DASAR HUKUM
Undang-undang mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan diundangkan
pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan. Undang-undang ini mulai berlaku sejak 1 januari 1984. Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, mulai berlaku sejak 1 januari 1995.
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, mulai berlaku sejak 1 januari 2001.
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, mulai berlaku sejak 1 januari 2008.
Pada tahun 2009 terbit Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.Undang-undang ini diterbitkan dalam rangka
menghadapi dampak krisis keuangan global, seningga sangat mendesak untuk memperkuat
basis perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan yang
lebih stabil. Pelaksanaan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sangat
efektif untuk memperkuat basis perpajakan nasional, sehingga perlu memperpanjang jangka
waktu pelaksanaan ketentuan Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Perubahan :
Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara elektronik atau program aplikasi online
wajib menyimpan soft copy di Indonesia selama 10 tahun.
15. Pemeriksaan (pasal 29)
Pemeriksa pajak dapat melakukan penyegelan terhadap barang bergerak atau tidak
bergerak. Penghasilan kena pajak Wajib Pajak orang pribadi dapat dihitung secara jabatan,
apabila Wajib Pajak pada saat diperiksa tidak menyampaikan data-data yang diminta
pemeriksa pajak. Dokumen dalam rangka pemeriksaan pajak wajib dipenuhi oleh Wajib
Pajak paling lambat satu bulan sejak permintaan disampaikan.
Ketentuan sebelumnya :
[1] Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan barang bergerak atau tidak bergerak belum
diatur secara tegas.
[2] Prosedur pemeriksaan belum diatur secara tegas di dalam batang tubuh Undang-Undang.
[3] Keharusan penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan dan pembahasan akhir (closing
conference) hanya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan.
Perubahan :
[1] Pemeriksa Pajak dapat melakukan penyegelan barang bergerak atau tidak bergerak diatur
secara tegas.
[2] Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak meminjamkan atau memperlihatkan dokumen yang
diperlukan dalam pemeriksaan, pajaknya dapat dihitung secara jabatan.
[3] Dokumen untuk pemeriksaan wajib dipenuhi paling lambat satu bulan.
[4] Prosedur pemeriksaan mengenai penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan dan hak WP
untuk hadir dalam pembahasan akhir (closing conference), dimuat dalam batang tubuh UU.
[5] Bila pemeriksaan tidak memenuhi prosedur ini, maka hasil pemeriksaan dibatalkan.
16. Akses Data Perpajakan (pasal 29A dan pasal 35A)
Menambah ketentuan yang mengatur kewajiban bagi setiap instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan
dengan perpajakan.
Ketentuan sebelumnya :
Belum diatur secara tegas, Terbatas pada adanya kegiatan pemeriksaan pajak.
Perubahan :
[1] Wajib Pajak Go-Public yang laporan keuangannya Wajar Tanpa Pengecualian, dapat
dilakukan pemeriksaan cukup dengan pemeriksaan kantor apabila Wajib Pajak tersebut
termasuk dalam kriteria yang harus diperiksa. (pasal 29A)
[2] Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya wajib memberikan data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak; (pasal 35A)
[3] Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan dikenakan sanksi pidana penjara dan denda.
(pasal 35A)
17. Pengurangan dan Pembatalan Direktur Jenderal Pajak (pasal 36)
Sanksi administrasi dapat dikurangkan atau dihapuskan karena kekhilafan atau bukan
karena kesalahan WP.
Ketentuan sebelumnya :
[1] Dilakukan terhadap ketetapan pajak yang tidak benar;
[2] Jangka waktu penyelesaian paling lama 12 bulan.
Perubahan :
[1] Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
[2] Mengurangkan atau membatalkan STP yang tidak benar;
[3] Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak yang dilaksanakan tidak sesuai
dengan prosedur;
[4] Batas akhir Jangka waktu penyelesaian paling lama 6 bulan.
18. Imbalan Bunga (pasal 27A)
Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat dari keputusan keberatan, putusan
banding dan putusan peninjauan kembali, serta keputusan pembetulan, keputusan
pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan.
Ketentuan sebelumnya :
Surat Keputusan Keberatan dan putusan banding yang menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak, diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan, hanya atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT).
Perubahan :
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan, Surat Keputusan Pengurangan
dan Surat Keputusan Pembatalan atas surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak, serta
Surat Keputusan Keberatan, putusan banding, putusan Peninjauan Kembali atas surat
ketetapan pajak, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, diberikan imbalan bunga
sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan.
19. Sanksi Bagi Petugas Pajak (pasal 36A)
Mengubah ancaman sanksi bagi Petugas pajak, yaitu bila terbukti melakukan
pemerasan dan pengancaman kepada WP diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ketentuan sebelumnya :
Sanksi bagi petugas pajak yang melakukan penyalahgunaan wewenang diatur secara umum.
Perubahan :
[1] Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan
pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi.
[2] Pegawai pajak yang dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya dapat diadukan ke unit
internal Departemen Keuangan dan dikenai sanksi.
[3] Pegawai pajak yang terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak
untuk menguntungkan diri sendiri dipidana berdasarkan KUHP.
[4] Pegawai pajak yang memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau
menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dipidana
berdasarkan UU Tipikor.
[5] Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam
melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
20. Kode Etik Bagi Petugas Pajak (pasal 36B)
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi Kode Etik Pegawai Direktorat
Jenderal Pajak, serta pengawasan dan pengaduan pelanggaran Kode Etik Pegawai DJP
dilaksanakan oleh Komite Kode Etik.
Ketentuan sebelumnya : Diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Perubahan :
[1] Pegawai DJP wajib mematuhi Kode Etik.
[2] Pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran Kode Etik dilaksanakan oleh Komite
Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
21. Komite Pengawas Perpajakan (pasal 36C)
Menteri Keuangan membentuk komite pengawasan di bidang perpajakandalam rangka
pengawasan perpajakan.
Ketentuan sebelumnya : Tidak diatur.
Perubahan :
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
22. Sunset Policy (pasal 37A)
Ketentuan sebelumnya : Tidak diatur.
Perubahan :
[1] WP yang membetulkan SPT Tahunan sebelum tahun pajak 2007 selama masa 1 (satu) tahun
setelah diberlakukannya UU, diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
[2] Wajib Pajak Orang Pribadi yang dengan sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP paling lama 1 (satu) tahun setelah diberlakukannya UU ini diberi kemudahan:
[2.a.] diberikan penghapusan sanksi administrasi
[2.b.] Tidak dilakukan pemeriksaan pajak kecuali terdapat data yang menyatakan bahwa SPT Wajib
Pajak tidak benar.
23. Ketentuan Pidana (pasal 39A dan pasal 41A)
Bentuk ancaman sanksi pidana pajak yang sebelumnya hanya mengatur tentang pidana
maksimal, beberapa ketentuan pidana pajak diubah menjadi pidana minimal dan maksimal.
Ketentuan sebelumnya :
[1] Pidana atas penerbit dan pengedar Faktur Pajak fiktif dan setoran pajak fiktif belum diatur.
[2] Belum mengatur kewajiban memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal
Pajak.
Perubahan :
[1] Penerbit, pengguna, pengedar Faktur Pajak fiktif, dan/atau bukti pemungutan dan/atau bukti
pemotongan pajak fiktif (bermasalah), diancam pidana penjara dan pidana denda; (pasal 39A)
[2] Setiap orang dari asosiasi, instansi dan lembaga Pemerintah, dan pihak ketiga yang tidak
melaksanakan kewajiban memberikan data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak,
termasuk pihak yang menyebabkan tidak terpenuhinya data dan informasi dimaksud dikenai
sanksi pidana. (pasal 41A)
24. Ketentuan Penyidikan (pasal 44)
Wewenang penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dilakukan oleh
Penyidik PNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Wewenangnya adalah melakukan
penggeledahan dan penyitaan dalam arti yang lebih luas, yaitu penyitaan terhadap barang
bergerak maupun tidak bergerak milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan atau pihak atau
pihak-pihak lainnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ketentuan sebelumnya :
Belum dijelaskan secara tegas mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan hal-hal yang
dapat dilakukan penyitaan.
Perubahan :
[1] Yang menyidik hanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak.
[2] Penyitaan dilakukan terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak termasuk rekening
bank, piutang, dan surat berharga, milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, atau pihak-pihak
lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
III. HAK DAN KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
1. Kewajiban Wajib Pajak
a) kewajiban mendaftarkan diri
Sesuai dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk
mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau
kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Disamping
melalui KPP atau KP2KP, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-registration (e-
reg), yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet).
Bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP) oleh KPP atau KP2KP apabila telah memenuhi persyaratan tertentu.
Syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah pengusaha orang pribadi atau badan tersebut
melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran
bruto/penerimaan bruto (omzet) melebihi Rp. 4.800.000.000,- setahun. Wajib Pajak yang
tidak memenuhi persyaratan tersebut, dapat juga melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP.
Bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, diwajibkan untuk memungut PPN
dari setiap pembeli/pemakai jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. PPN yang sudah
dipungut, kemudian dilaporkan dalam laporan bulanan (SPT Masa) dan apabila ternyata ada
PPN yang harus disetor ke bank atau kantor pos, maka harus disetor terlebih dahulu sebelum
dilaporkan ke ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. KPP atau KP2KP akan
melakukan penelitian mengenai keberadaan dan kegiatan usaha di tempat usaha Wajib Pajak
yang telah dikukuhkan sebagai PKP tersebut.
b) Kewajiban pembayaran, pemotongan/pemungutan, dan pelaporan pajak
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya
harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan,
pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
c) Kewajiban dalam hal diperiksa
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya,
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan
pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak
yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah :
1) Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang
ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
2) Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang Menjadi
dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak
wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelolah
secara elektronik.
3) Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan
memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan.
4) Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
5) Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk
jenis Pemeriksaan Kantor.
6) Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
d) Kewajiban memberi data
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data
dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang
ketentuannya diatur pada Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai
konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan
perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat
diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan
informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha,
peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi
mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta
laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di
luar Direktorat Jenderal Pajak.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan
untuk setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat
dan pihak lain (kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak
Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).