Untuk memperoleh laba yang setinggi-tingginya, banyak perusahaan yang melakukan berbagai macam cara, di antaranya dengan meminimalkan beban pajak yang dibayar. Hal tersebut bisa dilakukan dengan dua cara yaitu Tax Evasion (Penggelapan Pajak) dan Tax Avoidance (Penghindaran Pajak). Tax Avoidance adalah cara yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk meminimalkan beban pajak dengan cara memanfaatkan celah yang ada dalam undang-undang dan peraturan perpajakan. Salah satu cara yang termasuk dalam kategori Tax Avoidance adalah pengungkapan transaksi derivative yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Transaksi derivative adalah transaksi instrumen keuangan yang nilainya tergantung pada instrumen keuangan lain (underlying asset). Hal itu dilakukan oleh manajemen dengan tujuan untuk jaga-jaga atau lindung nilai (hedging) yaitu untuk menghindari fluktuasi harga instrumen keuangan yang dilindungi (underlying asset), namun bisa juga untuk spekulasi (tidak ada motif untuk melindungi underlying asset). Misalnya option untuk menjual saham, pada tanggal tertentu di masa depan, pemilik option senilai berhak Rp100/lembar untuk membeli saham pada Rp5000/lembar. Maka bila harga saham di bawah Rp5000, pemilik option tidak akan mengalami kerugian karena penurunan harga saham di-offset dengan kenaikan harga option. Contoh lain misalnya interest swap atas bunga obligasi, selisih antara floating rate dan fixed rate akan mempengaruhi nilai swap contract. Hal ini menjadi sangat berbahaya bila instrumen derivatif digunakan untuk spekulasi sehingga tidak terdapat underlying asset yang meng-offset kerugiannya. Celah penghindaran pajak dapat dilakukan dengan mengakui rugi derivatif untuk spekulasi saat belum terealisasi dan hanya mengakui laba saat terealisasi dengan alasan asas konservatif yang dianut dalam akuntansi. Karena tidak terdapat underlying asset yang meng-offset kerugiannya, kerugian yang dihasilkan sangat besar sekali. Hal itu bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak agar keuntungan yang dilaporkan dalam laporan keuangan menjadi lebih kecil sehingga pajak yang terutang pun menjadi lebih kecil. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Oktavia dan Martani (2013) menyebutkan bahwa penggunaan derivative keuangan tidak berhubungan dengan aktivitas penghindaran pajak, itu berarti bahwa perusahaan yang tidak maupun yang menggunakan derivative keuangan tidak berhubungan signifikan dengan penghindaran pajak. Akan tetapi dijelaskan lebih lanjut bahwa tingkat pengungkapan transaksi keuangan derivative dalam laporan keuangan perusahaan berhubungan dengan tingkat penghindaran pajak. Perusahaan yang tingkat pengungkapan transaksi derivative tinggi mempunyai tingkat penghindaran pajak yang rendah, begitu juga sebaliknya, perusahaan dengan tingkat pengungkapan transaksi derivative yang rendah mempunya tingkat penghindaran pajak yang tinggi. Tingkat penghindaran pajak diukur dengan memperhitungkan Efective Tax Rate (ETR). Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa transaksi derivative sangat berhubungan erat dengan aksi penghindaran pajak. Oleh sebab itu Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi penghimpun pajak di Indonesia diharapkan dapat mencermati fenomena yang ada dan dapat menyesuaikan dengan menerbitkan peraturan perpajakan yang mengatur tentang transaksi derivative ini.
Pendekatan sederhana untuk investasi ekuitas: Panduan pengantar investasi ekuitas untuk memahami apa itu investasi ekuitas, bagaimana cara kerjanya, dan apa strategi utamanya