Anda di halaman 1dari 25

KASUS PENGGELAPAN PAJAK BANK BCA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK : I (SATU)

KELAS : 2SA1

MATA KULIAH : PENGANTAR PERPAJAKAN

NAMA ANGGOTA : 1. NELMAYESI 17410001

2. RICKY FT 17410009

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS DHARMA ANDALAS

PADANG

2018
1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan
(wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak
adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan „kerelaan
wajib pajak‟. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak
rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat,
kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban yang akan mengurangi laba bersih perusahaan,
maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil
mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak
harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di
kemudian hari. Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini
perbuatan kriminal karena menyalahi aturan yang berlaku.

Tindak pidana di bidang perpajakan tidak ada henti-henti nya. Upaya wajib pajak
menghindar dari kewajiban terus saja terjadi. Pejabat negara yang semestinya memaksa
wajib pajak memenuhi kewajibannya justru membantu mereka untuk mengemplang
pajak. Penetapan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo oleh Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sebagai tersangka pada kasus keberatan
pajak PT Bank Central Asia (BCA) menambah fakta empiris atas asumsi bahwa
“patgulipat” antara wajib pajak dan aparat pajak masih banyak dipraktikkan.

KPK menetapkan Hadi Poernomo, yang juga mantan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pajak PT BCA tahun
1999. Hadi ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal
Pajak tahun 2002-2004, dan akan dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan atau ayat (3) Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum,
yaitu menyalahgunakan wewenang dalam menerima seluruh permohonan wajib pajak atas
Surat Keterangan Pajak Nihil (SKPN) Pajak PT BCA tahun pajak 1999, dan menyalahi
prosedur dengan menerima surat permohonan keberatan pajak BCA. Atas perbuatan
tersebut, negara diduga mengalami kerugian sebesar 375 miliar rupiah, yaitu pajak yang
seharusnya wajib dibayarkan PT BCA kepada negara. Jika perbuatan melawan hukum
Hadi Poernomo terbukti, akan menjadi ironis karena upaya Direktorat Jenderal Pajak
(Ditjen Pajak) melakukan pembenahan dan percepatan reformasi birokrasi dilakukan pada
masa Hadi Poernomo sebagai Dirjen Pajak, yaitu sejak tahun 2002 meskipun secara
nasional baru diresmikan pada tahun 2007.

3
1.2 Tinjauan Teori Mengenai Kasus

1.2.1 Teori Perlawanan Pajak


Realita pemungutan pajak pasti akan menemui berbagai hambatan. Bagi sebagian
orang dan pelaku dunia usaha, pajak merupakan sebuah beban yang akan mengurangi
pendapatan mereka. Penghindaran dan perlawanan terhadap pemungutan pajak
merupakan suatu bentuk hambatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya penerimaan
kas Negara. Bentuk perlawanan terhadap pajak terdiri dari dua yaitu perlawanan aktif dan
perlawanan pasif.

1. Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif adalah perlawanan yang inisiatifnya atau bukan kemauan dan
usaha dari para wajib pajak itu sendiri. Perlawanan pasif ini disebabkan oleh struktur
ekonomi, perkembangan moral dan intelektual penduduk, dan teknik pemungutan pajak
itu sendiri. Perlawanan pasif dipengaruhi oleh :

a) Struktur Ekonomi
Struktur eknonomi suatu Negara mempengaruhi pemungutan pajak di Negara
tersebut. Hal ini terkait dengan penghitungan sendiri pendapatan netto oleh wajib pajak
sendiri. Contohnya pajak penghasilan yang diterapkan pada masyarakat agraris. Dalam
hal ini, wajib pajak harus menghitung sendiri. Namun, menghitung pendapatan netto akan
sangat sulit dilakukan oleh masyarakat agraris. Karena itu, timbullah perlawanan pasif
terhadap pajak.

b) Perkembangan moral dan intelektual penduduk


Yaitu perlawanan pasif yang timbul dari lemahnya system kontrol yang dilakukan
oleh fiskus ataupun karena objek dari pajak itu sendiri yang sulit untuk dikontrol.
Contohnya di Belgia terdapat pajak yang dikenakan terhadap permata. Dikarenakan
ukuran permata yang kecil dan sulit dikontrol keberadaannya maka bisa saja pemilik
permata ini menyembunyikannya agar terhindar dari pengenaan pajak.

4
c) Teknik pemungutan pajak itu sendiri
cara perhitungan pajak yang rumit dan memerlukan pengisian formulir yang rumit
menyebabkan adanya penghindaran pajak, prosedur yang berbelit-belit dan menyulitkan
wajib pajak dan membuka celah untuk negosiasi antara petugas dan pembayar pajak juga
dapat mengakibatkan adanya penghindaran pajak.

2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu
sendiri. Hal ini merupakan usaha yang secara langsung dan bertujuan untuk menghindari
pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar. Perlawanan aktif
terhadap pajak ada 3 cara, yaitu:

a) Penghindaran Pajak (Tax Avoiden)


Penghindaran yang dilakukan wajib pajak masih dalam kerangka peraturan
perpajakan. Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak
ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang
dengan jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
pembuat undang-undang. Penghindaran dari pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:

 Menahan Diri
Maksudnya adalah para wajib pajak ini tidak ingin terkena pajak, maka mereka
melakukan sesuatu yang nantinya bisa dikenai pajak. Contohnya jika tidak mau terkena
cukai tembakau, maka tidak merokok.

 Pindah Lokasi
Maksudnya, para wajib pajak yang memiliki usaha, karena mereka ingin
mendapatkan pajak yang kecil untuk usaha mereka, maka mereka pindah lokasi ke daerah
yang tariff pajaknya rendah seperti di Indonesia Timur.

5
 Penghindaran Pajak secara Yuridis
Melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang
dilakukan tidak terkena pajak. Ini disebabkan karena para wajib pajak memanfaatkan
celah dan ketidakjelasan yang terdapat dalam undang-undang. Kenapa tidak jelas? Ini
disebabkan karena undang-undang tersebut dibuat dengan kepentingan-kepentingan
tertentu. Kepentingan tersebut bisa datang dari mana saja, dan kepentingan tersebut bisa
saja berbeda-beda tiap orang. Maka sang pembuat undang-undang akan mencari jalan
kompromi yang hasilnya bisa memuaskan semua kepentingan. Akhirnya undang-undang
ini akan menjadi tidak jelas. Dan akibatnya, bisa saja wajib pajak menafsirkan undang-
undang tersebut sesuai dengan kepentingannya dan fiscus menafsirkannya sesuai dengan
kepentingan Negara.

b) Pengelakan Pajak (Tax Evasion)


Pengelakan pajak dilakukan dengan cara-cara yang melanggar undang-undang.
Pengelakan pajak ini terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar
penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Disetiap
Negara, wajib pajak terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinasional corporation
yang terdiri dari perusahaan penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari
professional bebas).

Penyebab Terjadinya Tax Avoidance Dan Tax Evasion :

Wajib pajak besar memiliki kecenderungan untuk melakukan penghindaran pajak


(Tax Avoidance), karena:
 Perusahaan besar memiliki biro-biro hukum atau tim lawyer yang tangguh yang
mampu mencari celah dalam undang-undang pajak.
 Pembukuan dilakukan oleh banyak orang sehingga risiko terjadinya kebocoran juga
besar.
 Jika wajib pajak besar ingin melakukan pengelakan pajak, mereka harus
memperkecil keuntungannya di mata publik. Perusahaan yang labanya kecil,

6
performancenya akan turun sehingga harga sahamnya turun. Hal ini mengakibatkan
pamornya turun di depan relasi dagangnya. Sehingga mereka akan kehilangan relasi
yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibandingkan pengurangan tarif
pajak.

Wajib pajak kecil cenderung melakukan pengelakan pajak (Tax Evation), Karena:
 Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak.
 Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil
kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.
 Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena biaya yang
dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak
seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi.

1.2.2 Tindak Pidana Perpajakan


Pengertian tindak pidana disebut juga dengan istilah “delik”. Kata delik berasal
dari bahasa latin yaitu “delictum” dan dalam bahasa Belanda disebut “delict”. Sedangkan
dalam bahasa Indonesia delik diartikan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
karena pelanggaran terhadap undang-undang.
Dalam konsteks hukum pajak, pengertian tindak pidana pajak mempunyai arti
suatu peristiwa atau tindakan melanggar hukum atau undang-undang pajak yang
dilakukan oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan
oleh undang-undang pajak telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana yang dapat
dihukum.
Pemberian sanksi pidana, diatur dalam undang-undang pajak sebenarnya
merupakan senjata apabila sanksi adminitrasi dirasa belum cukup untuk mencapai tujuan
penegakan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Penegakan hukum atas peristiwa
tindak pidana pajak mempunyai implikasi yang pada akhirnya bermuara pada penerimaan
negara yang menjadi tugas pemerintah guna kepentingan bersama.
Dalam undang-undang perpajakan diatur adanya dua macam sanksi yang dapat
diterapkan kepada wajib pajak apabila wajib pajak melanggar UU pajak, yaitu sanksi

7
administrasi dan sanksi pidana. Beberapa undang-undang yang mencantumkan sanksi
pidana adalah :
a) UU No 13 tahun 2000 (UU KUP – diatur dalam Pasal 38 s.d. 43)
b) UU No. 12 Tahun 1994 (diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25)
c) UU No. 13 tahun 1985 (diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14)
d) UU No. 18 tahun 1997 (diatur dalam Pasal 37 s.d. Pasal 40)

Sumber hukum lain yang digunakan sebagai acuan dalam penegakan hukum pajak
adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam UU KUP No. 28 tahun
2007 tentang perubahan ketiga UU No. 6 tahun 1983 tentang KUP, ketentuan pidana
diatur dalam Pasal 38 sampai dengan pasal 43A, yaitu ketentuan pidana baik yang
ditujukan bagi wajib pajak maupun yang ditujukan bagi pegawai pajak (fiskus).
Sedangkan ketentuan pidana bagi pejabat pajak diatur dalam pasal 41.

Dari semua pasal tindak pidana tersebut, pada prinsipnya dapat dikualifikasikan
dalam dua jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana
kejahatan. Dalam pasal 38 UU KUP, hukuman untuk tindak pidana pelanggaran
perpajakan adalah pidana kurungan paling lama satu tahun dan atau denda paling tinggi
dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar. Wajib pajak melakukan
tindak pidana pelanggaran apabila perbuatannya dilakukan bukan dengan sengaja atau
terjadi karena kelalaian, sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Dalam UU KUP tindak pidana perpajakan yang terjadi karena
kealpaan wajib pajak tidak hanya diatur dalam Pasal 38 tetapi juga diatur dalam Pasal
13A UU KUP No. 28 Tahun 2007. Selanjutnya Pasal 38 UU No. 28 tahun 2007
menyatakan bahwa “setiap orang yang karena kealpaannya :
 Tidak menyampaikan surat pemberitahuan, atau
 Menyampaikan SP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan
yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A.

8
Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana kejahatan, ancaman
pidananya lebih berat dari tindak pidana pelanggaran, yaitu pidana penjara paling singkat
6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2x jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4x jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar. Bahkan apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana perpajakan
sebelum lewat satu tahun sejak selesainya menjalani sebagain atau seluruh pidana penjara
yang dijatuhkan, ancaman pidananya ditambahkan 1x menjadi 2x sanksi pidana tersebut
diatas.

Dari ketentuan pasal 38,39, dan 39A diatas paling tidak dapat dikelompokan
dalam enam kelompok tindak pidana perpajakan yaitu :
1. Tindak pidana berkaitan dengan pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pajak
Wajib Pajak (NPWP) dan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Tindak pidana berkaitan dengan pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan
(SPT).
3. Tindak pidana berkaitan dengan penolakan pemeriksaan.
4. Tindak pidana berkaitan dengan kewajiban penyelenggaran pembukuan,
pencatatan, dan dokumen lain yang palsu atau dipalsukan.
5. Tindak pidana berkaitan dengan penyetoran pajak yang telah dipotong atau
dipungut.
6. Tindak pidana berkaitan dengan penerbitan dan penggunaan faktur pajak bukti
pemungutan pajak dan bukti setoran pajak yang tidak sesuai dengan transaksi
yang sebenarnya.

Tindak pidana perpajakan selain bisa dilakukan oleh pelakunya langsung (dader)
juga bisa dilakukan oleh pihak lain yang tidak secara langsung melakukan tindak pidana.
Mereka yang terlibat bisa digolongkan dalam empat golongan, yaitu :
 Golongan pertama, mereka yang menyuruh melakukan (deonpleger)
 Golongan kedua, yang turut serta melakukan (mededader)
 Golongan ketiga, mereka yang menganjurkan (uitlokker)

9
 Golongan keempat, mereka yang membantu melakukan (medeplichtigheid) tindak
pidana dibidang perpajakan.

1.2.3 Kelompok Tindak Pidana Kasus


Penulis menyimpulkan Ada beberapa kelompok tindak pidana yang ada pada
kasus penggelapan pajak Bank BCA.
1. Tindak pidana berkaitan dengan kewajiban penyelenggaran pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain yang palsu atau dipalsukan. Hal ini terlihat pada koreksi laba yang
dilakukan Dirjen Pajak pada tahun 1999, dimanabukan cuma Rp 174 miliar, tapi Rp
6,78 triliun. Salah satu yang mendongkrak angka laba, penghapusan utang bermasalah
Rp 5,77 triliun itu dianggap sebagai pemasukan bagi BCA dan BCA tidak melaporkan.
Karena itu, BCA mesti membayar pajak Rp 375 miliar.
2. Tindak pidana berkaitan dengan penyetoran pajak yang telah dipotong atau dipungut.
Pajak yang disetorkan oleh BCA tidak benar karena laba yang dilaporkan lebih rendah
dari hasil koreksi Dirjen Pajak.
3. Tindak pidana perpajakan selain bisa dilakukan oleh pelakunya langsung (dader) juga
bisa dilakukan oleh pihak lain yang tidak secara langsung melakukan tindak pidana
yaitu pada Golongan keempat, mereka yang membantu melakukan (medeplichtigheid)
tindak pidana dibidang perpajakan. Dimana Hadi Purnomo yang saat itu menjabat
sebagai Dirjen Pajak yang juga mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
diduga melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu menyalahgunakan wewenang
dalam menerima seluruh permohonan wajib pajak atas Surat Keterangan Pajak Nihil
(SKPN) Pajak PT BCA tahun pajak 1999, dan menyalahi prosedur dengan menerima
surat permohonan keberatan pajak BCA.

10
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kronologis Kasus BCA


Berikut rentetean kejadian kasus penggelapan pajak oleh BCA :
 1998
BCA rugi Rp 29 triliun akibat rush dan kredit macet. Pemerintah
menyuntikkan dana ke BCA dan mengambil alih 92,8 persen sahamnya. Dalam
dunia perbankan internasional Rush money diartikan sebagai saat banyak nasabah
memutuskan untuk menarik uang mereka secara besar-besaran di bank karna
ketakutan, kepanikan atau ketidakpercayaan nasabah pada kemampuan bank untuk
mengelola bisnisnya.. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur baik
perorangan atau perusahaan tidak mampu membayar kredit di bank tepat pada
waktunya. Kedua hal ini justru meyebabkan sebuah bank yang sebenarnya dalam
kondisi stabil mengalami resiko kebangkrutan. Sesuai UU Perpajakan kerugian
tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan tahun berikutnya dan dibatasi
hingga 5 tahun saja atau biasa disebut “Tax loss carry forward”.
 1999
Untuk mengurangi angka kredit macet di pembukuan, pemerintah
menghapus utang bermasalah BCA senilai Rp 5,77 triliun dengan hak tagih dan
aset jaminannya diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Tahun itu, BCA untung Rp 174 miliar.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) adalah sebuah lembaga
yang dibentuk pemerintah berdasarkan Kepres No. 27 Tahun 1998 tentang
pembentukkan BPPN. Lembaga ini dibentuk dengan tugas pokok untuk
penyehatan perbankan, penyelesaian asset bermasalah dan mengupayakan
pengembalian uang negara yang tersalur pada sector perbankan.

11
 2002
Dirjen Pajak mengoreksi laba BCA, bukan cuma Rp 174 miliar, tapi
Rp 6,78 triliun. Salah satu yang mendongkrak angka laba, penghapusan utang
bermasalah Rp 5,77 triliun itu dianggap sebagai pemasukan bagi BCA. Karena itu,
BCA mesti membayar pajak Rp 375 miliar.
Pada laporan tersebut disebutkan bahwa Bank BCA membukukan laba
fiscal sebesar Rp 174 miliar. Namun Direktorat Jenderal Pajak menemukan
temuan lain, keuntungan laba fiskal BCA pada 1999 mencapai Rp 6,78 triliun.
Pembengkakan laba fiskal ini bersumber dari transaksi pengalihan aset kredit
bermasalah (non-performing loan/NPL) Bank BCA ke Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp 5,7 triliun. Penghapusan utang
bermasalah Rp 5,7 triliun itu dianggap sebagai pemasukan bagi BCA.
Disinilah yang menjadi perdebatan, jika menurut penjelasan pihak Bank
BCA, angka Rp 5,7 triliun itu adalah transaksi jual beli piutang BCA terhadap
BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Sebagai penerima Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI), BCA memiliki utang kepada negara. Di bawah
pengelolaan BPPN, BCA membayar utangnya itu dengan saham. Padahal aturan
pajak, Bank yang take over terjadi "proses jual-beli" dari BCA ke BPPN. BCA
mendapat pembayaran dari BPPN (laba bank), Karena BCA mendapat dana segar
berupa pembayaran dari BPPN, ini termasuk LABA USAHA, yg harus dipungut
pajak. Dengan kata lain, bagi BCA angka Rp 5,7 triliun bukan non performing
loan(NPL), sedangkan sebaliknya, bagi Ditjen Pajak, angka Rp 5,7 triliun itu
adalah bentuk penghapusan utang, sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375
miliar.
Perhatikan dengan seksama NPL menurut versi Bank BCA. Bagi Bank
BCA, pasca krisis 1998 BCA berhasil membukukan laba fiscal sebesar RP 174
miliar di tahun 1999. Barulah kemudian pada tahun 2002, Direktorat Jenderal
Pajak melakukan pendalaman pada laporan BCA, pada hasil telaah Ditjen Pajak
laba fiscal versi BCA direvisi menjadi Rp 6,78 triliun.
Atas hasil temuan Ditjen Pajak, BCA mengklarifikasinya dengan berkilah,
bahwa angka tersebut berasal dari pengalihan utang pemerintah menjadi saham

12
sebesar Rp 5,7 triliun. Konfersi utang pemerintah menjadi saham menyulap laba
fiskal Bank BCA yang semula Rp 174 miliar menjadi Rp 6,78 triliun.
Dari sini kita bisa ambil kesimpulan, bahwa angka Rp 5,7 triliun adalah
vonis yang telah dijatuhkan dari Ditjen Pajak atas Bank BCA.

 2003
Tanggal 17 Juni 2003 BCA menyatakan keberatan pengalihan utang
bermasalah itu dimasukkan sebagai pendapatan sehingga ada beban pajak
tambahan ratusan miliar rupiah. Apalagi hasil penjualan aset BPPN berhasil
menjual senilai Rp 3,29 triliun tidak ada yang masuk BCA.
 2004
Tanggal 13 Maret Direktur Pajak Penghasilan (PPh) Direktorat Jenderal
Pajak Sumihar Petrus Tambunan mengirim surat pengantar risalah keberatan
kepada Dirjen Pajak, yang dijabat oleh Hadi Poernomo.
Tanggal 17 Juli Hadi Poernomo mengirim nota dinas kepada Direktur PPh. Dalam
nota itu, Hadi meminta Sumihar mengubah kesimpulan pemeriksaan dari semula
“menolak” menjadi “menerima” permohonan keberatan pajak PT Bank BCA.
Jatuh tempo pembayaran pajak PT Bank BCA adalah sehari setelahnya, 18 Juli
2004, sehingga Sumihar tidak sempat memberikan argumen.
 2014
Tanggal 21 April 2014 KPK menetapkan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Hadi diduga
bermain dalam urusan pajak BCA dengan menerbitkan nota dinas untuk
mengabulkan permohonan keberatan pajak Bank BCA. KPK menjerat Hadi
dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
dengan perkiraan kerugian negara Rp 375 miliar

13
2.2 Materi Yang Diajukan

Materi yang diajukan oleh pihak Bank BCA terkait kasus pengajuan
banding tersebut adalah BCA menilai transaksi pengalihan aset ke BPPN
merupakan jual-beli-piutang. Namun Ditjen Pajak menilainya sebagai transaksi
penghapusan piutang macet atau non-performing loan (NPL), Karena ada
perbedaan itu, pada 17 Juni 2003 BCA mengajukan surat keberatan ke Ditjen
Pajak terkait koreksi transaksi pengalihan piutang macet kepada BPPN tahun 1999
sebesar Rp 5,77 trilyun. Sesuai Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No
SP-165/BPPN/0600. Hal inilah yang menjadi salah satu sengketa, karena beda
persepsi dan penafsiran Peraturan Perpajakan. Menurut pihak BCA hal itu
seharusnya tidak dikoreksi dengan alasan transaksi pengalihan aset itu merupakan
jual beli piutang sejalan dengan instruksi Menteri Keuangan No
117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia No 31/15/KEP/GBI tanggal 26
Maret 1998.

2.3 Putusan atau Hasil

Putusan atau hasil dari pengajuan banding yang diajukan oleh Pihak BCA
atas tuduhan menyalahi aturan perhitungan pajak adalah : Direktur PPh
mengeluarkan hasil risalah beserta kesimpulan. Inti risalah itu menyebut bahwa
keberatan pajak yang dimohonkan oleh Bank BCA ditolak. Dan Bank BCA
diwajibkan memenuhi pembayaran pajak tahun 1999 sebesar Rp 5,77 trilyun
dengan batas waktu pembayaran 18 Juli 2004.

Namun, Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak mengeluarkan nota dinas


yang memerintahkan Direktur PPH mengubah kesimpulan atas keberatan BCA
dari awalnya “ditolak” menjadi „diterima‟ seluruhnya.

Hadi Poernomo menandatangani SK Nomor KEP-870/PJ.44/2004


tertanggal 18 Juni 2004 yang isinya menyatakan bahwa Keberatan yang
disampaikan BCA diterima Ditjen Pajak.

14
Namun, setelah diusut kembali ternyata Hadi Purnomo lah yang
melakukan pemanipulasian data, dimana yang seharusnya keberatan BCA ditolak
oleh Direktur Pph namun malah Hadi Purnomo meminta Direktur Pajak
mengganti putusan tersebut menjadi diterima sepenuhnya. Inilah yang akhirnya
mengakibatkan hadi Purnomo ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka.

2.3 Lama Putusan

Upaya hukum yang dilakukan Bank BCA untuk memperoleh keadilan


adalah dengan mengajukan Surat keberatan pada tanggal 17 Juni
2003.Kemudian, setelah dilakukan kajian, Direktur PPh, pada tanggal 13 Maret
2004, mengeluarkan hasil risalah beserta kesimpulan. Inti risalah itu menyebut
bahwa keberatan pajak yang dimohonkan oleh Bank BCA ditolak. Dan Bank BCA
diwajibkan memenuhi pembayaran pajak tahun 1999 sebesar Rp 5,77 trilyun
dengan batas waktu pembayaran 18 Juli 2004. Atas pemanipulasian Hadi
Purnomo, keputusan pengajuan keberatan pihak BCA ini keluar pada tanggal 18
Juli 2004 dengan SK Nomor KEP-870/PJ.44/2004 tertanggal 18 Juni 2004 yang
isinya menyatakan bahwa Keberatan yang disampaikan BCA diterima Ditjen
Pajak.

2.4 Penyelesaian Kasus

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyataka bahwa proses


penyidikan kasus dugaan korupsi pajak BCA dengan tersangka Mantan Ketua
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yaitu Hadi Poernomo dilakukan secara
bertahap guna kepentingan penuntasan perkara. Kasus tersebut dilakukan secara
bertahap dengan memanggil sejumlah pihak untuk di periksa. Maksud dilakukan
secara bertahap ialah dengan memanggil beberapa saksi terkait yang mengetahui
skandal ini. Misalnya, memanggil Gubernur BI pada saat itu, terus kemudian
dipanggilnya Direktur BCA juga. Namun, hasil dari pemanggilan-pemanggilan
saksi dalam kasus korupsi pajak BCA tersebut tidak menguatkan hasil untuk
melakukan ke tahap selanjutnya. Kemudian, pihak KPK segera mengajukan
Peninjauan Kembali ke pengadilan. Pasalnya, agar kasus korupsi pajak BCA
dengan tersangka Hadi Poernomo tersebut dapat dilanjutkan.

15
Akan tetapi, kasus korupsi pajak BCA ini justru diserahkan kepada
Mahkamah Agung untuk menentukan titik hasilnya.
Pasca melakukan penelaahan yang dilakukan Mahkamah Agung terkait
kasus korupsi pajak BCA, bahwa Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa
KPK ditolak. Hal ini karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sebelumnya, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma (Peraturan Mahkamah
Agung) yang berisi tentang yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali ialah
tersangka dan ahli waris. Hal ini yang kemudian justru membuat KPK mengalami
kebuntuan untuk menyelesaikan kasus korupsi pajak BCA
Namun, KPK tidak tinggal diam begitu saja dengan keputusan Mahkamah
Agung tersebut. KPK di kenal sebagai lembaga antirasuah tersebut mempunyai
rencana untuk menyelesaikan kasus korupsi pajak BCA tersebut dengan
mengeluarkan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) baru. Dengan dikeluarkannya
Sprindik baru untuk menyelesaikan kasus korupsi pajak BCA tersebut bukan
untuk menjerat Hadi Poernomo kembali menjadi tersangka. Akan tetapi menjerat
tersangka yang baru yang terlibat dalam kasus korupsi pajak BCA tersebut.

Namun, dalam mempelajari kasus korupsi pajak BCA ini justru KPK
hanya mengumbar janji begitu saja. Mengapa? Dari mulai penolakan Peninjauan
Kembali dari Mahkamah Agung, kemudian akan dilakukan gelar perkara,
kemudian belum tutup buku kasus korupsi pajak BCA ini, hingga di awal tahun
2017 ini KPK berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus mangkrak (termasuk
korupsi pajak BCA) tetapi tidak ada perkembangannya lagi. Kita sebagai
masyarakat hanya bisa berharap kalau kasus korupsi pajak BCA tersebut dapat
diselesaikan sesegera mungkin karena adanya kerugian negara juga dalam sektor
Pajak.

16
2.5 Pembahasan Teori

Sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi atau


perbedaan pendapat antara wajib pajak (WP) dengan petugas pajak mengenai
penetapan pajak terutang yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Dirjend) Pajak. Pengertian sengketa pajak
umumnya diawali dari diterbitkannya surat ketetapan pajak atau diterbitkannya
surat tindakan penagihan pajak. Surat ketetapan pajak yang dimaksud meliputi
SKPKB, SKPBT, SKPLB dan SKPN. Selain itu, sengketa juga bisa timbul karena
adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan UU.

Mengacu pada pengertian tersebut, maka upaya hukum untuk


menyelesaikan sengketa yang dapat dilakukan oleh WP adalah keberatan, banding,
peninjauan kembali dan gugatan. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak
diajukan ke Dirjend Pajak. Sementara itu, upaya hukum banding dan gugatan
diajukan ke pengadilan pajak. Khusus untuk upaya hukum Peninjauan Kembali
(PK) diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Namun demikian, ada upaya hukum
dengan nama peninjauan kembali (huruf kecil) yang juga diajukan ke Dirjend
Pajak sebagaimana diatur dalam pasal 16 UU KUP.

Upaya Hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak sebagai berikut:

1. Upaya Keberatan

Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan


kemungkinan terjadi Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu
ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan
oleh pihak ketiga. Dalam hal ini Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);


b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);

17
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.

1.1 Ketentuan Pengajuan Keberatan

Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di


tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan syarat:

a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.


b. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak
dan disertai alasan-alasan yang jelas.
c. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.

Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan


pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat,
dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses.

1.2 Jangka Waktu Pengajuan Keberatan

Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/
pemungutan oleh pihak ketiga.

a. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka


waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN
atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat
keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
b. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos
tercatat), jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT,
SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak
ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan
Giro.

18
1.3 Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan

a. Untuk keperluan pengajuan keberatan Wajib Pajak dapat meminta penjelasan/


keterangan tambahan dan KepalaKantor Pelayanan Pajak (KPP) wajib
memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan,
pemotongan, atau pemungutan.
b. Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis
sebelumsurat keputusan keberatannya diterbitkan.

2. Upaya Pengajuan Permohonan Banding

Upaya Banding berdasarkan pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 14


Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak adalah sebagai berikut, “Banding adalah
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak
terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.

Upaya banding dilakukan apabila Wajib Pajak tidak atau belum puas
dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan
banding kepada badan peradilan pajak, dengan syarat:

a. Tertulis dalam bahasa Indonesia.


b. Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
c. Alasan yang jelas.
d. Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan.

Pengajuan permohonan Banding tidak menunda kewajiban membayar


pajak dan pelaksanaan penagihan pajak, harus dipahami bahwa Putusan badan
peradilan pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

19
2.1 Imbalan Bunga

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian


atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam SKPKB dan
SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga
sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding.

3. Upaya Gugatan

Upaya hukum gugatan berdasarkan Pasal 1 angka (7) Undang-Undang


No.14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, definisi gugatan adalah sebagai
berikut “Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak
atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap
keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku”.

Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan terhadap :

1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau


Pengumuman Lelang;
2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain
yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
3. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang
berkaitan dengan STP;
4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan
STP;

20
3.1 Syarat Pengajuan Gugatan

1. Harus diajukan dalam jangka waktu 14 hari sejak tanggal diterima keputusan
pelaksanaan penagihan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Gugatan juga dapat diajukan selain atas keputusan pelaksanaan adalah dalam
jangka waktu 30 hari sejak diterima keputusan yang digugat.
3. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1
(satu) Surat Gugatan.
4. Gugatan diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan
tanggal diterima surat keputusan pelaksanaan penagihan.
5. Dalam mengajukan gugatan juga disertai alasan-alasan yang jelas, dan
dicantumkan tanggal diterima surat keputusan pelaksanaan penagihan

3.2 Proses Gugatan

1. Gugatan diajukan dengan Surat Gugatan dalam Bahasa Indonesia kepada


Pengadilan Pajak.
2. Ditujukan kepada Pengadilan Pajak dengan melampirkan:
a. Salinan keputusan yang digugat;
b. Data dan bukti-bukti pendukung lainnya;
c. Surat Kuasa bermeterai cukup, bila diwakili oleh kuasanya.

4. Peninjauan Kembali

Peninjauan kembali dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Permohonan peninjauan kembali (PK) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali


kepada Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Pajak.
2. Permohonan peninjauan kembali (PK) tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

21
3. Permohonan peninjauan kembali (PK) dapat dicabut sebelum diputus, dan
dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat
diajukan lagi.

4.1 Alasan-alasan mengajukan peninjauan kembali (PK)

1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu;
2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan,
yang apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan Pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda;
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak, dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut, kecuali yang diputus berupa mengabulkan sebagian atau
seluruhnya atau menambah Pajak yang harus dibayar;
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

4.2 Jangka Waktu Peninjauan Kembali (PK)

1. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 91 huruf (a) UU Perpajakan dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan
atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap.
2. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 huruf (b) UU Perpajakan dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti
yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan
disahkan oleh pejabat yang berwenang.
22
3. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e UU Perpajakan
dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan
dikirim.

4.3 Pemprosesan peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung

1. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan kembali


diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal
Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa;
2. Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali
diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal
Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.

4.4 Hal-hal lain yang perlu diketahui mengenai peninjauan kembali (PK)

1. Putusan atas permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud harus


diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
2. Hukum acara berlaku pada pemeriksaan PK adalah hukum acara Peninjauan
Kembali sebagaimana dimaksud dalam UU No. 14/1985 tentang Mahkamah
Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU No. 14/2002 tentang
Pengadilan Pajak.

23
BAB III

KESIMPULAN

Dengan adanya isu dugaan penggelapan dana pajak yang cukup besar pada sebuah
perusahaan publik, menjadi sebuah tanda bahwasanya walaupun perusahaan besar tetapi
masih lemah dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance terutama
dalam hal menyampaikan berita yang akurat serta prinsip responsibility berupa kurang
dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku. Hal ini juga merupakan bukti bahwa
kurangnya pengawasan dari pihak-pihak yang terkait di pasar modal sehingga
menyebabkan kerugian negara yang cukup besar. Walaupun hanya sebatas dugaan, ini
sudah menjadi bukti awal bahwa dalam menjalankan bisnis itikad baik dalam
menjalankan bisnis tidak ada.

Penggelapan pajak BCA ini terjadi dikarenakan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh hadi purnomo yaitu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam
menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas SKPN PPH BCA tahun 1999
diajukan pada 17 Juli 2003. Padahal saat itu bank lain juga megajukan permohonan sama
tapi semuanya ditolak.

Hadi selaku dirjen pajak 2002 sampai 2004 mengabulkan permohonan keberatan
pajak BCA melaui nota dinas bernomor ND-192/PJ/2004 pada 17 Juni 2004. Menurut
hadi, BCA dianggap masih memiliki asset dan kredit macet yang ditangani Badan
Penyehatan Perbankan Nasional sehingga koreksi Rp 5,5 triliun itu dibatalkan. Karena
pembatalan tersebut, negara kehilangan Pajak Penghasilan dari koreksi penghasilan BCA.

Komisi Pemberantasan Korupsi menaksir kerugian negara yang timbul akibat


dikabulkannya keberatan pajak PT Bank Central Asia oleh Direktur Jenderal Pajak saat
itu, Hadi Poernomo, mencapai Rp 2 triliun. Saat Hadi ditetapkan sebagai tersangka
pada 2014, uang negara yang diduga amblas berdasarkan hitungan Inspektorat Bidang
Investigasi Kementerian Keuangan hanya Rp 375 miliar.

24
DAFTAR PUSTAKA

Suandy,Erly. 2016 . Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat

https://www.kompasiana.com/tatangsutaya1/kronologis-kasus-pajak-
bca_54f601a5a333116a7d8b47f1

http://kabar24.bisnis.com/read/20160628/16/562048/kasus-wajib-pajak-bca-hadi-poernomo-
bebas-dari-jeratan-kpk

http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/05/06/326254/fampi-desak-kpk-usut-kasus-pajak-
bank-bca

http://www.wikiapbn.org/tindak-pidana-di-bidang-perpajakan

http://studyworkframe.blogspot.co.id/2015/07/ruang-lingkup-pajak.html

https://www.scribd.com/doc/266931585/Analisis-Kasus-Penggelapan-Pajak

http://www.academia.edu/18331009/Penghindaran_Pajak_Tax_Avoidance_dan_Tax_Evasion

http://tegarnawawy.blogspot.co.id/2013/11/hambatan-dalam-pemungutan-pajak.html

25

Anda mungkin juga menyukai