PENDAHULUAN
faktor
yang
berhubungan
dengan
perilaku
cuci
tangan
di
kalangan
rumah sakit Awal Bros tiga bulan terakhir adalah 33,125%-35%, sedangkan Tim IPSG RS
Awal Bros mempunyai target minimal 70 % setiap bulannya.
dalam
pembahasan-pembahasan
makalah
sederhana,
yaitu
dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario
Infeksi Nosokomial
Seorang pasien umur 65 tahun dirawat diruang ICU rumah sakit A dengan penyakit non
infeksi. Setelah hari ke 5 perawatan pasien mengalami demam, sensorium compos mentis,
temperatur: 38,50C, Pols: 108x/menit, RR: 28x/i. Pada pasien terpasang infus, kateter dan
ada lima orang penderita lain di ruangan ICU tanpa prosedur aseptik. Hasil laboratorium:
darah rutin dalam batas normal kecuali leukosit 12.000mg/dl.
maupun rumah sakit. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan
tanda infeksi kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi
sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72
jam pasien berada dirumah sakit baru dapat disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien
selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam
pasien berada di rumah sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien
masuk ke rumah sakit (Olmsted RN, 1996, Ducel, G, 2002).
Health-care Associated Infections (HAIs) merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial
atau disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit Hospital-Acquired Infections merupakan
persoalan serius karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung
kematian pasien. Kalaupun tak berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga
pasien harus membayar biaya rumah sakit yang lebih banyak.
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok
yang berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien
kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga
maupun dari petugas kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan
angka morbiditas, mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah
sakit.
Infeksi nosokomial bersumber pada peralatan kedokteran, makanan minuman, udara,
debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat, bidan, laboran, staff,
pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di lingkungan sarana pelayanan
kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih banyak lagi yang berada di lingkungan sarana
pelayanan kesehatan.
Dalam kasus ini, jenis yang paling sering adalah infeksi luka bedah, infeksi saluran
kemih, dan saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia). Tingkat paling tinggi terjadi di
unit perawatan khusus, ruang rawat bedah dan ortopedi serta pelayanan obstetri (seksio
sesarea). Tingkat paling tinggi dialami oleh pasien usia lanjut, mereka yang mengalami
penurunan kekebalan tubuh (HIV/AIDS, pengguna produk tembakau, penggunaan
kortikosteroid kronis), TB yang resisten terhadap berbagai obat dan mereka yang
menderita penyakit bawaan yang parah.
2.3.2
Epidemiologi
5
bertambah lamanya masa inap setelah operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu
ditemukan discharge purulen disekitar luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas
dari luka. Infeksi biasanya didapat ketika operasi baik secara exogen (dari udara, dari alat
kesehatan, dokter bedah dan petugas petugas lainnya), maupun endogen dari
mikroorganisme pada kulit yang diinsisi. Infeksi mikroorganisme bervariasi, tergantung
tipe dan lokasi dari operasi dan antimikroba yang diterima pasien.
3. Pneumonia nosokomial ( VAP )
Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di ICU., dimana
prevalensi terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Merupakan angka kejadian fatal yang
tinggi, yang dihubungkan dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme
berkolonisasi di saluran pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi
pada paru (pneumonia). Sering merupakan endogen, tetapi dapat juga secara exogen.
Diagnosa pneumonia berdasarkan gejala klinis dan radiologi, sputum purulen serta
timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang merupakan faktor resiko adalah tipe
dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien atau ada atau tidaknya
penggunaan antibiotik sebelumnya.
4. Bakteremia nosokomial ( BSI )
Tipe infeksi nosokomial ini merupakan proporsi kecil dari infeksi nosokomial (sekitar
5 %), tetapi angka kejadian fatal nya tinggi, lebih dari 50% untuk beberapa organisme.
Misalnya Staphylococcus Coagulase-Negative dan Candida spp. Infeksi mungkin kelihatan
pada tempat masuknya alat intravaskular atau pada subkutaneus dari pemasangan kateter.
Organisme berkolonisasi dikateter didalam pembuluh darah dapat menghasilkan
bakteremia tanpa adanya tanda- tanda infeksi dari luar. Flora normal yang sementara atau
tetap pada kulit merupakan sumber infeksi. Faktor resiko yang utama dalam
mempangaruhi infeksi nosokomial ini adalah lamanya kateterisasi, level aseptik dan
pemeliharaan yang kontiniu dari kateter.
5. Infeksi nosokomial lainnya
Merupakan infeksi nosokomial yang ke empat tersering. Sebagai contoh, misalnya :
a. Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka (luka bakar dan luka
akibat berbaring lama)
b. Gastroenteritis merupakan infeksi nosokomial tersering pada anak anak, dimana
penyebabnya terbanyak adalah rotavirus. Untuk penyebab tersering gastroenteritis
pada orang dewasa adalah Clostridium difficile, sering terdapat pada negara
berkembang.
7
c. Sinusitis dan infeksi saluran cerna lainnya, infeksi pada mata dan konjungtiva.
d. Endometritis dan infeksi lainnya dari organ reproduksi setelah melahirkan.
2.3.4 Etiologi
1. Agen Infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di rumah sakit.
Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan
gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada :
a.
b.
c.
d.
karakteristik mikroorganisme
resistensi terhadap zat-zat antibiotika
tingkat virulensi, dan
banyaknya materi infeksius
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari
orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri
(endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan
dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia dirawat di rumah
sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu
menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan
terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada
karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi,dan
banyaknya materi infeksius (Ducel, G, 2002).
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari
orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri
(endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan
dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal
(Ducel, G, 2002) .
Bakteri Penyebab Infeksi Nosokomial (Tortora et al., 1995)
Bakteri
Enterobacteriaceae
S. aureus
Enterococcus
P. aeruginosa
Persentase(%)
>40
11
10
9
Persentase(%)
34
32
17
10
7
Citrobacter,Haemophilus)
2. Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam
hal ini adalah umur, status imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan
malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroid serta
intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi (Babb, JR.
Liffe, AJ, 1995).
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap
infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor,
anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini
akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat
opportunistik.Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti
biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi (Babb, JR. Liffe, AJ, 1995).
Menurut Purwandari 2006, bayi mempunyai pertahanan yang lemah terhadap infeksi,
lahir mempunyai antibodi dari ibu, sedangkan sistem imunnya masih imatur. Dewasa muda
sistem imun telah memberikan pertahanan pada bakteri yang menginvasi. Pada usia lanjut,
karena fungsi dan organ tubuh mengalami penurunan, sistem imun juga mengalami
9
perubahan. Peningkatan infeksi nosokomial juga sesuai dengan umur dimana pada usia
>65 tahun kejadian infeksi tiga kali lebih sering dari pada usia muda (Purwandari, 2006).
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam
hal ini adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Usia
Status imunitas penderita
Penyakit yang diderita
Obesitas dan malnutrisi
Orang yang menggunakan obat-obatan
Imunosupresan dan steroid
Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap
infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor,
anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini
akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat
opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti
biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi.
3. Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan
penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti
golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena dan
jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak
steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya
infeksi silang.
4. Resistensi antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 19501970, kebanyakan penyakit yang serius da n fatal ketika itu dapat diterapi dan
disembuhkan. Bagaimanapun, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan
penyalahgunaan antibiotika Maka, banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih
resisten. Peningkatan resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama pada
pasien yang immunocompromised (Ducel, G, 2002).
10
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 19501970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan.
Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan
penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten.
Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap
pasien yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri ditransmisikan antar pasien dan
faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang terusmenerus ini justru meningkatkan multiplikasi dan penyebaran strain yang resisten.
Penyebab utamanya karena :
a.
b.
c.
d.
Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang
resisten terhadap antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap
obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan
profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strain dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap banyak antibiotika,
begitu juga klebsiella dan pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten.
Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika
lini kedua belum ada atau tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah
sakit, serta menjadi sangat penting karena meningkatnya jumlah penderita yang dirawat,
seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur, mikororganisme
yang baru (mutasi), dan Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika.
11
5. Faktor alat
Suatu penelitian klinis menujukka n infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari
luka operasi dan septikemia. Penggunaan peralatan non steril juga bolehmenyebabkan
infeksi nosokomial (Ducel, G, 2002).
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi dari
kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka
operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Di
ruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi
kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi
tersebut berupa :
a. Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula
b. Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat dideteksi
adanya gangguan lain
c. Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang vena
d. Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang
menghambat aliran infus
e. Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula
yang ada dalam pembuluh darah
f. Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
g. Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula
intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter yang
terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak
mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena
merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus
untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada
ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia.
2.3.5
12
2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi
tersebut.
3. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 324 jam sejak mulai
dirawat.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya
(Hasbullah T, 1992).
2.3.6
disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara
langsung atau tidak langsung. Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection) yaitu
disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu jaringan
ke jaringan yang lain. Infeksi lingkungan (Environmental infection) yaitu disebabkan oleh
kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingku
ngan rumah sakit. Misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain (Depkes RI, 1995).
Menurut Jemes H,Hughes dkk, yang dikutip oleh Misnadiarli 1994, tentang model
cara penularan, ada 4 cara penularan infeksi nosokomial yaitu kontak langsung antara
pasien dan personil yang merawat atau menjaga pasien. Seterusnya, kontak tidak langsung
ketika objek tidak bersemangat/kondisi lemah dalam lingkungan menjadi kontaminasi dan
tidak didesinfeksi atau sterilkan, sebagai contoh perawatan luka paska operasi. Selain itu,
penularan cara droplet infection dimana kuman dapat mencapai ke udara (air borne) dan
penularan melalui vektor yaitu penularan melalui hewan/serangga yang membawa kuman
(Depkes RI, 1995).
Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata
rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen
yang diperlukan sehingga terjadi penularan adalah :
1. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan
infeksi. Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia, jamur dan parasit.
Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load).
2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan
siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada manusia:
permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus dan vagina.
13
3. Port of exit (Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir.
Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan
kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi dari
reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :
a. Kontak (contact transmission) :
Direct/Langsung: kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara
melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi
14
karena dirawat, bertugas, juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi,
Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi &
Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi.
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu,
agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi faktor
resiko pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden
terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan. Strategi
pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari :
1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat berupa pemberian imunisasi aktif (contoh
vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi
kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya
tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun kimiawi.
Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak
makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk
mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan
petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan
ini telah disusun dalam suatu Isolation Precautions (Kewaspadaan Isolasi) yang
terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu Standard Precautions (Kewaspadaan Standar)
dan Transmission based Precautions (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/PEP) terhadap
petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui
darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas
pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah
hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.
Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi,
monitoring dan program yang termasuk :
1. Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci tangan
dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan
disinfektan.
2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
15
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat suatu
pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang
penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan
kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus, seperti HIV serta pasien yang
mempunyai resistensi rendah seperti leukimia juga perlu diisolasi agar terhindar dari
infeksi. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara yang menuju keluar
(Babb, JR. Liffe, AJ, 1995).
Yang perlu diperhatikan dalam pencegahan infeksi nosokomial luka operasi adalah
harus melakukan pemeriksaan terhadap pasien operasi sebelum pasien masuk/dirawat di
rumah sakit yaitu dengan memperbaikan keadaan pasien, misalnya gizi. Sebelum operasi,
pasien operasi dilakukan dengan benar sesuai dengan prosedur, misalnya pasien harus
puasa, desinfeksi daerah operasi dan lain-lain. Pada waktu operasi semua petugas harus
mematuhi peraturan kamar operasi yaitu bekerja sesuai SOP (standard operating
procedure) yaitu dengan perhatikan waktu/lama operasi. Seterusnya, pasca operasi harus
diperhatikan perawatan alat-alat bantu yang terpasang sesudah operasi seperti kateter, infus
dan lain-lain (Farida Betty, 1999).
2.3.8
Pengendalian Infeksi
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu,
agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor
resiko pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden
terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan. Strategi
pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:
1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat pemberian imunisasi aktif (contoh
vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi
kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya
tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun kimiawi.
Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak
makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
17
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk
mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan
petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/PEP) terhadap
petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui
darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas
pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah
hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.
2.3.9
Kewaspadaan Universal
Sejak AIDS diketahui, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal (KU)
dikembangkan. Kebijakan ini menganggap bahwa setiap darah dan cairan tertentu lain
dapat mengandung infeksi, tidak memandang status sumbernya. Lagi pula, semua alat
medis harus dianggap sebagai sumber penularan, dan penularan dapat terjadi pada setiap
layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi dan persalinan, pada setiap tingkat
(klinik dan puskesmas sampai dengan rumah sakit rujukan). Harus ditekankan bahwa
kewaspadaan universal dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV
tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat parah dan sebetulnya lebih
mudah menular, mis. virus hepatitis B dan C. Petugas layanan kesehatan harus menerapkan
kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan SEMUA pasien. Kita
biasanya menganggap cairan yang dapat menular HIV sebagai darah, cairan kelamin dan
ASI saja. Namun ada cairan lain yang dapat mengandung kumanlain, dan dalam sarana
kesehatan, lebih banyak cairan tubuh biasanya tersentuh. Contohnya, walaupun tinja tidak
mengandung HIV, cairan berikut mengandung banyak kuman lain:
a.
b.
c.
d.
e.
Nanah
Cairan ketuban
Cairan limfa
Ekskreta: air seni, tinja
dll...
Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi
kepada pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan dengan benar dapat
menurunkan risiko transmisi dari pasien infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi
adalah menurunkan transmisi mikroba infeksius diantara
1. Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan standar berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi,
setiap waktu di semua unit pelayanan kesehatan. Kewaspadaan standar disusun untuk
mencegah kontaminasi silang sebelum diagnosis diketahui dan beberapa merupakan
praktek rutin, meliputi :
a. Kebersihan tangan/Hand hygiene
b. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung),
face shield (pelindungwajah), dan gaun
c. Peralatan perawatan pasien
d. Pengendalian lingkungan
e. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
f. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan
g. Penempatan pasien
h. Hygiene respirasi/Etika batuk
i. Praktek menyuntik yang aman
j. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi
2. Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi
Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan pada
pasien gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular yang
dapat ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak kulit atau permukaan terkontaminasi.
Tiga jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi :
a. Kewaspadaan transmisi kontak
b. Kewaspadaan transmisi droplet
c. Kewaspadaan transmisi airborne
Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun
kombinasi karena suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.
3. Kewaspadaan Transmisi Kontak
a. Penempatan pasien :
Kamar tersendiri atau kohorting ( Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri
mencegah HAIs)
Kohorting ( management MDRo )
b. APD petugas :
Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak bahan infeksius,
lepaskan sarung tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan
menggunakan antiseptik
Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruanga
c. Transport pasien :
Batasi kontak saat transportasi pasien
4. Kewaspadaan Transmisi Droplet
a. Penempatan pasien :
Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m
19
>1 m
Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah
penyebaran
Ventilasi airlock ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal)
Terpisah jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang
b. APD petugas :
Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur
Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien,
Gaun
Goggle
Sarung tangan (bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)
c. Transport pasien :
Batasi transportasi pasien, pasien harus pakai masker saat keluar ruangan
Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
Catatan :
Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di
ruang yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.
Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi
Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat perawatan
pasien rawat inap, sehingga perlu diterapkan hal-hal berikut :
a. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari
seluruh pasien
b. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu lainnya
c. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
d. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius
20
e. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak darah dan cairan tubuh serta
barang yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung
tangan. Ganti sarung tangan antara pasien
f. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang
pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan
obtainer/container pasien lainnya
g. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
h. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah
dibersihkan dan didisinfeksi benar
Jadi, upaya pencegahan infeksi nosokomial oleh tenaga kesehatan termasuk bidan
diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk :
a. Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan
dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan
disinfektan.
b. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
c. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang
cukup, dan vaksinasi.
d. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.
e. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit, dan mengontrol penyebarannya.
Terdapat beberapa prosedur dan tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Tindakan
ini merupakan seperangkat tindakan yang didesain untuk membantu meminimalkan resiko
terpapar material infeksius seperti darah dan cairan tubuh lain dari pasien kepada tenaga
kesehatan atau sebaliknya. Menurut Zarkasih, pencegahan infeksi didasarkan pada asumsi
bahwa seluruh komponen darah dan cairan tubuh mempunyai potensi menimbulkan infeksi
baik dari pasien ke tenaga kesehatan atau sebaliknya. Kunci pencegahan infeksi pada
fasilitas pelayanan kesehatan adalah mengikuti prinsip pemeliharaan hygene yang baik,
kebersihan dan kesterilan dengan lima standar penerapan yaitu:
a. Mencuci tangan untuk menghindari infeksi silang. Mencuci tangan merupakan
metode yang paling efektif untuk mencegah infeksi nosokomial, efektif mengurangi
perpindahan mikroorganisme karena bersentuhan
b. Menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari kontak dengan darah atau
cairan tubuh lain. Alat pelindung diri meliputi; pakaian khusus (apron), masker,
sarung tangan, topi, pelindung mata dan hidung yang digunakan di rumah sakit dan
bertujuan untuk mencegah penularan berbagai jenis mikroorganisme dari pasien ke
tenaga kesehatan atau sebaliknya, misalnya melaui sel darah, cairan tubuh, terhirup,
tertelan dan lain-lain.
21
c. Manajemen alat tajam secara benar untuk menghindari resiko penularan penyakit
melalui benda-benda tajam yang tercemar oleh produk darah pasien. Terakit dengan
hal ini, tempat sampah khusus untuk alat tajam harus disediakan agar tidak
menimbulkan injuri pada tenaga kesehatan maupun pasien.
d. Melakukan dekontaminasi, pencucian dan sterilisasi instrumen dengan prinsip yang
benar. Tindakan ini merupakan tiga proses untuk mengurangi resiko tranmisi
infeksi dari instrumen dan alat lain pada klien dan tenaga kesehatan.
Unsur kewaspadaan universal yang berikut melindungi terhadap tindakan ini:
1. Cuci tangan
2. Pakai alat pelindung yang sesuai
3. Pengelolaan alat tajam (disediakan tempat khusus untuk membuang jarum suntik dan
semprit)
4. Dekontaminasi, sterilisasi, disinfeksi
5. Pengelolaan limbah
Alat pelindung
Unsur kedua kewasapadaan universal adalah penggunaan alat pelindung yang sesuai
tindakan. Alat yang dibutuhkan dapat hanya sarung tangan (mis. untuk ambil darah) hingga
semua alat ini yang dibutuhkan oleh seorang bidan waktu membantu kelahiran. Namun
perawat yang hanya menyentuh pasien tidak membutuhkan sarung tangan yang penting
cuci tangan sebelum dan sesudahnya.
a.
b.
c.
d.
e.
Sarung tangan
Celemek
Masker pelindung muka
Kacamata
Pelindung kaki
Untuk mendeteksi bahwa autoklaf bekerja dengan sempurna dapat digunakan mikroba
pengguji
yang
bersifat
termofilik
dan
memiliki
endospora
yaitu
Bacillus
24
Radiasi sinar gama atau partikel elektron dapat digunakan untuk mensterilkan jaringan
yang telah diawetkan maupun jaringan segar. Untuk jaringan yang dikeringkan secara
liofilisasi, sterilisasi radiasi dilakukan pada temperatur kamar (proses dingin) dan tidak
mengubah struktur jaringan, tidak meninggalkan residu dan sangat efektif untuk
membunuh mikroba dan virus sampai batas tertentu. Sterilisasi jaringan beku dilakukan
pada suhu -40o Celsius. Teknologi ini sangat aman untuk diaplikasikan pada jaringan
biologi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada sterilisasi, di antaranya:
a. Sterilisator (alat untuk mensteril) harus siap pakai, bersih dan masih berfungsi.
b. Peralatan yang akan disterilisasi harus dibungkus dan diberi label yang jelas dengan
c.
d.
e.
f.
B. Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen pada objek
yang tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri. Desinfeksi juga dikatakan
suatu tindakan yang dilakukan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak
dengan membunuh spora yang terdapat pada alat perawatan ataupun kedokteran.
Desinfeksi dilakukan dengan menggunakan bahan desinfektan melalui cara mencuci,
mengoles, merendam dan menjcmur dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi, dan
mengondisikan alat dalam keadaan siap pakai.
Kemampuan desinfeksi ditentukan oleh waktu sebelum pembersihan objek,
kandungan rat organik, tipe dan tingkat kontaminasi mikroba, konsentrasi dan waktu
pemaparan, kealamian objek, suhu, dan derajat keasaman (pH).
Disinfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan dan bahan
ini dinamakan antiseptik. Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau
menghancurkan mikroorganisme pada jaringan hidup, sedang desinfeksi digunakan pada
benda mati. Desinfektan dapat pula digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya
tergantung dari toksisitasnya.
Desinfektan akan membantu mencegah infeksi terhadap pasien yang berasal dari
peralatan maupun dari staf medis yang ada di RS dan juga membantu mencegah
25
tertularnya
tenaga medis
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita itu dirawat
disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas, klinik, maupun rumah sakit, biasanya
gejala timbul 72 jam pasca penderita dirawat di pelayanan kesehatan tersebut.
Infeksi nosokomial dapat bersumber pada peralatan kedokteran, makanan minuman,
udara, debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat, bidan, laboran, staff,
27
pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di lingkungan sarana pelayanan
kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih banyak lagi yang berada di lingkungan sarana
pelayanan kesehatan
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan terjadinya
infeksi nosokomial. Yang perlu menjadi fokus perhatian dalam upaya ini adalah rantai
penularan infeksi. Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena
apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau
dihentikan.
Penelaahan tentang rantai penularan infeksi melahirkan suatu upaya pencegahan
berupa kewaspadaan isolasi, yang meliputi kewaspadaan standar dan kewaspadaan
transmisi.
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VII/2014
dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-800-
29