Anda di halaman 1dari 3

Kasus Transfer Pricing di Indonesia dan Penanganannya

Dalam kasus transfer pricing di bidang perpajakan di Indonesia, contohnya, yaitu PT. Adaro,
dimana diduga melakukan manipulasi guna menghindari pembayaran royalti dan pajak yang
harusnya dibayarkan ke kas negara, akan sangat merugikan negara. Disamping itu dalam
masalah transfer pricing tidak bisa dianggap mudah. Tidak sedikit kalangan yang
mempertanyakan motivasi DPR menolak penyelidikan dugaan transfer pricing PT Adaro
Indonesia sebuah perusahaan batu bara.

Seakan lepas tangan, sembilan fraksi di DPR sepakat menyerahkan kasus tersebut ke Kejaksaan
Agung dan Direktorat Jendral Pajak. Tidak jelas alasan anggota dewan menolak angket terhadap
kasus Adaro. Padahal kegiatan transfer pricing bukan persoalan sederhana. Bukan pula cuma
masalah hukum semata. Lebih dari itu, negara sudah pasti dirugikan jika ada kegiatan transfer
pricing. Kemudian ada kasus PT AAG yang menyalahgunakan transfer pricing, untuk
memanipulasi pajak.

Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Transfer pricing itu erat kaitannya
dengan tindak pidana pencucian uang. Dalam kaitannya dengan perpajakan, kejahatan transfer
pricing (pengalihan harga) untuk menghindari pajak memeiliki spectrum yang sangat luas.
Transfer pricing itu secara konsep tidak sulit. Spektrum luas meliputi modus operandi yang
beragam. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, pajak tidak disebut-sebut
masuk kategori transfer pricing. Praktik ini bisa terjadi karena masalah ini terlalu lama tidak
ditangani dengan sungguh-sungguh. Transfer pricing baik secara akutansi maupun secara konsep
tidak sulit, yang sulit adalah praktiknya.

Dalam praktik transfer pricing, penentuan biaya dan penghasilan sering tidak jelas referensi
penentuan harganya terutama untuk komponen-komponen elektronik biasanya hanya perusahaan
yang tahu, beda dengan komoditas batu bara dan kelapa sawit ada harga pasar yang jelas. Saat ini
ketentuan transfer pricing diatur dalam Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan. Dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomo 36 Tahun 2008 tersebut
diatur mengenai kewenangan Ditjen Pajak untuk menghitung kembali suatu transaksi yang
dipengaruhi hubungan istimewa, meskipun sudah diatur dalam UU No. 36 Tahun 2008, namun
kerumitan transfer pricing dapat dijelaskan seperti dalam buku Multinational Corporations,
Transfer Prices and Taxes: Evidence form US Petroleum Industry (1990), Bernard & Weiner
menyatakan, bahwa kecuali dilarang dalam undang-undang, transfer pricing dapat dipakai untuk
mengatur jumlah laba dari beberapa perusahaan dalam satu grup yang berada di beberapa
wilayah yurisdiksi pemajakan.

Hal ini menunjukkan bahwa secara hukum, kalau dinyatakan secara tegas dalam undang-undang-
undang bahwa transfer pricing merupakan perbuatan pidana pajak rasanya tidak mudah untuk
mengkriminalkan transfer pricing. Pendapat demikian tampaknya didukung oleh
penghentian penyelidikan PT Adaro yang dihentikan, dimana telah dijelaskan sebelumnya
karena tidak ada masalah dan royalti serta “smuanya” telah dibayar. Terkait dengan penegakan
hukum dalam hukum pajak yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya yang mana ada
penyelesaian lewat jalur pidana dan administratif, maka demikian tampak bahwa atas transfer
pricing lebih ditempuh solusi administrative daripada pemidanaan. Karena Transfer pricing yang
masuk ranah hukum pajak tersebut diatur secara khusus (lex specialis), seperti dalam UU
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 jo. SE 04/PJ.7/ 1993.

Dalam Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008 mnegatur soslusi ini dalam Pasal 18 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 jo. SE 04/PJ.7/ 1993 tentang Petunjuk Penanganan
Kasus-Kasus Transfer Pricing. Di satu sisi, dari sisi pidana transfer pricing perpajakan,
Pengadilan Perpajakan merupakan solusi komprehensif dalam menyelesaikan kasus-kasus
perpajakan. Solusi seperti itu pula yang dapat menyelesaikan kasus-kasus transfer pricing yang
diduga dilakukan oleh sejumlah perusahaan. Penyelesaian serupa dapat dilakukan oleh sejumlah
perusahaan. Penyelesaian serupa dapat dilakukan oleh kelompok Usaha PT AAG.

Masalah transfer pricing memang belum pernah diadili secara pidana, sebab tujuan pajak
sebenarnya bukan untuk menghukum orang, tetapi agar uang atau hak negara tidak dimanipulasi.
Kasus transfer pricing dimanapun, tidak diselesaikan secara pidana, melainkan melalui
pengadilan pajak. Dalam kasus transfer pricing yang dilakukan oleh PT AAG , pernah dilakukan
koordinasi dan kerja sama yang kuat dengan Pusat Penelusuran Analisis dan Transaksi Keuangan
(PPATK) untuk mempermudah mendeteksi adanya transfer pricing, maka kasus transfer
pricing yang lainnya seharusnya koordinasi dengan PPATK sangat diperlukan. Kerumitan dalam
pencegahan transfer pricing yang dilakukan oleh dua Perusahaan yang dicontohkan tersebut juga
dampak dari tidak adanya aturan operasional lebih lanjut mengenai APA, padahal tujuan
diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya penyalahgunaan transfer pricing oleh
perusahaan multinasional, seperti yang telah disebutkan di atas.

Ditjen Pajak perlu pula mengefektifkan pertukaran informasi dengan bebargai pihak
(antarnegara, lemabaga penegak hukum, pihak terkait dan media massa), pembentukan basis data
(kepemilikan perusahaan, harga barang dan jas konerja perusahaan, dan lainnya), memperluas
jaringan dan akses pembanding (misalnya dengan departemen perdagangan, industry, bea cukai,
BKPM dan sebagainya). Selain itu, karena salah satu penyebab transfer pricing adalah kurang
bersaingnya tariff pajak badan dan pemajakan atas dividen di Indonesia, mungkin perlu
mempertimbangkan untuk menurunkan tarif pajak dan dan meninjau ulang sistem pemajakan
atas dividen. Untuk mewujudkan substance over from rule dalam ketentuan perpajakan, kiranya
lembaga peradilan pajak perlu memperkaya yurisprudensi kasus transfer pricing tanpa
meninggalkan keadilan dalam alokasi beban pajak.
Direktorat Jendral Pajak harus menjalin kerjasama dengan insititusi pajak luar negeri untuk
menelusuri praktik transfer pricing (pengalihan keuntungan oleh perusahaan yang berstatus
Penanaman Modal Asing anatara lain dengan pertukaran informasi, pemeriksaan penyidikan, dan
penagihan pajak. Pajak mensinyalir sebagian perusahaan PMA diduga telah melakukan transfer
pricing untuk menghindari pajak. Praktik ini dilakukan dengan membuat kesan pada laporan
keuangan seolah-olah perusaan yang bersangkutan menderita kerugian. Dengan begitu
perusahaan tersebut tidak perlu membayar pajak karena peraturan perundang-undangan
memberikan kompensasi selama karena peraturan perundang-undangan memberikan kompensasi
selama 5 tahun. Kerja sama dilakukan karena pembuktian adanya praktik semacam itu memang
sulit. Bukti formalnya agak sulit diperoleh.

Apabila ditemukan perbedaan harga atau negara luar di Indonesia memperoleh fee, maka
perusahaan yang bersangkutan dapat dikatakan telah memanipulasi. Untuk itu, sanksi pidana
yang dibebankan pada wajib pajak yang nakal itu, bisa berlapis, yakni tindak pidana penipuan,
korupsi mauapun tindak pidana fiscal. Ancaman hukumannya berkisar 6 sampai dengan 20
tahun. Dalam memproses tindak pidana tersebut, pihaknya melakukan koordinasi dengan aparat
penegak hukum lainnya seperti kepolisian dankejaksaan. Kejaksaan memproses tindak pidana
kkorupsinya dengan maksimal ancaman hukuman 20 tahun, karena memperkaya diri dengan
fasilitas perpajakan. Di sisi lain tindak pidana fiscal dapat dikenakan maksimal ancaman
hukuman selama enam tahun oleh Ditjen Pajak. Sedangkan memberikan keterangan yang benar
dalam surat pemberitahuannya. Namun demikian Gunadi (dalam Ardian Sutedi) menekankan
dugaan manipulasi tidak serta merta dikenakan jika terdapat perbedaan antara SPT dengan
kondisi yang sebenarnya. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah proses pembuktiannya
untuk menentukan seorang wajib pajak telah bertindak nakal. Oleh karena itu dia tidak mungkin
menampik kemungkinan pelakunya bisa dijerat sanksi pidana. Dalam hal ini maka kaitannya
untuk menangani dan menyelesaikan transfer pricing yang melibatkan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, yang mungkin melibatkan otoritas pajak negara lain serta dalam
rangka mengamankan penerimaan negara dari pajak, maka otoritas pajak harus memperhatikan
hal-hal berikut:

1. Mengetahui motivasi perusahaan tersebut melakukan transfer pricing;


2. Mengidentifikasi adanya rekayasa transfer pricing;
3. Memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip arm’s length dalam menangani
masalah transfer pricing.
4. Mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan
kepedulian lingkungan (ekologi dan masyarakat),
5. Memperkecil akibat pembatasan, dan;
6. Ketidak pastian atas risiko kegiatan perusahaan luar negeri.

http://transferpricing-indonesia.blogspot.co.id/2014/11/kasus-transfer-pricing-di-indonesia-dan.html

Anda mungkin juga menyukai