Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Globalisasi telah menyebabkanperkembangan perekonomian di dunia

tidakmengenal batas negara sehingga memunculkan fenomena transfer pricing di

dunia perpajakan berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha dan

kompleksitas bisnis. Perusahaan-perusahaan nasional kini menjelma menjadi

perusahaan multinasional yang kegiatan usahanya tidak terpusat pada satu negara

saja, namun di beberapa negara. Tarif pajak dinegara satu dengan negara lain

berbeda-beda.Perbedaan tarif pajak antar negaramenimbulkan pilihan bagi

perusahaan untukmelakukan penghematan pajak denganmengambil keputusan

untuk melakukantransfer pricing.

Transfer pricing ini bisa menjadi suatu masalah bagi perusahaan. Namun, ini

juga bisamenjadi suatu peluang penyalahgunaan perusahaan untuk mengejar laba

yang tinggi. Bagiperusahaan yang memiliki anak perusahaan di negara yang tarif

pajaknya tinggi maka beban pajak yang ditanggung akan menjadi tinggi sehingga

mengurangi keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan. Namun, perusahaan

juga dapat melihat ini sebagai peluang danmembuat strategi untuk mendapatkan

keuntungan lebih dari penjualan dan penghindaranpajak. Salah satu caranya

adalah dengan membuat anak perusahaan di negara lainyang memberikan tarif

pajak rendah ataupun negara yang berstatus tax heaven country (Siti Khusnul

1
2

Khotimah, 2018). Transfer pricing adalah kebijakan perusahaan dalam

menentukan harga transfer transaksi barang, jasa, aset tidak berwujud, atau

transaksi keuangan yang dilakukan oleh perusahaan kepada pihak yang memiliki

hubungan istimewa (Sundari dan Susanti, 2016).

Di Indonesia sendiri aturan mengenai transfer pricing secara umum diatur

dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan (UU PPh). Pasal tersebut menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal

(Ditjen) Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan kena

pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak

lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi

oleh hubungan istimewa.

Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing juga dituangkan dalam

Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan tersebut

disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba atas transaksi

yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa

ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga

pasar yang wajar. Tidak hanya itu, Ditjen Pajak juga telah mengeluarkan aturan

lebih lanjut terkait dengan transfer pricing yang tercantum dalam Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau

Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang melakukan

transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dan tata cara

pengelolaannya (sumber: https://news.ddtc.co.id).


3

Kasus transfer pricing yang pernah terjadi di Indonesia yaitu praktik transfer

pricing yang dilakukan oleh PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia

(TMMIN) merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang perakitan produk

Toyota dan eksportir kendaraan dan suku cadang Toyota. Kasus Toyota

terdeteksi setelah Direktorat Jenderal Pajak secara simultan memeriksa surat

pemberitahuan pajak tahunan (SPT) Toyota Motor Manufacturing pada 2005.

Pajak Toyota pada 2007 dan 2008 juga ikut diperiksa. Pemeriksaan dilakukan

karena Toyota mengklaim kelebihan membayar pajak pada tahun-tahun itu, dan

meminta negara mengembalikannya (restitusi). Dari pemeriksaan SPT Toyota

pada 2005 itu, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004

misalnya, laba bruto Toyota anjlok lebih dari 30 persen, dari Rp1,5 triliun (2003)

menjadi Rp950 miliar. Selain itu, rasio gross margin atau perimbangan antara

laba kotor dengan tingkat penjualan juga menyusut. Dari sebelumnya 14,59

persen (2003) menjadi hanya 6,58 persen setahun kemudian. Pada pertengahan

2003, Astra menjual sebagian besar sahamnya di Toyota Astra Motor kepada

Toyota Motor Corporation Jepang. Alasannya, Astra punya utang jatuh tempo

yang tak bisa ditangguhkan lagi. Akhirnya, Toyota Jepang kini menguasai 95

persen saham Toyota Astra Motor. Nama perusahaan berubah menjadi Toyota

Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Untuk menjalankan fungsi distribusi

di pasar domestik, Astra dan Toyota Motor Corporation Jepang kemudian

mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek dengan nama lama:

Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang
4

saham mayoritas dengan menguasai 51 persen saham. Sisanya milik Toyota

Motor Corporation Jepang. Setelah restrukturisasi itulah, laba gabungan kedua

perusahaan Toyota anjlok. Melorotnya keuntungan Toyota membuat setoran

pajaknya pada pemerintah juga berkurang. Sebelumnya, perusahaan ini bisa

membayar pajak sampai setengah triliun rupiah. Pada 2004, pasca restrukturisasi

dua perusahaan Toyota (TMMIN dan TAM) hanya membayar pajak Rp168

miliar. Meski laba turun, omzet produksi dan penjualan mereka pada tahun itu

justru naik 40 persen. Pemeriksa pajak menemukan jawabannya ketika

memeriksa struktur harga penjualan dan biaya Toyota dengan lebih seksama. Di

sinilah jejak transfer pricing perseroan ini mulai tercium. Toyota diduga

memainkan harga transaksi dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya

lewat pembayaran royalti secara tidak wajar (Tbk, n.d.). Transfer pricing dapat

dicegah dengan menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s

Length Principle/ALP). (Kurniawan, 2015 dalam Bela Pratiwi, 2018).

Berdasarkan fenomena tersebut didapatkan bahwa Transfer pricing dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor independen yaitu beban pajak, tunneling

incentive, mekanisme bonus dan exchange rate. Pajak adalah kontribusi wajib

kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban

kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-
5

sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan

pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar

pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap

warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap

pembiayaan negara dan pembangunan nasional. (https://www.pajak.go.id).

Dikarenakan atas pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang

Pribadi atau Badan tidak mendapatkan imbalan secara langsung maka banyak

Wajib Pajak yang dengan sengaja meminimalkan pembayaran pajak tersebut agar

beban yang ditanggung dapat berkurang sehingga keuntungan/laba semakin besar

baik secara legal (tax avoidance) ataupun ilegal (tax evansion).

Menurut PSAK 46, beban pajak adalah jumlah gabungan pajak kini dan

pajak tangguhan yang diperhitungkan dalam laba-rugi pada satu priode, jadi

beban pajak merupakan pajak yang dibebankan kepada perorangan ataupun

badan yang wajib dibayarkan kepada negara sebagai salah satu sektor

penerimaan pendapatan negara. Perhitungan beban pajak dilihat dari beban pajak

bersih yang ditanggung oleh perusahaan. Besarnya keputusan untuk melakukan

praktik transfer pricing akan mengakibatkan pembayaran pajak pada umumnya

akan menjadi lebih rendah. Harapannya untuk dapat menekan beban pajak

menjadi pemicu perusahaan melakukan transfer pricing sebab perusahaan akan

memilih mengalihkan labanya ke perusahaan afiliasi yang ada di negara lainnya

yang menerapkan tarif pajak penghasilan lebih rendah dari Indonesia. (Siti

Khusnul Khotimah, 2018).


6

Skema transfer pricing digunakan sebagai perencanaan pajak perusahaan

agar perusahaan dapat meminimalkan beban pajak yang dibayarkan melalui

rekayasa harga antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Jika beban

pajak yang ditanggung perusahaan semakin besar maka semakin besar pula

kesempatan perusahaan untuk melakukan praktik transfer pricing dengan

harapandapat menekan beban tersebut. Transfer pricing dengan cara

memperkecil harga jual antara perusahaan dalam satu grup dan mentransfer laba

yang diperoleh kepada perusahaan yang berkedudukan di negara yang

menerapkan tarif pajak yang rendah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Radhi Abdul Halim

Rachmat (2019) dan Muhammad Sani Kurniawan, Bayu Prabowo Sutjiatmo, dan

Rinandita Wikansari (2018) menunjukkan bahwa beban pajak berpengaruh

terhadap keputusan perusahaan dalam melakukan transfer pricing. Namun

berbeda dengan hasil penelitian Ria Rosa, Rita Andini, dan Kharis Raharjo

(2017) justru menunjukkan bahwa beban pajak tidak berpengaruh terhadap

transfer pricing.

Selain beban pajak, faktor kedua yang mempengaruhi dalam keputusan

transfer pricing yaitu tunneling incentive. Menurut Ananta (2018) Tunneling

incentive, adalah kegiatan pentransferan aset dan/atau pembagian keuntungan

dan/atau pemberian hak-hak istimewa yang langsung diberikan kepada

pemegang saham mayoritas tanpa memperhatikan hak-hak pemegang saham

minoritas. Tunneling incentive merupakan masalah keagenan terjadi antara


7

pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas karena

pemegang saham mayoritas dapat mengendalikan manajemen. Ini

mengakibatkan pemegang saham mayoritas memiliki kendali untuk menentukan

keputusan daripada pemegang saham minoritas. Pemegang saham mayoritas

dapat membuat keputusan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, tanpa

memperdulikan adanya kepentingan lainnya pada pemegang saham minoritas.

(Siti Khusnul Khotimah, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Muhammad Sani

Kurniawan, Bayu Prabowo Sutjiatmo, dan Rinandita Wikansari (2018), Siti

Khusnul Khotimah (2018), dan Desi Alfiatus Sarifah, Diyah Probowulan, dan

Astrid Maharani (2019) mengenai pengaruh tunneling incentive terhadap transfer

pricing menunjukkan bawah tunneling incentive berpengaruh terhadap transfer

pricing, namun berbeda dengan hasil penelitian Patriot Jaya Ayshinta, Henri

Agustin, dan Mayar Afriyenti (2019) dan Bela Pratiwi (2018) yang menyatakan

bahwa tunneling incentive tidak berpengaruh terhadap transfer pricing.

Faktor ketiga yang mempengaruhi dalam keputusan transfer pricing yaitu

mekanisme bonus. Menurut Purwanti (2010), bonus merupakan penghargaan

yang diberikan oleh RUPS kepada anggota Direksi setiap tahun apabila

perusahaan memperoleh laba. Sistem pemberian kompensasi bonus ini akan

memberikan pengaruh terhadap manajemen dalam merekayasa laba. Manajer

akan cenderung melakukan tindakan yang mengatur laba bersih untuk dapat

memaksimalkan bonus yang akan mereka terima. Sistem pemberian kompensasi


8

Bonus, memberikan pengaruh terhadap kinerja manajemen. Dengan

menggunakan mekanisme bonus dalam teori keagenan, menjelaskan bahwa

kepemilikan manajemen dibawah 5% terdapat keinginan dari manajer untuk

melakukan manajemen laba agar mendapatkan bonus yang besar. Dengan

kepemilikan manajemen 25%, maka manajemen mempunyai kepemilikan yang

cukup besar dengan hak pengendalian perusahaan, maka asimetris informasi

menjadi berkurang. Jika manajemen melakukan pengelolaan laba secara

oportunis, maka informasi laba tersebut dapat menyebabkan pengambilan

keputusan investasi yang salah bagi investor. (Gresia Meriana Purwanto dan

James Tumewu, 2018).Sistem pemberian kompensasi bonus ini dapat membuat

para pelaku terutama manajer diperusahaan untuk melakukan perekayasaan

terhadap laporan keuangan perusahaan agar memperoleh mekanisme bonus yang

maksimal.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Radhi Abdul Halim

Rachmat (2019) berpengaruh signifikan terhadap transfer pricing namun berbeda

dengan hasil penelitian Ria Rosa, Rita Andini, dan Kharis Raharjo (2017), Patriot

Jaya Ayshinta, Henri Agustin, dan Mayar Afriyenti (2019) dan juga Gresia

Meriana Purwanto dan James Tumewu (2018) menunjukkan sebaliknya justru

mekanisme bonus tidak berpengaruh terhadap transfer pricing dikarenakan

besarnya kompensasi bukan merupakan motivasi utama bagi dewan direksi untuk

melakukan keputusan transfer pricing. Hal ini dikarenakan sebelum melakukan

keputusan transfer pricing dewan direksi harus melakukan analisa terhadap


9

risiko yang mungkin akan dihadapinya jika melakukan keputusan transfer

pricing. Dan juga karena adanya pengawasan yang baik secara internal dan

eksternal di dalam perusahaan sehingga dapat mengatasi terjadinya kecurangan

di dalam perusahaan seperti menaikkan laba dengan cara yang curang.

Skema transfer pricing biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional

yang sengaja memindahkan laba perusahaan ke perusahaan afiliasi di negara

yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah. Namun karena ada perpindahan laba

tersebut maka perusahaan memiliki risiko perbedaan nilai tukar yang dapat

mengurangi laba yang didapat sehingga transaksi pada perusahaan multinasional

biasanya menggunakan beberapa mata uang, dimana nilai setiap mata uang

dipengaruhi oleh nilai dolar yang akan berbeda setiap waktunya. Akibatnya

perusahaan multinasional mencoba untuk mengurangi risiko perbedaan nilai

tukar (exchange rate) mata uang asing dengan memindahkan dana ke mata uang

yang kuat melalui transfer pricing untuk memaksimalkan keuntungan

perusahaan secara keseluruhan. ketika nilai tukar terus-menerus berfluktuasi

maka akan mempengaruhi harga produk atau jasa yang akan diperdagangkan,

maka keputusan transfer pricing menjadi pilihan untuk manajemen sehingga

jumlah dana yang tersedia untuk melakukan pembayaran dapat dipastikan.

(Patriot Jaya Ayshinta, Henri Agustin, dan Mayar Afriyenti, 2019).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Desi Alfiatus Sarifah,

Diyah Probowulan, dan Astrid Maharani (2019), Patriot Jaya Ayshinta, Henri

Agustin, dan Mayar Afriyenti (2019) dan Cystoma Aurora Wicaksananingtyas


10

dan Shinta Permata Sari (2019) menunjukkan bahwa exchange rate berpengaruh

terhadap transfer pricing. Namun hasil penelitian Bela Pratiwi (2018) berbeda

yaitu exchange rate tidakberpengaruh terhadap transfer pricing. Adapun menurut

penelitian Bela Pratiwi (2018) exchange rate tidakberpengaruh terhadap transfer

pricing karena dalam laporan keuangan sampel perusahaan, banyak terdapat

kerugian pada laba atau rugi selisih kurs. Dengan adanya kerugian tersebut,

perusahaan memandang bahwa adanya perubahan exchange rate tidak

memberikan keuntungan bagi perusahaan salah satunya dikarenakan oleh

melemahnya mata uang domestik.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Beban Pajak, Tunneling

Incentive, Mekanisme Bonus dan Exchange Rate terhadap Transfer Pricing

(Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI periode

2016 – 2018)”.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalh diatas, maka peneliti merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut :

1. Apakah Beban Pajak berpengaruh terhadap Transfer Pricing?

2. Apakah Tunneling Incentive berpengaruh terhadap Transfer Pricing?

3. Apakah Mekanisme Bonus berpengaruh terhadap Transfer Pricing?


11

4. Apakah Exchange Rate berpengaruh terhadap Transfer Pricing?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Beban Pajak terhadap Transfer

Pricing.

2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Tunneling Incentive terhadap

Transfer Pricing.

3. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Mekanisme Bonus terhadap

Transfer Pricing.

4. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh Exchange Rate terhadap Transfer

Pricing.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat,

antara lain :

1. Kontribusi Praktik

Bagi pemerintah maupun lembaga terkait lainnya, semoga penelitianini bisa

menjadi sebuah Saran dan Masukan, agar kelak bisamelakukan perbaikan-

perbaikan, sehingga bisa dirumuskan suatukebijakan baru demi lebih

efisiennya perencanaan Pajak. Sedangkanbagi sebuah Entitas, semoga bisa

menjadi sebuah Informasi mengenaifaktor-faktor apa saja yang berdampak

terhadap terjadinya Transfer Pricing.


12

2. Kontribusi Akademik

Semoga penelitian ini, bisa menjadi bahan Referensi bagi penelitianyang akan

datang; Bisa menjadi sumber informasi untuk menambahpengetahuan dan

dapat dikembangkan sehingga penelitian denganTopik serupa dapat dikaji

dengan lebih dalam.

Anda mungkin juga menyukai