Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah Sakit merupakan tempat berkumpulnya segala macam penyakit, baik menular
maupun tidak menular (Musadad, Lubis, &Kasnodihardjo, 1993). Seluruh petugas
kesehatan yang bekerja dirumah sakit seharusnya mengetahui pentingnya pencegahan
infeksi silang (nosokomial). Infeksi sebagian besar dapat dicegah dengan strategi yang
telah tersedia yaitu dengan cuci tangan (Tietjen, Bossemeyer, & McIntosh, 2004).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit
(Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh
Samwelweis dan hingga saat ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit, sehingga dapat
menjadi masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Beberapa kejadian infeksi nosokomial mungkin tidak menyebabkan kematian pada pasien,
akan tetapi ini menjadi penyebab penting pasien dirawat lebih lama di Rumah Sakit.
Infeksi nosokomial merupakan persoalan serius yang menjadi penyebab langsung
maupun tidak langsung kematian pasien, hal ini dapat di cegah melalui perilaku cuci
tangan petugas kesehatan di Rumah Sakit. Kebiasaan cuci tangan petugas merupakan
perilaku yang mendasar sekali dalam upaya mencegah cross infection (infeksi silang). Hal
ini mengingat Rumah sakit sebagai tempat berkumpulnya segala macam penyakit, baik
menular maupun tidak menular.
Salah satu sumber penularan infeksi nosokomial di rumah sakit adalah perawat, yang
dapat menyebarkan melalui kontak langsung kepada pasien. Perawat memiliki andil yang
sangat besar dalam pencegahan infeksi nosokomial, karena perawat lebih sering kontak
dengan pasien dan linkungan pasien. Cara penularan terutama melalui tangan dan dari
petugas kesehatan maupun tenaga kesehatan yang lain. Pengetahuan perawat tentang
kebersihan dan kesehatan tangan sudah baik, akan tetapi pada praktiknya sulit dilakukan.
Banyak

faktor

yang

berhubungan

dengan

perilaku

cuci

tangan

di

kalangan

perawat.Perilaku mencuci tangan perawat yang kurang adekuat akan memindahkan


organisme-organisme bakteri pathogen secara langsung kepada hospes yang menyebabkan
infeksi nosokomial di semua jenis lingkungan pasien.
1

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat terhadap tindakan pencegahan


infeksi adalah faktor karakteristik individu (jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, masa
kerja, tingkat pendidikan), faktor psikososial (sikap terhadap penyakit, ketegangan kerja,
rasa takut dan persepsi terhadap resiko), faktor organisasi manajemen, faktor pengetahuan,
faktor fasilitas, faktor motivasi dan kesadaran, faktor tempat tugas, dan faktor bahan cuci
tangan terhadap kulit ( Tohamik, 2003).
Rumah Sakit Awal Bros Tangerang saat ini sedang menggalakan perilaku cuci tangan
pada tenaga kesehatan khususnya perawat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya
infeksi nosokomial. Salah satu upaya dalam pencegahan infeksi nosokomial yang paling
penting adalah perilaku cuci tangan karena tangan merupakan sumber penularan utama
yang paling efisien untuk penularan infeksi nosokomial.
Fasilitas beserta poster tentang langkah langkah melakukan cuci tangan secara baik
dan benar tersedia di setiap ruangan di RS, tetapi berdasarkan hasil survei pendahuluan
diketahui bahwa masih terdapat perawat yang enggan untuk melakukan cuci tangan dengan
berbagai alasan diantaranya perawat mengaku keterbatasan waktu yang digunakan untuk
melakukan cuci tangan, kondisi pasien, dan perawat menyatakan mencuci tangan
merupakan hal yang dirasanya kurang praktis untuk dilakukan. Kondisi seperti ini tentu
saja berdampak munculnya masalah seperti terjadinya kasus-kasus infeksi. Insiden infeksi
nosokomial antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya berbeda. Angka infeksi
nosokomial yang tercatat di berbagai negara berkisar antara 3,3 % - 9,2 %, artinya sekian
persen penderita yang di rawat tertular infeksi nosokomial dan dapat terjadi secara akut
atau kronis.
Data kejadian infeksi nosokomial dari Tim PPI (Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi) RS Awal Bros Tangerang pada bulan Mei 2012 diruang NICU (Neonatus Intensive
Care Unit) sebanyak 2 pasien ( 13,3%) dan pada bulan Juli 2012 sebanyak 2 pasien
(14,2%) diruang ICU (Intensive Care Unit). Kemungkinan penyebab infeksi nosokomial
tersebut adalah karena ketidak patuhan petugas khususnya perawat melakukan cuci tangan.
Berdasarkan hasil observasi di ruang ICU pada bulan Juli 201 dari 10 perawat yang di
observasi hanya 3 orang perawat yang patuh melakukan cuci tangan.
Data survey kepatuhan cuci tangan perawat dari Tim IPSG (Internasional Patient
Safety Goals) RS Awal Bros Tangerang dari 8 ruangan yang ada, pada bulan Agustus 2012
rata-rata pencapaiannya 35%, pada bulan September 2012 rata-rata pencapaiannya tetap
35%, sedangkan pada bulan Oktober 2012 pencapaiannya mengalami penurunan
yaituhanya 33,125%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kepatuhan perawat di
2

rumah sakit Awal Bros tiga bulan terakhir adalah 33,125%-35%, sedangkan Tim IPSG RS
Awal Bros mempunyai target minimal 70 % setiap bulannya.

1.2 Tujuan Pembahasan


Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario lima, modul dua puluh enam
(Penyakit Tropis) tentang Infeksi Nosokomial.
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi
ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik

1.3 Metode dan Teknik


Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan

dalam

pembahasan-pembahasan

makalah

sederhana,

yaitu

dengan

menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Skenario
Infeksi Nosokomial
Seorang pasien umur 65 tahun dirawat diruang ICU rumah sakit A dengan penyakit non
infeksi. Setelah hari ke 5 perawatan pasien mengalami demam, sensorium compos mentis,
temperatur: 38,50C, Pols: 108x/menit, RR: 28x/i. Pada pasien terpasang infus, kateter dan
ada lima orang penderita lain di ruangan ICU tanpa prosedur aseptik. Hasil laboratorium:
darah rutin dalam batas normal kecuali leukosit 12.000mg/dl.

2.2 Learning Objectives


1. Mahasiswa mengetahui, memahami dan menjelaskan defenisi infeksi nosokomial
2. Mahasiswa mengetahui, memahami dan menjelaskan etiologi dan Faktor resiko infeksi
nosokomial
3. Mahasiswa mengetahui, memahami dan menjelaskan Cara Penularan infeksi
nosokomial
4. Mahasiswa mengetahui, memahami dan menjelaskan pengendalian infeksi nosokomial
5. Mahasiswa mengetahui, memahami dan menjelaskan pencegahan infeksi nosokomial
6. Mahasiswa mengetahui, memahami dan menjelaskan kewaspadaan universal

2.3 Infeksi Nosokomial


2.3.1 Definisi Infeksi Nosokomial
Infeksi adalah kolonisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap organisme
inang, dan bersifat pilang membahayakan inang. Organisme penginfeksi, atau patogen,
menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat memperbanyak diri, yang pada
akhirnya merugikan inang. Patogen mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat
pada luka kronik, gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian. Respons inang
terhadap infeksi disebut peradangan. Secara umum, patogen umumnya dikategorikan
sebagai organisme mikroskopik, walaupun sebenarnya definisinya lebih luas, mencakup
bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan viroid.
Infeksi Nosokomial (Nosocomial Infections) adalah infeksi yang didapat penderita
ketika penderita itu dirawat disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas, klinik,
4

maupun rumah sakit. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan
tanda infeksi kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi
sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72
jam pasien berada dirumah sakit baru dapat disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien
selama dia dirawat di rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam
pasien berada di rumah sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien
masuk ke rumah sakit (Olmsted RN, 1996, Ducel, G, 2002).
Health-care Associated Infections (HAIs) merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial
atau disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit Hospital-Acquired Infections merupakan
persoalan serius karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung
kematian pasien. Kalaupun tak berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga
pasien harus membayar biaya rumah sakit yang lebih banyak.
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok
yang berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien
kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga
maupun dari petugas kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan
angka morbiditas, mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah
sakit.
Infeksi nosokomial bersumber pada peralatan kedokteran, makanan minuman, udara,
debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat, bidan, laboran, staff,
pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di lingkungan sarana pelayanan
kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih banyak lagi yang berada di lingkungan sarana
pelayanan kesehatan.
Dalam kasus ini, jenis yang paling sering adalah infeksi luka bedah, infeksi saluran
kemih, dan saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia). Tingkat paling tinggi terjadi di
unit perawatan khusus, ruang rawat bedah dan ortopedi serta pelayanan obstetri (seksio
sesarea). Tingkat paling tinggi dialami oleh pasien usia lanjut, mereka yang mengalami
penurunan kekebalan tubuh (HIV/AIDS, pengguna produk tembakau, penggunaan
kortikosteroid kronis), TB yang resisten terhadap berbagai obat dan mereka yang
menderita penyakit bawaan yang parah.
2.3.2

Epidemiologi
5

Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di


negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi
masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO
menunjukka n bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi
nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak10,0% (Ducel, G, 2002) .
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat pesat
pada 3 dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin
meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised, bakteri yang resisten
antibiotik, super infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif, masih menyebabkan infeksi
nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap tahunnya walaupun
(Light RW, 2001).
Laporan-laporan rumah sakit di Indonesia yang menunjukkan infeksi nosokomial
berupa infeksi luka operasi adalah di R.S. Hasan Sadikin Bandung 9,9% (1991, Warko), di
R.S. Pirngadi Medan 13,92% (1987), R.S. Dr. Karyadi Semarang 7,3% (1984),
R.S.Dr.Soetomo Surabaya 5,32% (1988) dan RSCM 5,4% (1989). Infeksi luka operasi ini
semuanya untuk kasus-kasus bersih dan bersih tercemar yang dioperasi (Depkes RI
Jakarta, 1995).
2.3.3 Pembagian infeksi nosokomial
1. Infeksi saluran kemih ( UTI )
Merupakan infeksi nosokomial yg paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi saluran
kemih ini berhubungan dengan pemasangan kateter. Infeksi saluran kemih jarang
menyebabkan kematian dibandingkan infeksi nosokomial lainnya. Tetapi kadang-kadang
dapat menyebabkan bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan oleh kriteria
secara mikrobiologi. Positif apabila kultur urin 105 mikroorganisme / ml, dengan
maksimum dari dua isolat spesies bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran
cerna, misalnya E. coli ataupun didapat dari rumah sakit, misalnya Klebsiella multiresisten.

2. Infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( ILO / IDO )


Infeksi nosokomial yang sering terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5 sampai 15 %,
tergantung tipe operasi dan penyakit yang mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang
signifikan, karena memberikan dampak pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan
6

bertambah lamanya masa inap setelah operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu
ditemukan discharge purulen disekitar luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas
dari luka. Infeksi biasanya didapat ketika operasi baik secara exogen (dari udara, dari alat
kesehatan, dokter bedah dan petugas petugas lainnya), maupun endogen dari
mikroorganisme pada kulit yang diinsisi. Infeksi mikroorganisme bervariasi, tergantung
tipe dan lokasi dari operasi dan antimikroba yang diterima pasien.
3. Pneumonia nosokomial ( VAP )
Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di ICU., dimana
prevalensi terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Merupakan angka kejadian fatal yang
tinggi, yang dihubungkan dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme
berkolonisasi di saluran pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi
pada paru (pneumonia). Sering merupakan endogen, tetapi dapat juga secara exogen.
Diagnosa pneumonia berdasarkan gejala klinis dan radiologi, sputum purulen serta
timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang merupakan faktor resiko adalah tipe
dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien atau ada atau tidaknya
penggunaan antibiotik sebelumnya.
4. Bakteremia nosokomial ( BSI )
Tipe infeksi nosokomial ini merupakan proporsi kecil dari infeksi nosokomial (sekitar
5 %), tetapi angka kejadian fatal nya tinggi, lebih dari 50% untuk beberapa organisme.
Misalnya Staphylococcus Coagulase-Negative dan Candida spp. Infeksi mungkin kelihatan
pada tempat masuknya alat intravaskular atau pada subkutaneus dari pemasangan kateter.
Organisme berkolonisasi dikateter didalam pembuluh darah dapat menghasilkan
bakteremia tanpa adanya tanda- tanda infeksi dari luar. Flora normal yang sementara atau
tetap pada kulit merupakan sumber infeksi. Faktor resiko yang utama dalam
mempangaruhi infeksi nosokomial ini adalah lamanya kateterisasi, level aseptik dan
pemeliharaan yang kontiniu dari kateter.
5. Infeksi nosokomial lainnya
Merupakan infeksi nosokomial yang ke empat tersering. Sebagai contoh, misalnya :
a. Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka (luka bakar dan luka
akibat berbaring lama)
b. Gastroenteritis merupakan infeksi nosokomial tersering pada anak anak, dimana
penyebabnya terbanyak adalah rotavirus. Untuk penyebab tersering gastroenteritis
pada orang dewasa adalah Clostridium difficile, sering terdapat pada negara
berkembang.
7

c. Sinusitis dan infeksi saluran cerna lainnya, infeksi pada mata dan konjungtiva.
d. Endometritis dan infeksi lainnya dari organ reproduksi setelah melahirkan.
2.3.4 Etiologi
1. Agen Infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di rumah sakit.
Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan
gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada :
a.
b.
c.
d.

karakteristik mikroorganisme
resistensi terhadap zat-zat antibiotika
tingkat virulensi, dan
banyaknya materi infeksius

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari
orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri
(endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan
dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia dirawat di rumah
sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu
menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan
terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada
karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi,dan
banyaknya materi infeksius (Ducel, G, 2002).
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari
orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri
(endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan
dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada

manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal
(Ducel, G, 2002) .
Bakteri Penyebab Infeksi Nosokomial (Tortora et al., 1995)
Bakteri
Enterobacteriaceae
S. aureus
Enterococcus
P. aeruginosa

Persentase(%)
>40
11
10
9

Mikroorganisma Penyebab Infeksi Nosokomial (Tortora et al., 2001)


Mikroorganisme
S. aureus, Staphylococci koagulase negatif, Enterococci
E. coli, P. aeruginosa, Enterobacter spp., & K. pneumonia
C. difficile
Fungi (kebanyakan
C. Albicans)
Bakteri Gram negatif lain (Acinetobacter,

Persentase(%)
34
32
17
10
7

Citrobacter,Haemophilus)
2. Respon dan toleransi tubuh pasien

Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam
hal ini adalah umur, status imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan
malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroid serta
intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi (Babb, JR.
Liffe, AJ, 1995).
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap
infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor,
anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini
akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat
opportunistik.Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti
biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi (Babb, JR. Liffe, AJ, 1995).
Menurut Purwandari 2006, bayi mempunyai pertahanan yang lemah terhadap infeksi,
lahir mempunyai antibodi dari ibu, sedangkan sistem imunnya masih imatur. Dewasa muda
sistem imun telah memberikan pertahanan pada bakteri yang menginvasi. Pada usia lanjut,
karena fungsi dan organ tubuh mengalami penurunan, sistem imun juga mengalami
9

perubahan. Peningkatan infeksi nosokomial juga sesuai dengan umur dimana pada usia
>65 tahun kejadian infeksi tiga kali lebih sering dari pada usia muda (Purwandari, 2006).
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam
hal ini adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Usia
Status imunitas penderita
Penyakit yang diderita
Obesitas dan malnutrisi
Orang yang menggunakan obat-obatan
Imunosupresan dan steroid
Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi

Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap
infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor,
anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan AIDS. Keadaan-keadaan ini
akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat
opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti
biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi.
3. Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan
penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti
golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena dan
jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak
steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya
infeksi silang.
4. Resistensi antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 19501970, kebanyakan penyakit yang serius da n fatal ketika itu dapat diterapi dan
disembuhkan. Bagaimanapun, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan
penyalahgunaan antibiotika Maka, banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih
resisten. Peningkatan resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama pada
pasien yang immunocompromised (Ducel, G, 2002).

10

Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini meningkatkan multiplikasi serta


penyebaran strain yang resisten. Penyebab utamanya adalah penggunaan antibiotika yang
tidak sesuai dan tidak terkontrol, dosis antibiotika yang tidak optimal, terapi dan
pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat serta kesalahan diagnosa (Ducel,
G, 2002).
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah
sakit,dan menjadi sangat penting karena:
a.
b.
c.
d.

Meningkatnya jumlah penderita yang dirawat


Seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umuri
Mikroorganisme yang baru (mutasi)
Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika (Ducel, G, 2002)

Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 19501970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan.
Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan
penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten.
Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap
pasien yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri ditransmisikan antar pasien dan
faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang terusmenerus ini justru meningkatkan multiplikasi dan penyebaran strain yang resisten.
Penyebab utamanya karena :
a.
b.
c.
d.

Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol


Dosis antibiotika yang tidak optimal
Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat
Kesalahan diagnosa

Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen yang
resisten terhadap antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap
obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan
profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strain dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap banyak antibiotika,
begitu juga klebsiella dan pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten.
Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika
lini kedua belum ada atau tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah
sakit, serta menjadi sangat penting karena meningkatnya jumlah penderita yang dirawat,
seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur, mikororganisme
yang baru (mutasi), dan Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika.
11

5. Faktor alat
Suatu penelitian klinis menujukka n infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari
luka operasi dan septikemia. Penggunaan peralatan non steril juga bolehmenyebabkan
infeksi nosokomial (Ducel, G, 2002).
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi dari
kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka
operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Di
ruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus. Komplikasi
kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi
tersebut berupa :
a. Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula
b. Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat dideteksi
adanya gangguan lain
c. Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang vena
d. Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang
menghambat aliran infus
e. Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian kanula
yang ada dalam pembuluh darah
f. Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
g. Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula
intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui venaseksi, kateter yang
terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak
mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena
merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus
untuk pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada
ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia.
2.3.5

Penilaian yang digunakan untuk Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial disebut juga dengan Hospital Acquired Infection apabila

memenuhi batasan atau kriteria sebagai berikut:


1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda
klinik dari infeksi tersebut.

12

2. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi
tersebut.
3. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 324 jam sejak mulai
dirawat.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya
(Hasbullah T, 1992).
2.3.6

Cara Penularan Infeksi Nosokomial


Cara penularan infeksi nosokomial bisa berupa infeksi silang (Cross infection) yaitu

disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara
langsung atau tidak langsung. Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection) yaitu
disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri yang berpindah tempat dari satu jaringan
ke jaringan yang lain. Infeksi lingkungan (Environmental infection) yaitu disebabkan oleh
kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingku
ngan rumah sakit. Misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain (Depkes RI, 1995).
Menurut Jemes H,Hughes dkk, yang dikutip oleh Misnadiarli 1994, tentang model
cara penularan, ada 4 cara penularan infeksi nosokomial yaitu kontak langsung antara
pasien dan personil yang merawat atau menjaga pasien. Seterusnya, kontak tidak langsung
ketika objek tidak bersemangat/kondisi lemah dalam lingkungan menjadi kontaminasi dan
tidak didesinfeksi atau sterilkan, sebagai contoh perawatan luka paska operasi. Selain itu,
penularan cara droplet infection dimana kuman dapat mencapai ke udara (air borne) dan
penularan melalui vektor yaitu penularan melalui hewan/serangga yang membawa kuman
(Depkes RI, 1995).
Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata
rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen
yang diperlukan sehingga terjadi penularan adalah :
1. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan
infeksi. Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia, jamur dan parasit.
Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load).
2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan
siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada manusia:
permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus dan vagina.

13

3. Port of exit (Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir.
Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan
kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi dari
reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :
a. Kontak (contact transmission) :
Direct/Langsung: kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara

fisik pada saat pemeriksaan fisik, memandikan pasien.


Indirect/Tidak langsung (paling sering) : kontak melalui objek (benda/alat)

perantara : melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci.


b. Droplet : partikel droplet > 5 m melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek,
tidak bertahan lama di udara, deposit pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut
contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib),
Virus Influenza, mumps, rubella
c. Airborne : partikel kecil ukuran < 5 m, bertahan lama di udara, jarak penyebaran
jauh, dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis, virus campak,
Varisela (cacar air), spora jamur
d. Melalui Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan
kehidupan kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu
yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan
e. Melalui Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat
menularkan kuman penyebab cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun
kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh: nyamuk, lalat,
pinjal/kutu, binatang pengerat
5. Port of entry (Pintu masuk) adalah tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu
(yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui : saluran pernafasan, saluran pencernaan,
saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).
6. Pejamu rentan (suseptibel) adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang
cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit. Faktor yang
mempengaruhi: umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang
luas, trauma atau pembedahan, pengobatan imunosupresan. Sedangkan faktor lain
yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status
ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.
2.3.7

Pencegahan terjadinya Infeksi Nosokomial


Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat penting untuk

melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi
14

karena dirawat, bertugas, juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi,
Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi &
Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi.
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu,
agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi faktor
resiko pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden
terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan. Strategi
pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari :
1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat berupa pemberian imunisasi aktif (contoh
vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi
kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya
tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun kimiawi.
Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak
makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk
mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan
petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan
ini telah disusun dalam suatu Isolation Precautions (Kewaspadaan Isolasi) yang
terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu Standard Precautions (Kewaspadaan Standar)
dan Transmission based Precautions (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/PEP) terhadap
petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui
darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas
pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah
hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.
Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi,
monitoring dan program yang termasuk :
1. Membatasi transmisi organisme dari atau antara pasien dengan cara mencuci tangan
dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan
disinfektan.
2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.

15

3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang


cukup, dan vaksinasi.
4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.
5. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.
Terdapat pelbagai pencegahan yang perlu dilakukan untuk mencegah infeksi
nosokomial. Antaranya adalah dikontaminasi tangan dimana transmisi penyakit melalui
tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada
kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti
kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai
pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Penggunaan sarung tangan
sangat dianjurkan apabila melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan yang
dirawat di rumah sakit (Louisiana, 2002).
Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% suntikan yang dilakukan
di negara berkembang tidak aman contohnya adalah jarum, tabung atau keduanya yang
dipakai secara berulang-ulang. Untuk mencegah penyebaran infeksi melalui jarum suntik
maka diperlukan, penggunaan jarum yang steril dan penggunaan alat suntik yang
disposabel. Masker digunakan sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan
melalui udara. Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah,
cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan harus selalu diganti untuk setiap
pasiennya, baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama kita
melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses
(Louisiana, 2002).
Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa rumah sakit sangat
bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Administrasi rumah sakit
harus ada waktu yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu,
jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali. Usahakan
pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah atau
bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan
udara yang baik boleh menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis. Selain itu,
rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga kebersihan
pemprosesan serta filternya untuk mencegah terjadinya pertumbuhan bakteri. Toilet rumah
sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien diare untuk mencegah
terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan
(Wenzel, 2002).
16

Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat suatu
pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang
penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan
kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus, seperti HIV serta pasien yang
mempunyai resistensi rendah seperti leukimia juga perlu diisolasi agar terhindar dari
infeksi. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi udara yang menuju keluar
(Babb, JR. Liffe, AJ, 1995).
Yang perlu diperhatikan dalam pencegahan infeksi nosokomial luka operasi adalah
harus melakukan pemeriksaan terhadap pasien operasi sebelum pasien masuk/dirawat di
rumah sakit yaitu dengan memperbaikan keadaan pasien, misalnya gizi. Sebelum operasi,
pasien operasi dilakukan dengan benar sesuai dengan prosedur, misalnya pasien harus
puasa, desinfeksi daerah operasi dan lain-lain. Pada waktu operasi semua petugas harus
mematuhi peraturan kamar operasi yaitu bekerja sesuai SOP (standard operating
procedure) yaitu dengan perhatikan waktu/lama operasi. Seterusnya, pasca operasi harus
diperhatikan perawatan alat-alat bantu yang terpasang sesudah operasi seperti kateter, infus
dan lain-lain (Farida Betty, 1999).

2.3.8

Pengendalian Infeksi
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu,

agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor
resiko pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden
terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan. Strategi
pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:
1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat pemberian imunisasi aktif (contoh
vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi
kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya
tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun kimiawi.
Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak
makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.

17

3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk
mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan
petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/PEP) terhadap
petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui
darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas
pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah
hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.
2.3.9

Kewaspadaan Universal
Sejak AIDS diketahui, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal (KU)

dikembangkan. Kebijakan ini menganggap bahwa setiap darah dan cairan tertentu lain
dapat mengandung infeksi, tidak memandang status sumbernya. Lagi pula, semua alat
medis harus dianggap sebagai sumber penularan, dan penularan dapat terjadi pada setiap
layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi dan persalinan, pada setiap tingkat
(klinik dan puskesmas sampai dengan rumah sakit rujukan). Harus ditekankan bahwa
kewaspadaan universal dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV
tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat parah dan sebetulnya lebih
mudah menular, mis. virus hepatitis B dan C. Petugas layanan kesehatan harus menerapkan
kewaspadaan universal secara penuh dalam hubungan dengan SEMUA pasien. Kita
biasanya menganggap cairan yang dapat menular HIV sebagai darah, cairan kelamin dan
ASI saja. Namun ada cairan lain yang dapat mengandung kumanlain, dan dalam sarana
kesehatan, lebih banyak cairan tubuh biasanya tersentuh. Contohnya, walaupun tinja tidak
mengandung HIV, cairan berikut mengandung banyak kuman lain:
a.
b.
c.
d.
e.

Nanah
Cairan ketuban
Cairan limfa
Ekskreta: air seni, tinja
dll...
Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi

kepada pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan dengan benar dapat
menurunkan risiko transmisi dari pasien infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi
adalah menurunkan transmisi mikroba infeksius diantara

petugas dan pasien.

Kewaspadaan Isolasi harus diterapkan kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara


menunggu hasil laboratorium keluar. Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :
18

1. Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan standar berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi,
setiap waktu di semua unit pelayanan kesehatan. Kewaspadaan standar disusun untuk
mencegah kontaminasi silang sebelum diagnosis diketahui dan beberapa merupakan
praktek rutin, meliputi :
a. Kebersihan tangan/Hand hygiene
b. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung),
face shield (pelindungwajah), dan gaun
c. Peralatan perawatan pasien
d. Pengendalian lingkungan
e. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
f. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan
g. Penempatan pasien
h. Hygiene respirasi/Etika batuk
i. Praktek menyuntik yang aman
j. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi
2. Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi
Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan pada
pasien gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular yang
dapat ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak kulit atau permukaan terkontaminasi.
Tiga jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi :
a. Kewaspadaan transmisi kontak
b. Kewaspadaan transmisi droplet
c. Kewaspadaan transmisi airborne
Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun
kombinasi karena suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.
3. Kewaspadaan Transmisi Kontak
a. Penempatan pasien :
Kamar tersendiri atau kohorting ( Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri
mencegah HAIs)
Kohorting ( management MDRo )
b. APD petugas :
Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak bahan infeksius,
lepaskan sarung tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan
menggunakan antiseptik
Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruanga
c. Transport pasien :
Batasi kontak saat transportasi pasien
4. Kewaspadaan Transmisi Droplet
a. Penempatan pasien :
Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m
19

Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka


b. APD petugas :
Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien
c. Transport pasien :
Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi
Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
5. Kewaspadaan Transmisi Udara/Airborne
a. Penempatan pasien :
Di ruangan tekanan negatif
Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol
Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA
Pintu harus selalu tertutup rapat.
Kohorting
Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting jarak

>1 m
Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah

penyebaran
Ventilasi airlock ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal)
Terpisah jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang
b. APD petugas :
Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur
Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien,
Gaun
Goggle
Sarung tangan (bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)
c. Transport pasien :
Batasi transportasi pasien, pasien harus pakai masker saat keluar ruangan
Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
Catatan :
Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di
ruang yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.
Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi
Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat perawatan
pasien rawat inap, sehingga perlu diterapkan hal-hal berikut :
a. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari
seluruh pasien
b. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu lainnya
c. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
d. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius

20

e. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak darah dan cairan tubuh serta
barang yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung
tangan. Ganti sarung tangan antara pasien
f. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang
pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan
obtainer/container pasien lainnya
g. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
h. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah
dibersihkan dan didisinfeksi benar
Jadi, upaya pencegahan infeksi nosokomial oleh tenaga kesehatan termasuk bidan
diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk :
a. Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan
dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik, sterilisasi dan
disinfektan.
b. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
c. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang
cukup, dan vaksinasi.
d. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.
e. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit, dan mengontrol penyebarannya.
Terdapat beberapa prosedur dan tindakan pencegahan infeksi nosokomial. Tindakan
ini merupakan seperangkat tindakan yang didesain untuk membantu meminimalkan resiko
terpapar material infeksius seperti darah dan cairan tubuh lain dari pasien kepada tenaga
kesehatan atau sebaliknya. Menurut Zarkasih, pencegahan infeksi didasarkan pada asumsi
bahwa seluruh komponen darah dan cairan tubuh mempunyai potensi menimbulkan infeksi
baik dari pasien ke tenaga kesehatan atau sebaliknya. Kunci pencegahan infeksi pada
fasilitas pelayanan kesehatan adalah mengikuti prinsip pemeliharaan hygene yang baik,
kebersihan dan kesterilan dengan lima standar penerapan yaitu:
a. Mencuci tangan untuk menghindari infeksi silang. Mencuci tangan merupakan
metode yang paling efektif untuk mencegah infeksi nosokomial, efektif mengurangi
perpindahan mikroorganisme karena bersentuhan
b. Menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari kontak dengan darah atau
cairan tubuh lain. Alat pelindung diri meliputi; pakaian khusus (apron), masker,
sarung tangan, topi, pelindung mata dan hidung yang digunakan di rumah sakit dan
bertujuan untuk mencegah penularan berbagai jenis mikroorganisme dari pasien ke
tenaga kesehatan atau sebaliknya, misalnya melaui sel darah, cairan tubuh, terhirup,
tertelan dan lain-lain.
21

c. Manajemen alat tajam secara benar untuk menghindari resiko penularan penyakit
melalui benda-benda tajam yang tercemar oleh produk darah pasien. Terakit dengan
hal ini, tempat sampah khusus untuk alat tajam harus disediakan agar tidak
menimbulkan injuri pada tenaga kesehatan maupun pasien.
d. Melakukan dekontaminasi, pencucian dan sterilisasi instrumen dengan prinsip yang
benar. Tindakan ini merupakan tiga proses untuk mengurangi resiko tranmisi
infeksi dari instrumen dan alat lain pada klien dan tenaga kesehatan.
Unsur kewaspadaan universal yang berikut melindungi terhadap tindakan ini:
1. Cuci tangan
2. Pakai alat pelindung yang sesuai
3. Pengelolaan alat tajam (disediakan tempat khusus untuk membuang jarum suntik dan
semprit)
4. Dekontaminasi, sterilisasi, disinfeksi
5. Pengelolaan limbah
Alat pelindung
Unsur kedua kewasapadaan universal adalah penggunaan alat pelindung yang sesuai
tindakan. Alat yang dibutuhkan dapat hanya sarung tangan (mis. untuk ambil darah) hingga
semua alat ini yang dibutuhkan oleh seorang bidan waktu membantu kelahiran. Namun
perawat yang hanya menyentuh pasien tidak membutuhkan sarung tangan yang penting
cuci tangan sebelum dan sesudahnya.
a.
b.
c.
d.
e.

Sarung tangan
Celemek
Masker pelindung muka
Kacamata
Pelindung kaki

2.3.10 Sterilisasi dan Desinfeksi


A. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan upaya pembunuhan atau pengahncuran semua bentuk
kehidupan mikroba yang dilakukan dirumah sakit melalui proses fisik maupun kimiawi.
Strelisisasi juga dapat dikatakan sebagai tindakan untuk membunuh kuman pathogen atau
apatogen beserta spora yang terdapat pada alat perawatan atau kedokteran dengan cara
merembus, menggunakan panas tinggi, atau bahan kimia. Sterilisasai adalah tahap awal
yang penting dari proses pengujian mikrobiologi. Ada 5 metode umum sterilisasi yaitu :
a. Sterilisasi uap (panas lembap)
b. Sterilisasi panas kering
22

c. Sterilisasi dengan penyaringan


d. Sterilisasi gas
e. Sterilisasi dengan radiasi
1. Sterilisasi Uap
Sterilisasi uap dilakukan dengan autoklaf menggunakan uap air dalam tekanan sebagai
pensterilnya. Bila ada kelembapan (uap air) bakteri akan terkoagulasi dan dirusak pada
temperature yang lebih rendah dibandingkan bila tidak ada kelembapan. Mekanisme
penghancuran bakteri oleh uap air panas adalah karena terjadinya denaturasi dan koagulasi
beberapa protein esensial dari organism tersebut :
Prinsip cara kerja autoklaf
Seperti yang telah dijelaskan sebagian pada bab pengenalan alat, autoklaf adalah alat
untuk mensterilkan berbagai macam alat & bahan yang menggunakan tekanan 15 psi (2
atm) dan suhu 1210 C. Untuk cara kerja penggunaan autoklaf telah disampaikan di depan.
Suhu dan tekanan tinggi yang diberikan kepada alat dan media yang disterilisasi
memberikan kekuatan yang lebih besar untuk membunuh sel dibanding dengan udara
panas. Biasanya untuk mesterilkan media digunakan suhu 121o C dan tekanan 15 lb/in2 (SI
= 103,4 Kpa) selama 15 menit. Alasan digunakan suhu 121 o C atau 249,8o F adalah karena
air mendidih pada suhu tersebut jika digunakan tekanan 15 psi. Untuk tekanan 0 psi pada
ketinggian di permukaan laut (sea level) air mendidih pada suhu 100 o C, sedangkan untuk
autoklaf yang diletakkan di ketinggian sama, menggunakan tekanan 15 psi maka air akan
memdididh pada suhu 121o C. Ingat kejadian ini hanya berlaku untuk sea level, jika
dilaboratorium terletak pada ketinggian tertentu, maka pengaturan tekanan perlu disetting
ulang. Misalnya autoklaf diletakkan pada ketinggian 2700 kaki dpl, maka tekanan
dinaikkan menjadi 20 psi supaya tercapai suhu 121 o C untuk mendidihkan air. Semua
bentuk kehidupan akan mati jika dididihkan pada suhu 121o C dan tekanan 15 psi selama
15 menit.
Pada saat sumber panas dinyalakan, air dalam autoklaf lama kelamaan akan mendidih
dan uap air yang terbentuk mendesak udara yang mengisi autoklaf. Setelah semua udara
dalam autoklaf diganti dengan uap air, katup uap/udara ditutup sehingga tekanan udara
dalam autoklaf naik. Pada saat tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses
sterilisasi dimulai dantimer mulai menghitung waktu mundur. Setelah proses sterilisasi
selesai, sumber panas dimatikan dan tekanan dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0
psi. Autoklaf tidak boleh dibuka sebelum tekanan mencapai 0 psi.
23

Untuk mendeteksi bahwa autoklaf bekerja dengan sempurna dapat digunakan mikroba
pengguji

yang

bersifat

termofilik

dan

memiliki

endospora

yaitu

Bacillus

stearothermophillus,lazimnya mikroba ini tersedia secara komersial dalam bentuk spore


strip. Kertas spore strip ini dimasukkan dalam autoklaf dan disterilkan. Setelah proses
sterilisai lalu ditumbuhkan pada media. Jika media tetap bening maka menunjukkan
autoklaf telah bekerja dengan baik.
2. Sterilisasi Panas Kering
Sterilisasi panas kering biasanya dilakukan dengan menggunakan oven pensteril karena
panas kering kurang efektif untuk membunuh mikroba dibandingkan dengan uap air panas
maka metode ini memerlukan temperature yang lebih tinggi dan waktu yang lebih panjang.
Sterilisasi panas kering biasanya ditetapkan pada temperature 160-1700C dengan waktu 1-2
jam.
Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa-senyawa yang tidak
efektif untuk disterilkan dengan uap air panas, karena sifatnya yang tidak dapat ditembus
atau tidak tahan dengan uap air.Senyawa-senyawa tersebut meliputi minyak lemak, gliserin
(berbagai jenis minyak), dan serbuk yang tidak stabil dengan uap air.Metode ini juga
efektif untuk mensterilkan alat-alat gelas dan bedah.
Karena suhunya sterilisasi yang tinggi sterilisasi panas kering tidak dapat digunakan
untuk alat-alat gelas yang membutuhkan keakuratan (contoh:alat ukur) dan penutup karet
atau plastik.
3. Sterilisasi dengan penyaringan
Sterilisasi dengan penyaringan dilakukan untuk mensterilisasi cairan yang mudah rusak
jika terkena panas atu mudah menguap (volatile). Cairan yang disterilisasi dilewatkan ke
suatu saringan (ditekan dengan gaya sentrifugasi atau pompa vakum) yang berpori dengan
diameter yang cukup kecil untuk menyaring bakteri. Virus tidak akan tersaring dengan
metode ini.
4. Sterilisasi gas
Sterilisasi gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh
mikroorganisme dan sporanya. Meskipun gas dengan cepat berpenetrasi ke dalam pori dan
serbuk padat. Sterilisasi adalah fenomena permukaan dan mikroorganisme yang terkristal
akan dibunuh. Sterilisasi gas biasanya digunakan untuk bahan yang tidak bisa difiltrasi,
tidak tahan panas dan tidak tahan radiasi atau cahaya.
5. Sterilisasi dengan radiasi

24

Radiasi sinar gama atau partikel elektron dapat digunakan untuk mensterilkan jaringan
yang telah diawetkan maupun jaringan segar. Untuk jaringan yang dikeringkan secara
liofilisasi, sterilisasi radiasi dilakukan pada temperatur kamar (proses dingin) dan tidak
mengubah struktur jaringan, tidak meninggalkan residu dan sangat efektif untuk
membunuh mikroba dan virus sampai batas tertentu. Sterilisasi jaringan beku dilakukan
pada suhu -40o Celsius. Teknologi ini sangat aman untuk diaplikasikan pada jaringan
biologi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada sterilisasi, di antaranya:
a. Sterilisator (alat untuk mensteril) harus siap pakai, bersih dan masih berfungsi.
b. Peralatan yang akan disterilisasi harus dibungkus dan diberi label yang jelas dengan
c.
d.
e.
f.

menyebutkan jenis peralatan, jumlah, tanggal pelaksanaan steril.


Penataan alat harus berprinsip semua bagian dapat steril.
Tidak boleh menambah peralatan dalam sterilisator sebelum waktu mensteril selesai.
Memindahkan alat steril ke dalam tempatnya dengan korentang steril.
Saat mendinginkan alat steril tidak boleh membuka pembungkusnya, bila terbuka
harus dilakukan sterilisasi ulang.

B. Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen pada objek
yang tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri. Desinfeksi juga dikatakan
suatu tindakan yang dilakukan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak
dengan membunuh spora yang terdapat pada alat perawatan ataupun kedokteran.
Desinfeksi dilakukan dengan menggunakan bahan desinfektan melalui cara mencuci,
mengoles, merendam dan menjcmur dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi, dan
mengondisikan alat dalam keadaan siap pakai.
Kemampuan desinfeksi ditentukan oleh waktu sebelum pembersihan objek,
kandungan rat organik, tipe dan tingkat kontaminasi mikroba, konsentrasi dan waktu
pemaparan, kealamian objek, suhu, dan derajat keasaman (pH).
Disinfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan dan bahan
ini dinamakan antiseptik. Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau
menghancurkan mikroorganisme pada jaringan hidup, sedang desinfeksi digunakan pada
benda mati. Desinfektan dapat pula digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya
tergantung dari toksisitasnya.
Desinfektan akan membantu mencegah infeksi terhadap pasien yang berasal dari
peralatan maupun dari staf medis yang ada di RS dan juga membantu mencegah
25

tertularnya

tenaga medis

oleh penyakit pasien. Disinfektan dapat membunuh

mikroorganisme patogen pada benda mati.


Kriteria desinfeksi yang ideal:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Bekerja dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar


Aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organik, pH, temperatur dan kelembaban
Tidak toksik pada hewan dan manusia
Tidak bersifat korosif
Tidak berwarna dan meninggalkan noda
Tidak berbau/ baunya disenangi
Bersifat biodegradable/ mudah diurai
Larutan stabil
Mudah digunakan dan ekonomis
Aktivitas berspektrum luas

Tujuan dari sterilisasi dan desinfeksi adalah:


a.
b.
c.
d.

Mencegah terjadinya infeksi


Mencegah makanan menjadi rusak
Mencegah kontaminasi mikroorganisme dalam industry
Mencegah kontaminasi terhadap bahan- bahan yg dipakai dalam melakukan biakan
murni.

Hasil proses desinfeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor:


a.
b.
c.
d.
e.
f.

Beban organik (beban biologis) yang dijumpai pada benda.


Tipe dan tingkat kontaminasi mikroba.
Pembersihan/dekontaminasi benda sbelumnya.
Konsentrasi desinfektan dan waktu pajanan.
Struktur fisik benda.
Suhu dan PH dari proses desinfeksi

Terdapat 3 tingkat desinfeksi:


a. Desinfeksi tingkat tinggi
Membunuh semua organisme dengan perkecualian spora bakteri.
b. Desinfeksi tingkat sedang
Membunuh bakteri kebanyakan jamur kecuali spora bakteri.
c. Desinfeksi tingkat rendah
Membunuh kebanyakan bakteri beberapa virus dan beberapa jamur tetapi tidak
dapat membunuh mikroorganisme yang resisten seperti basil tuberkel dan spora
bakteri.

26

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita itu dirawat
disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas, klinik, maupun rumah sakit, biasanya
gejala timbul 72 jam pasca penderita dirawat di pelayanan kesehatan tersebut.
Infeksi nosokomial dapat bersumber pada peralatan kedokteran, makanan minuman,
udara, debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat, bidan, laboran, staff,
27

pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di lingkungan sarana pelayanan
kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih banyak lagi yang berada di lingkungan sarana
pelayanan kesehatan
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan terjadinya
infeksi nosokomial. Yang perlu menjadi fokus perhatian dalam upaya ini adalah rantai
penularan infeksi. Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena
apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau
dihentikan.
Penelaahan tentang rantai penularan infeksi melahirkan suatu upaya pencegahan
berupa kewaspadaan isolasi, yang meliputi kewaspadaan standar dan kewaspadaan
transmisi.

3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VII/2014
dalam penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wodoyono. 2011. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, pencegahan &


pemberantasannya. Semarang; Erlangga
2. Sudoyo Aru, Dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi V. Jakarta;
interna Publishing
3. (online), tersedia :

http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-800-

BABI.pdf (Selasa, 05 Januari 2015)


4. (online), tersedia : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21521/4/Chapter
%20II.pdf (Selasa, 05 Januari 2015)
5. (online), tersedia : http://spiritia.or.id/cst/dok/ku1.pdf (Selasa, 05 Januari 2015)
28

29

Anda mungkin juga menyukai

  • Dokumen Kredensial
    Dokumen Kredensial
    Dokumen10 halaman
    Dokumen Kredensial
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • 16.c. BENDA ASING DI TELINGA
    16.c. BENDA ASING DI TELINGA
    Dokumen5 halaman
    16.c. BENDA ASING DI TELINGA
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Perbankan Dan Asuransi Syariah
    Perbankan Dan Asuransi Syariah
    Dokumen10 halaman
    Perbankan Dan Asuransi Syariah
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • LAPSUS & SOP Tetanus
    LAPSUS & SOP Tetanus
    Dokumen16 halaman
    LAPSUS & SOP Tetanus
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • 9.a. Kuliah Kekhususan Trauma Tempur
    9.a. Kuliah Kekhususan Trauma Tempur
    Dokumen62 halaman
    9.a. Kuliah Kekhususan Trauma Tempur
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Intoksikasi Narkotika, Obat
    Intoksikasi Narkotika, Obat
    Dokumen65 halaman
    Intoksikasi Narkotika, Obat
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Tinnitus
    Lapsus Tinnitus
    Dokumen22 halaman
    Lapsus Tinnitus
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • LAPSUS Pedikulosis
    LAPSUS Pedikulosis
    Dokumen11 halaman
    LAPSUS Pedikulosis
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • 16.a. Benda Asing Di Esofagus
    16.a. Benda Asing Di Esofagus
    Dokumen38 halaman
    16.a. Benda Asing Di Esofagus
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Intoksikasi Narkotika, Obat
    Intoksikasi Narkotika, Obat
    Dokumen65 halaman
    Intoksikasi Narkotika, Obat
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • 25.b. BUNUH DIRI
    25.b. BUNUH DIRI
    Dokumen36 halaman
    25.b. BUNUH DIRI
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Trauma Okulli
    Trauma Okulli
    Dokumen90 halaman
    Trauma Okulli
    guestar
    Belum ada peringkat
  • Syok Anafilaksis
    Syok Anafilaksis
    Dokumen29 halaman
    Syok Anafilaksis
    uut14
    Belum ada peringkat
  • Airway & Breathing
    Airway & Breathing
    Dokumen61 halaman
    Airway & Breathing
    guestar
    Belum ada peringkat
  • Fix Cover
    Fix Cover
    Dokumen3 halaman
    Fix Cover
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Proposal Donor Darah Edit
    Proposal Donor Darah Edit
    Dokumen13 halaman
    Proposal Donor Darah Edit
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • BAB I (Repaired)
    BAB I (Repaired)
    Dokumen22 halaman
    BAB I (Repaired)
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Kedaruratan Obgin
    Kedaruratan Obgin
    Dokumen12 halaman
    Kedaruratan Obgin
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Trauma Thorax 2
    Trauma Thorax 2
    Dokumen55 halaman
    Trauma Thorax 2
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen3 halaman
    Kata Pengantar
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • PENILAIAN
    PENILAIAN
    Dokumen3 halaman
    PENILAIAN
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Sistem Imun
    Sistem Imun
    Dokumen21 halaman
    Sistem Imun
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • PENILAIAN
    PENILAIAN
    Dokumen3 halaman
    PENILAIAN
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Abortus
    Abortus
    Dokumen30 halaman
    Abortus
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Fix Cover
    Fix Cover
    Dokumen3 halaman
    Fix Cover
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • BAB I (Repaired)
    BAB I (Repaired)
    Dokumen14 halaman
    BAB I (Repaired)
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapkas
    Cover Lapkas
    Dokumen1 halaman
    Cover Lapkas
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Cedera Kongenital
    Cedera Kongenital
    Dokumen16 halaman
    Cedera Kongenital
    -NurmayuImdaSimatupang-
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Nosokomial
    Infeksi Nosokomial
    Dokumen22 halaman
    Infeksi Nosokomial
    -NurmayuImdaSimatupang-
    100% (1)