DISUSUN OLEH :
KELOMPOK : I (SATU)
KELAS : 2SA1
2. RICKY FT 17410009
PADANG
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak ada henti-henti nya. Upaya wajib pajak
menghindar dari kewajiban terus saja terjadi. Pejabat negara yang semestinya memaksa
wajib pajak memenuhi kewajibannya justru membantu mereka untuk mengemplang
pajak. Penetapan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo oleh Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagai tersangka pada kasus keberatan
pajak PT Bank Central Asia (BCA) menambah fakta empiris atas asumsi bahwa
“patgulipat” antara wajib pajak dan aparat pajak masih banyak dipraktikkan.
KPK menetapkan Hadi Poernomo, yang juga mantan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pajak PT BCA tahun
1999. Hadi ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal
Pajak tahun 2002-2004, dan akan dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan atau ayat (3) Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum,
yaitu menyalahgunakan wewenang dalam menerima seluruh permohonan wajib pajak atas
Surat Keterangan Pajak Nihil (SKPN) Pajak PT BCA tahun pajak 1999, dan menyalahi
prosedur dengan menerima surat permohonan keberatan pajak BCA. Atas perbuatan
tersebut, negara diduga mengalami kerugian sebesar 375 miliar rupiah, yaitu pajak yang
seharusnya wajib dibayarkan PT BCA kepada negara. Jika perbuatan melawan hukum
Hadi Poernomo terbukti, akan menjadi ironis karena upaya Direktorat Jenderal Pajak
(Ditjen Pajak) melakukan pembenahan dan percepatan reformasi birokrasi dilakukan pada
masa Hadi Poernomo sebagai Dirjen Pajak, yaitu sejak tahun 2002 meskipun secara
nasional baru diresmikan pada tahun 2007.
3
1.2 Tinjauan Teori Mengenai Kasus
1. Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif adalah perlawanan yang inisiatifnya atau bukan kemauan dan
usaha dari para wajib pajak itu sendiri. Perlawanan pasif ini disebabkan oleh struktur
ekonomi, perkembangan moral dan intelektual penduduk, dan teknik pemungutan pajak
itu sendiri. Perlawanan pasif dipengaruhi oleh :
a) Struktur Ekonomi
Struktur eknonomi suatu Negara mempengaruhi pemungutan pajak di Negara
tersebut. Hal ini terkait dengan penghitungan sendiri pendapatan netto oleh wajib pajak
sendiri. Contohnya pajak penghasilan yang diterapkan pada masyarakat agraris. Dalam
hal ini, wajib pajak harus menghitung sendiri. Namun, menghitung pendapatan netto akan
sangat sulit dilakukan oleh masyarakat agraris. Karena itu, timbullah perlawanan pasif
terhadap pajak.
4
c) Teknik pemungutan pajak itu sendiri
cara perhitungan pajak yang rumit dan memerlukan pengisian formulir yang rumit
menyebabkan adanya penghindaran pajak, prosedur yang berbelit-belit dan menyulitkan
wajib pajak dan membuka celah untuk negosiasi antara petugas dan pembayar pajak juga
dapat mengakibatkan adanya penghindaran pajak.
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu
sendiri. Hal ini merupakan usaha yang secara langsung dan bertujuan untuk menghindari
pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar. Perlawanan aktif
terhadap pajak ada 3 cara, yaitu:
Menahan Diri
Maksudnya adalah para wajib pajak ini tidak ingin terkena pajak, maka mereka
melakukan sesuatu yang nantinya bisa dikenai pajak. Contohnya jika tidak mau terkena
cukai tembakau, maka tidak merokok.
Pindah Lokasi
Maksudnya, para wajib pajak yang memiliki usaha, karena mereka ingin
mendapatkan pajak yang kecil untuk usaha mereka, maka mereka pindah lokasi ke daerah
yang tariff pajaknya rendah seperti di Indonesia Timur.
5
Penghindaran Pajak secara Yuridis
Melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang
dilakukan tidak terkena pajak. Ini disebabkan karena para wajib pajak memanfaatkan
celah dan ketidakjelasan yang terdapat dalam undang-undang. Kenapa tidak jelas? Ini
disebabkan karena undang-undang tersebut dibuat dengan kepentingan-kepentingan
tertentu. Kepentingan tersebut bisa datang dari mana saja, dan kepentingan tersebut bisa
saja berbeda-beda tiap orang. Maka sang pembuat undang-undang akan mencari jalan
kompromi yang hasilnya bisa memuaskan semua kepentingan. Akhirnya undang-undang
ini akan menjadi tidak jelas. Dan akibatnya, bisa saja wajib pajak menafsirkan undang-
undang tersebut sesuai dengan kepentingannya dan fiscus menafsirkannya sesuai dengan
kepentingan Negara.
6
performancenya akan turun sehingga harga sahamnya turun. Hal ini mengakibatkan
pamornya turun di depan relasi dagangnya. Sehingga mereka akan kehilangan relasi
yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibandingkan pengurangan tarif
pajak.
Wajib pajak kecil cenderung melakukan pengelakan pajak (Tax Evation), Karena:
Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak.
Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil
kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.
Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena biaya yang
dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak
seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi.
7
administrasi dan sanksi pidana. Beberapa undang-undang yang mencantumkan sanksi
pidana adalah :
a) UU No 13 tahun 2000 (UU KUP – diatur dalam Pasal 38 s.d. 43)
b) UU No. 12 Tahun 1994 (diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25)
c) UU No. 13 tahun 1985 (diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14)
d) UU No. 18 tahun 1997 (diatur dalam Pasal 37 s.d. Pasal 40)
Sumber hukum lain yang digunakan sebagai acuan dalam penegakan hukum pajak
adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam UU KUP No. 28 tahun
2007 tentang perubahan ketiga UU No. 6 tahun 1983 tentang KUP, ketentuan pidana
diatur dalam Pasal 38 sampai dengan pasal 43A, yaitu ketentuan pidana baik yang
ditujukan bagi wajib pajak maupun yang ditujukan bagi pegawai pajak (fiskus).
Sedangkan ketentuan pidana bagi pejabat pajak diatur dalam pasal 41.
Dari semua pasal tindak pidana tersebut, pada prinsipnya dapat dikualifikasikan
dalam dua jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana
kejahatan. Dalam pasal 38 UU KUP, hukuman untuk tindak pidana pelanggaran
perpajakan adalah pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau denda paling tinggi
dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. Wajib pajak melakukan
tindak pidana pelanggaran apabila perbuatannya dilakukan bukan dengan sengaja atau
terjadi karena kelalaian, sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Dalam UU KUP tindak pidana perpajakan yang terjadi karena
kealpaan wajib pajak tidak hanya diatur dalam Pasal 38 tetapi juga diatur dalam Pasal
13A UU KUP No. 28 Tahun 2007. Selanjutnya Pasal 38 UU No. 28 tahun 2007
menyatakan bahwa “setiap orang yang karena kealpaannya :
Tidak menyampaikan surat pemberitahuan, atau
Menyampaikan SP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan
yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A.
8
Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana kejahatan, ancaman
pidananya lebih berat dari tindak pidana pelanggaran, yaitu pidana penjara paling singkat
6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2x jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4x jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar. Bahkan apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana perpajakan
sebelum lewat satu tahun sejak selesainya menjalani sebagain atau seluruh pidana penjara
yang dijatuhkan, ancaman pidananya ditambahkan 1x menjadi 2x sanksi pidana tersebut
diatas.
Dari ketentuan pasal 38,39, dan 39A diatas paling tidak dapat dikelompokan
dalam enam kelompok tindak pidana perpajakan yaitu :
1. Tindak pidana berkaitan dengan pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pajak
Wajib Pajak (NPWP) dan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Tindak pidana berkaitan dengan pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan
(SPT).
3. Tindak pidana berkaitan dengan penolakan pemeriksaan.
4. Tindak pidana berkaitan dengan kewajiban penyelenggaran pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain yang palsu atau dipalsukan.
5. Tindak pidana berkaitan dengan penyetoran pajak yang telah dipotong atau
dipungut.
6. Tindak pidana berkaitan dengan penerbitan dan penggunaan faktur pajak bukti
pemungutan pajak dan bukti setoran pajak yang tidak sesuai dengan transaksi
yang sebenarnya.
Tindak pidana perpajakan selain bisa dilakukan oleh pelakunya langsung (dader)
juga bisa dilakukan oleh pihak lain yang tidak secara langsung melakukan tindak pidana.
Mereka yang terlibat bisa digolongkan dalam empat golongan, yaitu :
Golongan pertama, mereka yang menyuruh melakukan (deonpleger)
Golongan kedua, yang turut serta melakukan (mededader)
Golongan ketiga, mereka yang menganjurkan (uitlokker)
9
Golongan keempat, mereka yang membantu melakukan (medeplichtigheid) tindak
pidana dibidang perpajakan.
10
BAB II
PEMBAHASAN
11
2002
Dirjen Pajak mengoreksi laba BCA, bukan cuma Rp 174 miliar, tapi
Rp 6,78 triliun. Salah satu yang mendongkrak angka laba, penghapusan utang
bermasalah Rp 5,77 triliun itu dianggap sebagai pemasukan bagi BCA. Karena itu,
BCA mesti membayar pajak Rp 375 miliar.
Pada laporan tersebut disebutkan bahwa Bank BCA membukukan laba
fiscal sebesar Rp 174 miliar. Namun Direktorat Jenderal Pajak menemukan
temuan lain, keuntungan laba fiskal BCA pada 1999 mencapai Rp 6,78 triliun.
Pembengkakan laba fiskal ini bersumber dari transaksi pengalihan aset kredit
bermasalah (non-performing loan/NPL) Bank BCA ke Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp 5,7 triliun. Penghapusan utang
bermasalah Rp 5,7 triliun itu dianggap sebagai pemasukan bagi BCA.
Disinilah yang menjadi perdebatan, jika menurut penjelasan pihak Bank
BCA, angka Rp 5,7 triliun itu adalah transaksi jual beli piutang BCA terhadap
BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Sebagai penerima Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI), BCA memiliki utang kepada negara. Di bawah
pengelolaan BPPN, BCA membayar utangnya itu dengan saham. Padahal aturan
pajak, Bank yang take over terjadi "proses jual-beli" dari BCA ke BPPN. BCA
mendapat pembayaran dari BPPN (laba bank), Karena BCA mendapat dana segar
berupa pembayaran dari BPPN, ini termasuk LABA USAHA, yg harus dipungut
pajak. Dengan kata lain, bagi BCA angka Rp 5,7 triliun bukan non performing
loan(NPL), sedangkan sebaliknya, bagi Ditjen Pajak, angka Rp 5,7 triliun itu
adalah bentuk penghapusan utang, sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375
miliar.
Perhatikan dengan seksama NPL menurut versi Bank BCA. Bagi Bank
BCA, pasca krisis 1998 BCA berhasil membukukan laba fiscal sebesar RP 174
miliar di tahun 1999. Barulah kemudian pada tahun 2002, Direktorat Jenderal
Pajak melakukan pendalaman pada laporan BCA, pada hasil telaah Ditjen Pajak
laba fiscal versi BCA direvisi menjadi Rp 6,78 triliun.
Atas hasil temuan Ditjen Pajak, BCA mengklarifikasinya dengan berkilah,
bahwa angka tersebut berasal dari pengalihan utang pemerintah menjadi saham
12
sebesar Rp 5,7 triliun. Konfersi utang pemerintah menjadi saham menyulap laba
fiskal Bank BCA yang semula Rp 174 miliar menjadi Rp 6,78 triliun.
Dari sini kita bisa ambil kesimpulan, bahwa angka Rp 5,7 triliun adalah
vonis yang telah dijatuhkan dari Ditjen Pajak atas Bank BCA.
2003
Tanggal 17 Juni 2003 BCA menyatakan keberatan pengalihan utang
bermasalah itu dimasukkan sebagai pendapatan sehingga ada beban pajak
tambahan ratusan miliar rupiah. Apalagi hasil penjualan aset BPPN berhasil
menjual senilai Rp 3,29 triliun tidak ada yang masuk BCA.
2004
Tanggal 13 Maret Direktur Pajak Penghasilan (PPh) Direktorat Jenderal
Pajak Sumihar Petrus Tambunan mengirim surat pengantar risalah keberatan
kepada Dirjen Pajak, yang dijabat oleh Hadi Poernomo.
Tanggal 17 Juli Hadi Poernomo mengirim nota dinas kepada Direktur PPh. Dalam
nota itu, Hadi meminta Sumihar mengubah kesimpulan pemeriksaan dari semula
“menolak” menjadi “menerima” permohonan keberatan pajak PT Bank BCA.
Jatuh tempo pembayaran pajak PT Bank BCA adalah sehari setelahnya, 18 Juli
2004, sehingga Sumihar tidak sempat memberikan argumen.
2014
Tanggal 21 April 2014 KPK menetapkan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Hadi diduga
bermain dalam urusan pajak BCA dengan menerbitkan nota dinas untuk
mengabulkan permohonan keberatan pajak Bank BCA. KPK menjerat Hadi
dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
dengan perkiraan kerugian negara Rp 375 miliar
13
2.2 Materi Yang Diajukan
Materi yang diajukan oleh pihak Bank BCA terkait kasus pengajuan
banding tersebut adalah BCA menilai transaksi pengalihan aset ke BPPN
merupakan jual-beli-piutang. Namun Ditjen Pajak menilainya sebagai transaksi
penghapusan piutang macet atau non-performing loan (NPL), Karena ada
perbedaan itu, pada 17 Juni 2003 BCA mengajukan surat keberatan ke Ditjen
Pajak terkait koreksi transaksi pengalihan piutang macet kepada BPPN tahun 1999
sebesar Rp 5,77 trilyun. Sesuai Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No
SP-165/BPPN/0600. Hal inilah yang menjadi salah satu sengketa, karena beda
persepsi dan penafsiran Peraturan Perpajakan. Menurut pihak BCA hal itu
seharusnya tidak dikoreksi dengan alasan transaksi pengalihan aset itu merupakan
jual beli piutang sejalan dengan instruksi Menteri Keuangan No
117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia No 31/15/KEP/GBI tanggal 26
Maret 1998.
Putusan atau hasil dari pengajuan banding yang diajukan oleh Pihak BCA
atas tuduhan menyalahi aturan perhitungan pajak adalah : Direktur PPh
mengeluarkan hasil risalah beserta kesimpulan. Inti risalah itu menyebut bahwa
keberatan pajak yang dimohonkan oleh Bank BCA ditolak. Dan Bank BCA
diwajibkan memenuhi pembayaran pajak tahun 1999 sebesar Rp 5,77 trilyun
dengan batas waktu pembayaran 18 Juli 2004.
14
Namun, setelah diusut kembali ternyata Hadi Purnomo lah yang
melakukan pemanipulasian data, dimana yang seharusnya keberatan BCA ditolak
oleh Direktur Pph namun malah Hadi Purnomo meminta Direktur Pajak
mengganti putusan tersebut menjadi diterima sepenuhnya. Inilah yang akhirnya
mengakibatkan hadi Purnomo ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka.
15
Akan tetapi, kasus korupsi pajak BCA ini justru diserahkan kepada
Mahkamah Agung untuk menentukan titik hasilnya.
Pasca melakukan penelaahan yang dilakukan Mahkamah Agung terkait
kasus korupsi pajak BCA, bahwa Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa
KPK ditolak. Hal ini karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma (Peraturan Mahkamah
Agung) yang berisi tentang yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali ialah
tersangka dan ahli waris. Hal ini yang kemudian justru membuat KPK mengalami
kebuntuan untuk menyelesaikan kasus korupsi pajak BCA
Namun, KPK tidak tinggal diam begitu saja dengan keputusan Mahkamah
Agung tersebut. KPK di kenal sebagai lembaga antirasuah tersebut mempunyai
rencana untuk menyelesaikan kasus korupsi pajak BCA tersebut dengan
mengeluarkan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) baru. Dengan dikeluarkannya
Sprindik baru untuk menyelesaikan kasus korupsi pajak BCA tersebut bukan
untuk menjerat Hadi Poernomo kembali menjadi tersangka. Akan tetapi menjerat
tersangka yang baru yang terlibat dalam kasus korupsi pajak BCA tersebut.
Namun, dalam mempelajari kasus korupsi pajak BCA ini justru KPK
hanya mengumbar janji begitu saja. Mengapa? Dari mulai penolakan Peninjauan
Kembali dari Mahkamah Agung, kemudian akan dilakukan gelar perkara,
kemudian belum tutup buku kasus korupsi pajak BCA ini, hingga di awal tahun
2017 ini KPK berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus mangkrak (termasuk
korupsi pajak BCA) tetapi tidak ada perkembangannya lagi. Kita sebagai
masyarakat hanya bisa berharap kalau kasus korupsi pajak BCA tersebut dapat
diselesaikan sesegera mungkin karena adanya kerugian negara juga dalam sektor
Pajak.
16
2.5 Pembahasan Teori
Upaya Hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak sebagai berikut:
1. Upaya Keberatan
17
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/
pemungutan oleh pihak ketiga.
18
1.3 Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
Upaya banding dilakukan apabila Wajib Pajak tidak atau belum puas
dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan
banding kepada badan peradilan pajak, dengan syarat:
19
2.1 Imbalan Bunga
3. Upaya Gugatan
20
3.1 Syarat Pengajuan Gugatan
1. Harus diajukan dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal diterima keputusan
pelaksanaan penagihan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Gugatan juga dapat diajukan selain atas keputusan pelaksanaan adalah dalam
jangka waktu 30 hari sejak diterima keputusan yang digugat.
3. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1
(satu) Surat Gugatan.
4. Gugatan diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan
tanggal diterima surat keputusan pelaksanaan penagihan.
5. Dalam mengajukan gugatan juga disertai alasan-alasan yang jelas, dan
dicantumkan tanggal diterima surat keputusan pelaksanaan penagihan
4. Peninjauan Kembali
21
3. Permohonan peninjauan kembali (PK) dapat dicabut sebelum diputus, dan
dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat
diajukan lagi.
1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu;
2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan,
yang apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan Pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda;
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak, dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut, kecuali yang diputus berupa mengabulkan sebagian atau
seluruhnya atau menambah Pajak yang harus dibayar;
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
4.4 Hal-hal lain yang perlu diketahui mengenai peninjauan kembali (PK)
23
BAB III
KESIMPULAN
Dengan adanya isu dugaan penggelapan dana pajak yang cukup besar pada sebuah
perusahaan publik, menjadi sebuah tanda bahwasanya walaupun perusahaan besar tetapi
masih lemah dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance terutama
dalam hal menyampaikan berita yang akurat serta prinsip responsibility berupa kurang
dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku. Hal ini juga merupakan bukti bahwa
kurangnya pengawasan dari pihak-pihak yang terkait di pasar modal sehingga
menyebabkan kerugian negara yang cukup besar. Walaupun hanya sebatas dugaan, ini
sudah menjadi bukti awal bahwa dalam menjalankan bisnis itikad baik dalam
menjalankan bisnis tidak ada.
Penggelapan pajak BCA ini terjadi dikarenakan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh hadi purnomo yaitu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam
menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas SKPN PPH BCA tahun 1999
diajukan pada 17 Juli 2003. Padahal saat itu bank lain juga megajukan permohonan sama
tapi semuanya ditolak.
Hadi selaku dirjen pajak 2002 sampai 2004 mengabulkan permohonan keberatan
pajak BCA melaui nota dinas bernomor ND-192/PJ/2004 pada 17 Juni 2004. Menurut
hadi, BCA dianggap masih memiliki asset dan kredit macet yang ditangani Badan
Penyehatan Perbankan Nasional sehingga koreksi Rp 5,5 triliun itu dibatalkan. Karena
pembatalan tersebut, negara kehilangan Pajak Penghasilan dari koreksi penghasilan BCA.
24
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com/tatangsutaya1/kronologis-kasus-pajak-
bca_54f601a5a333116a7d8b47f1
http://kabar24.bisnis.com/read/20160628/16/562048/kasus-wajib-pajak-bca-hadi-poernomo-
bebas-dari-jeratan-kpk
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/05/06/326254/fampi-desak-kpk-usut-kasus-pajak-
bank-bca
http://www.wikiapbn.org/tindak-pidana-di-bidang-perpajakan
http://studyworkframe.blogspot.co.id/2015/07/ruang-lingkup-pajak.html
https://www.scribd.com/doc/266931585/Analisis-Kasus-Penggelapan-Pajak
http://www.academia.edu/18331009/Penghindaran_Pajak_Tax_Avoidance_dan_Tax_Evasion
http://tegarnawawy.blogspot.co.id/2013/11/hambatan-dalam-pemungutan-pajak.html
25