Anda di halaman 1dari 10

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Transfer Pricing

Transfer pricing di Indonesia diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 36 Tahun

2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) ayat (3) menyatakan bahwa Direktorat

Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menetapkan kembali besarnya Penghasilan

Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib

Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi

oleh hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan sistem

perbandingan harga antara pihak yang independen, sistem harga jual kembali,

metode cost-plus, atau sistem lainnya. Kemudian lebih lanjut diatur dalam

Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011 yang menyebutkan pengertian arm’s

length principle yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-

pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar,

sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar. Menurut Desai

et al. (2006) menekankan bahwa kesepakatan antara pihak yang berafiliasi yang

terletak di yurisdiksi pajak selalu menawarkan celah yang cukup besar untuk

terlibat dalam penghindaran pajak internasional.

9
10

MNE dapat menyusun dan membayar harga perdagangan intra perusahaan

untuk menghindari pajak, terutama dengan menetapkan transfer pricing

antarperusahaan secara strategis. Overesch (2006) dalam penelitian pada data

perusahaan di Jerman menyatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan

investigasi yang disajikan, yang berfokus langsung pada rincian pajak

keseimbangan mencerminkan kesepakatan intrafirm, dapat diverifikasi bahwa

transfer pricing kesepakatan intrafirm mewakili saluran yang berlaku untuk

menggeser keuntungan. Hasil kemunduran dengan mudah mengkonfirmasi dampak

yang diantisipasi dari tarif pajak pada ukuran rekening dari perusahaan terkait, serta

tunggakan rekening perusahaan induk, dan karena itu pada kesepakatan intrafirm.

Hal ini menekankan bahwa tidak mungkin untuk mengidentifikasi besarnya efek

transfer pricing terhadap efek quantity. Namun shifting bekerja secara efektif

terlepas dari undang-undang anti-avoidance dan audit pajak berdasarkan arm’s

length principle sehingga menunjukkan bahwa MNE dapat menghindari pajak di

negara dengan pajak tinggi untuk kepentingan lokasi yang menawarkan lower tax

rate.

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa transfer pricing berpengaruh

signifikan terhadap tax avoidance (Veronica Mayangsari, 2015. Suprihatin, 2016.

Novi Dwi Anggraini, 2017). Berbeda dengan Panjalusman dkk. (2018) yang

menyimpulkan bahwa transfer pricing memiliki pengaruh yang tidak signifikan

terhadap tax avoidance. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti perubahan

sistem pemerintahan yang dibarengi dengan munculnya berbagai baru, seperti Tax

Amnesty dan sebagainya.


11

Untuk menguji dampak transfer pricing pada penghindaran pajak (tax

avoidance) perusahaan multinasional, maka diperoleh hipotesis sebagai berikut :

H1. Aktivitas Transfer Pricing pada perusahaan berpengaruh positif

terhadap tax avoidance.

2.2 Thin Capitalization

Thin Capitalization merupakan keadaan dimana perusahaan membiayai

melalui posisi hutang yang tinggi dibandingkan dengan modal yang dimiliki atau

sering disebut “highly leveraged”. Peraturan perpajakan di beberapa negara

termasuk Indonesia memungkinkan pengurangan biaya penjaminan utang dalam

menghitung besaran taxable income. Hal ini menyebabkan pendanaan yang

bersumber dari utang (debt financing) terlihat lebih menggiurkan bagi pemegang

saham daripada pendanaan melalui ekuitas (equity financing) (www.pajak.go.id).

Menurut OECD, leverage merupakan salah satu metode yang memfasilitasi

Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) karena biaya bunga pinjaman yang dapat

dianggap sebagai biaya yang dapat dikurangkan. Pada negara berkembang seperti

Indonesia pendanaan investasi yang besar melalui utang (debt financing) sangat

merugikan dan dapat menimbulkan masalah Base Erosion and Profit Shifting

(BEPS). Meskipun kebutuhan dalam menarik investasi ke dalam negeri sangat

penting namun harus diimbangi dengan pentingnya menjaga basis pajak. Kegagalan

pemerintah dalam mengatasi hal ini memberikan keuntungan bagi MNE dalam

melakukan bisnis di dalam negeri melalui korosi basis pajak.

Menurut yang dilansir pada website resmi Direktorat Jenderal Pajak Thin

Capitalization rules umunya memiliki dua pendekatan yang dapat diambil, yaitu
12

debt limitation yang mempengaruhi jumlah pengeluaran bunga yang dapat

dikurangi serta melalui interest limitation yang dapat dikurangi dengan referensi

rasio dari bunga terhadap variabel lain. Terdapat dua jenis pendekatan yaitu Arm’s

Length dan pendekatan rasio/Debt to Equity Ratio (DER) (www.pajak.go.id). Saat

ini thin capitalization rules Indonesia berpedoman pada pendekatan Arm’s Length

test untuk menentukan kuantum utang bagi entitas yang memiliki hubungan

istimewa dan DER untuk menentukan kuantum utang maksimum yang dapat

dihitung sebagai biaya. Selain itu Indonesia juga menerapkan withholding tax

terhadap pembayaran bunga ke Subjek Pajak Luar Negeri (non-resident) di mana

hal ini untuk mengalokasikan hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber.

Kementerian Keuangan telah merilis aturan DER melalui PMK Nomor

169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan

Modal Perusahaan untuk Keperluan Perhitungan Pajak Penghasilan setelah

bertahun-tahun terdapat celah dalam Specific Anti Avoidance Rules (SAARs)

khusunya dalam Thin Capitalization. Tarif utang dan modal menurut PMK Nomor

169/PMK.010/2015 maksimal sebesar 4:1.

Nugroho, A. & Suryaini, T. (2018) Thin capitalization dipengaruhi oleh

beberapa faktor termasuk multinasionalisme, pemanfaatan tax haven, withholding

taxes, tax uncertainly, institutional ownership, foreign exposure, karakteristik

perusahaan dan Good Corporate Governance (GCG). Karakteristik perusahaan

yang dimaksud adalah karakter eksekutif, company size, dan company risk. GCG

adalah institutional ownership, proporsi dewan komisaris, kualitas audit, dan

ukuran komite audit. Perusahaan multinasional yang memiliki anak perusahaan


13

dan cabang yang tersebar di berbagai negara dapat diasumsikan memperoleh

foreign income dan menerapkan tax planning yang efisien di antara entitas grupnya.

Hal ini membuat kemungkinan keterlibatan perusahaan dalam praktik tax

avoidance semakin besar, terutama praktik thin capitalization. Desai, Foley, &

Hines (2004) menyatakan bahwa multinational enterprise di Amerika Serikat yang

memiliki tax ratio 10% lebih tinggi dari negara-negara afiliasi meningkatkan debt-

to-asset ratio sebesar 2,8% pada perusahaan-perusahaan di negara terafiliasi.

Walsh and Ryan (1997) menemukan bahwa perusahaan Inggris sering

menerbitkan utang dari anak perusahaan keuangan asing, terutama yurisdiksi pajak

yang menguntungkan seperti Belanda, untuk menghindari pembayaran pajak

pemotongan bunga dan untuk mencapai pengurangan pajak dari pembayaran

bunga. Kegiatan arbitrase semacam ini menunjukkan hubungan antara strategi

perusahaan dan keputusan pendanaan dan pajaknya. Berdasarkan hasil penelitian

Fidia, A. (2018) bahwa thin capitalization tidak mempunyai pengaruh signifikan

terhadap tax avoidance. Dinyatakan hal ini disebabkan objek atau sampel penelitian

cakupannya masih sedikit, sehingga sampel tidak dapat mencerminkan keadaan

sebenarnya dan sampel tidak diambil dari perusahaan multinasional. Sebaliknya

Taylor dan Richardson (2012) menyatakan bahwa transfer pricing, thin

capitalization, income shifting, Multinationality, dan Tax Haven utilization

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Tax Avoidance.

Untuk menguji secara formal dampak Thin Capitalization pada

penghindaran pajak (tax avoidance) perusahaan multinasional, maka diperoleh

hipotesis sebagai berikut:


14

H2. Aktivitas Thin Capitalization pada perusahaan berpengaruh positif

terhadap tax avoidance.

2.3 Tax Haven Utilization

Regulasi Tax Haven Indonesia diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008

tentang Pajak Penghasilan pasal 18 ayat 3c menyebutkan bahwa tax haven adalah

“negara yang memberikan perlindungan pajak”, sedangkan SE Dirjen Pajak Nomor

SE-04/PJ.7/1993 menyebutkan bahwa kriteria tax haven adalah negara yang tidak

memungut pajak atau memungut pajak lebih rendah dari Indonesia. Tax Havens

didefinisikan sebagai wilayah dengan tax rate yang sangat rendah dan atribut pajak

lainnya yang dirancang untuk menarik investor asing (Dharmapala & Hine, 2009).

Diklasifikasikan terdapat sekitar 40 tax havens yang biasanya negara dan wilayah

kecil yang menunjukkan pola pengelompokan geografis yang ditandai.

Ronald et al. (2014) menunjukkan bahwa sebagian besar Tax avoidance

berasal dari beberapa perusahaan besar melalui ekspor ke sejumlah “Tax Havens”

yang realtif terbatas, di mana perkiraan dasar menemukan bahwa harga intra-

perusahaan rata-rata 11% lebih rendah dari harga wajar. Hal ini menunjukkan

bahwa dengan menargetkan upaya penegakan, otoritas pajak mungkin dapat

mengurangi transfer pricing dan meningkatkan pendapatan pajak, sambal menjaga

biaya penegakan tetap rendah. Ronald et al. (2014) menunjukkan bahwa kerugian

pajak yang didorong oleh pengalihan keuntungan perusahaan multinasional ke

sepuluh sampel tax havens berjumlah sekitar 1% dari total pendaptan perusahaan

di Prancis, selanjutnya menunjukkan bahwa 450 MNEs menyumbang lebih dari

90% dari ekspor intra perusahaan ke sepuluh tax havens tersebut menyiratkan
15

bahwa Sebagian besar transfer pricing dapat dibatasi dengan memfokuskan

penegakan pada sejumlah kecil perusahaan.

Dharmapala (2020) menanggapi pandangan bahwa penggunaan tax havens

oleh MNE merugikan negara-negara non-havens dengan mengikis basis pajak

mereka. Dharmapala dalam makalahnya mengembangkan perspektif alternatif

berdasarkan argument bahwa penggunaan tax havens oleh MNE sangat bergantung

pada kesabaran atau fasilitasi aktif oleh non-havens, karena telah tersedia berbagai

instrument hukum pajak yang kuat untuk menetralisir dampak penggunaan tax

havens oleh MNE. Sejauh itu bukan karena disfungsi politik, kegagalan

menggunakan instrument ini secara lebih luas dapat dilihat sebagai piihan kebijakan

yang disengaja, yang disebabkan baik oleh masalah Tindakan kolektif diantara non-

havens atau kemungkinan dalam keadaan tertentu dapat meningkatkan

kesejahteraan negara-negara non-havens.

Tax havens memberikan fasilitas yang cukup besar kepada perusahaan

multinasional untuk menghidari pajak (Desai et al., 2005). Taylor dan Richardson

(2012) menyatakan transfer pricing, thin capitalization, income shifting,

multinationality, dan tax haven utilization mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap penghindaran pajak. Sebaliknya Fidia, A. (2018) menyimpulkan bahwa

pemanfaatan tax havens tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap tax

avoidance.

Untuk menguji secara formal dampak Tax Havens pada penghindaran pajak

(tax avoidance) perusahaan multinasional, maka diperoleh hipotesis sebagai

berikut:
16

H3. Aktivitas Tax Havens pada perusahaan berpengaruh positif terhadap tax

avoidance.

2.4 Multinationality

Menurut Suandy (2008) MNE adalah perusahaan yang beroperasi lintas

batas antarnegara, yang terikat hubungan khusus, baik karena penyertaan modal

saham, pengendalian manajemen atau penggunaan teknologi; dapat berupa anak

perusahaan, cabang perusahaan, agen, dan sebagainya, dengan berbagai tujuan,

antara lain untuk memaksimalkan income after tax expense (minimize tax). Rohatgi

(2006) MNE dalam memanfaatkan liability dijadikan sebagai celah dalam tax

planning, untuk mengurangi beban pajak perusahaan dan menjadikan pengakuan

biaya bunga sebagai biaya fiskal.

Taylor dan Richardson (2012) MNE umumnya menerapkan tax planning

yang efisien di seluruh related party, ada kemungkinan perusahaan dengan related

party dalam grup perusahaan memperoleh foreign income dapat terlibat dalam

kegiatan tax avoidance yang lebih besar. Menurut Hanlon, Mills, dan Slemrod

(2007) entitas yang dikontrol asing memiliki tingkat ketidaktaatan pajak yang lebih

besar dibandingkan dengan entitas yang dikontrol dalam negeri.

Untuk menguji secara formal dampak operasi multinationality pada tax

avoidance perusahaan multinasional, dikembangkan hipotesis berikut :

H4. Multinationality pada perusahaan berpengaruh positif terhadap tax

avoidance.
17

2.5 Income Shifting

Collins, Kemsley, dan Lang (1998) (dalam Taylor & Richardson, 2012)

mengamati bahwa MNEs AS yang menghadapi tax rate perusahaan asing rata-rata

melebihi tax rate perusahaan AS menunjukkan tindakan tax avoidance lebih luas

daripada perusahaan AS lainnya. Eldenburg, Pickering, & Yu (2003) Income

Shifting internasional diakukan oleh perusahaan Australia secara signifikan

mengurangi kuantum pajak komersial domestik yang harus dibayar. Secara khusus,

perbedaan batas keuntungan antara entitas anak yang ditempatkan di Australia dan

yang diluar negeri dapat membuka peluang untuk mengalihkan pendapatan secara

Internasional (Hamilton, 2001). Sebagai ilustrasi, batas keuntungan yang dibuat

perusahaan Australia pada operasi asing lebih tinggi memotivasi perusahaan untuk

mendorong income ke pajak yang lebih rendah (Taylor & Richardson, 2012).

Income Shifting di Indonesia juga sering dilakukan dengan memanfaatkan

harga transfer dan juga tarif pajak yang lebih rendah sehingga cenderung dilakukan

oleh perusahaan multinasional. Praktik penghindaran pajak yang dilakukan untuk

meminimalkan beban pajak perusahaan dengan skema yang mengacu pada wilayah

dengan corporate tax rate tinggi ke wilayah corporate rate rate yang lebih rendah

melalui mekanisme income shifting (Frandyanto, 2017). Menurut Richardson dan

Taylor (2015) praktik income shifting dapat dilakukan perusahaan melalui

instrumen seperti transfer pricing, thin capitalization serta tax haven country.

Untuk menguji secara formal dampak income shifting pada tax avoidance

perusahaan multinasional di Indonesia, dikembangkan hipotesis berikut :


18

H5. Income Shifting pada perusahaan mempunyai rpengaruh positif

terhadap tax avoidance

Anda mungkin juga menyukai