Anda di halaman 1dari 5

Perang dan konflik

Perang merupakan salah satu cara yang dipahami oleh beberapa negara dalam menyelesaikan
konflik serta masalah yang mereka hadapi dengan negara lain di samping cara diplomasi.
Perang dalam arti sempit adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan dan
biasanya menggunakan senjata sehingga perang seringkali membawa kerugian bagi para
pelakunya. Perang juga diartikan sebagai sebuah aksi fisik maupun non fisik antara dua atau
lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan
sehingga dari definisi ini tujuan perang sesungguhnya adalah untuk melakukan dominasi
terhadap pihak lainnya. Hal tersebut dilakukan dengan cara menundukkan pihak musuh. Jadi,
perang merupakan upaya untuk memelihara dominasi dan persaingan sebagai sarana
memperkuat eksistensi diri dengan cara menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi baik
secara fisik maupun psikologis. Perang biasanya disebabkan oleh perbedaan ideologi dan
kepentingan yang memicu konflik, keinginan untuk memeperluas wilayah kekuasaan dan
perampasan sumber daya alam.
Konflik merupakan penyebab utama terjadinya perang. Konflik yang terjadi dalam tubuh dua
pihak atau lebih memuncukan perselisihan, pertikaian, dan perpecahan di antara mereka.
Pada dasarnya konflik diambil dari kata configere yang berarti saling memukul ,sehingga
konflik adalah upaya untuk saling menghancurkan satu sama lain. Secara sosiologis, konflik
diartikan sebagai proses social antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana satu
pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tak
berdaya. Konflik terjadi apabila ada satu kondisi dimana sekelompok orang dengan
sekolompok orang yang lain menginginkan tujuan yang berbeda, The term conflict usually
refers to a condition in wich one identifiable group of human beings (whether tribal, ethnic,
linguistic, cultural, religious, socio-economic, political or other) is engaged in concious
opposition to one or more other identifiable human groups because this groups are pursuing
what are or appear to be compatible goals. (Dougherty, Pfaltzgraff, 1971 : 139). Konflik ini
diakibatkan oleh berbagai hal seperti perbedaan ideologi, perbedaan kepentingan dan
ketidaksamaan persepsi akan suatu hal. Adapun faktor-faktor penyebab konflik :

1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.


Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan
perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan
sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial,
sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi yang berbeda.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki

kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama,
tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
3. Perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung
cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak
akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang
biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan
bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalamorganisasi formal perusahaan.
Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan
waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti
jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara
cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat,
bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
Konflik tidak serta merta muncul dalam masyarakat atau kelompok. Untuk menjadi sebuah
konflik ada tahap eskalasi yang dilalui. Sebelum terjadi konflik biasanya terdapat perbedaan
pendapat antar masyarakat dan kelompok. Kemudian akan timbul perselisihan antar
kelompok yang berbeda pendapat yang berlanjut pada pertikaian. Pertikaian-pertikaian yang
terjadi akan menimbulkan konflik terbatas yang berangsur-angsur menjadi konflik terbuka.
Apabila konflik sudah mencapai puncaknya dan tidak bisa lagi diselesaikan dengan negosiasi
maupun diplomasi maka biasanya akan mulai menjurus ke peperangan yaitu konflik yang
menggunakan kekuatan dan senjata

Konflik Antar Suku Di Indonesia (TUGAS IBD 4)


Beragamnya suku di Indonesia terkadang melahirkan sebuah peperangan yang biasa kita
sebut dengan perang antar suku. Alasan peperangan itu sangatlah bermacam-macam. Menurut
badan riset, data suku-suku yang ada di Indonesia mencapai kurang lebihnya lebih dari 300
kelompok suku atau etnik. Jumlah suku bangsa yang mencapai ratusan inilah pada
kenyataannya memang sangat rentan akan terhadap sebuah konflik. Dan perang antar suku
pun pada akhirnya menjadi suatu hal perstiwa yang memang tidak bisa dihindarkan lagi.
Konflik merupakan hal atau masalah yang lazim atau biasa terjadi di lingkungan masyarakat.
Dimana lagi-lagi perbedaan menjadi latar belakang yang mendasar dalam setiap konflik
perang antar suku di Indonesia. Peperangan antar suku akhir-akhir ini menjadi bahan
pekerjaan pemerintah untuk menetralisir kekisruhan yang sering terjadi khususnya
peperangan antar suku. Konflik tersebut terjadi karena saking beragam nya suku-suku di
Indonesia dan berawal dari banyaknya suku-suku yang ada tersebut konflik-konflik pembeda

atau masalah budaya yang berbeda dan variatif mulai bermunculan.


Perang antarsuku di Indonesia yang sempat menarik perhatian adalah perang suku dayak dan
Madura. Peperangan antara Suku Dayak dan Madura menimbulkan sebuah pergeseran moral
tentang bagaimana seharusnya saling menghargai perbedaan. Nyawa bukan lagi menjadi hal
yang mahal saat itu. Pemenggalan terhadap kepala manusia saat itu seolah menjadi bukti
bahwa kebencian telah benar-benar mengerikan. Penyebab terjadinya perang kedua suku ini
yaitu karena perbedaan budaya antara Suku Dayak dan Suku Madura, perilaku yang tidak
menyenangkan, pinjam meminjam tanah dan ikrar perdamaian yang dilanggar. Kejadian ini
memang telah lama berlalu. Tapi konflik tersebut bagaimanapun keadaannya pasti akan tetap
meninggalkan kesan mengerikan yang mendalam bagi masyarakat kedua suku tersebut.
Setiap suku tentu memiliki budaya, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu yang beragam.
Keanekaragaman tersebut tentu memabawa dampak dan kosekuensi sosial yang beragam
pula. Jika hal ini tidak dapat disikapi dengan baik maka perbedaan tersebut justru akan terus
manjadi faktor utama penyebab terjadi perang antar suku.
Setiap suku akan menginterpretasikan budaya yang mereka miliki dalam lingkungannya
sehingga terciptalah stereotip yang dapat mengakibatkan lestarinya perbedaan. Penonjolan
strereotip suatu suku amat berbahaya. Namun faktanya, stereotip dan stigma buruk itu tetap
hidup. Bahkan, tanpa disadari kian meluas. Bahaya karena hal ini dapat menimbulkan
pepecahan perang antar suku pun menjadi hal yang tak bias dihindarkan.
Stereotip orang Madura dalam pengetahuan orang Indonesia kadang identic dengan watak
yang kasar dank eras. Sering menyelesaikan masalah dengan carok, mengakhiri sengketa
dengan cara duel maut yang berkunjung ematian. Penyebabnya adalah dendamatau
pembalasan pihak keluarga dan kerabat yang terluka hingga tewas.
Walaupun stereotip itu keliru dan berbahaya, hal tersebut seakan melekt dalam benak
keindonesiaan kita. Itulah yang sering memicu terjadinya kerusuhan etnis atau suku di
Indonesia bahkan berkembang menjadi perang antar suku.
Konflik sering terjadi di kalangan masyarakat karena manusia makhluk sosial dan memiliki
beragam pemikiran dan cara masing-masing untuk bersosialisasi. Konflik tersebut biasanya
hal sepele tapi berhubung menyangkut RAS atau budaya maka rasa simpati antar sesame
budaya yang membuat peperangan tersebut menjadi bukan hal yang sepele lagi. Berawal dari
masalah sepele yang mungkin bisa diselesaikan secara kekeluargaan dan bisa tuntas dengan
cepat tapi malah sebaliknya persoalan demi persoalan terus dijadikan kambing hitam untuk
memancing adanya peperangan antar suku tersebut. Mungkin budaya tersebut menjadi
pemacu terjadinya peperangan tersebut.
Coba dibayangkan, kalo seandainya masyarakat bisa lebih melihat pengaruh dan akibat
kerusuhan tersebut, maka tidak aka nada korban berjatuhan dan tidak ada anak yang terlantar
ditinggal oleh orang tuanya dan ini menjadi pekerjaan yang harus segera diselesaikan oleh
pemerintah baik setempat maupun pemerintah pusat untuk mencegah terjadinya kekisruhan
yang selanjutnya.
Warga Negara yang baik adalah warga Negara yang melandaskan hidupnya akan aturan yang
dijalankan dengan baik dan menghargainya.oleh karena itu masalah perang kebudayaan, dan
masalah masalah lain, ini menjadi contoh bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat dan
tingkat sosial masyarakat yang sekarang terjadi semakin BURUK dan hal tersebut
menjadikan DISINTEGRASI yang bisa jadi menimbulkan pengaruh yang sangat BURUK

bagi para penerus nantinya ditengah maraknya budaya asing yang sedang menjadi
pembahasan kaum muda, harusnya Indonesia lebih mengkokohkan pondasi budaya yang
diwariskan, agar supaya para generasi mendatang akan lebih kuat menahan arus tersebut.
Latar Belakang Konflik Poso
Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian,
namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik
keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam
konteks Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial.
Keberpihakan pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat
keagamaan, tetapi lebih pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan
pribumi umunya memang dimobilisir Islam.
Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama
dalam dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan
birokrasi di Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta
keagamaan itu terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso
mencapai angka 41,7 persen, lama-lama tinggal 30-an persen. [4] Data tahun 1997 bahwa
Muslim Poso mencapai angka 62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan
Katolik hanya 0,51 persen, ditambah sisanya Budha dan Hindu. [5]
Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi
kewilayahan, sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso,
konstelasi sosio ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi
komunitas ini, terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli. Proses
pemiskinan ini terjadi baik karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan
(kemiskinan structural), seperti lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalanSulawesi dari Palopo ke Palu lewat Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian
cepatnya proses migrasi pendatang muslim yang masuk ke wilayah basis Kristen.
Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan
perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun
tempat ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya
pergeseran komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.
Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum
terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam
lapangan birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia
kepegawaian, antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan
baru kalangan Islam. (2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah
terjadi peralihan tangan. Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi
kepegawaian mulai merasuk dalam kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas
keagamaan dalam konteks persaingan politik birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian
berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah menjadi wacana penting dalam mencermati
konflik Poso.

Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat
kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok
kultur keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso
dengan segala kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level
propinsi ataupun pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai