Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang paling besar
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran secara
rutin maupun pengeluaran pembangunan nasional. Sebagai sumber pendapatan
tersebut, pemerintah menghendaki agar seluruh wajib pajak pribadi maupun badan
senantiasa membayar pajak secara continue dan stabil. Hal ini menjelaskan bahwa
peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam
menunjang jalannya roda pemerintahaan dan biaya pembangunan. Namun hal
tersebut bertolak belakang dengan kehendak wajib pajak dikarenakan pajak dapat
mengurangi pengahasilan yang mereka terima terlebih lagi pajak merupakan
pembayaran tanpa timbal balik secara langsung yang dapat dirasakan wajib pajak.

Maka penting bagi negara untuk membuat perpajakan nasional untuk


dapat memaksimalkan penerimaan pajak, bagi dari segi regulasi maupun segi
wajib pajaknya. Menurut Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang perubahan
keempat atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara perpajakan pada pasal 1 ayat 1 pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi/badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain itu sebagai salah satu badan usaha, sebuah perusahaan dalam setiap bidang
yaitu dagang, jasa, dan manufaktur juga berkewajiban membayar pajak atas usaha
yang dijalankan.

Diantara tiga bidang usaha badan usaha tersebut, perusahaan manufaktur


dapat dibilang sebagai usaha yang paling kompleks dalam hal pelaporan
keuangan. Pajak bagi perusahaan merupakan beban yang akan mengurangi laba
bersih sehingga perusahaan selalu menginginkan pembayaran pajak seminimal

1
2

mungkin (Hardika 2007 ; Kurniasih & Sari). Menurut Hardika (2007) dalam
Kurniasih & Sari (2013) perbedaan kepentingan dari fiskus yang menginginkan
penerimaan pajak yang besar dan kontinyu tentu bertolak belakang dengan
kepentingan dari perusahaan yang menginginkan pembayaran pajak seminimal
mungkin. Hal tersebut menyebabkan rendahnya penerimaan pajak yang yang
tidak sesuai dengan realisasi anggaran pendapatan negara, untuk itu semua wajib
pajak termasuk perusahaan-perusahaan harus memperhatikan kepatuhan dan
kesadaran mereka dalam membayar pajak sangat diperlukan untuk untuk
mendongkrak penerimaan negara dari pajak. Berikut ini realisasi penerimaan
negara tahun 2016-2018 :

Tabel 1.1.
Realisasi Penerimaan Negara Tahun 2016-2018 (Dalam Miliar Rupiah)

Sumber
2016 % 2017 % 2018 %
Penerimaan
Penerimaan
1,284,970 83% 1,343,529 81% 1,518,789 79%
Pajak
Penerimaan
261,976 17% 311,216 19% 409,320 21%
Bukan Pajak
Total 1,514,946 100% 1,654,745 100% 1928,109 100%
Sumber: www.bps.go.id/

Dari table diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia sendiri


semakin gencar melakukan optimalisasi pajak, terbukti dari tahun ke tahun
hasilnya menunjukkan tren yang positif. Menurut Mulyono (2011) salah satu cara
untuk mewujudkan kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan adalah
dengan menggali sumber dana pajak. Pemerintah terus berupaya untuk
memperbaiki system perpajakan menjadi lebih baik dalam rangka meningkatkan
penerimaan negara dari pembayaran pajak. Untuk memperkecil pajak yang harus
dibayarkan, maka suatu perusahaan akan melakukan manajemen pajak dalam
pelaksanaannya terdapat perbedaan kepentingan antara wajib pajak dengan
pemerintah.
3

Perusahaan berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin karena


dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis perusahaan
(Suandy, 2008). Kondisi itulah yang menyebabkan banyak perusahaan berusaha
mencari cara untuk meminimalkan beban pajak. Meminimalkan beban pajak dapat
dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang masih berada dalam bingkai
peraturan perpajakan sampai dengan yang melanggar peraturan perpajakan (Sari,
2014). Meminimalkan kewajiban pajak yang tidak melanggar Undang-Undang
biasa disebut dengan istilah Tax Avoidance. Namun persoalan Tax Avoidance
merupakan persoalan yang rumit dan unik karena disatu sisi tax avoidance tidak
melanggar hukum (legal), tapi disatu sisi yang lain Tax Avoidance tidak
diinginkan oleh pemerintah (Budiman dan Setiyono, 2012).

Tindakan penghindaran pajak akan mempengaruhi penerimaan negara


dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menurut Lim (2011).
Menurut Gusti Maya Sari (2014) Tax Avoidance adalah suatu skema transaksi
yang ditunjukkan dengan meminimalkan beban pajak dengan memanfaatkan
kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan-ketentuan perpajakan suatu negara.
Penghindaran pajak ini sengaja dilakukan oleh perusahaan dalam rangka
memperkecil besarnya tingkat pembayaran pajak yang harus dibayarkan dan
meningkatkan cash flow perusahaan. Manfaat dari adanya penghindaran pajak
adalah untuk memperbesar tax saving yang berpotensi mengurangi pembayaran
pajak sehingga akan menaikkan cash flow (Guire et al, 2011).

Metode yang digunakan untuk menghindari pajak sangat bervariasi dan


pada umumnya digunakan untuk menutup kebenaran, demi menghindari pajak.
Menurut Suryana (2013) praktik penghindaran pajak (Tax avoidance) dapat
dilakukan dengan berbagai modus, misalnya (1) Modus franchisor yaitu dengan
membuat laporan keuangan seolah rugi; (2) Modus pembelian bahan baku dari
perusahaan satu grup. Pembelian bahan baku dilakukan dengan harga mahal dari
perusahaan satu grup yang berdiri di negara bertarif pajak rendah; (3) Modus
berhutang atau menjual obligasi kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar
kembali cicilan dengan bunga sangat tinggi; (4) Modus menggeser biaya usaha ke
4

negara bertarif pajak tinggi (cost center) dan mengalihkan profit ke negara bertarif
pajak rendah (profit center). Dengan demikian keuntungan perusahaan terlihat
kecil dan tidak perlu membayar pajak korporasi; (5) Modus menarik deviden lebih
besar dengan menyamarkan biaya royalti dan jasa manajemen untuk menghindari
pajak korporasi; (6) Modus terakhir adalah dengan mengecilkan omset penjualan.

Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) dapat terjadi dengan beberapa kasus


yang ada di perusahaan. Berikut salah satunya adalah Perusahaan Tambang
Batubara ternama di Indonesia yaitu PT Adaro Energy,Tbk yang melakukan
penghindaran dan penggelapan pajak melalui transfer pricing. Tahun 2019
disampaikan oleh Global Witness dalam bentuk laporan bahwa perusahaan
tersebut menghindari pajak melalui anak usahanya yaitu Coaltrade Services
International dengan membayar USD 125 juta atau lebih sedikit dari yang
seharusnya dilakukan di Indonesia ditahun 2019. Sebelumnya pada 2008 Adaro
membayar USD 33 juta untuk menyelesaikan perselisihan dengan otoritas pajak
Indonesia atas aturan sebelumnya dengan Coaltrade. Sebagian besar dari
keuntungan yang terdaftar di Singapura telah dipindahkan ke luar negeri, salah
satunya adalah anak perusahaan Adaro di Mauritius, yang tidak dikenakan pajak
sama sekali sebelum 2017 dan mungkin masih belum.

Kemudian kasus penghindaran pajak yang dilakukan oleh Apple Ink pada
tahun 2012 yaitu dengan menyembunyikan uang pendapatan uang senilai USD 11
miliar di negara-negara yang mendapat keringanan pajak (tax haven) antara lain
Virginia Island, Irlandia, dan Luxembourg. Sehingga pajak yang dibayarkan kecil.
Lalu ada pula kasus penghindaran pajak pada perusahaan sub sector makanan dan
minuman salah satunya adalah PT Coca Cola Indonesia tahun 2006 diduga PT
CCI mengakali pajak sehingga menimbulkan kekurangan pembayaran pajak
senilai Rp 49,24 miliar. Kasus ini terjadi untuk tahun pajak 2002, 2003, 2004, dan
2006. Hasil penulusuran Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kementrian keuangan
menemukan ada pembekakkan biaya yang besar pada tahun itu.
5

Beban biaya yang besar menyebabkan penghasilan kena pajak berkurang,


sehingga setoran pajaknya pun mengecil. Beban biaya itu antara lain untuk iklan
dari rentang waktu tahun 2002-2006 dengan total sebesar Rp 566,84 miliar.
Akibatnya, ada penurunan penghasilan kena pajak. Menurut DJP, total
penghasilan kena pajak CCI pada periode itu adalah Rp 603,48 miliar. Sedangkan
perhitungan CCI penghasilan kena pajak hanyalah Rp 492,59 miliar. Dengan
selisih itu DJP menghitung kekurangan pajak pengahasilan (PPh) CCI Rp 49,24
miliar. Bagi DJP, beban biaya ini sangat mencurigakan dan mengarah pada
praktik transfer pricing demi meminimalisir pajak. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi suatu perusahaan dalam Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
diantaranya adalah profitabilitas, leverage, intensitas aktiva tetap dan capital
invetory

Profitabilitas adalah suatu ukuran dalam menilai kinerja suatu perusahaan,


profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan
asetnya secara efisien dalam menghasilkan laba perusahaan dari pengelolaan
aktiva, salah satunya dikenal dengan Return on Asset (ROA). Apabila
profitabilitas perusahaan meningkat berarti kinerja perusahaan semakin bagus dan
hal tersebut mempengaruhi beban pajak yang harus dibayar. Perusahaan yang
memiliki keuntungan yang tinggi cenderung akan melakukan penghindaran pajak.
Hal ini sejalan dengan penelitian Rinaldi dan Caroline (2015), Putri dan Putra
(2017) yang menyimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap tax
avoidance. Perusahaan dengan profitabilitas tinggi memiliki ruang untuk
memposisikan di tax planning yang mengurangi jumlah beban utang pajak.
Profitability yang besar akan meyebabkan perusahaan agresif terhadap
penghindaran pajak karena perusahaan dengan profitabilitas tinggi akan berusaha
untuk meminimalkan pajak yang dibayarkan dengan cara merencanakan pajak
perusahaan.
Menurut Irham Fahmi (2016:80) Profitabilitas merupakan rasio yang
mengukur efektivitas manajemen secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh besar
kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya dengan
6

penjualan maupun investasi. Menurut Kasmir (2016:115) Return on Asset


merupakan rasio yang menunjukkan hasil (return) atas aktiva yang digunakan
dalam perusahaan. Jadi, semakin tinggi nilai ROA yang dihasilkan oleh
perusahaan tersebut maka performa keuangan perusahaan dapat dikategorikan
sehat (baik). Salah satu penelitian yang dilakukan oleh kurniasih bahwa ROA
berpengaruh signifikan terhadap Tax Avoidance (Kurniasih dan sari, 2013).
Selain hal di atas, adanya indikasi perusahaan dalam melakukan
penghindaran pajak dapat dilihat dari kebijakan pendanaan yang diambil
perusahaan. Salah satu kebijakan pendanaan adalah kebijakan leverage. Leverage
merupakan suatu perbandingan yang mencerminkan besarnya utang yang
digunakan untuk pembiayaan oleh perusahaan dalam menjalankan aktivitas
operasinya (Praditasari, 2017). Semakin besar penggunaan utang oleh perusahaan,
maka semakin banyak jumlah beban bunga yang dikeluarkan oleh perusahaan,
sehingga dapat mengurangi laba sebelum kena pajak perusahaan yang selanjutnya
akan dapat mengurangi besaran pajak yang nantinya harus dibayarkan oleh
perusahaan (Surbakti, 2012).

Leverage terdiri dari beberapa rasio, salah satunya adalah Debt to Asset
Ratio (Debt Ratio). Menurut Kasmir (2016) Debt to Asset Ratio (Debt Ratio)
merupakan ratio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar aktiva
perusahaan dibiayai oleh utang atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh
terhadap pengelolaan aktiva. Leverage bisa mempengaruhi Tax Avoidance, karena
pada pasal 6 dan 9 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan, bahwa beban terbagi menjadi dua yaitu deductible expense dan
nondeductible expense. Sehingga hutang yang merupakan bagian dari Leverage
dapat mempengaruhi besarnya utang. Maharani dan Suardana (2014) melakukan
penelitian pada seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) Tahun 2008-2016.

Intensitas aset tetap merupakan indikator yang dapat memberikan


gambaran besarnya investasi yang dimiliki perusahaan yang berbentuk asset tetap.
Menurut Purwanti dan Sugiyarti (2017) Intensitas aset didapat dari
7

membandingkan total aset tetap dengan jumlah total aset yang ada di perusahaan.
Intensitas aset tetap merupakan bagian dalam aset tetap yang terdapat pos bagi
perusahaan untuk menambahkan beban penyusutan yang ditimbulkan aset tetap
sebagai pengurang penghasilan, jika perusahaan memiliki aset tetap yang besar
maka laba yang dimiliki akan lebih kecil karena terdapat beban penyusutan yang
terdapat dalam aset tetap yang dapat mengurangi laba (Purwanti & Sugiyarti,
2017). Perusahaan yang memiliki aset tetap memungkinkan perusahaan untuk
memotong pajak akibat adanya penyusutan pada asset tetap yang terjadi setiap
tahunnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penghindaran pajak yang dapat
dilakukan perusahaan semakin tinggi.
Tingkat persediaan atau inventory intensity ratio yang tinngi juga dapat
mempengaruhi jumlah pajak yang dibayar perusahaan. Hal ini karena timbulnya
beban-beban bagi perusahaan akibat dari adanya persediaan (Herjanto, 2007:248).
Beban-beban tersebut akan mengurangi laba bersih perusahaan dan mengurangi
jumlah pajak yang dibayarkan oleh perusahaan. Manajer akan berusaha
meminimalisir beban tambahan karena banyaknya persediaan agar tidak
mengurangi laba perusahaan. Tetapi disisi lain manajer akan memaksimalkan
biaya tambahan yang terpaksa ditanggung untuk menekan beban pajak yang
dibayarkan perusahaan.Sedangkan peneliti akan meneliti dengan variabel
independen yaitu profitabilitas, leverage, intensitas aset tetap, dan inventory
intensity lalu variabel dependen yang akan peneliti gunakan yaitu tax avoidance.
Alasan memilih subsektor makanan dan minuman karena industri tersebut
selalu bertahan dalam persaingan industri karena industri tersebut memang kita
butuhkan di kehidupan sehari-hari atau bisa disebut dengan kebutuhan primer.
Industri makanan dan minuman tersebut juga tidak bergantung pada bahan baku
ekspor dan lebih banyak menggunakan bahan baku domestik walaupun harga
selalu naik. Berdasarkan permasalahan dan rujukan diatas, maka peneliti tertarik
melakukan penelitian mengenai pengaruh profitabilitas, leverage, intensitas aset
tetap, dan inventory intensity terhadap penghindaran pajak (cetr) pada subsektor
makanan dan minuman. Periode yang digunakan dalam penelitian selama 5 tahun
terakhir yaitu 2015-2019.
8

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas, peneliti dapat


merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Profitabilitas berpengaruh terhadap penghindaran pajak (Tax


Avoidance) pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2015-2019?
2. Apakah Leverage berpengaruh terhadap penghindaran pajak (Tax
Avoidance) pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2015-2019?
3. Apakah Intensitas Aset Tetap berpengaruh terhadap penghindaran pajak
(Tax Avoidance) pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia periode 2015-2019?
4. Apakah Invetory Intensity berpengaruh terhadap Penghindaran Pajak (Tax
Avoidance) pada perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2015-2019?

1.2 Batasan Masalah

Pembatasan masalah pada penelitian ini memiliki 5 variabel dengan 4


Variabel Independen (X) dan Variabel Dependen (Y). Variabel Independen yaitu
Profitabilitas (X1), Leverage (X2), Intensitas Aset Tetap (X3) dan Inventory
Intensity (X4) sedangkan Variabel Dependen yaitu Penghindaran Pajak (Tax
Avoidance) (Y) sebagai variabel yang akan diteliti. Dengan Sub sektor yang
digunakan adalah Sub Sektor Makanan dan Minuman yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode Tahun 2015-2019.
9

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaruh Profitabilitas terhadap Penghindaran Pajak


(Tax Avoidance) pada Perusahaan Sub Sektor Makanan dan Minuman
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015-2019.
2. Untuk mengetahui pengaruh Leverage terhadap Penghindaran Pajak (Tax
Avoidance) pada Perusahaan Sub Sektor Makanan dan Minuman yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015-2019.
3. Untuk mengetahui pengaruh Intensitas Aset Tetap terhadap Penghindaran
Pajak (Tax Avoidance) pada Perusahaan Sub Sektor Makanan dan
Minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2015-2019.
4. Untuk mengetahui pengaruh Inventory Intensity terhadap Penghindaran
Pajak (Tax Avoidance) pada Perusahaan Sub Sektor Makanan dan
Minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2015-2019.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Manfaat Akademis
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi peneliti
selanjutnya dan menambah bahan masukan dalam mengembangkan
Profitabilitas, Leverage, Intensitas Aset Tetap, dan Inventory Intensity
terhadap Penghindaran Pajak.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi regulator, sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di
BEI, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukkan pada
perusahaan sub sektor pertambangan batubara yang terdaftar di BEI
dalam mengetahui pengaruh pengaruh Profitablitas, Leverage,
10

Intensitas Aset Tetap, dan Inventory Intensity terhadap Penghindaran


Pajak (Tax Avoidance).
b. Bagi perusahaan, hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan referensi
dan juga bahan kebijakan dalam menilai Tax Avoidance di masa yang
akan datang.

3. Manfaat Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk


menambah wawasan bagi penulis dan juga memberikan manfaat bagi pembaca
dalam pemahaman Tax Avoidance dan hasilnya dapat memperbanyak
pengetahuan yang berhubungan dengan perpajakan khususnya dalam
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). Penelitian ini diharapkan agar dapat
dijadikan sebagai bahan referensi untuk dalam penelitian-penelitian
selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai