Transfer
Pricing
B U K A N P E M B A J A K
C I L I N C I N G
Ketika pembangunan Indonesia tidak lagi dapat seenak jidat
didanai dengan pembiayaan dalam negeri dan luar negeri
tanpa meningkatkan risiko politik, maka pendapatan domestik,
terutama dari perpajakan mesti dapat diandalkan. Akan tetapi,
ternyata pendapatan pajak selama tahun 2017 sampai dengan
2020 tidak mencapai target yang dianggarkan. Tax Justice
Network melaporkan bahwa pada tahun 2020 dan 2021
setidaknya Indonesia mengalami kerugian pajak masing-masing
sebesar Rp68,7 triliun dan Rp31,850 triliun yang ada kaitannya
dengan transfer pricing. Ya, transfer pricing. Meskipun upaya
Kementerian Keuangan sudah cukup komprehensif dan sejalan
dengan upaya Organization of Economic Cooperation for
Development (OECD), adanya kesempatan alamiah, perbedaan
kebijakan pajak antarnegara, kesulitan penetapan harga wajar,
kelemahan kelembagaan dan sumber daya manusia, atau
peluang penyelesaian di luar pengadilan, membuat
penanganan dan pengawasan transfer pricing membutuhkan
peran pengawasan BPKP.
I. Pendapatan Pajak Tidak Boleh Dibajak
Apa sebenarnya transfer pricing itu? Sejauh mana ia dapat dikenali dan
sejauh mana ia sudah terjadi di Indonesia? Bagaimana pemerintah
menanganinya? Apa yang menyebabkan transfer pricing terjadi? Semua
pertanyaan inilah coba dicari jawabnya.
II. Tongkrongan Transfer Pricing
Data yang diterima BPKP dari Direktorat Jenderal Pajak terkait transfer pricing ini menunjukkan
bahwa transfer pricing itu sudah lama menyatroni, tercatat perusahaan-tahun dari 10 negara
asal Penanaman Modal Asing dan dari Indonesia sendiri terlibat Transfer Pricing selama tahun
2016 s.d. 2020.
Kejadian transfer pricing di atas dari tahun ke tahun di atas diperjelas lagi oleh kejadian
sengketa transfer pricing di pengadilan pajak
Kondisi di atas menunjukkan bahwa transfer pricing memang malang melintang dipraktikkan di
Indonesia. Dari analisis atas berita seputar pajak, selain di bisnis sawit, menurut Prakarsa (2020),
bisnis komoditas lain yaitu batu bara, udang-udangan, tembaga, karet dan kopi merupakan
bisnis yang penerimaan pajaknya banyak diembat.
III. Manifestasi Penyebab pada Indikasi TP
Secara formal terdapat tujuh indikasi laten penerapan transfer pricing yang sudah
diantisipasi dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang
Pedoman Pemeriksaan Pajak. Ketujuh indikasi tersebut adalah:
Wajib Pajak mempunyai transaksi dengan lawan transaksi yang menerapkan tarif
efektif pajak lebih rendah;
Wajib Pajak mempunyai nilai transaksi afiliasi yang signifikan terhadap total
peredaran usahanya;
Wajib Pajak mengalami kerugian selama 3 (tiga) Tahun Pajak dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun.
Berdasarkan kemunculan sebab pada tiap indikasi maka penyebab transfer pricing
terbanyak adalah terdapat kesempatan, kelemahan penegak hukum, dan
kemungkinan kecil terungkap
Penyebab Transfer Pricing
Terdapat kesempatan
Kesempatan melakukan transfer pricing bagi perusahaan
penanaman modal asing atau perusahaan multinasional
memang tersedia secara alamiah mengingat transfer
pricing pada dasarnya memang dapat dimaknai secara
manajerial sebagai suatu hal yang wajar, bukan pejoratif.
Alasan manajerial ini diperkuat oleh perbedaan alamiah
dalam kebijakan tarif pajak secara internasional.
Sumber: Sinaga, Paparan Strategi Efektif Mengatasi Aggressive Tax Planning Wajib Pajak Transaksi Afiliasi
Keeenam langkah penanganan TP ini tampak selaras dengan pedoman yang
diperkenalkan oleh OECD berupa Transfer Pricing Guidelines 2017. TPG 2017 ini
merupakan salah satu hasil upaya OECD untuk mengembangkan Multilateral Instrumen
(MLI) sebagai solusi konkret bagi pemerintah untuk menutup kesenjangan dalam peraturan
pajak internasional yang ada dengan merujuk pada hasil dari Base Erosion Profit Shifting
(BEPS) Action OECD/G20 ke dalam perjanjian pajak bilateral di seluruh dunia. MLI
adalah modifikasi pengaturan tax treaty secara serentak, tanpa melalui proses negosiasi
bilateral untuk meminimalisir potensi pajak berganda dan mencegah penghindaran pajak.
Sampai saat ini, terdapat kurang lebih 3.000 tax treaty atau perjanjian penghindaran
pajak berganda (P3B) yang berlaku di dunia. Karena itu, MLI merupakan cara tercepat
untuk memperkuat perjanjian pajak. (https://news.ddtc.co.id/apa-itu-multilateral-
instrument-10291, terakhir diakses 2 Juni 2022).
Meskipun penanganan di atas sudah cukup komprehensif, tetapi berbagai informasi yang
diperoleh dari studi literature dan analisis atas hasil keputusan pengadilan pajak,
menunjukkan bahwa penanganan tersebut masih terbentur pada berbagai permasalahan.
Dikelompokkan dalam tujuh penyebab TP menurut Mukarromah (2019), maka
permasalahan penanganan TP tersebut adalah sebagaimana dimuat dalam di lampiran 2.
Dari lampiran 2, tampak bahwa jika dilihat dari kemunculan penyebab dalam baris
penanganan maka penyebab yang terbanyak adalah pada aspek kemungkinan kecil
terungkap, sanksi tidak berat dan sengketa dapat diselesaikan. Rincian masing-masing
adalah sebagai berikut:
Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan tercatat kalah dalam 4.016
dari 6.763 jumlah putusan. Artinya, tingkat kemenangan Ditjen Pajak hanya sebesar
40,54% dari kasus persidangan di Pengadilan Pajak sepanjang tahun 2019.
Untuk mendalami putusan pengadilan pajak, Puslitbangwas sudah menganalisis secara uji
petik 93 putusan pengadilan pajak pada tahun 2021 dan 2020, masing-masing sebanyak
56 dan 37 putusan. Uji petik tersebut diambil dari populasi putusan terkait Pajak
Penghasilan Pasal 25/29 Badan pada tahun 2021 dan 2020 sebanyak 1.290 putusan,
masing-masing sebanyak 545 putusan dan 745 putusan. Hasil analisis data putusan
pengadilan pajak tersebut dirinci dalam Lampiran 3.
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa dari putusan pengadilan pajak tahun 2020
dan 2021 yang diuji petik, maka yang menjadi penyebab terbesar dikabulkannya tuntutan
WP adalah karena:
1. bukti yang diserahkan oleh WP dapat diyakini/kurang cukupnya bukti yang diserahkan
oleh DJP yaitu sebanyak 19 putusan atau 36,54% dari total 52 putusan;
2. ketidaktepatan DJP dalam menggunakan metode perhitungan kewajaran harga yaitu
sebanyak 16 putusan atau 41,03% dari total 59 putusan. Dari 16 putusan tersebut, DJP
menggunakan metode TNMM dalam membuktikan kewajaran harganya pada 8 kasus
sengketa, disusul metode CUP dan tidak digunakannya metode perhitungan kewajaran
harga masing-masing sebanyak 4 kasus sengketa, metode lainnya sebanyak 2 kasus
sengketa dan 1 kasus menggunakan metode CPM.
V. Rekomendasi
Mengingat bahwa penyebab TP amat beragam mengenai berbagai
indikasi dan langkah penanganan yang dapat berasal dari otoritas pajak
sendiri, wajib pajak dan otoritas lain, maka dalam catatan bahwa
penelitian ini masih bersifat eksploratori, rekomendasi yang diajukan
adalah sebagai berikut:
a. Rekomendasi Umum
(1) kepada Kemenkeu, BKPM atau Kemendag untuk mengatur kembali pelaporan
keuangan PMA
(2) kepada Kemenkeu, OJK dan BKPM untuk berkoordinasi menyusun database SPV
yang terkait dengan PMA di Indonesia
(3) kepada KPPU, Kemenkeu dan OJK untuk berkoordinasi menyusun database yang
terkait dengan merger di kalangan PMA di Indonesia
(4) kepada KPPU, Kemenkeu meningkatkan kompetensi pemeriksa pajak dan
menggalakkan penyelesaian sengketa lewat jalur MAP