Anda di halaman 1dari 11

B A D A N P E N G A W A S A N K E U A N G A N D A N P E M B A N G U N A N

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGAWASAN

Transfer
Pricing
B U K A N P E M B A J A K
C I L I N C I N G
Ketika pembangunan Indonesia tidak lagi dapat seenak jidat
didanai dengan pembiayaan dalam negeri dan luar negeri
tanpa meningkatkan risiko politik, maka pendapatan domestik,
terutama dari perpajakan mesti dapat diandalkan. Akan tetapi,
ternyata pendapatan pajak selama tahun 2017 sampai dengan
2020 tidak mencapai target yang dianggarkan. Tax Justice
Network melaporkan bahwa pada tahun 2020 dan 2021
setidaknya Indonesia mengalami kerugian pajak masing-masing
sebesar Rp68,7 triliun dan Rp31,850 triliun yang ada kaitannya
dengan transfer pricing. Ya, transfer pricing. Meskipun upaya
Kementerian Keuangan sudah cukup komprehensif dan sejalan
dengan upaya Organization of Economic Cooperation for
Development (OECD), adanya kesempatan alamiah, perbedaan
kebijakan pajak antarnegara, kesulitan penetapan harga wajar,
kelemahan kelembagaan dan sumber daya manusia, atau
peluang penyelesaian di luar pengadilan, membuat
penanganan dan pengawasan transfer pricing membutuhkan
peran pengawasan BPKP.
I. Pendapatan Pajak Tidak Boleh Dibajak

Total Belanja APBN terus meningkat, kenaikan pendapatan pajak juga


meningkat, namum defisit pembangunan justru meningkat tajam. Pandemi
COVID-19 pada tahun 2020 semakin memperparah keadaan, karena
pendapatan menurun namun belanja meningkat.

Di sinilah arti penting pendapatan pajak. Ia tidak boleh dibajak. Namun,


dibandingkan dengan anggarannya, ternyata dalam kurun 2017 hingga tahun
2021. Menurut Laporan Tax Justice Network per November 2021, negara
Indonesia mendapat Kerugian Pajak tahunan sebesar USD2,275,000,000
atau setara Rp31,850 triliun (Tax Justice Network, 2021). Temuan tersebut di
antaranya merupakan akibat penghindaran pajak korporasi. Ketika perahu
pembangunan hendak dikebut dengan pendapatan, alamak, transfer pricing
adalah tamsil jamak pembajak galak yang lasak berlaku lajak.

Apa sebenarnya transfer pricing itu? Sejauh mana ia dapat dikenali dan
sejauh mana ia sudah terjadi di Indonesia? Bagaimana pemerintah
menanganinya? Apa yang menyebabkan transfer pricing terjadi? Semua
pertanyaan inilah coba dicari jawabnya.
II. Tongkrongan Transfer Pricing
Data yang diterima BPKP dari Direktorat Jenderal Pajak terkait transfer pricing ini menunjukkan
bahwa transfer pricing itu sudah lama menyatroni, tercatat perusahaan-tahun dari 10 negara
asal Penanaman Modal Asing dan dari Indonesia sendiri terlibat Transfer Pricing selama tahun
2016 s.d. 2020.

Kejadian transfer pricing di atas dari tahun ke tahun di atas diperjelas lagi oleh kejadian
sengketa transfer pricing di pengadilan pajak

Kondisi di atas menunjukkan bahwa transfer pricing memang malang melintang dipraktikkan di
Indonesia. Dari analisis atas berita seputar pajak, selain di bisnis sawit, menurut Prakarsa (2020),
bisnis komoditas lain yaitu batu bara, udang-udangan, tembaga, karet dan kopi merupakan
bisnis yang penerimaan pajaknya banyak diembat.
III. Manifestasi Penyebab pada Indikasi TP

Secara formal terdapat tujuh indikasi laten penerapan transfer pricing yang sudah
diantisipasi dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang
Pedoman Pemeriksaan Pajak. Ketujuh indikasi tersebut adalah:

Wajib Pajak mempunyai transaksi dengan lawan transaksi yang menerapkan tarif
efektif pajak lebih rendah;

Terdapat indikasi terjadinya skema transaksi yang melibatkan entitas/pihak


yang tidak memiliki substansi usaha dan/atau tidak menambahkan nilai ekonomis
apapun (reinvoicing);

Wajib Pajak mempunyai nilai transaksi afiliasi yang signifikan terhadap total
peredaran usahanya;

Terdapat transaksi intra-group seperti pemberian jasa, pembayaran royalti, Cost


Distribution Arrangement, dan lain-lain;

Terdapat transaksi restrukturisasi usaha seperti merger, akuisisi, dan sebagainya;

Performa keuangan Wajib Pajak berbeda dengan performa keuangan industri;

Wajib Pajak mengalami kerugian selama 3 (tiga) Tahun Pajak dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun.

Berdasarkan kemunculan sebab pada tiap indikasi maka penyebab transfer pricing
terbanyak adalah terdapat kesempatan, kelemahan penegak hukum, dan
kemungkinan kecil terungkap
Penyebab Transfer Pricing

Terdapat kesempatan
Kesempatan melakukan transfer pricing bagi perusahaan
penanaman modal asing atau perusahaan multinasional
memang tersedia secara alamiah mengingat transfer
pricing pada dasarnya memang dapat dimaknai secara
manajerial sebagai suatu hal yang wajar, bukan pejoratif.
Alasan manajerial ini diperkuat oleh perbedaan alamiah
dalam kebijakan tarif pajak secara internasional.

Kelonggaran pengaturan pajak terkait transfer pricing


agaknya dapat dilihat dari Keringanan pajak atas
Transaksi yang Melibatkan Lembaga Pengelola Investasi
dan/atau Entitas yang Dimilikinya, pemberian fasilitas
tax allowance, Fasilitas-fasilitas Pajak Penghasilan yang
dapat diberikan kepada Wajib Pajak yang berhak, tax
holiday, dan pengakomodasian rekomendasi DPR yang
meminta aturan pajak penghasilan minimum atau
alternative minimum tax (AMT) dan general anti
avoidance rule (GAAR) tidak dimasukkan ke dalam UU
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Kelemahan penegakan hukum


Mestinya perilaku bisnis multinasional dapat diawasi
lebih ketat. Peluang untuk mendapat laporan keuangan
telah pernah terbuka pada tahun 2020. Pada
perkembangannya ternyata penyerahan laporan
keuangan tahunan perusahaan tak seperti yang
diharapkan Hal ini disebabkan kurangnya kepatuhan dan
kesadaran pelaku usaha untuk menyampaikan Laporan
Keuangan, serta potensi tindih regulasi, dan lemahnya
penegakan hukum. Sedangkan dari sisi teknis disebabkan
belum optimalnya aplikasi pelaporan, pelaporan yang
belum daring, serta belum dirasakannya manfaat
kepatuhan pelaku usaha terhadap kebijakan pelaporan
Laporan Keuangan. (Kementerian Perdagangan, 2019).
Bahkan kini kewajiban itu sudah tidak ada.
IV. Manifestasi Penyebab pada Penanganan TP
Antisipasi atas indikasi sudah menjadi bagian dari penanganan transfer pricing. Penanganan
transfer pricing telah dimasukkan dalam rencana strategis lima tahunan Direktorat Jenderal
Pajak. Hal ini dimaksudkan agar penanganan dapat dilakukan lebih komprehensif. Rencana
strategis 2020-2024 ini dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
389/PJ/2020 tanggal 31 Agustus 2020.
Dalam rencana strategis tersebut telah dimandatkan untuk
melaksanakan penanganan transfer pricing yang sistematis dan
terstandarisasi. Penanganan ini melalui suatu strategi simplifikasi dan
harmonisasi penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
(PKKU) atau Arm’s Length Principle (ALP) dalam rangka akselerasi
pencegahan sengketa transfer pricing.
Tujuannya dalam rangka untuk mendukung strategi Kementerian Keuangan dalam
penyempurnaan dan perbaikan peraturan perundang-undangan di bidang fiskal dan sektor
keuangan. Tujuan utama dari penanganan transfer pricing ini bukanlah menyasar langsung
kepada peningkatan jumlah pajak yang disetorkan oleh perusahaan, namun lebih condong
kepada tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan transaksi afiliasinya yang
mengikuti kesesuaian dari penerapan PKKU/ ALP.
Untuk menyamakan persepsi dengan Wajib Secara praktis, rencana strategis ini sudah
Pajak perihal perlakuan perpajakan atas dijabarkan dalam berbagai kebijakan
transaksi dengan hubungan istimewa telah perpajakan terkait transfer pricing, yang
pula dibentuk TPKMC (Transfer Pricing telah sampai pada pengaturan kewajiban
Knowledge Management Centre). TPKMC ini penerapan Arm’s Length Principle (ALP),
dibentuk oleh Kanwil Khusus sejak tahun Pendokumentasian Transfer Pricing,
2020 yang masih satu rangkaian kegiatan Pemeriksaan, Pengadilan Pajak, Advance
dengan Gugus Tugas Penanganan Transfer Pricing Agreement (APA), dan Mutual
Pricing yang ada pada Subdit Pencegahan Agreement Procedure (MAP). Keenam tahap
dan Penanganan Sengketa Perpajakan penanganan ini dapat dilihat dari arus
Internasional Kantor Pusat DJP. kebijakan legal dapat diringkas sebagai
berikut:

Sumber: Sinaga, Paparan Strategi Efektif Mengatasi Aggressive Tax Planning Wajib Pajak Transaksi Afiliasi
Keeenam langkah penanganan TP ini tampak selaras dengan pedoman yang
diperkenalkan oleh OECD berupa Transfer Pricing Guidelines 2017. TPG 2017 ini
merupakan salah satu hasil upaya OECD untuk mengembangkan Multilateral Instrumen
(MLI) sebagai solusi konkret bagi pemerintah untuk menutup kesenjangan dalam peraturan
pajak internasional yang ada dengan merujuk pada hasil dari Base Erosion Profit Shifting
(BEPS) Action OECD/G20 ke dalam perjanjian pajak bilateral di seluruh dunia. MLI
adalah modifikasi pengaturan tax treaty secara serentak, tanpa melalui proses negosiasi
bilateral untuk meminimalisir potensi pajak berganda dan mencegah penghindaran pajak.
Sampai saat ini, terdapat kurang lebih 3.000 tax treaty atau perjanjian penghindaran
pajak berganda (P3B) yang berlaku di dunia. Karena itu, MLI merupakan cara tercepat
untuk memperkuat perjanjian pajak. (https://news.ddtc.co.id/apa-itu-multilateral-
instrument-10291, terakhir diakses 2 Juni 2022).

Meskipun penanganan di atas sudah cukup komprehensif, tetapi berbagai informasi yang
diperoleh dari studi literature dan analisis atas hasil keputusan pengadilan pajak,
menunjukkan bahwa penanganan tersebut masih terbentur pada berbagai permasalahan.
Dikelompokkan dalam tujuh penyebab TP menurut Mukarromah (2019), maka
permasalahan penanganan TP tersebut adalah sebagaimana dimuat dalam di lampiran 2.
Dari lampiran 2, tampak bahwa jika dilihat dari kemunculan penyebab dalam baris
penanganan maka penyebab yang terbanyak adalah pada aspek kemungkinan kecil
terungkap, sanksi tidak berat dan sengketa dapat diselesaikan. Rincian masing-masing
adalah sebagai berikut:

a) Kemungkinan kecil terungkap


Penyebab yang dianggap memperkecil kemungkinan TP terungkap, yang paling umum
adalah kelemahan dalam manajemen data profile dan transaksi wajib pajak secara
terpadu untuk penanganan TP. Akan tetapi, kelemahan juga berasal dari kelemahan
sumber daya manusia juga. Secara ringkas, poin-poin penyebab dari aspek data dan
manusia ini adalah:

> Ditjen Pajak


Integrasi data lemah, misalnya terkait IUP, laporan keuangan, dokumen ekspor
Data hasil Analisis Fungsi, Aset dan Risiko belum lengkap
Hasil analisis dalam Tahapan Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak
SDM Account Representative belum cukup berkompeten
Kualitas koreksi dari pemeriksa yang buruk terkadang membuat pihak yang akan
menyelesaikan sengketa sehingga cukup memakan waktu
> Wajib Pajak
Belum patuh menyerahkan Dokumen TP
Tidak kooperatif mengungkap transaksi dan memerlukan bantuan dari mitra perjanjian
pajak luar negeri
Menysun TP Doc secara ex post
Master file tidak menunjukkan kebijakan grup yang holistic
Kesulitan memelihara data pembanding karena karakter perusahaan unik dan
berbeda
Cenderung memilih metode ALP TNMM yang berpendakatan agregat
Berbeda pemahaman dengan fiskus tentang data internal
Kesulitan menentukan nilai wajar dan mencari data pembanding
Kesulitan menggunakan peraturan yang sesuai
Menggunakan SPV
Kurangnya kemauan wajib pajak untuk melakukan transparansi terkait data dan
informasinya atau dengan kata lain wajib pajak enggan melakukan full disclosure
> Pihak Lain
BPS mengeluarkan angka GDP yang didistorsi oleh komponen BEPS yang sulit diurai.
Akibatnya ada perbedaan yang besar antara data neraca nasional dan pajak
Kementerian Perdagangan atau Bank Dunia dan IMF yang dapat membagi data
Neraca Perdagangan tetapi datanya tak dapat membedakan data yang berasal dari
transkasi wajar (Arm’s length) dari yang manipulatif
PMA dari IMF hanya melaporkan posisi PMA tetapi bukan arusnya. Statistik OECD
memuat posisi PMA, pendapatan dan alirannya tetapi terdapat perbedaan dan
ketidakkonsistenan yang besar. Statistik Indonesia hanya melaporkan arus masuk
modal, tidak sampai ke perkembangan usahanya

b) Sanksi Tidak Berat


Permohonan wajib pajak yang ditolak menurun di tahun 2020 dan 2021
Wajib Pajak ternyata masih belum kooperatif untuk menentukan kesepakatan harga
transfer atau Advance Pricing Agreement (APA) yang diatur terakhir dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 22 Tahun 2020 (sebelumnya Permenkeu Nomor 7 tahun
2015). Hal ini tampak dari kenyataan bahwa proses APA dan MAP mulai tahun 2016
sampai dengan 2020 masih sedikit. Menurut https://pajak.go.id/id/apa-map yang
diunduh tanggal 8 Februari 2022, posisi pengurusan APA, baik dalam bentuk UAPA dan
BAPA adalah sebagai berikut:

Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan tercatat kalah dalam 4.016
dari 6.763 jumlah putusan. Artinya, tingkat kemenangan Ditjen Pajak hanya sebesar
40,54% dari kasus persidangan di Pengadilan Pajak sepanjang tahun 2019.

Untuk mendalami putusan pengadilan pajak, Puslitbangwas sudah menganalisis secara uji
petik 93 putusan pengadilan pajak pada tahun 2021 dan 2020, masing-masing sebanyak
56 dan 37 putusan. Uji petik tersebut diambil dari populasi putusan terkait Pajak
Penghasilan Pasal 25/29 Badan pada tahun 2021 dan 2020 sebanyak 1.290 putusan,
masing-masing sebanyak 545 putusan dan 745 putusan. Hasil analisis data putusan
pengadilan pajak tersebut dirinci dalam Lampiran 3.
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa dari putusan pengadilan pajak tahun 2020
dan 2021 yang diuji petik, maka yang menjadi penyebab terbesar dikabulkannya tuntutan
WP adalah karena:

1. bukti yang diserahkan oleh WP dapat diyakini/kurang cukupnya bukti yang diserahkan
oleh DJP yaitu sebanyak 19 putusan atau 36,54% dari total 52 putusan;
2. ketidaktepatan DJP dalam menggunakan metode perhitungan kewajaran harga yaitu
sebanyak 16 putusan atau 41,03% dari total 59 putusan. Dari 16 putusan tersebut, DJP
menggunakan metode TNMM dalam membuktikan kewajaran harganya pada 8 kasus
sengketa, disusul metode CUP dan tidak digunakannya metode perhitungan kewajaran
harga masing-masing sebanyak 4 kasus sengketa, metode lainnya sebanyak 2 kasus
sengketa dan 1 kasus menggunakan metode CPM.
V. Rekomendasi
Mengingat bahwa penyebab TP amat beragam mengenai berbagai
indikasi dan langkah penanganan yang dapat berasal dari otoritas pajak
sendiri, wajib pajak dan otoritas lain, maka dalam catatan bahwa
penelitian ini masih bersifat eksploratori, rekomendasi yang diajukan
adalah sebagai berikut:

a. Rekomendasi Umum

(1) kepada Kemenkeu, BKPM atau Kemendag untuk mengatur kembali pelaporan
keuangan PMA
(2) kepada Kemenkeu, OJK dan BKPM untuk berkoordinasi menyusun database SPV
yang terkait dengan PMA di Indonesia
(3) kepada KPPU, Kemenkeu dan OJK untuk berkoordinasi menyusun database yang
terkait dengan merger di kalangan PMA di Indonesia
(4) kepada KPPU, Kemenkeu meningkatkan kompetensi pemeriksa pajak dan
menggalakkan penyelesaian sengketa lewat jalur MAP

b. Rekomendasi kepada BPKP

(1) kepada Deputi BPKP Bidang Pengawasan Prekonomian, Kemaritiman dan


Investasi untuk menawarkan kerja sama kepada Ditjen Pajak, memperluas dan
memperkuat kerja sama pemeriksaan pajak hingga mencakup pemeriksaan
transfer pricing atas perusahan (khususnya PMA), dan mengevaluasi efektivitas
pencegahan BEPS dari sudut pengaruh TP terhadap GDP, Neraca Perdagangan,
dan kinerja PMA
(2) kepada Biro Hukum dan Komunikasi meneliti efektivitas eksekusi sanksi ekonomis
dari putusan pengadilan di tingkat pengadilan pajak dan banding di Mahkamah
Agung, dan
·meneliti proses pengadilan pajak dari segi profesionalisme hakim pajak dan
pemeriksa pajak

c. Rekomendasi kepada Puslitbangwas

(1) mengumpulkan data laporan keuangan PMA sepuluh tahun terakhir


(2) menganalisis determinan penerapan penghindaran pajak termasuk transfer
pricing, terutama tujuh indikasi TP

Anda mungkin juga menyukai