Anda di halaman 1dari 6

Tax Evasion (pengelakan pajak) merupakan usaha yang dilakukan oleh WP untuk mengurangi pajak atau sama sekali

menghapuskan utang pajak dengan cara melanggar KPPP (unlawful). Contoh: tidak melaporkan seluruh penjualan, memasukkan pembelian fiktif, memasukkan pegawai fiktif, memark-up harga perolehan aktiva, melakukan under-invoice penjualan. Beberapa faktor yang memotivasi wajib pajak untuk melakukan minimalisasi pajak secara ilegal, yaitu: Jumlah pajak yang harus dibayar. Semakin besar pajak yang harus dibayar, semakin besar kecenderungan wajib pajak dalam melakukan pelanggaran. Biaya untuk menyuap fiskus. Semakin kecil biaya untuk menyuap fiskus, semakin besar kecenderungan wajib pajak melakukan pelanggaran. Kemungkinan untuk ketahuan. Semakin kecil kemungkinan pelanggaran terdeteksi, semakin besar kecenderungan wajib pajak dalam melakukan pelanggaran. Besar sanksi. Semakin ringan sanksi atas pelanggaran, semakin besar kecenderungan wajib pajak dalam melakukan pelanggaran. Meminimalkan jumlah pajak terutang seharusnya tidak perlu menggunakan cara-cara ilegal seperti menyembunyikan atau memanipulasi data penghasilan yang sebenarnya seperti yang selama ini dilakukan oleh beberapa wajib pajak terutama wajib pajak badan. Ada cara lain yang dilegalkan oleh aparat perpajakan yaitu melalui penerapan Tax Planning (Perencanaan Pajak). Pada dasarnya ada dua hal yang perlu dilakukan perusahaan yang berkaitan dengan perpajakan. Pertama adalah kegiatan Administrasi Pajak, yaitu menyeleggarakan administrasi perpajakan misalnya memperoleh NPWP, mengisi SPT dan seterusnya. Hal ini berkaitan dengan aktivitas masa lalu. Kedua adalah Perencanaan Pajak yang intinya ialah pengaruh yang dihadapi oleh perusahaan terhadap pajak bila mengambil keputusan tertentu dan keputusan apa yang akan perusahaan ambil setelah mengetahui dampak pajaknya. Ini berkaitan dengan masa yang akan datang. Jadi perencanaan pajak tidak berarti penyelundupan pajak. Pada dasarnya usaha penghematan pajak berdasarkan the least and latest rule yaitu WP selalu berusaha menekan pajak sekecil mungkin dan menunda pembayaran selambat mungkin sebatas masih diperkenankan peraturan perpajakan. Dalam prakteknya, apa yang sesungguhnya diinginkan oleh setiap pembayar pajak adalah efisiensi atau efektifitas memenuhi kewajiban perpajakan. Tax Planning adalah wujud perencanaan efektifitas dan efisiensi tersebut usaha penghindaran pajak (tax avoidance) pada dasarnya adalah dengan menekan dan megendalikan jumlah pajak serendah mungkin

sehingga mencapai angka yang minimum, sepanjang tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Oleh karena itu dalam perencanaan pajak ditetapkan beberapa hal yang dapat menghemat pajak. Dengan tax planning, perusahaan dapat menggunakan celah-celah dari peraturan perpajakan yang berlaku (loopholes) untuk mengefisienkan pembayaran pajak terutangnya tanpa melanggar peraturan pajak yang berlaku. Hal ini merupakan hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perpajakan itu sendiri atau karena kondisi tersebut memang tidak diatur secara spesifik didalam peraturan perpajakan Perencanaan pajak ini penting karena pajak terutama pajak penghasilan merupakan salah satu faktor pengurang yang cukup besar bagi laba perusahaan. Dengan menggunakan cara ini, badan usaha dapat meminimalkan jumlah pembayaran pajak terutangnya sehingga laba yang diperoleh dapat lebih besar. Dalam keadaan yang serba kompleks dan peraturan yang sering berubah-ubah, kebutuhan akan pentingnya tax planning secara berkala meningkat untuk semua tax payers, termasuk wajib pajak badan. Keterbatasan sumber daya dan informasi untuk memahami ketentuan Undang-Undang Perpajakan serta kesadaran wajib pajak yang masih rendah menjadi salah satu alasan masih banyaknya perusahaan yang belum melakukan manajemen pajak untuk meminimalkan pembayaran pajak terutangnya. Hal ini menyebabkan jumlah pajak yang dibayarkan melebihi jumlah yang sebenarnya. Oleh karena itu, peranan tax planning sangat penting dan diperlukan. Strategi yang digunakan dalam tax planning ini adalah memanfaatkan celah yang terdapat pada ketentuan Undang-Undang Perpajakan. Dengan demikian, pajak yang dibayarkan tidak melebihi jumlah yang seharusnya. Pengelakan Pajak (Tax Evasion) Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll).

Kecenderungan wajib pajak melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (dengan asumsi negara yang mempunyai sistem penegakan hukum yang bagus dan orang-orang yang tidak mudah disuap). Yang melakukan pengelakan pajak seringnya adalah para wajib pajakkecil wajib pajak kecil cenderung melakukan pengelakan pajak (Tax Evation). Karena:

Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak. Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.

Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi.

Akibat-Akibat Pengelakan Pajak Dalam bidang keuangan Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan itu, seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi, dll. Dalam bidang ekonomi Pengelakan pajak sangat memengaruhi persaingan sehat di antara para pengusaha. Maksudnya, pengusaha yang melakukan pengelakan pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga, perusahaan yang mengelakkan pajak memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pengusaha yang jujur. Walaupun dengan usaha dan produktifitas yang sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur. Pengelakan pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan ekonomi atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan pengelakan pajak, mereka tidak akan meningkatkan produktifitas mereka. Untuk memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan melakukan pengelakan pajak.

Langkanya modal karena wajib pajak berusaha menyembunyikan penghasilannya agar tidak diketahui fiscus. Sehingga mereka tidak berani menawarkan uang hasil penggelapan pajak tersebut ke pasar modal. Dalam bidang psikologi Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan untuk selalu melanggar undang-undang. Jika wajib pajak menggelapkan pajak, maka wajib pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar undang-undang tidak diketahui oleh fiscus, maka dia akan senang karena tidak terkena sangsi dan menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran undang-undang pajak, tetapi juga undang-undang yang lainnya. Melalaikan Pajak Melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar. Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara menghalangi penyitaan. 1. Jika wajib pajak telah menerima SKP, maka dia harus membayar pajak sesuai dengan SKP tersebut. 2. Jika wajib pajak tidak melakukannya, maka fiscus akan mengirim surat teguran. 3. Jika belum dibayar juga, maka diterbitkanlah surat paksa yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang berlaku. 4. Setelah 2 x 24 jam wajib pajak belum membayar juga, maka diterbitkan surat penyitaan yaitu surat perintah untuk melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu. Wajib pajak akan melakukan usaha untuk menghalangi penyitaan itu dengan cara kasar dan cara halus. Cara kasar: yaitu saat juru sita datang, dilepaskan anjing herder untuk mengusir juru sita tersebut. Ataupun mengancam dengan golok. Cara halus: yaitu dengan cara mengalihkan/memindahtangankan semua harta wajib pajak ke tangan orang lain atau keluarganya secara pura-pura. Untuk memunculkan harta yang

tersembunyi ini, maka wajib pajak disandera. Karena melalaikan pajak bukanlah perbuatan pidana, maka jika wajib pajak disandera, biaya makan dan minum ditanggung oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sandera diberlakukan untuk orang yang berutang, baik utang publik maupun perdata (menurut HIR). Tetapi, ada edaran dari MA bahwa untuk utang perdata, orang yang berutang tidak disandera karena posisi orang yang berutang lebih lemah. Untuk utang pajak termasuk utang publik. Karena itu wajib pajak yang tidak membayar pajak akan disandera. Pelimpahan Pajak H. J. Hofstra, ahli hukum pajak dari Belanda, menambahkan bahwa salah satu bentuk perlawanan aktif pajak yaitu pelimpahan pajak. Hal ini biasa dilakukan oleh wajib pajak dengan melimpahkan kewajiban pajak langsungnya ke pihak lain atau pihak ke tiga. Hal ini adalah pelanggaran undang-undang karena pajak langsung dikenakan kepada wajib pajak untuk wajib pajak itu sendiri tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Karena wajib pajak itu sendiri merupakan destinator. Contoh pelimpahan pajak: Pajak penghasilan (yang seharusnya dibayar sendiri oleh perusahaan) dilimpahkan ke dalam harga barang yang dijual ke masyarakat. Hal ini mengakibatkan harga barang menjadi lebih tinngi dari yang seharusnya. Pelimpahan pajak ini melanggar undang-undang. Kompensasi Pajak Secara Negatif Reaksi lain sebagai gejala perlawanan terhadap pajak yaitu kompensasi pajak secara negatif. Kompensasi pajak secara negatif yaitu: melepaskan pekerjaan sampingan untuk menghindari tarif pajak yang lebih tinggi. Contoh: A adalah seorang akuntan yang bekerja full time di sebuah perusahaan. Gaji per tahunnya Rp 40 juta. Menurut UU PPh, tarif pajaknya 25%. Setelah mempunyai pekerjaan sampingan, pendapatannya menjadi Rp 60 juta/tahun. Karena kenaikan ini, tarif pajaknya menjadi 35%. Karena terkena tarif pajak yang lebih tinggi, maka dia melepas pekerjaan sampingan tersebut.

Secara Positif Kompensasi pajak secara positif bukan merupakan perlawanan terhadap pajak. Hal ini bahkan menguntungkan bagi kas negara. Contoh: B adalah seorang akuntan di sebuah perusahaan dengan pendapatan Rp 40 juta/tahun. Setelah mempunyai pekerjaan sampingan, pendapatannya menjadi Rp 60 juta/tahun. Namun, dia tetap mengambil pekerjaan itu walaupun tarif pajaknya naik karena berpikir bahwa pendapataqnnya juga meningkat.

Anda mungkin juga menyukai