Anda di halaman 1dari 4

Identitas Jurnal/Artikel

Nama penulis : Muhammad Rheza Ramadhan dan Riko Riandoko


Judul Artikel : THE EFFECT OF THIN CAPITALIZATION RULE TO CORPORATE
CORPORATE CAPITAL STRUCTURE IN INDONESIA
Jurnal : Jurnal Manajemen Bisnis dan Inovasi
Volume : Vo.4 No.3
Tahun : 2017
Jumlah Halaman : 7 halaman
Alamat website : http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jmbi/article/view/17992

Latar Belakang
Pendanaan dalam suatu perusahaan dimungkinkan dilakukan melalui dua cara yaitu
melalui utang (debt) ataupun modal (equity). Sedangkan untuk menentukan metode paling
sesuai dari kedua metode tersebut tentu dibutuhkan pemahaman yang memadai terhadap
implikasi perpajakannya. Cara perusahaan melakukan pendanaan akan memberikan pengaruh
yang cukup signifikan pada jumlah keuntungan yang dilaporkan untuk tujuan perpajakan. Thin
Capitalization sendiri sering dimaksudkan pada situasi di mana perusahaan melakukan
pendanaan melalui tingkat utang yang tinggi dibandingkan modal yang dimiliki atau sering
disebut “highly leveraged”. Peraturan perpajakan di beberapa negara termasuk Indonesia
secara khusus mengizinkan pengurangan biaya pinjaman atas utang dalam menghitung jumlah
penghasilan kena pajak. Oleh karena itu, dalam taraf yang cukup besar pendanaan melaui
utang (debt financing) terlihat lebih atraktif bagi pemegang saham dibandingkan pendanaan
melalui modal (equity financing).
Penggunaan leverage sendiri menurut OECD telah diidentifikasikan sebagai salah satu
metode yang memfasilitasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) akibat adanya biaya bunga
dalam pinjaman yang dapat diakui sebagai deductible expense. Dalam sudut pandang negara
berkembang termasuk Indonesia di mana pendanaan investasi kebanyakan melalui utang, hal
ini sangatlah berisiko dan dapat menimbulkan masalah Base Erosion and Profit
Shifting (BEPS). Walaupun kebutuhan dalam menarik investasi ke dalam negeri sangatlah
penting tetapi haruslah menyeimbangkan dengan pentingnya melindungi basis pajak.
Kegagalan pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini akan memberikan keuntungan lebih
bagi perusahaan multinasional dalam melakukan bisnis di dalam negeri melalui penggerusan
basis pajak.
Aturan Thin Capitalization secara umum memiliki dua pendekatan yang dapat dilakukan
yaitu melalui pembatasan jumlah utang (debt limitation) yang berpengaruh terhadap jumlah
beban bunga yang dapat dikurangkan serta melalui pembatasan jumlah bunga (interest
limitation) yang dapat dikurangkan dengan referensi rasio dari bunga terhadap variable lain.
Jenis pendekatan yang pertama dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu melalui pendekatan Arm’s
Length dan pendekatan rasio/Debt to Equity Ratio (DER). Indonesia sendiri saat ini memiliki
aturan Thin Capitalization yang berpedoman pada pendekatan pertama yaitu melalui Arm’s
length test untuk menentukan jumlah utang bagi entitas yang memiliki hubungan istimewa dan
DER untuk menentukan jumlah utang maksimal yang dapat diperhitungkan sebagai biaya. Di
samping aturan tersebut Indonesia juga menerapkan withholding tax terhadap pembayaran
bunga ke Subjek Pajak Luar Negeri (non-resident) di mana hal ini untuk mengalokasikan hak
pemajakan Indonesia sebagai negara sumber.
Debt to Equity Ratio (DER) sendiri merupakan aturan yang paling umum digunakan oleh
mayoritas negara di dunia dalam menghadapi upaya Thin Capitalization. Kesederhanaan dalam
penggunaan DER mungkin menjadi salah satu alasan banyak negara menggunakan aturan ini
sebagai Thin Capitalization Rule. Indonesia di tahun 1984 saat pertama kalinya
memperkenalkan DER menetapkan besarnya perbandingan utang dan modal maksimal
sebesar 3 : 1 namun beleid ini ditangguhkan hanya beberapa bulan setelah ditetapkan. Tahun
2015 Indonesia akhirnya merilis aturan DER melalui PMK Nomor 169/PMK.010/2015 tentang
Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan
Penghitungan Pajak Penghasilan, setelah bertahun-tahun terdapat lubang besar dalam Specific
Anti Avoidance Rules (SAARs) khususnya Thin Capitalization. Besarnya perbandingan utang
dan modal menurut ketentuan terbaru maksimal sebesar 4 : 1. Meskipun tidak ada standar
internasional untuk menentukan formula dari besarnya rasio yang digunakan, Indonesia sendiri
terlihat lebih memberikan ruang bagi wajib pajak dalam berekspansi karena kebanyakan
negara-negara menggunakan rasio DER sebesar 3 : 1.
OECD dalam laporan akhir BEPS Action 4 tidak merekomendasikan penggunaan DER
sebagai Thin Capitalization Rule, mereka lebih merekomendasikan penggunaan pendekatan
yang kedua yaitu melalui interest limitation atau lebih sering disebut pendekatan “earning
stripping”. Pendekatan ini menggunakan rasio untuk menentukan seberapa besarnya biaya
bunga yang dapat di kurangkan dari jumlah pendapatan, rasio tersebut berasal dari
perbandingan bunga dengan EBIT/EBITDA (Earning Before Interest, Tax, Depreciation and
Amortization). Menurut OECD penggunaan DER masih memberikan banyak kerugian seperti
adanya fleksibilitas yang cukup tinggi dalam hal tingkat bunga yang dibayarkan suatu entitas
atas utangnya dan juga potensi entitas yang memiliki modal besar untuk mengurangkan lebih
banyak biaya bunga di mana hal tersebut sangatlah mudah dilakukan bagi grup usaha untuk
memanipulasi hasil rasio utang terhadap modal dengan menambah tingkat modal dalam entitas
tertentu. PBB menjelaskan bahwa pendekatan Earning Stripping sendiri lebih direkomendasikan
oleh OECD karena secara langsung membatasi penggerusan basis pajak di mana wajib pajak
tidak dapat mengurangkan biaya bunga melebihi batas yang telah ditetapkan, berbeda dengan
DER yang hanya membatasi penggerusan basis pajak secara tidak langsung.
Penggunaan aturan Debt to Equity Ratio tentu dibutuhkan penghitungan neraca
keuangan wajib pajak di mana PBB dalam handbook-nya menyatakan bahwa penggunaan
neraca keuangan tidak dapat memberikan penghitungan rasio yang sesuai. Dalam akuntansi
keuangan, modal dalam suatu perusahaan seringkali diukur menggunakan nilai historis (contoh:
investasi awal dan retained earning), hal ini akan menyebabkan sisi aset menjadi undervalue.
Apabila perusahaan memiliki aset yang telah mengalami kenaikan nilai (appreciated in value)
atau goodwill yang cukup substansial maka nilai rasio debt to
equity dimungkinkan overstated apabila utang diukur menggunakan nilai sekarang tetapi
modal diukur menggunakan nilai historis. Jika perusahaan melakukan valuasi modalnya
menggunakan nilai pasar wajar (fair market value) hal tersebut akan sangat mahal dan rumit,
valuasi sendiri berpotensi menimbulkan dispute antara wajib pajak dan otoritas pajak. (Alif
Radix Tegar Sejati, 2018)
Praktek keberadaan kapitalisasi di Indonesia telah dikenal lama oleh pemerintah
Indonesia. Terbukti, pada tahun 1963 dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Pajak
Penghasilan telah menemukan aturan anti-penghindaran umum untuk kapitalisasi yang
kemudian dilanjutkan dengan penerbitan KMK-1002 / KMK.04/ 1984 yang mengatur bahwa
utang maksimum perusahaan terhadap ekuitas adalah 3:1. Sayangnya, pelaksanaan aturan ini
ditunda selama 30 tahun sehingga selama waktu itu, Direktoral Jenderal Pajak tidak memiliki
aturan teknis yang bisa mengatur wajib pajak yang menggunakan kapitalisasi sebagai skema
penghindaran pajak.

Definisi Operasional
Ruang lingkup penelitian ini adalah seluruh laporan keuangan perusahaan di bursa efek
Indonesia pada tahun 2015 dan 2016 dengan batas perusahaan yang laporan tahunan nya
telah hadir di situs Bursa Efek Indonesia.
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling untuk mendapatkan
sampel sesuai dengan tujuan penelitian ini. pengumpulan data dilakukan dengan mengambil
nilai total utang dan ekuitas perusahaan pada tahun 2015 dan 2016 dengan menggunakan data
laporan tahunan yang terdapat di situs Bursa Efek Indonesia. Data akan dipisahkan antara
perusahaan yang memiliki Debt to Equity Ratio di atas 4:1 dan di bawah 4:1.
Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah utang perusahaan dan modal
perusahaan. Hutang perusahaan adalah seluruh utang perusahaan dalam pernyataan
perusahaan ini posisi keuangan pada akhir tahun fiskal, sedangkan modal ekuitas adalah
seluruh perusahaan dalam pernyataan perusahaan ini posisi keuangan pada akhir tahun fiskal.
Variabel akan diubah ke bentuk logaritma natural sehingga perbedaan antara satu dengan yang
lain tidak terlalu jauh.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji beda utang dan modal pada tahun
2015 (sebelum pelaksanaan PMK-169 / PMK.010 / 2015) dengan utang dan modal pada tahun
2016 (setelah pelaksanaan PMK-169 / PMK.010 / 2015). Alat statistik yang dapat digunakan
untuk menguji hipotesis adalah paired sample t-test (Ghozali, 2016). Pengujian dilakukan
dengan menggunakan SPSS 23. Sebelum melakukan uji t, peneliti juga melakukan analisis
deskriptif statistik untuk melihat penyebaran data.

Kesimpulan
Dalam dunia bisnis, baik di Indonesia maupun internasional, perusahaan (terutama
multinasional) cenderung memanfaatkan perbedaan perlakuan pajak antara dividend an bunga
pajak dalam menghindari skema kapitalisasi tipis. Oleh karena itu, banyak negara
mengeluarkan peraturan tentang aturan kapitalisasi tipis. Indonesia, pada tahun 2015, juga
mengeluarkan aturan kapitalisasi tipis yang ada di PMK-169 / PMK.010 / 2015 yang membatasi
nilai Debt to Equity Ratio ke 4 : 1.
Berdasarkan uji sampel uji t yang dibagi menjadi dua kelompok: kelompok pertama
(Debt to Equity Ratio lebih dari 4 : 1) dan kelompok kedua (Debt to Equity Ratio kurang dari 4 :
1), dapat dilihat bahwa untuk sampel pada kelompok pertama dan kedua, utang tidak berubah
secara signifikan karena aturan kapitalisasi tipis, sedangkan nilai ekuitas berubah secara
signifikan karena aturan kapitalisasi tipis. Berdasarkan hasil statistik deskriptif juga dapat dilihat
bahwa nilai euitas meningkat pada tahun 2016, ini menunjukkan bahwa penurunan rasio hutang
terhadap ekuitas pada tahun 2016 pada kelompok pertama dan kedua sampel ditemukan oleh
Ramadhan et al. (2017b) tidak disebabkan oleh penurunan utang, tetapi disebabkan oleh
peningkatan ekuitas.

Kelebihan
Dalam penelitian ini, peneliti sudah membahas hasil penelitian secara detail dengan
memaparkan sampel, teknik pengumpulan data, variabel, teknik analisis data, dan cara
perhitungan sampel. Hasil dan diskusi yang dipaparkan jelas dan mudah dimengerti.

Kekurangan
Metode yang digunakan dalam peneltian kurang kompleks untuk menganalisis pengaruh aturan
kapitalisasi tipis di struktur modal perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai