Anda di halaman 1dari 5

Aspek PPh pada Nilai Wajar Akuntansi (Bagian II) Oleh: Muhamad Al Gamal, S.E., Ak., M.A.

1 Nilai wajar merupakan salah satu refleksi nilai universal dalam konsep dan aktivitas penilaian, sehingga secara prinsip layak digunakan, baik pada akuntansi komersial maupun perpajakan. Namun demikian, persoalan penggunaan nilai wajar ini tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Dari sudut pandang perpajakan, persoalan paling mendasar adalah bagaimana harmonisasi berbagai kepentingan para stakeholder perpajakan yang terkena dampak penggunaan nilai wajar tersebut. *** Di edisi lalu, penulis telah mengulas mengenai konsep nilai wajar (fair value). Nah, pada edisi kali ini, penulis akan membahas lebih lanjut aspek PPh yang terkait dengan nilai wajar akuntansi, ditinjau dari perspektif administrasi pajak dan Wajib Pajak. Secara teori, nilai wajar merupakan ukuran yang ideal dalam mencerminkan penambahan atau penurunan kemampuan ekonomi seseorang. Hal ini selaras dengan konsep penghasilan Schanz-Haig-Simons yang menyatakan bahwa nilai wajar memberikan gambaran penuh dan tepat waktu mengenai kekayaan yang dikontrol dan utang yang menjadi kewajiban Wajib Pajak.2 Aspek perpajakan pada nilai wajar dapat ditinjau berdasarkan konteksnya, yaitu sebagai nilai rujukan dan nilai akuntansi atau akuntansi nilai wajar. Oleh karena timbulnya pajak merupakan akibat dari adanya suatu transaksi, maka pembahasan pada tulisan ini terfokus pada nilai wajar sebagai nilai akuntansi, yaitu nilai transaksi yang dicatat dalam akuntansi komersial dan fiskal. Nilai Wajar dari Perspektif Administrasi Pajak Pada nilai wajar sebagai nilai akuntansi, terdapat syaratsyarat perpajakan yang kurang sejalan dan yang sejalan dengan konsep nilai wajar. Nilai wajar dikatakan kurang sejalan dengan syarat perpajakan, apabila penerapannya menyebabkan ketidakpastian dan diskresi yang besar terhadap Wajib Pajak dan otoritas pajak, sehingga dapat berisiko bagi penerimaan negara dan keadilan Wajib Pajak. Akibatnya, biaya kepatuhan dan sengketa hukum menjadi lebih besar. Pasalnya, seluruh bisnis harus dinilai kembali setiap tahunnya. Ketika sebagian aset atau investasi dinilai menggunakan nilai wajar dan yang lainya menggunakan nilai historis atau menggunakan asumsi dan acuan nilai wajar yang berbedabeda, hal ini dapat terjadi distorsi dan sengketa dalam penetapan pajak. Selain itu, penggunaan akuntansi nilai wajar juga dipengaruhi oleh skema transaksi bisnis. Misalnya, pada instrumen keuangan terdapat skema held for trading, availabel for sale, atau held to maturity. Dengan demikian, nilai wajar dapat membuka peluang bagi pembayar pajak untuk melakukan penghindaran pajak melalui penggunaan asumsi dan skema transaksi yang menghasilkan pajak paling rendah. Akuntansi nilai wajar tidak saja memperhitungkan penghasilan yang telah direalisasi, tetapi juga memasukkan penghasilan yang belum direalisasi. Apabila penghasilan yang belum terealisasi dikenakan pajak, tentunya ini akan menyulitkan Wajib Pajak dalam menyediakan dana untuk membayar kewajiban pajak tersebut. Walaupun dalam kondisi pasar modal yang sempurna, setiap kenaikan nilai aset seharusnya dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh dana pembayaran kewajiban pajak, namun pada kenyataanya sangat sulit mendapatkan kreditor yang mau meminjamkan dana berdasarkan kenaikan nilai pasar aset. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah yang tidak terpecahkan bagi Wajib Pajak. Atas dasar alasan tersebut, sebagian besar negara di Eropaselain Prancis dan Yunanitidak mengenakan pajak terhadap penghasilan yang belum direalisasi. Meskipun secara teori, akuntansi nilai wajar kurang sejalan dengan perpajakan, namun terdapat pertimbangan di mana akuntansi nilai wajar dapat diakomodasi dalam sistem perpajakan. Sejalan dengan konsep penghasilan Schanz-Haig-Simons (accretion concept of income atau comprehensive tax base), penghasilan yang dapat dikenakan pajak meliputi penghasilan yang telah direalisasi dan dapat direalisasi. Dalam rangka pengamanan penerimaan negara, aturan perpajakan di beberapa negaratermasuk Indonesiamengakomodasi pandangan tersebut.

1 Penulis adalah Dosen Jurusan Akuntansi Universitas Andalas dan Analis Perpajakan pada Target Consulting Group 2

Schon, Wolfgang. 2004. International Accounting Standards-A Starting Point for a Common European Tax Base. Research Paper. Amsterdam: Internatinonal Bureau of Fiscal Documentation. Halaman 438, tidak diterbitkan.

1|Page

Pada prinsipnya, hampir tidak ada definisi penghasilan yang dapat diterima secara universal. Walhasil, terdapat beberapa perspektif dalam memahami konsep penghasilan, antara lain perspektif ekonomi (the income of economics), akuntansi (the income of accounting), dan perpajakan (the income of taxation).3 Dalam menjelaskan konsep penghasilan menurut perpajakan, Gunadi berpendapat bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan. Pertama, pendekatan sumber (source of income). Berdasarkan pendekatan ini, penghasilan hanya dibatasi untuk kepentingan pajak, di mana penghasilan menurut pendekatan ini adalah penghasilan dari usaha dan tenaga, harta tidak bergerak, harta bergerak, dan hak atas pembayaran berkala. Kedua, pendekatan pertambahan (accretion concept of income).4 Penghasilan menurut pendekatan ini bermula dari pendapat ekonom Amerika R.M. Haig yang menyatakan bahwa penghasilan merupakan nilai uang dari pertambahan kemampuan ekonomi seseorang di antara dua titik waktu. Selanjutnya, Henry C. Simon pada tahun 1938 mengembangkan konsep pertambahan tersebut dengan membaginya menjadi penghasilan dari nilai pasar konsumsi dan perubahan nilai kekayaan pada suatu tahun. Konsep penghasilan Haig-Simon, kemudian diikuti oleh sistem pajak dalam merumuskan istilah penghasilan yang selanjutnya dikenal sebagai konsep pertambahan (accretion concept of income) atau comprehensive tax base. Jika konsep penghasilan pertambahan tersebut dikombinasikan dengan konsep sumber, maka konsep penghasilan dalam perpajakan akan mencakup jenis-jenis penghasilan tertentu berdasarkan sumbernya, yang dapat dikonsumsi, dan adanya unsur pertambahan kekayaan. Dampak akuntansi nilai wajar terhadap penerimaan pajak suatu negara juga dipengaruhi oleh karakteristik jenis aset, kondisi ekonomi dan bisnis, tarif, dan objek dan Subjek Pajak di masing-masing negara. Pada umumnya, aset tetap seperti kendaraan memiliki nilai wajar yang semakin berkurang. Untuk aset tidak berwujud, seperti hak cipta (copyright) dan paten, memiliki kecenderungan nilai wajar yang semakin meningkat. Sedangkan aset keuangan seperti suratsurat berharga, memiliki nilai wajar yang fluktuatif. Bahkan, antar-sesama persediaan dengan jenis yang berbeda, dapat memiliki kecenderungan nilai wajar yang berbeda pula. Misalnya, persediaan dalam bentuk logam mulia dan hasil bumi. Kondisi permintaan dan penawaran terhadap suatu jenis aset merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan fluktuasi nilai wajar aset tersebut. Bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki banyak aset, yang nilai wajarnya cenderung meningkat atau penurunan nilai bukunya lebih cepat daripada nilai pasar, kemudian memilih untuk melakukan revaluasi, maka di yurisdiksi yang mengenakan pajak atas selisih revaluasi tersebut, dapat meningkatkan penerimaan pajak. Revaluasi Aset Di Indonesia, proses konvergensi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Indonesia dengan International Financial Reporting Standard (IFRS) dapat menjadi peluang bagi pemerintah untuk menggali potensi pajak yang ditimbulkannya. Sesuai dengan konsep penghasilan dalam perpajakan, selisih lebih pada revaluasi aktiva merupakan objek pajak. Jika selisih lebih pada revaluasi aktiva tetap merupakan objek pajak, maka agar memenuhi kaidah keadilan dan netralitas, selisih lebih pada aktiva jenis lain selayaknya juga merupakan objek pajak. Hal ini juga dapat berlaku sebaliknya. Jika selisih lebih revaluasi aktiva jenis lain bukan objek pajak, maka hendaknya selisih lebih pada revaluasi aktiva tetap juga bukan merupakan objek pajak, sebagaimana yang banyak diterapkan oleh negara Uni Eropa. Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan atas selisih lebih pada revaluasi aset, pada dasarnya merupakan pajak yang dikenakan atas peningkatan kekayaan yang masih dalam bentuk potensi penghasilan. Dengan kata lain, pemerintah telah memiliki piutang pajak dari peningkatan nilai aset tanpa perlu menunggu terjadinya penyerahan aset atau tanpa memandang apakah Wajib Pajak telah memperoleh atau menerima penghasilan. Sejauh ini, potensi penerimaan pajak yang berasal dari transaksi revaluasi aset belum dikelola secara optimal. Ketentuan PPh di Indonesia baru mengatur mengenai revaluasi aktiva tetap berwujud, seperti tanah, bangunan, dan bukan bangunan.5 Sementara itu, revaluasi aktiva jenis lain masih belum ada ketentuan perpajakannya. Di samping itu, ketentuan perpajakan Indonesia juga belum mengatur mengenai selisih yang timbul dari devaluasi atau penurunan nilai aset. Padahal, apabila ketentuan nilai wajar menjadi semakin luas penggunaanya, tidak hanya akan berakibat pada timbulnya selisih lebih revaluasi, namun juga dapat menimbulkan selisih kurang atau kerugian. Penerapan nilai wajar yang dapat menimbulkan ketidakpastian, inefisiensi biaya kepatuhan, dan penghindaran pajak dapat berisiko terhadap penerimaan negara. Hal ini kemudian mengharuskan pemerintahmelalui berbagai instansi terkait dan administrasi pajakuntuk menyiapkan kebijakan perpajakan secermat mungkin. Oleh

Ibid. Halaman 148. Ibid. 5 Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 19 Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) jo. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 79/PMK.03/2008 jo. Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor PER-12/PJ./2009.

2|Page

karenanya, berbagai perkembangan mengenai penggunaan nilai wajar perlu diiringi dengan kajian-kajian dalam rangka mempersiapkan ketentuan perpajakan yang memadai. Menurut hemat penulis, terdapat inkonsistensi antara batang tubuh Pasal 19 UU PPh dan memori penjelasannya. Di satu sisi, batang tubuh Pasal 19 UU PPh menyatakan bahwa revaluasi ditujukan untuk aktiva. Di sisi lain, memori penjelasan Pasal 19 UU PPh hanya membatasi ketentuan revaluasi perpajakan untuk aktiva tetap. Sebaiknya penegasan mengenai jenis aktiva yang direvaluasi diatur pada peraturan Menteri Keuangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 UU PPh tersebut. Dengan demikian, pasal ini akan lebih fleksibel dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi dan bisnis di masa yang akan datang. Bukan seperti PMK Nomor: 79/PMK.03/2008, yang hanya mengatur mengenai revaluasi untuk aktiva tetap saja. Hal ini sejalan dengan tren perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang akan lebih dipengaruhi oleh keberadaan aset, selain aset tetap, yang dikenal sebagai ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Pada ekonomi berbasis pengetahuan, aset tidak berwujud dan aset keuangan lebih berperan dalam menghasilkan kekayaan dibandingkan aset tetap. Bajpai, dalam tulisannya untuk Asian Development Bank (ADB), mengungkapkan secara lugas mengenai hal ini. Berikut kutipannya: A trend that started in the early 20 th century continues to hold, namely, increasingly greater value is being created by national economies from services than from industry or agriculture. Wealth creation through application of human knowledge and creativity is steadily outpacing wealth creation through extraction and processing of natural resources. Knowledge has increasingly become an important means for value creation. In recent years, market values of private corporations often greatly exceed book values. The capacity of business corporations to earn can no longer be attributed mainly to its tangible assets but more to its intangible knowledge assets. Knowledge has increasingly become the repository of value. While this is happening, the knowledge content of goods and services is increasing as manufacturing is dematerializing and economies are becoming weightless. 6 Nilai Wajar dari Perspektif Wajib Pajak Dari sudut pelaporan keuangan fiskal, PPh pada umumnya ditentukan berdasarkan pada dimensi penghasilan dalam laporan laba rugi dan dimensi penghasilan berdasarkan pada kekayaan bersih (net assets), yaitu di sisi ekuitas pada neraca. Dimensi penghasilan berdasarkan kekayaan bersih akan menghasilkan pajak atas penghasilan yang lebih besar, karena juga mencakup penghasilan yang dilaporkan pada laba rugi. Berdasarkan yurisdiksi pajak, ada yang menggunakan penghasilan pada laporan laba rugi, kekayaan bersih, atau kombinasi keduanya sebagai basis pajak. Pricewaterhouse Coopers (PwC) menjelaskan, pembahasan mengenai aspek perpajakan yang terdapat pada akuntansi nilai wajar meliputi dua hal, yaitu PPh tunai dan akuntansi PPh.7 Konsekuensi pajak dari penggunaan akuntansi nilai wajar akan lebih signifikan pada yurisdiksi perpajakan yang menggunakan basis pajak atas kekayaan bersih. Hal ini terjadi karena penyesuaian terhadap nilai-nilai aset atau kewajiban, sebagian besar akan berdampak langsung terhadap posisi ekuitas di neraca, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya dampak terhadap laba atau rugi periodik suatu perusahaan. Misalnya, penerapan ketentuan nilai wajar pada revaluasi atau impairment aset tetap akan berdampak terhadap kenaikan atau penurunan beban penyusutan dan timbulnya penghasilan atau kerugian dari penyesuaian nilai aset. Alokasi harga beli pada transaksi penggabungan usaha yang menggunakan nilai wajar, juga dapat membawa dampak perpajakan bagi perusahaan, baik yang berasal dari nilai penyusutan aset maupun penghitungan laba rugi pada saat pengambilalihan. Bagi perusahaan, kenaikan nilai penyusutan merupakan manfaat perpajakan. Pasalnya, akan menghemat pembayaran pajak, begitu juga sebaliknya. Dengan begitu, efek perpajakan tersebut tentu menjadi pertimbangan bagi perusahaan dalam membuat keputusan penggunaan nilai wajar. Wajib Pajak dapat menganalisis efek perpajakan yang timbul dari penggunaan nilai wajar melalui analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang dikombinasikan dengan analisis arus kas bersih dari biaya manfaat tersebut. Biaya yang timbul mencakup pajak yang terutang dan biaya kepatuhan. Sedangkan manfaat yang diperoleh adalah penghematan pajak dari adanya revaluasi. Sementara, arus kas bersih merupakan nilai sekarang (present value) dari selisih antara biaya dan manfaat tunai tersebut. Analisis tersebut dapat ditinjau berdasarkan dua kondisi, yaitu priode pada saat revaluasi dan periode setelah revaluasi. Contoh berikut ini dapat menjadi gambaran umum pertimbangan aspek perpajakan pada transaksi revaluasi aset. Misalnya, selisih lebih revaluasi aktiva tetap di Indonesia dikenakan PPh dengan tarif tersendiri sebesar 10% yang bersifat final, sementara tarif PPh badan sebesar 25%.

Bajpai, Shyam. 2007. Moving Toward Knowledge-Based Economies: Asian Experiences. Technical Note. Asian Development Bank. Halaman 1. 7 Pricewaterhouse Coopers. 2007. Fair Value Accounting: Tax Considerations..

3|Page

Dasar yang digunakan untuk menentukan nilai setelah revaluasi adalah nilai pasar atau nilai wajar hasil penilaian perusahaan jasa penilai (appraisal) yang diakui pemerintah8 menurut metode yang lazim berlaku di Indonesia.9 Adapun arus keluar kas (baca: biaya tunai) dan arus masuk kas (baca: manfaat tunai) yang perlu dipertimbangkan sebagai aspek perpajakan transaksi revaluasi aset tetap dapat dilihat pada tabel. Tabel: Aspek Perpajakan pada Periode Revaluasi dan Periode Setelah Revaluasi Arus Masuk Kas Arus Keluar Kas Faktor yang Dipertimbangkan Periode Revaluasi y Biaya tunai jasa profesional y Jumlah kebutuhan dan (akuntan publik dan appraisal); ketersediaan dana untuk jasa profesional;10 y PPh Final sebesar 10% dari y Jumlah selisih lebih revaluasi;11 selisih lebih nilai revaluasi. y Jumlah PPh Final, jika dilunasi sekaligus.12 Periode Setelah Revaluasi y Pengurangan jumlah PPh y Jenis aset: Apakah aktiva tetap badan dari kenaikan beban termasuk bangunan (permanen penyusutan selama beberapa atau bukan) atau bukan periode setelah revaluasi; bangunan (golongan I, II, III, IV) atau tidak dapat disusutkan (tanah)?13 y Metode penyusutan: Apakah menggunakan metode garis lurus atau saldo menurun?14 y Tingkat diskonto: Seberapa besar estimasi tingkat diskonto selama sisa usia aktva tetap? 15 Di samping dampak langsung terhadap penghasilan yang menjadi basis pajak, penggunaan nilai wajar juga berdampak terhadap akuntansi PPh perusahaan. Pada negara-negara yang ketentuan pajaknya memperbolehkan laporan keuangan sebagai dasar perhitungan pajak, pengukuran nilai wajar tersebut juga akan berpengaruh terhadap beda sementara (temporary difference) dan pajak tangguhan (deferred tax). Di mana, pada akhirnya akan berdampak terhadap tarif pajak efektif (effective tax rate) perusahaan-perusahaan di wilayah yurisdiksinya. Kesimpulan Berdasarkan konteksnya, nilai wajar dapat diklasifikasikan sebagai nilai rujukan/hipotesis dan nilai transaksi yang sesungguhnya. Dengan demikian, aspek perpajakan juga dapat ditinjau berdasarkan kedua hal tersebut. Dari sudut pandang akuntansi pajak, nilai wajar sebagai nilai transaksi merupakan nilai yang paling relevan, karena pajak dikenakan atas suatu transaksi ekonomi. Demikian juga dengan akuntansi, yang mencatat dan melaporkan suatu

Pasal 4 ayat (1) PMK Nomor: 79/PMK.03/2008. Gunadi, Akuntansi Pajak Sesuai Dengan Undang Undang Pajak Terbaru, (Jakarta : Penerbit Grasindo), 2009,. Halaman 72. 10 Sejauh mana ketersediaan dana perusahaan untuk membayar jasa profesional dengan tarif yang wajar, tanpa mengorbankan ketersediaan dana untuk kebutuhan yang lebih prioritas. 11 Nilai revaluasi yang signifikan dengan masa revaluasi yang lebih singkat cenderung lebih menguntungkan dibandingkan nilai revaluasi yang kurang signifikan, terlebih untuk masa revaluasi yang singkat. 12 Pembayaran pajak secara angsuran cenderung lebih menguntungkan daripada pembayaran sekaligus. 13 Semakin pendek usia penyusutan atas kenaikan nilai aktiva yang signifikan, relatif menghasilkan penghematan pajak yang lebih besar dibandingkan usia penyusutan yang panjang, terlebih lagi apabila selisih nilai revaluasi kecil. 14 Metode penyusutan saldo menurun atau saldo menurun ganda menghasilkan nilai buku aktiva yang lebih kecil dibandingkan metode garis lurus, sehingga selisih penilaian kembali akan lebih besar. Alokasi kenaikan nilai aktiva yang lebih besar dan nilai penyusutan yang lebih besar pada periode-periode awal relatif dapat menghasilkan penghematan pajak lebih besar. Dengan demikian, metode penyusutan saldo menurun relatif lebih menguntungkan daripada metode garis lurus. 15 Semakin kecil tarif diskonto, penghematan pajak relatif semakin besar.
9

4|Page

transaksi ekonomi yang telah terjadi. Contoh yang paling konkrit atas penggunaan nilai wajar akuntansi adalah transaksi revaluasi dan atau devaluasi suatu jenis aset. Di Indonesia, ketentuan perpajakan baru menjangkau transaksi revaluasi aset tetap. Meskipun demikian, oleh karena aset memiliki karakteristik yang bersifat umum, di samping yang bersifat khusus, analisis perpajakan atas jenis aset tetap tersebut dapat juga sebagai analogi bagi aset jenis lain. Administrasi pajak memiliki peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak dari penggunaan nilai wajar, atau sebaliknya malah dapat menghilangkan potensi perpajakan. Begitu juga dengan Wajib Pajak, terbuka peluang untuk memperoleh manfaat ekonomis perpajakan dari penggunaan nilai wajar. Namun, jika tidak dilakukan secermat mungkin, hal ini justru dapat berakibat inefisiensi dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Kecermatan dan kehatihatian adalah kunci dalam membuat keputusan perpajakan yang terkait dengan nilai wajar. Administrasi pajak selayaknya melakukan kajiankajian yang rinci mengenai hal ini. Sementara itu, Wajib Pajak juga seharusnya melakukan analisis yang cermat sebelum membuat keputusan terkait nilai wajar. Nilainilai universal dapat menjadi jembatan bagi kesenjangan kepentingan antara akuntansi dan pajak. Nilai nilai keadilan (justice), kebenaran (truth), dan kewajaran (fairness) terdapat pada keduanya, termasuk pada konsep penilaian akuntansi dan perpajakan. Pada dasarnya, apapun tujuan penilaian hendaknya berpegang pada kaidah penilaian yaitu: objektif, netral, rasional, dan stabil. Dengan demikian, nilai yang dihasilkan dari suatu proses penilaian adalah nilai yang fair, yaitu dapat menyeimbangkan berbagai kepentingan para stakeholder pajak. Akhir kata, tulisan ini tentunya tidak luput dari salah dan kurang. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang kostruktif dari berbagai pihak demi terwujudnya pengembangan perpajakan yang lebih baik di Indonesia. Wallahualam.

5|Page

Anda mungkin juga menyukai