdomen
Inpeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Perut tidak buncit, kelainan kulit tidak ada


: Supel, hepar dan lien tidak membesar
: Timpani
: BU normal

Ekstremitas

: Akral dingin, tidak ada deformitas

Status neurologis
Kesadaran
GCS

: E4 M6 V3

Tanda rangsang meningeal


Kaku kuduk

: Negatif

Kernig sign

: Negatif

Lasegue sign

: Negatif

Brudzinski I

: Negatif

Brudzinski II

: Negatif

Pemeriksaan Nervi cranialis


N.I (N. olfaktorius)
ND: tidak dilakukan
NS: tidak dilakukan

N.II (N. Optikus)


OS: Normal
OD: Normal

N.III (N.Oculomotor)
OD: Normal
OS: Normal

N.IV (N. Trochlear)


OD: Normal
OS: Normal

N.V (N. Trigeminal)


Sensorik
N.I

: Normal

N.II : Normal
N.III : Normal
Motorik
Menggigit

: Normal

Membuka rahang : Normal

N.VI (N. Abducen)


OD: Normal
OS: Normal

N. VII (N. Facialis)


Sensorik (pengecap 2/3 anterior lidah)
Motorik
Mengangkat alis

: Tidak dilakukan

Mengembungkan pipi: Simetris


Mencucu

: Simetris

Meringis

: Simetris

N.VIII (N. Vestibulocochlear)


Gesekan jari
AS: Melemah
AD: Melemah
Detik jam
AS: Tidak dilakukan
AD: Tidak dilakukan
Garpu tala
Rine

: Tidak dilakukan

Weber

: Tidak dilakukan

Schwabach

: Tidak dilakukan

Romberg

: Tidak dilakukan

N. IX (N. Glossopharyngeal)
Sensorik (pengecap 1/3 bagian posterior lidah): Tidak dilakukan
Motorik (reflek menelan): Tidak dilakukan

N. X (N. Vagus)
Refleks muntah: Tidak dilakukan
Letak uvula: Normal

N. XI (N. Accessory)
Mengangkat bahu

: Tidak dilakukan

Memalingkan kepala

: Tidak dilakukan

N. XII (N. Hypoglossal)


Deviasi lidah

: Tidak ada

Atrofi lidah

: Tidak ada

Pemeriksaan motorik
Kekuatan :
Ekstermitas atas

: Kanan 4444, Kiri 4444

Ektremitas bawah : Kanan 4444, Kiri 4444

Refleks fisiologis
Biceps

: Positif

Triceps

: Positif

Patella

: Positif

Achilles

: Positif
7

Refleks patologis
Hofman-Tromner : Negatif
Babinsky

: Negatif

Pemeriksaan sensorik
Rangsangan raba

: Simetris

Rangsangan nyeri

: Simetris

Rangsangan suhu

: Tidak dilakukan

Pemeriksaan koordinasi
Disdiadokokinesia

: Tidak dilakukan

Tes telunjuk-hidung : Tidak dilakukan

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium:
Hematologi
Hemoglobin

: 14,9 g/dl

Leukosit

: 7.900 u/l

Hematokrit

: 41%

Trombosit

: 265.000/ul

Elektrolit
Natrium

: 137 mmol/l

Kalium

: 3.7 mmol/dl

Chlorida

: 107 mmol/l

Glucosa Sewaktu

: 119 mg/dl

RESUME
Pasien datang mengeluhkan cephalgia 2 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, pasien datang ke
UGD dengan kondisi apatis. Cephalgia dirasakan hampir setiap hari dan dapat muncul secara
tiba-tiba, baik saat istirahat ataupun saat beraktivitas. Keluhan muntah tidak ada saat cephalgia,
trauma kepala tidak ada, demam tidak ada, batuk lama tidak ada, sesak nafas tidak ada. Pasien
sudah mengalami sakit kepala sejak tahun 2015 dan sering terlihat stres. Riwayat hipertensi
disangkal, riwayat trauma kepala disangkal. Tekanan darah 130/90mmHg, nadi 87x/menit, laju
pernafasan 20x/menit, suhu 36.7oC. Pemeriksaan kekuatan otot didapatkan 4444 ekstremitas atas
dan bawah dextra, reflek pupil negatif pada mata kiri.

Diagnosis
Diagnosis klinis

: Cephalgia, Afasia Motorik

Diagnosis topis

: Hemisfer cerebri sinistra

Diagnosis etiologis

: Meningioma

Diagnosis banding

: Abses Otak, SOL

Pemeriksaan anjuran : CT-Scan

Penatalaksanaan
Umum

: Bed rest

Khusus

IVFD RL 18 tpm
Inj. Ketorolac 3x1 amp
Inj. Dexamethasone 3x1 amp
Inj. Ranitidin 50 mg 3x 1 amp
As. Folat 2 x 1

Prognosis
Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad sanantionam

: Dubia ad malam

Quo ad functionam

: Dubia ad malam

10

1. Tinjauan Pustaka

1.1.

Definisi

Istilah meningioma pertama kali dipopulerkan oleh Harvey Cushing pada tahun 1922.
Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang terjadi di luar jaringan
parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap
dengan pertumbuhan yang lambat (Al-Hadidy, 2007).

1.2.

Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab meningioma belum dipahami dengan baik, tetapi dapat mencakup factor genetik
dan lingkungan. Beberapa kondisi yang membuat resiko meningioma meningkat seperti
neurofibromatosis type 2 Kebanyakan kelainan cytogenetic dimana terjadi kehilangan kromosom
22, terjadinya delesi pada long arm (22q) termasuk daerah 22q12 itu berhubungan dengan NF2
gen. Kebanyakan hasil dari mutasi sehingga hilangnya fungsi protein. Kelainan genetik ini
paling sering pada meningioma tipe fibroblastik dan transisional pada gambaran patologi.
Riwayat terapi radiasi sebelumnya dimana penderita pernah tereksposur radiasi di kepala
memiliki resiko yang meningkat untuk timbulnya meningioma, khususnya 10-20 tahun setelah
tereksposur radiasi.
Riwayat trauma kepala, Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau Computed Tomography
(CT) yang dilakukan secara frekuen setelah kecelakaan kepala, ini meningkatkan kesempatan
dari penemuan suatu meningioma.
Terdapat pada hormon wanita dan kanker payudara, beberapa tumor meningioma memiliki
reseptor sex hormone dan berkembang cepat pada kehamilan dari penelitian pada wanita yang
11

menderita meningioma ditemukan reseptor progesterone 88%, reseptor estrogen 40%, reseptor
androgen 38%. Wanita dengan riwayat kanker payudara memiliki insidens meningioma yang
lebih tinggi, dan wanita dengan riwayat meningioma memiliki kemungkinan yang lebih besar
terkena kanker payudara. Meskipun tidak dibuktikan, data-data ini mendukung penyebab pokok
dari meningioma.
Keberadaan dari growth factor ditemukan pada banyak tipe tumor, pada meningioma telah
ditemukan growth factor dan receptornya seperti:
Epidermal Growth Factor (EGF),
Transforming Growth Factor-a (TGF-a), Platelet-Derifat Growth Factor (PDGF), Insulin-like
Growth Factor (IGF) I dan II Dan vaskuler Endothelial Growth Factor (VGEF). VGEF
bertanggung jawab pada edema peritumor white mater. Reseptor-reseptor yang disebutkan di atas
biasanya terdapat pada meningioma atipikal yang mungkin berperan dalam menstimulasi
pertumbuhan.
Pada umumnya kelainan genetik lebih luas terjadi pada meningioma yang atipikal dan
anaplastic (malignant). Genetik molecular menemukan indikasi bahwa kira-kira separuh dari
meningioma memiliki kehilangan allelic yang melibatkan q12 pada kromosom 22.
Meningioma atypikal sering menunjukkan kehilangan allelic dari lengan kromosom 1p, 6q,
10q, dan 18q pada atipikal juga ditemukan reseptor dari growth faktor. Kehilangan yang lebih
sering dari kromosom 1p, 6q, 9p21, 10q, 14q, 18q dan 17q25 juga terjadi pada meningioma
anaplastik. Gen tertentu yang terimplikasi pada perkembangan anaplastik meningioma adalah
p53, yang ditemukan meningkat pada tumor anaplastik.
Faktor Resiko
Radiasi Ionisasi
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti menyebabkan
tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung hubungan antara paparan radiasi dan
meningioma sejak bertahun-tahun telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan
tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA
yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom
atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma
yang signifikan (Calvocoressi & Claus, 2010).
Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan resiko terjadinya
meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik
dan tinea kapitis memperlihatkan adanya peningkatan resiko terjadinya meningioma terutama
dosis radiasi melebihi 30 Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga
meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012)
yang membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya Universitas Sumatera
Utara meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia 15 hingga
40 tahun (Calvocoressi & Claus, 2010; Claus, 2012).

12

Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan dengan akibat paparan radiasi
adalah usia muda saat didiagnosis, periode latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang
relatif tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik (Calvocoressi &
Claus, 2010).
Radiasi Telepon Genggam
Radiasi yang dihasilkan oleh telepon genggam adalah energi radiofrequency (RF) yang tidak
menyebabkan Ionisasi molekul dan atom. Energi RF berpotensi menimbulkan panas dan
menyebabkan kerusakan jaringan, namun pengaruhnya terhadap kesehatan masih belum
diketahui secara pasti. Penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Lahkola et al (2005)
menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara penggunaan insiden meningioma.Penelitian
metaanalisis lain yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE yang dilakukan pada 13
negara juga memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan antara penggunaan telepon
genggam dan insiden meningioma (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi &
Claus, 2010).

Cedera Kepala
Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko terjadinya
meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten. Penelitian kohort pada
penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan
terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan
hasil bahwa adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma,
terutam riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan
banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat keparahannya (Wiemels, 2010;
Phillips, 2002).
Genetik
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul pada pasien
yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma
genetik turunan yang memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang.
Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu
Kelainan gen autosomal dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada
kromosom 22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma
sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan
kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q (Evans, 2005; Smith, 2011).
Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik dengan resiko
terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi siklus sel, detoksifikasi dan
jalur metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen
13

yang terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun
belum dijumpai hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen
GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005; Choy, 2011).
Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memberi dugaan
adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan
kehamilan, siklus menstruasi, dan menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon
eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya
meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada paparan hormon
endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan status menopause,
paritas, dan usia pertama saat Universitas Sumatera Utara menstruasi, tetapi masih menjadi
kontroversi (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Taghipour, 2007).

1.3.

Klasifikasi

World Health Organization (WHO) mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa


tumor yang telah diketahui, termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan
derajat pada hasil biopsi yang dilihat di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya pun berbedabeda di tiap derajatnya.
a Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat, jika tumor tidak menimbulkan gejala, mungkin
pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara periodik. Jika tumor semakin
berkembang, maka pada akhirnya dapat menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah
dapat direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan tindakan bedah dan
observasi yang berkelanjutan.
b Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan grade I dan juga mempunyai angka kekambuhan yang lebih tinggi.
Pembedahan adalah penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya
membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan.
c Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma malignan atau
meningioma anaplastik. Meningioma malignan terhitung kurang dari 1% dari seluruh kejadian
meningioma. Pembedahan adalah penatalaksanaan yang pertama untuk grade III diikuti dengan
terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan kemoterapi.
Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtipe berdasarkan lokasi dari tumor:
14

b
c
d
e
f
g

h
i

Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx adalah selaput yang
terletak antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer kiri dan kanan. Falx cerebri
mengandung pembuluh darah besar. Parasagital meningioma terdapat di sekitar falx.
Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada permukaan atas otak.
Meningioma Sphenoid (20%) Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah belakang mata.
Banyak terjadi pada wanita.
Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan
otak dengan hidung.
Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan bawah bagian
belakang otak.
Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar
tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari.
Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang berumur antara 40
dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pada medulla spinalis setingkat thorax dan dapat menekan
spinal cord. Meningioma spinalis dapat menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di
sekeliling dinding dada, gangguan kencing, dan nyeri tungkai.
Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang pada atau di sekitar mata
cavum orbita.
Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi cairan di seluruh bagian
otak.
1.4.

Patofisiologi

Tumor otak menyebabkan gangguan neurologik progresif. Gangguan neurologik pada


tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor: gangguan fokal disebebkan oleh
tumor dan kenaikan tekanan intracranial.
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau
invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Perubahan suplai darah
akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak.
Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara
akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer. Serangan kejang
sebagai gejala perunahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompesi invasi dan perubahan
suplai darah ke jaringan otak. Bebrapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim
otak sekitarnya sehingga memperberat ganggguan neurologist fokal.
Peningkatan tekanan intrakranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor: bertambahnya
massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan
serebrospinal. Beberapa tumor dapat menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema yang
disebabkan oleh kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan kenaikan volume
intracranial dan meningkatkan tekanan intracranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari
ventrikel lateral ke ruangan subaraknoid menimbulkan hidrosefalus.

15

Peningkatan tekanan intracranial akan membahayakan jiwa. Mekanisme kompensasi


memerlukan waktu lama untuk menjadi efektif dan oleh karena itu tak berguna apabila tekanan
intrakranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume darah intracranial, volume
cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan mengurangi sel-sel parenkim, kenaikan
tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum yang timbul bilagirus
medialis lobus temporalis bergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam
hemisfer otak. Herniasi menekan mesensenfalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ketiga. Kompresi medula oblogata dan henti pernafasan terjadi dengan cepat.
Perubahan fisiologi lain terjadi akibat peningkatan intracranial yang cepat adalah bradikardia
progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan nadi), dan gangguan pernafasan.
1.5.

Manifestasi Klinis

Gejala umum yang terjadi disebabkan karena gangguan fungsi serebral akibat edema otak
dan tekanan intrakranial yang meningkat. Gejala spesifik terjadi akibat destruksi dan kompresi
jaringan saraf, bisa berupa nyeri kepala, muntah, kejang, penurunan kesadaran, gangguan mental,
gangguan visual dan sebagainya. Edema papil dan defisit neurologis lain biasanya ditemukan
pada stadium yang lebih lanjut.
RAAF dkk, mendapatkan gejala klinis lain yang paling sering adalah berturut-turut sebagai
berikut: kejang-kejang (48%), gangguan visus (29%), gangguan mental (13%) dan gangguan
fokal (10%)
Timbulnya gejala-gejala ini tergantung pada letak tumor dan tingginya tekanan
intrakranial. Gejala-gejala bermacam-macam sesuai dengan fungsi jaringan otak yang ditekan
atau dirusak, dapat perlahan-lahan atau cepat. Menurut Leaven, gangguan fungsi otak ini
penting untuk diagnosa dini.

Gambar. Posisi klasik


pada meningioma

16

Berikut ini gejala-gejala klinis meningioma sesuai dengan lokasi anatomi


Lokasi Tumor
Meningioma falx dan parasagittal
Meningioma Convexitas

Meningioma Sphenoid
Meningioma Olfaktorius

Meningioma fossa posterior

Meningioma suprasellar
Spinal meningioma
Meningioma Intraorbital
Meningioma Intraventrikular

Gejala
nyeri tungkai
kejang,
sakit
kepala,
defisit
neurologis fokal, perubahan status
mental
kurangnya
sensibilitas
wajah,
gangguan
lapangan
pandang,
kebutaan, dan penglihatan ganda
Kurangnya
kepekaan penciuman,
masalah visus.
nyeri tajam pada wajah, mati rasa,
dan
spasme
otot-otot
wajah,
berkurangnya
pendengaran,
gangguan menelan, gangguan gaya
berjalan,
pembengkakan
diskus
optikus,
masalah visus
nyeri punggung, nyeri dada dan
lengan
penurunan
mata
perubahan
pusing

visus,

penonjolan

mental,

sakit

bola

kepala,

Tabel 1. Gejala spesifik berdasarkan lokasi tumor

1.6.
Pemeriksaan Penunjang
Meningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis dari meningioma dapat
ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan gambaran radiologis. Meskipun demikian,
diagnosis pasti serta grading dari meningioma hanya dapat dipastikan melalui biopsi dan
pemeriksaan histologi.
17

Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika dibandingkan dengan
jaringan otak normal. Seringkali tumor juga memberikan gambaran berlobus dan kalsifikasi pada
beberapa kasus. Edema dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi pada 50% kasus karena
pertumbuhan tumor yang lambat, tetapi dapat meluas. Edema lebih dominan terjadi di lapisan
white matter dan mengakibatkan penurunan densitas. Perdarahan, cairan intratumoral, dan
akumulasi cairan dapat jelas terlihat. Invasi sepanjang dura serebri sering muncul akibat
provokasi dari respon osteblas yang menyebabkan hiperostosis pada 25% kasus. Gambaran CT
scan paling baik untuk menunjukan kalsifikasi dari meningioma. Penelitian membuktikan bahwa
45% proses kalsifikasi adalah meningioma.

Gambar. Hasil CT scan meningioma parasagital

Gambar. Hasil CT scan meningioma konveksitas

18

Gambar. Hasil CT scan meningioma sphenoi

Gambar. Hasil CT scan meningioma tentorial


Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens pada sisanya jika
dibandingkan dengan jaringan otak normal. Kelebihan MRI adalah mampu memberikan
gambaran meningioma dalam bentuk resolusi 3 dimensi, membedakan tipe jaringan ikat,
kemampuan multiplanar dan rekonstruksi. MRI dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor,
pembesaran arteri, invasi sinus venosus, dan hubungan antara tumor dengan jaringan sekitarnya.

19

Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa hipervaskular, menilai aliran darah
sinus dan vena. Angiografi dilakukan hanya jika direncakan dilakukan embolisasi preoperasi
untuk mengurangi resiko perdarahan intraoperatif.
Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan nekrosis sentral
seringkali menyerupai gambaran glioma dan muncul pada sekitar 15% kasus meningioma.
Meningioma malignan sering menunjukan gambaran destruksi tulang, nekrosis, gambaran
iregular, dan edema yang luas. Diagnosis banding secara radiografi meliputi metastasis dural,
tumor meningeal primer lain, granuloma dan aneurisma. Metastasis seringkali dikaitkan dengan
edema luas dan destruksi tulang sementara meningioma dikaitkan dengan edema sedang dan
hiperostosis.

1.7.

Penatalaksanaan

Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan pertama.


Beberapa faktor yang mempengaruhi operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor,
ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi,
riwayat operasi sebelumnya dan atau radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya
berubah berdasarkan faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya
mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang untuk
menurunkan kejadian rekurensi.
Pengobatan standar untuk pasien dengan meningioma atipikal atau anaplastik adalah
reseksi bedah saraf. Dengan pendekatan ini, kontrol lokal berkisar antara 50% dan 70%,
tergantung pada status reseksi. Sebuah seri atau studi lebih kecil telah menunjukkan bahwa
radioterapi pasca operasi pada populasi pasien ini dapat meningkatkan harapan hidup, yang
diterjemahkan ke dalam kelangsungan hidup secara keseluruhan. Namun, meningioma dikenal
sebagai tumor radioresisten, dan radiasi dosis 60 Gy atau lebih tinggi telah ditunjukkan
diperlukan untuk kontrol tumor.
Rekomendasi WHO untuk Meningioma Grade I:
1
2

3
4

Pembedahan adalah pengobatan utama untuk pasien yang bukan kandidat untuk elektif.
Reseksi tumor lengkap dikaitkan dengan tingginya tingkat harapan hidup bebas penyakit.
Radioterapi dapat dipertimbangkan dalam kasus lokasi tumor tidak mungkin untuk dioperasi
(seperti sinus cavernous meningioma), tumor yang tidak dapat direseksi, gejala penyakit
sisa, atau tumor berulang. Diagnosis radiologi mungkin cukup dalam kasus ini.
Rekomendasi WHO untuk Meningioma Grade II dan III:
Pengobatan standar operasi ditambah radioterapi. Radioterapi biasanya diberikan dengan
dosis 54-60 Gy, dalam 1.8-2.0 Gy per fraksi.
Pasien dengan tumor selektif mungkin menjadi kandidat untuk radiosurgery stereotactic.
20

Terapi sistemik lainnya dapat dipertimbangkan untuk tumor yang tidak dapat direseksi atau
berulang dalam sebuah uji klinis.

Rencana Preoperatif
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan dapat segera
diberikan, deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2 antagonis beberapa hari
sebelum operasi dilaksanakan. Pemberian antibiotik perioperatif digunakan sebagai profilaksis
pada semua pasien untuk organisme stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III
yang memiliki aktifitas terhadap organisem pseudomonas, serta pemberian metronidazol (untuk
organisme anaerob) ditambahkan apabila operasi direncanakan dengan pendekatan melalui
mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid.
Klasifikasi Simptom dari ukuran reseksi pada meningioma intracranial:
Grade I : Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal
Grade II : Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura
Grade III : Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari perlekatan dura atau
mungkin perluasan ekstradural (misalnya sinus yang terserang atau tulang yang hiperostotik)
Grade IV : Reseksi parsial tumor
Grade V : Dekompresi sederhana (biopsy)
Radioterapi
Radiasi memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan meningioma. Sekitar
4% dari semua meningioma diinduksi radiasi. Menariknya, ini biasanya tidak disertai dengan
mutasi gen NF2. Sering tumor ini berasal dari pinggiran lapangan terpancar. Bukti untuk radiasi
yang berasal dari setidaknya empat sumber:
1 Korban tumor yang telah menerima radiasi pada mata atau leher memiliki insiden yang
signifikan pembentukan meningioma di situs tersebut 20 tahun kemudian.
2 Sebuah studi kohort pada pasien yang diikuti di Israel yang memiliki medan radiasi rendah
untuk kurap kulit kepala telah mengembangkan beberapa meningioma 20 dan 30 tahun
kemudian.
3 Korban di pinggiran ledakan bom atom menjadi menderita meningioma sebagai efek radiasi
tertunda bertahun-tahun kemudian.
4 Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa mulut penuh gigi yang di x-ray yang dihubungkan
dengan insiden lebih besar untuk meningioma.
Ada kebutuhan untuk bekerja yang lebih tepat pada efek dari radiasi pada pembentukan
meningioma.
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak dipakai untuk
terapi. External beam irradiation dengan 4500-6000 cGy dilaporkan efektif untuk melanjutkan
terapi operasi meningioma reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik yang didahului dengan
operasi sebelumnya ataupun tidak. Pada kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena
lokasi yang sulit, keadaan pasien yang buruk, atau pada pasien yang menolak dilakukan operasi,
external beam irradiation masih belum menunjukkan keefektifitasannya. Teori terakhir
21

menyatakan terapi external beam irradiation tampaknya akan efektif pada kasus meningioma
yang agresif (atyppical, malignan), tetapi informasi yang mendukung teori ini belum banyak
dikemukakan.
Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan pertimbangan komplikasi
yang ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf optikus sangat rentan mengalami kerusakan
akibat radioterapi. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan berupa insufisiensi pituitari ataupun
nekrosis akibat radioterapi.
Radiasi Stereotaktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan pada tahun
1960an menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu penggunaan stereotaktik radioterapi
ini semakin banyak dilakukan untuk meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat
melalui teknik yang bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari
Co gamma (gamma knife) atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat (proton, ion
helium) dari cyclotrons. Semua teknik radioterapi dengan stereotaktik ini dapat mengurangi
komplikasi, terutama pada lesi dengan diameter kurang dari 2.5 cm. Steiner dan koleganya
menganalisa pasien meningioma yang diterapi dengan gamma knife dan diobservasi selama 5
tahun. Mereka menemukan sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat dikontrol.
Kondziolka dan kawan-kawan memperhitungkan pengontrolan pertumbuhan tumor dalam 2
tahun pada 96 % kasus. Baru-baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan sampel 99
pasien yang diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan pertumbuhan tumor
sekitar 93 % kasus dengan 61 % massa tumor mengecil. Kejadian defisit neurologis baru pada
pasien yang diterapi dengan stereotaktik tersebut kejadiannya sekitar 5 %.
Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak diketahui
efikasinya untuk terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan
untuk rekuren meningioma atipikal atau jinak baru sedikit sekali diaplikasikan pada pasien,
tetapi terapi menggunakan regimen kemoterapi (baik intravena atau intraarterial cis-platinum,
decarbazine (DTIC) dan Adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte
dan Yung), walaupun regimen tersebut efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak.
Laporan dari Chamberlin pemberian terapi kombinasi menggunakan cyclophosphamide,
Adriamycin, dan vincristine dapat memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-rata sekitar 5.3
tahun. Pemberian obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea sedang dalam penelitian.
Pertumbuhan sel pada meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan menginduksi
apoptosis dari beberapa sel dengan pemberian hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu kasus
pemberian hydroxyurea ini memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan
meningioma yang tidak dapat direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat
memperpanjang waktu terjadinya rekurensi pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan
juga terapi ini kurang menimbulkon toksisitas dibanding pemberian dengan kemoterapi.
Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus dengan
meningioma. Preparat yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen) dan mifepristone (anti
22

progesteron). Tamoxifen (40 mg/m2 2 kali/hari selama 4 hari dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari)
telah digunakan oleh kelompok onkolologi Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang
sulit dilakukan reseksi dan refrakter. Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi
sementara pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan respon minimal atau parsial pada tiga pasien.
Pada dua studi terpisah dilakukan pemberian mifepristone (RU486) 200 mg perhari
selama 2 hingga 31 bulan. Pada studi yang pertama didapatkan 5 dari 14 pasien menunjukkan
perbaikan secara objektif yaitu sedikit pengurangan massa tumor pada empat pasien dan satu
pasien gangguan lapang pandangnya membaik walaupun tidak terdapat pengurangan massa
tumor; terdapat pertumbuhan ulang pada salah satu pasien tersebut. Pada studi yang kedua dari
kelompok Netherlands dengan jumlah pasien 10 orang menunjukkan pertumbuhan tumor
berlanjut pada empat pasien, stabil pada tiga pasien, dan pengurangan ukuran yang minimal pada
tiga pasien. Tiga jenis obat tersebut sedang dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang
lebih besar pada meningioma tetapi sampai sekarang belum ada terapi yang menjadi prosedur
tetap untuk terapi pada tumor ini.
1.8.
Prognosis
Pada umumnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor yang
sempurna akan memberikan penyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa survivalnya
relatif lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan survival rate lima tahun adalah
75%. Pada anak-anak lebih agresif, perubahan menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat
menjadi sangat besar. Pada penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10% meningioma
akan mengalami keganasan dan kekambuhannya tinggi.
Untuk tumor ini, teknik bedah dan pendekatan mungkin memerlukan reevaluasi, dan
pengobatan alternatif atau terapi multimodal memerlukan investigasi lebih lanjut.
Sejak 20 tahun lalu meningioma dipandang sebagai tumor jinak, dan bila letaknya mudah
dapat diangkat seluruhnya. Degenerasi keganasan tampak bila ada invasi dan kerusakan tulang
tumor tidak berkapsul pada saat operasi invasi pada jaringan otak. Angka kematian (mortalitas)
meningioma sebelum operasi jarang dilaporkan, dengan kemajuan teknik dan pengalaman
operasi para ahli bedah maka angka kematian post operasi makin kecil. Diperkirakan angka
kematian post operasi selama lima tahun (19421946) adalah 7.9% dan (19571966) adalah
8.5%. Sebab-sebab kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitu perdarahan dan
edema otak.

23

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. Manajemen Meningioma. Tanpa Tahun; (online), (http://www.google.com, diakses
tanggal 20 Mei 2015).
Black, Peter, et al. 2007. Meningiomas: Science and Surgery. Clinical Neurosurgery. Vol: 54
chapter 16 p. 91-99.
Fauziyah, B., Widjaja, D. Meningioma Intrakranial, Cermin Dunia Kedokteran No. 16, 1979 hal.
37-42.
Fyann E, Khan N, Ojo A. Meningioma. In: SA Journal of Article Radiology.
Louis,D., et al, Meningeal tumours in: WHO Classification of Tumor of The Central Nervous
System, International Agency for Research on Cancer, 4th ed, Lyon, 2007; 164,167-169
Luhulima JW. Menings. Dalam: Anatomi susunan saraf pusat. Makassar: Bagian Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.
Lumongga F. Meninges dan cerebrospinal fluid, USU Repository, 2008.
Mardjono M, Sidharta P. Dalam: Neurologi klinis dasar. : Fakultas Kedokteran Universtas
Indonesia; 2003. Hal 393-4.
Meningioma [cited 2009 November 20]. Available from: http://www.cancer.net
Meningiomas [cited 2009 November 20]. Available from: www. Mayfieldclinic.com
Netter HF, etc. Spinal nerve origin. In: Neuroanatomy and neurophysiology. USA: Icon Custom
Communication: 2002. P. 24
P. Filippo Adamo, Lisa Forrest, Richard Dubielzig. Canine and Feline Meningiomas: Diagnosis
Treatment, and Prognosis. Compendium, 2004;4:951-966.
Park K, John K., Meningioma, www.uptodate.com
Robbins, Cotran, Meningiomas in: Pathologic Basis of Disease, Elsevier Saunders,
Pennsylvania, 2005; 1409-1411.
24

Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritts Neurology. 11th ed. New York: Lippincott Williams &
Wilkins.
Widjaja
D.
Meningioma
Intracranial.
Tanpa
Tahun;
(online),
(http://www.portalkalbe.co.id/files/cdk/files/09MeningiomaIntrakranial016.pdf/09MeningiomaIn
trakranial016.html, diakses tanggal 22 Mei 2015).

25

Anda mungkin juga menyukai