Anda di halaman 1dari 13

Machine Translated by Google

Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia 22(2) December 2018

Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia


www.journal.uii.ac.id/index.php/jaai

Faktor penentu keputusan transfer pricing pada perusahaan manufaktur di Indonesia

Anisa Susanti, Amrie Firmansyah*


Politeknik Keuangan Negara STAN, Jakarta, Indonesia
*Email penulis terkait: amrie.firmansyah@gmail.com

INFO PASAL ABSTRAK

Sejarah artikel: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beban pajak, tunneling, dan bonus terhadap
Tersedia daring
keputusan transfer pricing di Indonesia. Praktik transfer pricing sebagai salah satu bentuk
penghindaran pajak dapat mengancam penerimaan negara. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan model regresi linier berganda dengan data panel. Sampel yang digunakan dalam
Kata Kunci:
penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jenis
penghindaran pajak, transfer pricing
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa laporan keuangan
DOI: perusahaan yang terdaftar di BEI pada tahun 2011 hingga 2015. Sampel dipilih menggunakan metode purposive sam
https://doi.org/10.20885/jaai.vol22. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban pajak dan tunneling berhubungan negatif dengan
iss2.art1 keputusan transfer pricing sedangkan bonus tidak berhubungan dengan keputusan transfer pricing.

Perkenalan
Tidak tercapainya target penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir menjadi momok besar bagi Otoritas Pajak
Indonesia. Rendahnya tingkat rasio pajak di Indonesia menunjukkan masih banyak basis pajak yang belum dikenakan pajak.
Hal ini mungkin disebabkan oleh kebocoran penerimaan pajak. Darussalam dan Septriadi (2012) menyatakan bahwa salah
satu dari tiga penyebab utama kebocoran tersebut adalah praktik transfer keuntungan yang dilakukan wajib pajak pada
umumnya melalui skema transfer pricing. Pengertian transfer pricing hanya sebatas “kebijakan perusahaan dalam
menentukan harga transfer suatu transaksi baik berupa barang, jasa, aset tidak berwujud, maupun transaksi keuangan yang dilakukan oleh
(Setiawan, 2014). Namun istilah “transfer pricing” seringkali dianggap negatif dalam bentuk manipulasi transfer pricing.
Oleh karena itu, transfer pricing diartikan sebagai mekanisme yang digunakan terutama oleh perusahaan multinasional
untuk meminimalkan pajak secara global dengan mengalihkan keuntungan dari perusahaan di negara dengan tarif pajak
lebih tinggi ke perusahaan di negara dengan tarif pajak lebih rendah (Eden, 2009). Dengan kata lain, risiko yang timbul
akibat praktik transfer pricing akan ditanggung oleh negara-negara yang menerapkan tarif pajak lebih tinggi.
Sebagaimana dijelaskan Piliang kepada Kontan (2010), potensi hilangnya penerimaan pajak akibat praktik transfer
pricing yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia selama tahun 2009 bisa mencapai Rp 1.300
triliun. Data tersebut diperoleh dari Bagian Transfer Pricing yang diolah berdasarkan data OECD. Besarnya potensi
hilangnya penerimaan pajak tidak mengherankan karena praktik transfer pricing seringkali melibatkan ribuan perusahaan multinasional dal
Otoritas Pajak Indonesia melalui Liputan6 (2016) menyebutkan sebanyak 2000 perusahaan multinasional yang beroperasi
di Indonesia tidak membayar pajak hingga 10 tahun dengan alasan merugi. Anehnya, meski mengalami kerugian terus
menerus, operasional perusahaan tersebut tetap berjalan sehingga perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut. Dari ketiga
modus yang sering digunakan wajib pajak, modus transfer pricing merupakan modus yang paling umum digunakan oleh perusahaan multin
Banyak kasus yang melibatkan perusahaan multinasional dengan transfer pricing terjadi di Indonesia. Kasus
terbesar yang pernah terungkap adalah kasus yang melibatkan perusahaan Adaro dan Asian Agri. Berdasarkan pemberitaan
www.inilah.com, Adaro diduga menjual batubara kepada afiliasinya yang berbasis di Singapura, Coaltrade Service
International Ltd, dengan harga di bawah standar harga internasional selama tahun 2005 - 2006. Manipulasi harga yang
dilakukan Adaro diperkirakan akan merugikan negara. minimal Rp 10 Triliun. Selain Adaro, kasus transfer pricing terbesar
juga dilakukan oleh Asian Agri dengan menjual produk Crude Palm Oil kepada PT Asian Agri Group (AAG) ke perusahaan
afiliasi luar negeri dengan harga di bawah harga pasar kemudian dijual kembali ke pihak Adaro. pembeli nyata dengan
harga tinggi sehingga mengurangi beban pajak dalam negeri. Selain itu, beberapa perusahaan luar negeri yang menjadi
mitra Asian Agri ternyata merupakan perusahaan fiktif. Kasus Asian Agri diperkirakan menimbulkan potensi hilangnya
penerimaan pajak pada tahun 2002 hingga 2005 sebesar Rp 1,3 Triliun (Hadjar, Indonesia Legal Resource Center, & Indonesia Corruption W
Potensi hilangnya penerimaan pajak menyebabkan transfer pricing menjadi salah satu isu besar yang dihadapi
Otoritas Pajak Indonesia. Upaya Otorita untuk mengatasi praktik transfer pricing telah ada sejak dikeluarkannya peraturan
tentang transfer pricing dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pada
tahun 2007, fokus Otoritas Pajak Indonesia pada transfer pricing adalah pembentukan Bagian Transfer Pricing

P ISSN 1410-2420 | E ISSN 2528-6528 Hak


Cipta @ 2018 Penulis. Ini adalah artikel akses terbuka yang didistribusikan berdasarkan ketentuan Lisensi Atribusi Creative
Commons (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
Machine Translated by Google

82 Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 22 No. 2, December 2018

sebagai bagian dari Direktorat Inspeksi dan Penagihan serta penerbitan kebijakan terkait kewajaran harga dan praktik bisnis. Pada akhir
tahun 2016, Otoritas Pajak Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan No. 213 tentang Jenis Dokumen dan Informasi Tambahan
yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Bertransaksi dengan Pihak Terkait dan Tata Cara Pengelolaannya. Secara umum aturan ini
bertujuan untuk meningkatkan kualitas dokumen yang disiapkan wajib pajak untuk transaksi kepada pihak terkait (Deloitte, 2017).

Meskipun berbagai cara untuk mengatasi praktik transfer pricing telah dilakukan, namun masih banyak wajib pajak, khususnya
perusahaan multinasional, yang berhasil melakukan penghindaran pajak melalui mekanisme transfer pricing yang berdampak langsung
pada penerimaan pajak. Porsi penerimaan pajak dalam struktur APBN terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, penerimaan
pajak bahkan menyumbang hingga 85,6% dari total penerimaan negara. Untuk itu, Otoritas Pajak Indonesia harus berhati-hati dalam
mengidentifikasi wajib pajak, terutama perusahaan multinasional yang terindikasi melakukan praktik transfer pricing. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian terkait faktor-faktor yang memicu suatu perusahaan melakukan transfer pricing.
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, proses identifikasi dapat lebih tepat sehingga keterbatasan sumber daya Otoritas Pajak
Indonesia dapat lebih efisien.
Transfer pricing bukanlah isu baru dalam dunia perpajakan. Namun penelitian menunjukkan hasil berbeda. Faktor utama yang
dapat mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan transfer pricing adalah beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan
multinasional. Beban pajak merupakan beban utama yang dijadikan masukan dalam pengambilan keputusan oleh perusahaan (Graham et
al., 2017). Perbedaan beban pajak di dua yurisdiksi negara yang ditanggung oleh dua perusahaan atau lebih dalam kepemilikan yang sama
mendorong perusahaan untuk melakukan transfer pricing untuk memperoleh beban pajak yang minimum. Di Indonesia, Yuniasih, Rasmini,
dan Wirakusuma (2012) menemukan bahwa beban pajak berpengaruh positif terhadap transfer pricing.
Namun Marfuah dan Azizah (2012) mengemukakan bahwa beban pajak berpengaruh negatif terhadap transfer pricing. Selain itu, Mispiyanti
(2015) menemukan bahwa beban pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap transfer pricing.
Lebih lanjut, faktor lain yang dapat memicu perusahaan multinasional melakukan transfer pricing adalah adanya tunneling.
Tunneling merupakan pengalihan sumber daya perusahaan untuk kepentingan pemegang saham mayoritas, dimana beban pengalihan
tersebut ditanggung oleh pemegang saham minoritas (Johnson et al., 2000). Berdasarkan Chan, Moand, dan Tang (2016), tunneling
disebabkan oleh kepemilikan mayoritas pemegang saham pengendali dan rendahnya Corporate Governance pada perusahaan. Claessens
dkk. (2002) membuktikan bahwa perusahaan di Indonesia mempunyai karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan perusahaan di Asia
yaitu konsentrasi kepemilikan pada kelompok tertentu. Selain itu, Nurazi, Santi, dan Usman (2015) mengutip survei Indonesian Institute
for Corporate Governance (IICG) yang membuktikan tingkat kesadaran perusahaan di Indonesia akan pentingnya Corporate Governance
masih rendah. Pemenuhan kedua syarat tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya tunneling di Indonesia sangat tinggi.
Berdasarkan Lo, Wong, dan Firth (2010), kegiatan tunneling yang dilakukan oleh BUMN di Tiongkok berdampak negatif terhadap transfer
keuntungan suatu perusahaan melalui mekanisme transfer pricing. Lebih lanjut, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yuniasih,
Rasmini, dan Wirakusuma (2012), Marfuah dan Azizah (2012) dan Mispiyanti (2015) mengemukakan bahwa aktivitas tunneling berpengaruh
positif terhadap keputusan transfer pricing.

Studi ini juga menyoroti bonus sebagai faktor lain yang mendorong perusahaan multinasional melakukan transfer pricing.
Salah satu hipotesis yang diajukan Watts dan Zimmerman (1979) dalam isu keagenan adalah hipotesis bonus.
Ketika bonus diberikan berdasarkan tingkat pendapatan, manajemen akan mempertimbangkan peningkatan penjualan untuk mendapatkan bonus.
Sayangnya menurut Lo, Wong, dan Firth (2010), untuk mencapai tujuan tersebut, manajemen seringkali menghalalkan segala cara, salah
satunya dengan cara melakukan manajemen laba melalui mekanisme transfer pricing. Dengan menggunakan proksi Net Profit Trend
Index, Nurjanah, Isnawati, dan Sondakh (2016) menemukan bahwa bonus berpengaruh positif terhadap transfer pricing. Namun Mispiyanti
(2015) mengemukakan bahwa bonus bahkan tidak dikaitkan dengan transfer pricing. Penelitian ini menggunakan proksi yang digunakan
untuk mengukur bonus yang sama dengan menggunakan pendekatan besaran bonus.
Penelitian ini juga menggunakan variabel kontrol berdasarkan literatur penelitian sebelumnya. Lo, Wong dan Firth (2010)
menggunakan rasio utang, yang diukur dengan rasio total utang terhadap total aset, dan transaksi pihak berelasi, yang diukur dengan
jumlah penjualan pihak berelasi terhadap total penjualan. Variabel kontrol ini bertindak sebagai kontrol atas kemungkinan pengaruh
volume utang dan penjualan pihak berelasi. Variabel kontrol lainnya adalah ukuran perusahaan. Berdasarkan Rego (2003), ukuran
perusahaan sebagai salah satu karakteristik perusahaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap rata-rata tarif pajak efektif (ETR)
dalam mengukur aktivitas penghindaran pajak pada Perusahaan Multinasional Amerika.
Penelitian ini mencoba untuk menguji pengaruh beban pajak, tunneling, bonus terhadap keputusan transfer pricing.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, masih terdapat kesenjangan penelitian dalam pengujian beban pajak dan terowongan
dalam keputusan transfer pricing. Selain itu, pada penelitian sebelumnya yang proksi beban pajaknya menggunakan Effective Tax Rate,
sedangkan hasil evaluasi Plesko (2003) menyatakan bahwa pengukuran pajak dengan menggunakan ETR sering kali menghasilkan
kesalahan perhitungan yang signifikan. Oleh karena itu, proksi beban pajak pada penelitian ini menggunakan Marginal Tax Rate (MTR)
yang lebih dapat diandalkan untuk memperkirakan beban pajak yang ditanggung perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Yuniasih,
Rasmini, dan Wirakusuma (2012), Marfuah dan Azizah (2012) dan Mispiyanti (2015) menggunakan proksi yang digunakan untuk mengukur
adanya aktivitas tunneling pada suatu perusahaan dengan menggunakan persentase kepemilikan saham mayoritas, meskipun mayoritas
perusahaan memiliki struktur kepemilikan terkonsentrasi. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, tunneling proxy pada penelitian ini
Machine Translated by Google

Penentu keputusan transfer pricing… 83

menggunakan transaksi pihak terkait karena aktivitas tunneling di kawasan Asia meningkat drastis.
Selanjutnya proksi yang digunakan Mispiyanti (2015) menggunakan dummy untuk mendeteksi perusahaan yang mempunyai bonus.
Suryatiningsih dan Siregar (2008) menyatakan bahwa penelitian mengenai mekanisme bonus dapat menggunakan dua pendekatan,
yaitu melalui komponen bonus atau jumlah bonus. Laporan keuangan yang dikeluarkan perusahaan tidak boleh mencantumkan rincian
besaran bonus yang diberikan. Besaran bonus yang diberikan umumnya hanya disajikan per kelompok tertentu.
Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk menguji kembali bonus pada keputusan transfer pricing dengan menggunakan komponen
bonus untuk mengkonfirmasi penelitian yang dilakukan oleh Mispiyanti (2015). Proksi serupa juga digunakan oleh Nurjanah, Isnawati, dan Sondakh (201
Namun penelitian ini menggunakan regresi logistik, sedangkan penelitian ini menggunakan regresi panel.

Tinjauan Literatur

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan dalam perusahaan merupakan nexus of contract, yaitu kumpulan kontrak
antara prinsipal sebagai pemilik sumber daya ekonomi dan agen sebagai manajer dalam penggunaan dan pengendalian sumber daya
tersebut. Dalam hal ini prinsipal mencakup pemangku kepentingan baik pemegang saham, kreditur, atau pemerintah.
Di sisi lain, agen adalah manajemen perusahaan. Sehubungan dengan itu, bisa saja timbul masalah keagenan antara prinsipal dan
agen. Konflik yang terjadi dalam hubungan keagenan merupakan akibat dari adanya asimetris informasi karena agen berada pada
posisi yang mempunyai informasi lebih banyak mengenai perusahaan sedangkan di sisi lain prinsipal tidak mampu melakukan
pengawasan terhadap manajemen setiap saat. Selain itu, terdapat konflik kepentingan karena prinsipal dan agen mempunyai keinginan
untuk memaksimalkan keuntungan sehingga mendorong agen bertindak tidak sinkron dengan keinginan prinsipal (Godfrey et al., 2010).

Watts dan Zimmerman (1979) menggambarkan masalah keagenan dalam tiga hipotesis, yaitu hipotesis utang, hipotesis biaya
politik, dan hipotesis bonus. Praktik transfer pricing yang dilakukan oleh manajemen perusahaan merupakan gambaran nyata dari
salah satu hipotesis tersebut, yaitu hipotesis biaya politik. Hipotesis biaya politik menyatakan bahwa manajemen perusahaan berupaya
meminimalkan pajak yang dikenakan pemerintah.
Manajemen sebagai agen, mengetahui informasi secara lengkap terkait transaksi yang dilakukan perusahaan, baik mengenai pihak-
pihak yang terlibat dalam transaksi maupun harga wajar dari transaksi tersebut. Di sisi lain, pemerintah sebagai prinsipal hanya
mengetahui informasi yang terbatas. Pemerintah tidak mungkin mampu mengawasi seluruh transaksi yang dilakukan satu per satu
perusahaan wajib pajak. Informasi yang diperoleh pemerintah hanya sebatas laporan keuangan yang disajikan perusahaan. Oleh karena
itu, manajemen memanfaatkan ketidakseimbangan informasi tersebut untuk memanipulasi transfer pricing (manipulasi transfer pricing)
transaksi pihak berelasi. Oleh karena itu, perusahaan yang berada dalam yurisdiksi perpajakan yang lebih tinggi dapat melaporkan laba
yang lebih kecil sehingga dapat meminimalkan beban pajak.
Transfer pricing digunakan dalam hal terjadi pengalihan laba dari perusahaan di negara yang tarif pajaknya lebih tinggi ke
perusahaan terkait di negara yang tarif pajaknya lebih rendah. Semakin kecil beban pajak perusahaan maka semakin besar kemungkinan
perusahaan mentransfer laba melalui mekanisme transfer pricing kepada perusahaan. Melalui upaya ini, perusahaan dapat melakukan
penghematan pajak dengan selisih antara pajak yang dibayarkan secara global. Sebaliknya, semakin besar beban pajak perusahaan,
maka semakin kecil kemungkinan terjadinya transfer laba melalui transfer pricing. Perusahaan yang beban pajaknya lebih tinggi
mentransfer keuntungannya kepada perusahaan yang beban pajaknya rendah sehingga risiko terjadinya transfer pricing berupa
penurunan basis pajak ditanggung oleh negara yang menetapkan tarif lebih tinggi. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis
pertama penelitian ini adalah: H1: Beban pajak berhubungan negatif dengan keputusan transfer pricing

Johnson dkk. (2000) menggunakan istilah “tunneling” untuk menggambarkan pengalihan sumber daya perusahaan demi
kepentingan pemegang saham mayoritas, dimana beban pengalihan tersebut ditanggung oleh pemegang saham minoritas. Aktivitas
tunneling meningkat dengan adanya kepemilikan saham yang terkonsentrasi dan rendahnya Corporate Governance dalam perusahaan
(Chan, Moand, & Tang, 2016). Seperti Claessens dkk. (2002), secara umum perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai karakteristik
yang tidak jauh berbeda dengan perusahaan-perusahaan di Asia yang struktur kepemilikan sahamnya terkonsentrasi pada kelompok
tertentu. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut tumbuh dan menjadi perusahaan publik, kendali yang dipegang oleh grup tersebut
masih signifikan. Selain itu, Nurazi, Santi, dan Usman (2015) mengutip survei Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) yang
membuktikan tingkat kesadaran perusahaan di Indonesia akan pentingnya Corporate Governance masih rendah. Berdasarkan hasil
survei yang dilakukan pada tahun 2012, hanya 31 perusahaan atau hanya 10% responden yang ingin mengikuti 332 survei tersebut.
Oleh karena itu, terpenuhinya kedua syarat tersebut menunjukkan bahwa risiko terowongan di Indonesia tinggi.

Dalam hal perusahaan grup atau konglomerat, pemegang saham mayoritas juga memiliki saham di perusahaan lain yang
berelasi dengan perusahaan tersebut. Kondisi ini memicu munculnya aktivitas tunneling melalui mekanisme transfer pricing kepada
perusahaan terkait yang masih dalam kepemilikan yang sama untuk menguntungkan pemegang saham mayoritas. Perseroan tidak
berkeberatan untuk mengalihkan keuntungannya kepada perusahaan berelasi dengan melakukan transaksi penjualan kepada pihak
berelasi pada tingkat harga yang lebih rendah dari harga wajar. Upaya tersebut tentunya akan berdampak pada penurunan rasio rasio
laba kotor relatif (relative gross profit ratios) yang menunjukkan tingkat transfer pricing perusahaan. Oleh karena itu, semakin tinggi
tingkat tunneling perusahaan maka semakin rendah pula tingkat transfer pricing yang ditunjukkan oleh perusahaan
Machine Translated by Google

84 Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 22 No. 2, December 2018

rasio rendah terhadap laba kotor relatif perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis kedua penelitian ini adalah:
H2: Tunneling berhubungan negatif dengan transfer pricing

Selain motivasi pajak, keputusan perusahaan melakukan transfer pricing juga timbul atas dasar motivasi non-
pajak. Salah satu bentuk motivasi non pajak adalah dengan adanya bonus yang diberikan kepada pihak manajemen.
Ketika manajemen memperoleh bonus berdasarkan labanya, maka manajemen akan berusaha mencapai target laba yang
telah ditetapkan untuk memperoleh bonus yang dijanjikan. Suryatiningsih dan Siregar (2008) membuktikan bahwa skema
bonus bagi direksi BUMN memberikan insentif kepada direksi untuk melakukan manajemen laba terkait bonus yang akan
diterimanya. Skema bonus menggunakan laba sebagai ukuran kinerja dan pencapaian realisasi laba tahun lalu serta
pencapaian anggaran laba sebagai standar kinerja. Ketika manajemen perusahaan mendapat bonus tambahan berdasarkan
target laba, maka manajemen berupaya mencapai target laba yang telah ditetapkan. Untuk mencapai target keuntungan
dapat dilakukan dengan cara mentransfer keuntungan kepada perusahaan melalui mekanisme transfer pricing dalam
transaksi kepada pihak berelasi. Semakin tinggi komponen laba yang dijadikan dasar mekanisme pemberian bonus, maka
semakin tinggi kemungkinan terjadinya pengalihan laba melalui mekanisme transfer pricing yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis ketiga
penelitian ini adalah: H3: Bonus berhubungan positif dengan keputusan transfer pricing

Metode penelitian

Objek Penelitian dan Pemilihan Sampel

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Metode ini dilakukan dengan
mengolah dan menganalisis data untuk memperoleh suatu kesimpulan. Kesimpulan yang diperoleh berupa adanya
pengaruh antara variabel independen dan variabel dependen. Sampel penelitian dipilih dengan menggunakan metode
purposive sampling, yang termasuk dalam metode non-probability sampling. Dengan menggunakan metode ini,
pemilihannya tidak dilakukan secara acak melainkan berdasarkan kriteria tertentu.
Salah satu kriteria yang digunakan untuk menghilangkan populasi adalah rentang waktu penelitian. Rentang
waktu yang digunakan dalam penelitian ini dimulai pada tahun 2011 sampai dengan data terkini yang dapat diperoleh
pada saat penelitian dilakukan. Penentuan tahun 2011 didasarkan pada studi kasus dengan pengolahan data yang
diperoleh dari Global Financial Integrity Report 2014, ditemukan bahwa praktik transfer pricing di Indonesia tertinggi pada
tahun 2008 kemudian menurun hingga tahun 2010 (Karomatunnisa, Susiatiningsih, dan Putranti., 2016) . Namun sejak
tahun 2011, praktik transfer pricing Indonesia kembali meningkat dan terus meningkat pada tahun berikutnya. Oleh karena
itu, kriteria yang digunakan untuk mengeliminasi populasi adalah perusahaan yang melakukan IPO (Initial Public Offering)
setelah tanggal 01 Januari 2011, perusahaan yang menggunakan mata uang selain Rupiah dalam pelaporan keuangannya,
dan perusahaan yang tidak mempunyai data lengkap selama periode 2011-2015 khususnya. data yang berkaitan dengan transaksi pihak b
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015. Data diperoleh dengan mengunduh laporan keuangan
dari situs resmi Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id).
Dalam penelitian ini, populasi penelitian meliputi seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI). Pemilihan perusahaan manufaktur sebagai objek dalam penelitian ini karena menurut Gunadi (1994),
sebagian besar perusahaan multinasional di Indonesia yang tidak luput dari manipulasi transfer pricing bergerak di bidang
perusahaan manufaktur. Perusahaan mempunyai hubungan internal yang substansial dengan perusahaan induk atau
afiliasinya di luar negeri.
Berdasarkan data yang berhasil diunduh dari situs resmi BEI, totalnya ada 537 perusahaan.
Dengan demikian, perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur berdasarkan klasifikasi JASICA (Jakarta Stock
Industrial Classification) adalah sebanyak 144 perusahaan. Selanjutnya dilakukan purposive sampling untuk memilih
sampel penelitian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (Tabel 1).

Tabel 1. Sampel penelitian

Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI 144


Dikurangi
oleh: 1. Perusahaan yang melakukan IPO setelah 01 Januari (21)
2011 2. Perusahaan yang menggunakan mata uang selain Rupiah dalam pelaporan (27)
keuangannya 3. Perusahaan yang tidak mempunyai data lengkap periode (46)
2011-2015 Total Sampel (per tahun) 50
Jumlah tahun 5
Jumlah Pengamatan 250
Machine Translated by Google

Penentu keputusan transfer pricing… 85

Definisi Operasional Variabel

Variabel dependen

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Keputusan Transfer Pricing (TP). Transfer Pricing (TP) menggambarkan
kemungkinan perusahaan melakukan transfer keuntungan melalui mekanisme transfer pricing. Proksi yang digunakan untuk
mengukur indikasi transfer pricing dalam penelitian ini mengacu pada proksi yang digunakan Lo, Wong, dan Firth (2010) dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

Rasio Laba Kotor Penjualan Pihak Terkait (RPTGP)


Penetapan harga transfer = (1)
Rasio Laba Kotor-Penjualan Pihak Tidak Terkait (NRPTGP)

Rasio Laba Kotor Penjualan Pihak Terkait (RPTGP) merupakan perbandingan laba kotor yang diperoleh perusahaan dari
penjualan kepada pihak berelasi sedangkan Rasio Laba Kotor Penjualan Pihak Tidak Terkait (NRPTGP) merupakan perbandingan
laba kotor yang diperoleh perusahaan dari penjualan kepada pihak yang tidak berelasi (transaksi wajar). Proksi ini menentukan
tingkat dan arah transfer pricing. Semakin kecil nilai variabel TP berarti semakin rendah tingkat transfer laba melalui transfer pricing
ke dalam perusahaan atau semakin tinggi tingkat transfer laba melalui transfer pricing ke luar perusahaan, begitu pula sebaliknya.
Selain itu, variabel transfer pricing (TP) bernilai positif mewakili perpindahan keuntungan melalui transfer pricing kepada perusahaan,
sedangkan variabel transfer pricing (TP) bernilai negatif mewakili perpindahan laba melalui transfer pricing yang dilakukan di luar
perusahaan.

Variabel Independen

Beban Pajak (MTR)

Variabel beban pajak yang digunakan dalam penelitian ini menggambarkan beban pajak yang ditanggung suatu perusahaan. Hasil
evaluasi Plesko (2003) menunjukkan bahwa proksi yang lebih baik digunakan dalam mengukur beban pajak perusahaan adalah Marginal Tax Rate (MT
Penelitian proksi Marginal Tax Rate (MTR) pertama kali dikembangkan oleh Shevlin (1990) yang kemudian disempurnakan oleh
Graham (1996) karena proksi lain (seperti Effective Tax Rate) tidak dapat menangkap beban pajak perusahaan terutama jika
perusahaan tersebut menderita net tax cost. kerugian operasional dan adanya berbagai insentif pajak yang diberikan pemerintah.
Namun, mengukur Tarif Pajak Marginal (MTR) memerlukan perhitungan matematis yang tidak sederhana. Untuk meminimalisir
kesalahan penghitungan, penggunaan proksi Marginal Tax Rate (MTR) dilakukan dengan menggunakan pendekatan Algoritma
komputer yang digunakan oleh Sinha dan Bansal (2012) dengan sedikit modifikasi menyesuaikan aturan perpajakan di Indonesia.
Sinha dan Bansal (2012) mengacu pada model Graham (1996) namun dilakukan dengan menggunakan metode simulasi Monte Carlo
dengan aplikasi MATLAB (Matrix Laboratory). Kode Utama yang digunakan untuk membuat program penghitungan Tarif Pajak
Marginal (MTR) melalui aplikasi MATLAB. Modifikasi atau penyesuaian dilakukan dalam penggunaan aplikasi MATLAB. Pertama,
penyesuaian sumber data meliputi contoh data penghasilan kena pajak untuk disimpan dalam file excel dengan nama “income.xlsx”.
Data tarif pajak pasal 17 ayat (2a) atau Pasal 17 (2b) UU Pajak Penghasilan disimpan dalam file excel dengan nama "tr.xlsx." Alternatif
data tarif pajak minimum yang akan disimpan dalam file excel dengan nama “amt.xlsx.”

Selanjutnya data risk free rate diperoleh dari rata-rata BI rate tahunan untuk disimpan dalam file excel dengan nama
“rr.xlsx”. Khusus untuk file “amt.xlsx” cukup diisi dengan nilai 0 (nol) karena dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia
tidak mengenal adanya alternatif tarif pajak minimum. Kedua, penyesuaian data masukan meliputi isi jumlah tahun kompensasi
kerugian fiskal dan tahun dimulainya perhitungan MTR. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Pajak Penghasilan, isi kerugian yang dibawa
ke depan adalah 5 (lima) tahun, sedangkan barang untuk membawa kerugian ke belakang adalah 0 (nol) tahun. Tahun dimulainya
penghitungan MTR adalah pada tahun awal penelitian yaitu tahun 2011. Yang ketiga adalah penyesuaian dalam menjalankan aplikasi.
Pada penelitian ini, tombol tekan yang digunakan hanyalah tombol tekan2 yaitu Hitung MTR menggunakan Algoritma 2 (hanya
dengan kerugian carry forward). Pemilihan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan yang hanya mengakui
kerugian yang dibawa ke depan dan tidak mengakui kerugian yang dibawa ke belakang. Selain itu, rumus Algoritma 2 dalam
penerapannya lebih tepat untuk mengukur dampak kebijakan perpajakan dan penerimaan negara.

Penerobosan (TUL)
Variabel tunneling yang digunakan dalam penelitian ini menggambarkan keberadaan serta tingkat aktivitas tunneling yang
dilakukan oleh pemegang saham pengendali. Pada penelitian ini proksi yang digunakan untuk mengukur insentif tunneling dalam
perusahaan mengacu pada penelitian Nurazi, Santi, dan Usman (2015) dengan sedikit modifikasi yaitu nilai absolut selisih utang dan
piutang kepada pihak berelasi ( terutama berasal dari anak perusahaan dan/atau perusahaan induk) dibagi total aset. Nilai absolut
yang dimodifikasi ini dilakukan karena pengukuran terowongan pada penelitian ini hanya fokus pada tingkat terowongan dan tidak
memperhitungkan arah terowongan.
Machine Translated by Google

86 Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 22 No. 2, December 2018

Bonus (BONUS)
Mekanisme bonus menggambarkan skema dan tingkat bonus yang diberikan kepada manajemen perusahaan.
Suryatiningsih dan Siregar (2008) menyatakan bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur bonus, yaitu jumlah bonus dan
komponen bonus. Karena laporan keuangan yang dipublikasikan di perusahaan-perusahaan Indonesia tidak menyajikan data mengenai besaran
pengelolaan bonus secara rinci, maka pendekatan dengan menggunakan komponen bonus lebih mungkin dilakukan. Pada penelitian ini proksi
yang digunakan untuk mengukur variabel bonus adalah Net Income Trend Index (NITRENId). Untuk memperoleh indeks tersebut, terlebih dahulu
perlu menghitung Tren Pendapatan Bersih dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

[Pendapatan Bersih(t) -Pendapatan Bersih(t-1) ]


Tren Pendapatan Bersih (NITREN) = x 100% (2)
Pendapatan Bersih (t-1)

Selanjutnya nilai Net Income Trend (NITREN) dikonversikan ke dalam indeks yang berkisar antara nilai 0 (nol) sampai dengan 100.
Konversi indeks ini perlu dilakukan mengingat dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey , dan stempel. Jika laba berada di bawah
bogey maka tidak ada bonus yang diperoleh manajemen, sehingga jika laba berada di atas cap manajemen tidak akan mendapat bonus tambahan
(Utomo, 2011).
Karena belum adanya standar umum dan data terkait bogey and stamp pada perusahaan manufaktur, maka konversi indeks pada penelitian ini
masih mengacu pada penelitian Suryatiningsih dan Siregar (2008) sebagai berikut: - Nilai indeks 0 untuk konversi tren laba
bersih ÿ 20% - Nilai indeks 0 untuk konversi tren laba bersih ÿ 20% -
Nilai indeks 0 untuk konversi tren laba bersih ÿ 20% - Nilai indeks 0 untuk konversi tren
laba bersih ÿ 20% nilai indeks 100 untuk konversi tren laba bersih ÿ 105% - Nilai indeks 0 - 100 untuk konversi tren laba bersih 20% < NITREN <
105% dengan menggunakan metode interpolasi sehingga diperoleh rumus sebagai berikut:

Tren Pendapatan Bersih (NITREN) -20%


Indeks Tren Pendapatan Bersih (NITRENId) = x 100 (3)
85%

Variabel kontrol

Rasio hutang

Rasio hutang mewakili tingkat solvabilitas perusahaan dengan menunjukkan seberapa besar porsi aset perusahaan yang dibiayai dari hutang
mengacu pada penelitian Lo, Wong, dan Firth (2010) sebagai berikut:
Jumlah Hutang
Rasio Hutang (D_A) = (4)
Jumlah Aset

Transaksi pihak berelasi

Ketika volume penjualan kepada pihak berelasi dalam suatu perusahaan tinggi, maka pembeli mempunyai daya tawar yang kuat sehingga dapat
menurunkan rasio laba kotor perusahaan. Variabel tingkat penjualan pihak berelasi mengacu pada Lo, Wong, dan Firth (2010) sebagai berikut:

Penjualan Pihak Terkait


Transaksi Pihak Terkait (RPT) = (5)
Jumlah Penjualan

Ukuran perusahaan

Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya perusahaan yang dapat dilihat dari kepemilikan aset atau tingkat penjualan perusahaan.
Dalam penelitian ini proksi yang digunakan untuk menghitung ukuran perusahaan mengacu pada Rego (2003) sebagai berikut:

Ukuran Perusahaan (SIZE) = Log Natural (Total Penjualan Bersih) (6)

Model Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Penelitian ini juga menggunakan variabel
kontrol sehingga variabel independen dan variabel dependen tidak dipengaruhi oleh faktor luar. Variabel independen dalam penelitian ini meliputi
variabel beban pajak, tunneling, dan bonus sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah keputusan transfer pricing. Penelitian ini
juga menggunakan variabel kontrol yang meliputi rasio hutang, tingkat penjualan pihak berelasi, dan ukuran perusahaan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut, maka model penelitian diuraikan sebagai berikut:

TPit = ÿ it + ÿ1MTRit + ÿ2TULit + ÿ3BONUSit + ÿ4D_Ait + ÿ5RPTit + ÿ6SIZEit + ÿit (7)

Di mana:
Kota dia = Transfer pricing untuk perusahaan i tahun t
Machine Translated by Google

Penentu keputusan transfer pricing… 87

MTR itu = Tarif Pajak Marginal untuk perusahaan i tahun t


TUL itu = Tunneling Rate untuk perusahaan i tahun t
BONUS dia
= Bonus untuk perusahaan i tahun t
D_A itu = Total Debt to Total Asset Ratio perusahaan i tahun t
RPT itu = Penjualan Pihak Terkait Terhadap Total Penjualan untuk perusahaan i tahun t
UKURAN dia = Ukuran Perusahaan untuk perusahaan i tahun t
ÿ itu = Kesalahan untuk perusahaan i tahun t

Untuk membuktikan kebenaran hipotesis, maka berdasarkan hasil uji persamaan model ÿ1 dan ÿ2 harus mempunyai koefisien negatif dan
signifikan, dan ÿ3 harus mempunyai koefisien positif dan signifikan.

Hasil dan Diskusi


Analisis deskriptif

Rata-rata variabel Transfer Pricing (TP) sebesar -13.71350. Nilai negatif pada variabel TP menunjukkan bahwa perusahaan sampel melakukan
mekanisme transfer pricing untuk menggeser keluarnya laba dari perusahaan. Hasil ini diperkuat dengan nilai median variabel TP juga masih
bernilai negatif yaitu sebesar -0.793377. Dapat disimpulkan bahwa mayoritas perusahaan yang menjadi sampel penelitian cenderung melakukan
pengalihan laba ke luar perusahaan, bukan ke dalam perusahaan.

Rata-rata variabel beban pajak (MTR) sebesar 0,216583. Nilai tersebut menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan sampel penelitian
mempunyai penghasilan kena pajak positif dan tidak memenuhi syarat penurunan tarif pasal 17 (2b) UU Pajak Penghasilan. Hal ini diperkuat
dengan nilai median variabel MTR sebesar 0,25 sehingga pemusatan data berada pada wilayah perusahaan dengan beban pajak pada kisaran
tarif pajak menurut undang-undang sebesar 25%.
Rata-rata variabel tunneling (TUL) adalah 0,039211. Dengan kata lain, rata-rata jumlah perusahaan yang menjadi sampel dalam
penelitian ini memiliki tingkat pinjaman (hutang dan piutang) usaha kepada pihak berelasi hingga 3,92% dari total aset yang dimiliki. Meskipun
demikian, nilai median variabel tunneling sebesar 0,011633 menunjukkan mayoritas perusahaan sampel berada di area tunneling pada level
1,16%. Perbedaan yang signifikan antara nilai mean dan median ini menunjukkan adanya beberapa perusahaan dengan tingkat tunneling yang
sangat tinggi dibandingkan dengan rata-rata perusahaan sampel. Nilai standar deviasi variabel TUL yaitu sebesar 0.063872 lebih besar dari nilai
mean.
Hasil ini menunjukkan sebaran data cukup beragam.
Rata-rata variabel BONUS sebesar 75,59839. Dengan kata lain tingkat pencapaian target bonus berdasarkan profit sebesar 75,6%.
Pencapaian ini tergolong tinggi karena memberi bobot pada nilai minimum variabel BONUS sebesar 0 (nol) dan nilai maksimum BONUS sebesar
100. Dengan kata lain, beberapa perusahaan mampu mencapai batas atas kenaikan laba dibandingkan laba tahun sebelumnya hingga dapatkan
bonus penuh. Begitu pula sebaliknya, ada perusahaan yang malah tidak mampu mencapai batas bawah target labanya. Jika mengacu pada
nilai median variabel BONUS yang juga sebesar 100, maka jumlah perusahaan yang mampu mencapai target bonus lebih banyak dibandingkan
perusahaan yang tidak mampu mencapai target bonus.

Tabel 2. Analisis statistik deskriptif

Kota MTR PANJANG BONUS D_A RPT UKURAN

Berarti -13.71350 0,216583 0,039211 75.59839 0,481137 0,176271 12.43539


median -0,793377 0,250000 0,011633 100.0000 0,482512 0,046456 12.30562
Maksimum 15.97489 0,250000 0,377936 100.0000 1.248573 0,945000 14.30471
Minimal -1148.627 0,000000 0,000000 0,000000 0,050458 0,000000 10,94209
Std. Dev. 79.36430 0,067101 0,063872 36,13280 0,225305 0,255147 0,718363

Hasil Uji Regresi

Nilai koefisien determinasi pada penelitian ini ditunjukkan pada nilai Adjusted R-squared yaitu sebesar 0.425556.
Hasil tersebut berarti variasi nilai transfer pricing yang dijelaskan oleh variabel independen dan variabel kontrol dalam penelitian ini adalah
sebesar 42,6%. Faktor lain di luar model penelitian menjelaskan sisanya (57,4%).
Uji t dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen.
Apabila suatu variabel independen mempunyai nilai p di bawah taraf signifikansi 0,05, maka variabel tersebut dinilai signifikan sehingga Ha
diterima. Namun jika p-value diatas 0,05 maka Ha ditolak dan H0 diterima.
Tabel 3.
Machine Translated by Google

88 Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 22 No. 2, December 2018

Tabel 3. Hasil Uji Regresi

Variabel Koefisien t-Statistik Masalah.

MTR -69.79673 -3.582605 0,0002


PANJANG -32.96455 -1.717391 0,0438
BONUS -0,037818 -1.447968 0,0746
D_A -89.96677 -4.290724 0,0000
RPT 17.13983 3.555144 0,0003
UKURAN -5.167105 -1.244119 0,1075
C 110.0749 2.199161 0,0145
R-kuadrat 0,552441
R-kuadrat yang disesuaikan 0,425556
F-statistik 4.353864
Masalah (F-statistik) 0,000000

H1: Pengaruh beban pajak terhadap keputusan transfer pricing.

Nilai p-value beban pajak (MTR) sebesar 0,0002. Dikarenakan top-value kurang dari 0,05 maka beban pajak berpengaruh
signifikan terhadap keputusan transfer pricing. Nilai P juga negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa beban pajak
berhubungan negatif dengan keputusan transfer pricing.
H2 : Pengaruh tunneling terhadap keputusan transfer pricing.

Nilai p-value of tunneling (TUL) sebesar 0,0438 maka tunneling berpengaruh signifikan terhadap keputusan transfer pricing.
Nilai P juga negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa tunneling berhubungan negatif dengan keputusan transfer pricing.

H3: Pengaruh bonus terhadap keputusan transfer pricing.

Nilai p bonus (BONUS) adalah 0,0746. Karena nilai p-value lebih dari 0,05 maka bonus tidak berpengaruh signifikan terhadap
keputusan transfer pricing.

Diskusi

Pengaruh beban pajak terhadap keputusan transfer pricing

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beban pajak berhubungan negatif dengan keputusan transfer pricing. Hasil tersebut
juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lo, Wong, dan Firth (2010) di Tiongkok yang menyatakan bahwa
beban pajak berpengaruh negatif terhadap keputusan transfer pricing. Perbedaan tarif pajak di dua negara atau lebih
dimana posisi perusahaan saling terkait menjadi pintu gerbang utama bagi perusahaan untuk membuka peluang transfer
keuntungan melalui mekanisme transfer pricing. Perbedaan tarif pajak dan fasilitas pajak yang diterapkan suatu negara
berdampak pada beban pajak ditanggung oleh perusahaan. Melalui perbedaan ini, perusahaan melakukan penghematan
pajak dengan meminimalkan beban pajak secara global. Perusahaan dapat melakukan upaya pengalihan laba, yaitu
perusahaan yang beban pajaknya tinggi akan mentransfer labanya ke perusahaan yang beban pajaknya lebih rendah.
Dengan demikian, laba perusahaan akan berkurang jika perusahaan mempunyai beban pajak yang lebih tinggi sehingga
beban pajak yang dibayarkan menjadi lebih kecil.
Sebaliknya perusahaan dengan beban pajak yang lebih rendah memperoleh tambahan keuntungan dari transfer
laba tersebut, sehingga laba perusahaan menjadi lebih besar. Beban pajak yang dibayarkan perusahaan memang lebih
besar. Namun pengalihan keuntungan tersebut harus melalui perhitungan yang matang. Tambahan beban pajak yang
dibayarkan oleh perusahaan yang menerima pengalihan laba lebih kecil dibandingkan pengurangan beban pajak yang
dinikmati oleh perusahaan yang mengalihkan laba tersebut. Bahkan, dalam kasus ekstrim, perusahaan mentransfer
keuntungannya kepada perusahaan terkait yang merugi atau mempunyai fasilitas kompensasi kerugian fiskal. Oleh karena
itu, perusahaan yang menerima transfer laba sebenarnya tidak perlu membayar pajak tambahan yang dibayarkan atas
transfer laba tersebut. Selisih antara beban pajak yang dibayarkan secara global merupakan penghematan pajak bagi
perusahaan. Melalui mekanisme tersebut, terlihat jelas bahwa negara yang menanggung risiko profit shifting adalah negara
dengan yurisdiksi perpajakan yang lebih tinggi. Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya, tarif pajak yang diterapkan
di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sebagai negara yang pendapatan pajaknya menjadi penopang terbesar APB
Transfer keuntungan dalam hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme transfer pricing. Perusahaan menetapkan
harga pengalihan di luar harga wajar dalam melakukan transaksi kepada pihak berelasi. Ketika suatu perusahaan bermaksud
melakukan transfer keuntungan ke dalam perusahaan, maka perusahaan menetapkan harga yang lebih tinggi ketika
melakukan transaksi dengan pihak berelasi. Dengan demikian, pendapatan perusahaan bisa lebih tinggi dibandingkan jika perusahaan mel
Machine Translated by Google

Penentu keputusan transfer pricing… 89

pihak yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Mekanisme transfer pricing yang digunakan untuk mentransfer laba ke suatu
perusahaan biasanya dilakukan oleh perusahaan yang berdomisili di negara dengan yurisdiksi yang lebih rendah atau di bawah perpajakan dalam kondisi m
Begitu pula ketika perusahaan bermaksud melakukan pengalihan keuntungan ke luar perusahaan, maka perusahaan menetapkan
harga yang lebih rendah bila melakukan transaksi dengan pihak berelasi. Dengan demikian, pendapatan perusahaan bisa lebih rendah
dibandingkan jika perusahaan melakukan transaksi dengan pihak non-hubungan. Mekanisme transfer pricing yang digunakan untuk
mentransfer pendapatan ke luar perusahaan biasanya dilakukan oleh perusahaan yang berdomisili di negara dengan yurisdiksi pajak yang lebih tinggi.
Negara pada akhirnya kehilangan basis pajak dan menanggung potensi hilangnya pendapatan pajak akibat transfer pricing. Hal ini terlihat
dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa beban pajak berpengaruh negatif terhadap transfer pricing.
Arah negatif pada hasil penelitian ini berarti semakin rendah beban pajak suatu perusahaan maka tingkat transfer pricing semakin tinggi.
Meningkatnya transfer pricing disebabkan semakin banyak keuntungan yang ditransfer ke perusahaan. Bagi negara-negara dengan
yurisdiksi pajak yang lebih rendah, hal ini mungkin memang dapat menjadi tambahan basis pajak dan meningkatkan pendapatan dari
sektor pajak meskipun penambahan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan potensi hilangnya pendapatan pajak dari negara-negara
dengan yurisdiksi pajak yang lebih tinggi. Namun, diingat bahwa pengalihan keuntungan melalui mekanisme transfer pricing merupakan
hal yang lumrah untuk memanfaatkan kondisi perusahaan terkait yang merugi. Oleh karena itu, tambahan transfer pendapatan tidak
mengakibatkan tambahan pajak yang harus dibayar kepada perusahaan yang menerima transfer pendapatan. Dengan kata lain, negara-
negara dengan yurisdiksi pajak yang lebih rendah belum tentu mendapatkan keuntungan dari transfer keuntungan melalui mekanisme
transfer pricing. Hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah Indonesia untuk ikut serta dalam perang tarif. Negara-
negara tertentu bersedia menurunkan tarif pajak seminimal mungkin untuk meningkatkan daya tarik investor.
Di satu sisi, posisi tarif pajak di Indonesia yang cukup tinggi membawa risiko hilangnya penerimaan pajak akibat praktik transfer
keuntungan melalui mekanisme transfer pricing. Di sisi lain, penurunan tarif tidak serta merta menghilangkan risiko. Justru risiko-risiko
lain seperti menurunnya penerimaan pajak yang langsung diterima APBN akibat penurunan tarif pajak.

Selain pengaruh dan arah hasil penelitian yang membuktikan bahwa beban pajak berpengaruh negatif terhadap transfer pricing,
hal lain yang perlu dicermati dari hasil penelitian ini adalah nilai koefisien variabel beban pajak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
setiap kenaikan/penurunan beban pajak sebesar 1 basis poin akan mengakibatkan kemungkinan perusahaan melakukan transfer laba
melalui transfer pricing menurun/meningkat hingga 69.79673 basis poin. Nilai koefisien yang tinggi ini menunjukkan bahwa dampak atau
pengaruh variabel beban pajak sangat sensitif terhadap transfer pricing. Hasil penelitian ini memberikan perhatian (warning) bagi
pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam setiap kebijakan perpajakan yang mempengaruhi beban pajak perusahaan di Indonesia.
Kebijakan tersebut dapat berupa penetapan tarif pajak, fasilitas penurunan tarif pajak, dan kebijakan kompensasi kerugian fiskal meskipun
penetapan kebijakan tersebut harus melalui perhitungan yang matang dan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti meningkatkan
daya tarik investor. , memberi ruang bagi perusahaan di industri tertentu untuk berkembang, dan lain-lain. Namun manfaat nyata yang
diperoleh harusnya lebih besar dibandingkan risiko yang diterima mengingat sedikit peningkatan/penurunan beban pajak dapat
memberikan dampak yang cukup besar terhadap penurunan/peningkatan tarif transfer pricing di Indonesia.

Selain itu, hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marfuah dan Azizah (2012),
Nurjanah, Isnawati, dan Sondakh (2016), serta Yuniasih, Rasmini, dan Wirakusuma (2012), dimana semua penelitian sebelumnya penelitian
yang dilakukan di Indonesia menggunakan proksi yang berbeda-beda. Sampel dan jangka waktu penelitiannya juga bervariasi. Semua
penelitian terdahulu yang dilakukan di Indonesia mengukur beban pajak dengan menggunakan proksi ETR dan mengukur transfer pricing
dengan menggunakan variabel dummy yang berkaitan dengan ada tidaknya transaksi pihak berelasi. Konsistensi hasil penelitian ini
menguatkan bukti bahwa seiring berjalannya waktu, dalam sampel yang berbeda, bahkan dengan pengukuran yang berbeda, beban pajak
berpengaruh negatif terhadap transfer pricing.

Pengaruh tunneling terhadap keputusan transfer pricing Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa tunneling berhubungan negatif dengan keputusan transfer pricing. Hasil penelitian ini sejalan dengan
Lo, Wong, dan Firth (2010), dan teori serta beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan di China oleh Lo, Wong, dan Firth (2010) bertolak
belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Marfuah dan Azizah. (2012), Mispiyanti (2015) dan Yuniasih, Rasmini,
dan Wirakusuma (2012). Perbedaan hasil penelitian tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan proksi yang digunakan untuk mengukur
transfer pricing. Hal ini menyebabkan interpretasi yang berbeda terhadap variabel dependen yang berdampak pada pengajuan hipotesis
yang berbeda. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini serupa dengan hipotesis yang diajukan oleh Lo, Wong, dan Firth (2010) yang
menyatakan bahwa semakin tinggi insentif tunneling dalam suatu perusahaan, maka perusahaan tersebut mungkin akan melakukan
transfer pricing semakin rendah. Proksi yang digunakan untuk mengukur transfer pricing adalah tingkat rasio laba kotor dari transaksi
pihak berelasi.
Ketika insentif tunneling dalam suatu perusahaan meningkat, perusahaan cenderung mengalihkan pintu keluar dari perusahaan
ke perusahaan terkait dengan membeli, bukan menjual, ke pihak terkait. Arah koefisien penerowongan variabel negatif berarti bahwa
setiap kenaikan/penurunan penerowongan menyebabkan penurunan/peningkatan transfer
Machine Translated by Google

90 Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 22 No. 2, December 2018

variabel harga. Menurunnya variabel transfer pricing pada penelitian ini berarti transfer laba yang dilakukan melalui
mekanisme transfer pricing ke dalam perusahaan semakin kecil, atau bahkan ada kecenderungan transfer laba tersebut
dilakukan ke luar perusahaan. Ketika tingkat tunneling dalam suatu perusahaan tinggi, maka semakin besar kemungkinan
perusahaan memanfaatkan insentif tunneling dengan mengalihkan keuntungan melalui mekanisme transfer pricing ke
luar perusahaan. Perusahaan tidak berkeberatan membukukan laba lebih kecil dan mengalihkan labanya ke perusahaan
terkait. Perusahaan terkait biasanya merupakan perusahaan yang mempunyai pemegang saham mayoritas, manajemen
kunci, atau tergabung dalam satu grup perusahaan yang sama. Dampak penurunan laba perusahaan yang mentransfer
laba akan ditanggung oleh pemegang saham minoritas.
Di sisi lain, pemegang saham mayoritas sepertinya mempertimbangkan penurunan laba perusahaan, namun
nyatanya pemegang saham mayoritas bisa mendapatkan keuntungan dari perusahaan terkait yang memperoleh transfer
laba. Manfaat tersebut dapat berupa tingkat pengembalian yang lebih tinggi dari perusahaan terkait jika terjadi pengalihan
sumber daya yang dilakukan dalam grup perusahaan atau pemegang saham mayoritas yang juga memiliki saham di
perusahaan terkait. Manfaat lain yang dapat diterima adalah membantu kelangsungan hidup perusahaan terkait. Bagi
sebagian besar pemegang saham, kelangsungan usaha perusahaan terkait bisa menjadi sangat penting seperti untuk
pengembangan lini bisnis grup atau jaminan pengembalian atas saham yang dimiliki perusahaan terkait. Oleh karena itu,
pemegang saham mayoritas yang biasanya juga berkontribusi dalam manajemen kunci perusahaan tidak keberatan untuk
mengalihkan keuntungan kepada perusahaan terkait, sedangkan pemegang saham minoritas tidak berkepentingan dengan
keberlangsungan perusahaan terkait, namun pemegang saham minoritas juga menanggung beban tersebut. setidaknya perusahaan deng

Pengaruh bonus terhadap keputusan transfer

pricing Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bonus berbasis laba tidak berhubungan dengan keputusan transfer
pricing. Hasil ini berbeda dengan hasil yang dilakukan oleh Lo, Wong, dan Firth (2010) dan Nurjanah, Isnawati, dan
Sondakh (2016) dan membenarkan hasil yang dilakukan oleh Mispiyanti (2015). Berdasarkan hasil penelitian, meskipun
manajemen perusahaan memperoleh tambahan bonus berdasarkan laba, namun hal tersebut tidak mempengaruhi
keputusan perusahaan untuk melakukan transfer laba melalui mekanisme transfer pricing. Dengan kata lain, bonus
berbasis laba tidak kemudian mendorong manajemen untuk meningkatkan labanya melalui tindakan ilegal seperti
pengalihan laba. Perbedaan ini dapat dipahami dengan melihat transfer keuntungan melalui mekanisme transfer pricing
dalam gambaran yang lebih besar. Memang ketika perusahaan memutuskan untuk mentransfer laba ke dalam perusahaan,
dampak dari kegiatan tersebut tidak hanya pada bonus yang diterima manajemen saja. Transfer keuntungan melalui
mekanisme transfer pricing merupakan skema besar yang sering dilakukan oleh perusahaan global. Ketika perusahaan
memutuskan untuk mengalihkan keuntungan ke perusahaan, manajemen mungkin saja mendapatkan bonus yang dijanjikan.
Namun di sisi lain, perusahaan harus menanggung beban pajak yang lebih tinggi dan tidak dapat memanfaatkan
insentif tunneling mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika manajemen memilih untuk meminimalkan pendapatan
perusahaannya sendiri, meskipun harus kehilangan bonus tambahan yang dijanjikan berdasarkan target laba. Tentu saja
pengorbanan tersebut sudah diperhitungkan dengan keuntungan yang diperoleh harus lebih besar dari jumlah bonus
yang dijanjikan. Jika dikaitkan dengan variabel independen lain yang digunakan dalam penelitian ini, maka setidaknya
ada dua manfaat yang diperoleh. Pertama, manajemen dapat meminimalkan beban pajak secara global mengingat tarif
pajak yang ditetapkan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan tarif pajak negara lain, khususnya di kawasan ASEAN.
Kedua, pengurus perusahaan yang berbentuk perusahaan konglomerat juga merupakan bagian dari pemegang saham
mayoritas, yang mampu mengalihkan sumber daya kepada perusahaan untuk kepentingan kelompoknya. Pada akhirnya,
keuntungan juga dinikmati oleh manajemen perusahaan meskipun tidak secara eksplisit berupa tambahan bonus
manajemen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dua variabel independen lainnya berupa beban pajak dan tunneling
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap transfer pricing. Dapat diasumsikan bahwa manfaat yang didapat dari
meminimalkan biaya pajak dan memanfaatkan insentif tunneling lebih besar dibandingkan biaya peluang untuk memperoleh bonus.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, ada tiga kesimpulan dari penelitian ini. Pertama, beban pajak berhubungan negatif
dengan keputusan transfer pricing. Semakin rendah beban pajak yang dimiliki perusahaan maka semakin tinggi pula
kemungkinan perusahaan melakukan transfer laba kepada perusahaan. Sebaliknya, semakin tinggi beban pajak yang
dimiliki perusahaan, maka semakin rendah kemungkinan perusahaan melakukan transfer laba ke dalam perusahaan. Laba
ditransfer ke perusahaan terkait yang memiliki beban pajak lebih rendah untuk meminimalkan pajak global. Selisih antara
tambahan pajak yang terutang oleh perusahaan penerima laba dengan pengurangan pajak yang harus dibayar oleh
perusahaan penghasil pendapatan merupakan penghematan pajak yang diperoleh atas transfer laba dengan menggunakan
mekanisme transfer pricing pada perusahaan tersebut. Kedua, tunneling berhubungan negatif dengan keputusan transfer
pricing. Ketika tingkat tunneling di dalam perusahaan meningkat, kemungkinan besar perusahaan juga mengalihkan
keuntungan ke luar perusahaan. Perpindahan keuntungan ke luar perusahaan mengakibatkan rasio laba kotor dari transaksi kepada piha
Machine Translated by Google

Penentu keputusan transfer pricing… 91

berkurang. Perusahaan berupaya memanfaatkan insentif tunneling melalui mekanisme transfer pricing dengan cara
mentransfer keuntungan kepada perusahaan terkait demi kepentingan pemegang saham mayoritas. Perpindahan laba
menyebabkan laba perusahaan menjadi lebih kecil sehingga biaya atau akibat yang timbul dari kegiatan tersebut ditanggung
oleh pemegang saham minoritas. Terakhir, bonus tidak dikaitkan dengan keputusan transfer pricing. Manajemen perusahaan
tidak keberatan mempertahankan keuntungan yang lebih kecil dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bonus
tambahan, demi keuntungan yang lebih besar. Merujuk pada dua variabel independen lain yang digunakan dalam penelitian
ini, setidaknya ada dua manfaat yang dapat diterima perusahaan. Dengan mengalihkan pendapatan ke luar perusahaan dan
membukukan laba yang lebih kecil, perusahaan dapat menanggung beban pajak yang lebih kecil dan bahkan dapat
melakukan penghematan pajak dengan meminimalkan pajak secara global. Pemindahan keuntungan kepada pihak luar
melalui mekanisme transfer pricing dilakukan dalam rangka pengalihan sumber daya untuk kepentingan pemegang saham mayoritas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, masih terdapat beberapa keterbatasan pada penelitian ini. Penelitian ini
hanya berfokus pada perusahaan yang mempunyai data terkait rasio laba kotor transaksi kepada pihak berelasi dibandingkan
dengan rasio laba kotor transaksi kepada pihak non hubungan istimewa. Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun
Untuk penelitian selanjutnya dapat menambah sampel penelitian dan rentang waktu yang lebih banyak untuk memperoleh
hasil yang lebih baik. Mengingat kebutuhan data terkait aktivitas transfer pricing yang dilakukan wajib pajak dapat lebih
terpenuhi dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Nomor 213 Tahun 2016. Selain itu juga harus mempertimbangkan
segala fasilitas yang dapat mempengaruhi beban pajak perusahaan dalam penggunaan MTR. proxy serta menggunakan
basis pengindeksan yang terkait dengan bonus yang lebih tepat untuk perusahaan manufaktur.
Terkait dengan hasil penelitian ini, bagi Otoritas Pajak Indonesia, penting untuk mempertimbangkan dalam
pengembangan kebijakan perpajakan yang dapat mempengaruhi beban pajak perusahaan. Perubahan tarif transfer pricing
rentan terhadap perubahan beban pajak yang ditanggung perusahaan. Penyusunan kebijakan yang dapat mempengaruhi
beban pajak perusahaan juga harus mempertimbangkan kebijakan perpajakan yang diterapkan oleh negara lain, terutama
negara yang lebih menempatkan posisi pihak terkait perusahaan. Hal ini tentunya dilakukan tanpa mengabaikan
pertimbangan kondisi dan kemampuan yang ada di Indonesia sendiri. Selain itu, penurunan tarif pajak juga tidak serta merta
menghilangkan risiko yang timbul dari praktik profitabilitas melalui mekanisme transfer pricing.
Skema transfer keuntungan melalui mekanisme transfer pricing dapat dilakukan dengan mentransfer keuntungan kepada
perusahaan-perusahaan di Indonesia yang merugi atau menikmati fasilitas kompensasi kerugian fiskal. Oleh karena itu,
penurunan tarif dapat mengurangi kemungkinan adanya pengalihan keuntungan ke luar perusahaan, namun tidak menutup
kemungkinan tidak dapat memulihkan potensi hilangnya penerimaan pajak. Kedua, usulan terkait Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 213 Tahun 2016. Peraturan tersebut telah belum termasuk kewajiban merinci persentase laba kotor yang
diperoleh dari transaksi kepada pihak berelasi. Jika jenis barang yang diserahkan dalam transaksi baik kepada pihak tidak
berelasi maupun pihak berelasi sama, maka harga pokok penjualan pada kedua transaksi tersebut adalah sama. Oleh karena
itu, perbedaan rasio laba kotor transaksi kepada pihak berelasi dan rasio laba kotor transaksi terhadap non kontak
disebabkan oleh perbedaan transfer pricing. Ketiga, Saran terkait pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Otoritas Pajak
Indonesia. Dengan menggunakan rasio laba kotor atas transaksi yang dilakukan kepada pihak berelasi, identifikasi dapat
dilakukan lebih cepat, mudah dan akurat. Dengan kata lain, pemeriksaan pajak dapat dilakukan dengan lebih efektif dan
efisien untuk meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh praktik transfer keuntungan melalui mekanisme transfer pricing di Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan penelitian tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengeluarkan kebijakan atau
penetapan tarif kepada pihak terkait yang standar bagi perusahaan dengan pemegang saham mayoritas tertentu. Kebijakan
lainnya dapat berupa kebijakan yang fokus pada perlindungan hak-hak pemegang saham minoritas dan upaya peningkatan
tata kelola perusahaan bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan berpegang pada indeks umum seperti indeks
OECD. Selain itu, pengambilan kebijakan terkait pengungkapan rincian jumlah bonus (misalnya bonus untuk tiga lini teratas
manajemen perusahaan) sangat mendukung pengembangan penelitian di Indonesia mengenai variabel bonus.

Referensi
Chan, KH, Moand, PLL, & Tang, T. (2016). Penghindaran dan terowongan pajak: analisis empiris dari perspektif keagenan.
Jurnal Penelitian Akuntansi Internasional, 15(3), 49–66. https://doi.org/10.2308/jiar 51345

Claessens, S., Djankov, S., Fan, JPH, & Lang, LHP (2002). Menguraikan dampak insentif dan penguatan kepemilikan saham
dalam jumlah besar. Jurnal Keuangan, 57(6), 2741–2771.

Darussalam, & Septriadi, D. (2012). Konsep dan aplikasi cross-border transfer pricing untuk tujuan perpajakan.
Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.

Deloitte. (2017). Peraturan menteri keuangan nomor 213/PMK.03/2016. Transfer pricing alert. Deloitte.Com.

Eden, L. (2009). Pajak, transfer pricing, dan perusahaan multinasional. (AM Rugman, Ed.) (Edisi ke-2nd). Baru
Machine Translated by Google

92 Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, Vol. 22 No. 2, December 2018

York: Buku Pegangan Bisnis Internasional Oxford.

Godfrey, JM, Hodgson, A., Tarca, A., & Holmes, S. (2010). Teori akuntansi (Edisi ke-7). Milton Qld: John Wiley
& Putra Australia, Ltd.

Graham, JR (1996). Proksi untuk tarif pajak marjinal perusahaan. Jurnal Ekonomi Keuangan, 42(1), 187–221. https://doi.org/
10.1016/0304-405X(96)00879-3

Graham, JR, Hanlon, M., Shevlin, T., & Shroff, N. (2017). Tarif pajak dan pengambilan keputusan perusahaan. Tinjauan Studi
Keuangan, 30(9), 3128–3175. https://doi.org/10.1093/rfs/hhx037

Gunadi. (1994). Transfer pricing: suatu tinjauan akuntansi manajemen dan pajak. Jakarta: Bena Rena Pariwara.

Hadjar, A. F., Indonesian Legal Resource Center, & Indonesia Corruption Watch. (2014). Menghukum pengemplang pajak:
hasil eksaminasi publik atas putusan Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana pajak dengan terdakwa suwir
laut. Jakarta: Indonesian Legal Resource Center (ILRC) & Indonesian Corruption Watch (ICW).

Jensen, MC, & Meckling, WH (1976). Teori perusahaan: perilaku manajemen, biaya keagenan dan struktur kepemilikan.
Jurnal Ekonomi Keuangan, 3(1976), 305–360. https://doi.org/10.1016/0304-
405X(76)90026-X

Johnson, S., Porta, R.La, Lopez-de-Silanes, F., & Shleifer, A. (2000). terowongan. Tinjauan Ekonomi Amerika, 90(2),
22–27. https://doi.org/10.1257/aer.90.2.22

Karomatunnisa, I. R., Susiatiningsih, H., & Putranti, I. R. (2016). Peran organization for economic and development dalam
menanggulangi praktik tax crime di Indonesia, studi kasus: transfer pricing di Indonesia tahun 2003 – 2012. Journal
of International Relations, 2(4), 311 – 318.

Kontan. (2010). Potensi kehilangan pajak akibat transfer pricing Rp 1.300 Triliun. Kontan.co.id.

Cakupan 6. (2016). 2.000 Perusahaan asing menghindari pajak selama 10 tahun. Liputan6.com.

Lo, AWY, Wong, RMK, & Firth, M. (2010). Pajak, pelaporan keuangan, dan insentif terowongan untuk pengalihan pendapatan:
analisis empiris tentang perilaku penetapan harga transfer perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Tiongkok.
Jurnal Asosiasi Perpajakan Amerika, 32(2), 1–26. https://doi.org/10.2308/jata.2010.32.2.1

Marfuah, M., & Azizah, A. P. N. (2012). Pengaruh pajak, tunneling incentive dan exchange rate pada keputusan
transfer pricing perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia, 18(2), 156 – 165.

Mispiyanti. (2015). Pengaruh pajak, tunneling incentive dan mekanisme bonus terhadap keputusan transfer pricing.
Jurnal Akuntansi dan Investasi, 16(1), 62 – 73.

Nurazi, R., Santi, F., & Usman, B. (2015). Tunneling: bukti dari Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Asian
Academy of Management, 11(2), 127–150. Diambil dari http://web.usm.my/journal/aamjaf/vol 2-11-2015/
aamjaf110215_06.pdf

Nurjanah, I., Isnawati, & Sondakh, A. G. (2016). Faktor determinan keputusan perusahaan melakukan transfer
pricing. In Simposium Nasional Akuntansi XIX, Lampung.

Plesko, GA (2003). Evaluasi ukuran alternatif tarif pajak perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Ekonomi, 35(2), 201–226. https://
doi.org/10.1016/S0165-4101(03)00019-3

Rego, JADI (2003). Kegiatan penghindaran pajak perusahaan multinasional AS. Penelitian Akuntansi Kontemporer, 20(4),
805 – 833. https://doi.org/10.1506/VANN-B7UB-GMFA-9E6W

Setiawan, H. (2014). Transfer pricing dan risikonya terhadap penerimaan negara. Retrieved from https://www.kemenkeu.go.id/
sites/default/files/2014_kajian_pprf_transfer pricing dan risikonya terhadap penerimaan negara.pdf

Shevlin, T. (1990). Memperkirakan tarif pajak marjinal perusahaan dengan perlakuan pajak asimetris atas keuntungan dan kerugian.
Jurnal Asosiasi Perpajakan Amerika, 12(1), 51–67.

Sinha, P., & Bansal, V. (2012). Algoritma penghitungan tarif pajak marjinal perusahaan menggunakan simulasi monte carlo.
Muenchen: Arsip RePEc Pribadi Munich.

Suryatiningsih, N., & Siregar, S. V. (2008). Pengaruh skema bonus direksi terhadap aktivitas manajemen laba (studi
Machine Translated by Google

Penentu keputusan transfer pricing… 93

empiris pada badan usaha milik negara) periode tahun 2003 – 2006. In Simposium Nasional Akuntansi XI,
Pontianak.

Utomo, S. (2011). Skema bonus dewan direksi dan aktivitas manajemen laba. Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis,
8(1), 93–104.

Watts, RL, & Zimmerman, JL (1979). Permintaan dan penawaran teori akuntansi: pasar alasan.
Tinjauan Akuntansi, 54(2), 273–305.

Yuniasih, N. W., Rasmini, N. K., & Wirakusuma, M. G. (2012). Pengaruh pajak dan tunneling incentive pada
keputusan transfer pricing perusahaan manufaktur yang listing di bursa efek Indonesia. In Simposium
Nasional Akuntansi XV, Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai