Kepatuhan pajak seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu adanya punishment (sanksi/hukuman) dan probability of detection (kemungkinan terdeteksi), itulah kesimpulan yang bisa didapat dari jurnal yang ditulis oleh Gary S. Becker yang berjudul Crime and Punishment: An Economic Approach. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencanangkan tahun 2016 sebagai Tahun Penegakan Hukum. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sehingga target penerimaan pajak yang dibebankan pada dapat tercapai. Program yang diusung pada tahun 2016 ini adalah dengan pembentukan satgas pemberantasan faktur pajak fiktif; mengoptimalkan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan aktif; serta peningkatan kerjasama dengan instansi lain seperti kejaksaan dan kepolisian. Kebijakan tahun penegakan hukum ini dinilai kurang tepat diterapkan sekarang ini mengingat keterbatasan-keterbatasan yang ada. Jumlah pegawai DJP berjumlah sekitar 32 ribu orang dengan jumlah Wajib Pajak yang mencapai 30 juta berarti satu orang harus mengawasi sekitar 900 Wajib Pajak. Wajib pajak merasa bahwa probability of detection yang ada sangat rendah. Mereka tidak merasa khawatir apabila akan melakukan pelanggaran misalnya dengan tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT), tidak membayar pajak, atau membayar pajak tidak sesuai jumlah yang sebenarnya. Keterbatasan jumlah pegawai juga diiringi dengan belum maksimalnya pemanfaatan data perpajakan. Sistem informasi yang ada dalam DJP masih belum memadai untuk menjaring para penunggak pajak. Data perpajakan yang ada masih belum terintegrasi dengan baik. NPWP ganda, data wajib pajak yang tidak up to date, serta data-data potensi perpajakan yang belum matang merupakan bukti bahwa sistem informasi DJP belum memadai. Ibarat seorang nelayan yang menjaring ikan dengan menggunakan jaring yang rusak. Sepertinya itulah analogi yang tepat untuk mengambarkan kondisi DJP sekarang ini. Dukungan datadata dari eksternal juga diperlukan guna melengkapi data yang sudah dimiliki oleh DJP serta koordinasi yang baik dengan instansi lain. Tahun Penegakan Hukum yang dicanangkan oleh DJP sepertinya tidak sejalan dengan kebijakan yang dijalankan pemerintah. DPR sedang menggodok undang-undang yang mengatur adanya tax amnesty. Di satu sisi DJP ingin membangun citra bahwa dengan pencanangan tahun penegakan hukum DJP tidak akan main-main untuk menghukum para penunggak pajak, akan tetapi di sisi lain dengan adanya undang-undang tax amnesty Wajib Pajak akan merasa aman apabila melakukan pelanggaran. Kurangnya SDM, sistem informasi yang kurang memadai, dan kurangnya koordinasi dengan instansi lain merupakan tiga alasan yang melandasi kurang tepatnya pencanangan tahun 2016 sebagai Tahun Penegakan Hukum. Dengan mengoptimalkan penyuluhan kepada Wajib Pajak dinilai lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Selain itu pembenahan di bagian sistem informasi juga harus menjadi perhatian serius apabila DJP ingin penegakan hukum di bidang perpajakan. Dengan sumber daya pegawai yang ada dan didukung dengan data yang matang potensi perpajakan yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan penerimaan pajak yang sebesar-besarnya. Jangan sampai pencanangan Tahun Penegakan Pajak dinilai sebagai slogan saja tanpa adanya perubahan yang berarti.