Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam
suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan
dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas untuk berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan
tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam
saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam
anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat
berjalan dengan lancar serta teratur. Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah
ekstubasi. Dalam pelaksanaan ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang
merupakan komplikasi yang sering kita temui

pasca anestesi. Komplikasi bisa

terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi seperti : pengeluaran sekret dari mulut


yang menyumbat jalan napas, edema laring, dan bisa terjadi spasme laring.
Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa menyebabkan hipoventilasi dan
hipoksemia.
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah
keadaan yang lebih buruk. Tulisan ini akan membahas tentang Evaluasi dan
Penganan Jalan Nafas, komplikasi yang terjadi dan cara penanganannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Selain membuat pasien tidak merasa nyeri, tidak ada karakteristik terbaik
untuk seorang dokter anestesi selain kemampuan penanganan jalan nafas dan
pernafasan pasien. Keberhasilan intubasi, ventilasi, krikotirotomi dan anestesi
regional untuk laring memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas.

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis).
Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi kemudian
bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 5-1). Faring berbentuk U
dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju
kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam
rongga hidung, mulut, laring,

nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars

laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke


posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan
2

menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka
kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar
5-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 5-3).
Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V 1)
saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi
maxila (V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori
dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari
palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi mandibula
[V3] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi
umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian posterior lidah. Cabang
dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa di daerah tersebut.
Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil dan bagian dalam
palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi jalan nafas dibawah
epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus dibagi
menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan saraf laringeus internal
yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus
yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara
dan trakhea.

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf
laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh saraf
laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita suara, seraya
otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.
Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring. Kerusakan
saraf motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan bicara (tabel 5-1).
Gangguan persarafan unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan gangguan klinis.
Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal superior bisa menyebabkan suara serak
atau suara lemah, tapi tidak membahayakan kontrol jalan nafas.
Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari
pita suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf
laringeal superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral dapat
menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan dari otot
krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis saraf laringeal
rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti atropi dari otot
laringeal).
Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal
rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara flasid
dan midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun fonasi
terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang terjadi masalah.
4

Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri
krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari
arteri karotis externa dan menyilang pada membran krikotiroid bagian atas, yang
memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior
ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid. Ketika merencanakan
krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan arteri tiroid harus dipertimbangkan
tetapi jarang berefek pada praktek klinis. Teknik paling baik adalah untuk tetap pada
garis tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.

2.2 Alat-alat
2.2.1 Oral & Nasal Airway
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot
genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh
kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi kepala atau jaw thrust
merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan jalan nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat
dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara
antara lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar
atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat
memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intak. Pemasangan oral
airway kadang-kadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadangkadang dengan menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya
berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar
(100 mm/Guedel no 5).
5

Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung
ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan
adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang
diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan digunakan
pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan melalui hidung
(nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway
lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan anestesi ringan.
2.2.2 Teknik dan Bentuk Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem pernafasan ke pasien dengan pemasangan face mask yang rapat
(gambar 5-5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka pasien.
Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui konektor.
Tersedia berbagai model face mask. Face mask yang transparan

dapat

mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan. Face mask yang dibuat dari karet
berwarna hitam cukup lunak untuk menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak
umum. Retaining hook dipakai untuk mengaitkan head scrap sehingga face mask
tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam face mask untuk pediatrik di disain
untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask
yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan
adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang
6

tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan
adanya obstruksi jalan nafas.

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face
mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu
jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi sendi
atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak
yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking
ditempatkan dibawah sudut rahang dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang
paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust
yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk
memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena
tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang
sulit memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya
(tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin
dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan

normalnya jangan

melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung.


Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan
oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat
menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial.
Disebabkan tidak adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas spontan,
hanya diperlukan tekanan minimal pada face mask supaya tidak bocor. Bila face
mask dan ikatan masker digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus
diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.
2.2.3 Teknik dan Bentuk Laryngeal Mask Airway (LMA)
Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan
TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT
pada pasien dengan jalan nafas yang sulit, dan untuk membantu ventilasi selama
bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan
istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan
combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang,
LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk
memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan
Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang
sulit.

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm, dan
dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat pipa.
Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara membuta ke
hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah ada di muara
laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam dibandingkan untuk
memasukan oral airway. Walaupun pemasangannya relatif mudah (gambar 5-9),
perhatian yang detil akan memperbaiki keberhasilan. (tabel 5-2). Posisi ideal dari
balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter
oesopagus bagian atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi
lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi
LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi
semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi
mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena
penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan
terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan
9

laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang


sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat
membantu. Pipa di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi
faring (tapi tidak terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan
pada tempatnya sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai
dengan batuk atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai
lagi, dapat di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam
berbagai ukuran (tabel 5-3).

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT (tabel
5-4). Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya
abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal),
atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang
memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional,
LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas
tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan
dalam trakea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronkospasme lebih
kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk
trakeal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan
jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan
10

mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA
telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet
stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).

Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT


yang lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat
dilakukan dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas
harus bebas seraya pasiennya sadar.
2.2.4 Esophageal Tracheal Combitube (ETC)
Teknik & Bentuk Pipa
Pipa kombinasi esophagus tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa,
masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang
lebih panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang transparant berukuran yang lebih
pendek punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini
11

biasanya dipasangkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2 lingkaran
hitam pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2 balon untuk
digembungkan, 100 ml untuk balon proksimal dan 15 ml untuk balon distal,
keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa yang bening
yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Pilihan lain, jika
ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening akan langsung gas
ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih terdaftar sebagai pilihan untuk
penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life Support,
biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai LMA atau
alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit.
2.2.5 Pipa Trakea (TT)
TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trakea dan
mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT
(American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT
kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda IT atau
Z-79 untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan
kekakuan dari TT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung pipa
diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita suara. Pipa
Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan
pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trakea.
Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga
dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola
dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam skala Prancis
(diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil
kompromi antara memaksimalkan aliran dengan pipa ukuran besar dan
meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.

12

Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri


dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon
(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube
dihubungkan

dengan klep. Dengan membuat trakea yang rapat, balon TT

mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan


aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan
tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya
iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama. Balon
13

tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas area


kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit ( karena
adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari kerusakan
mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.
Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,
diameter balon yang berhubungan dengan trakea, trakea dan komplians balon, dan
tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan balon
dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N 2O dari mukosa
trakeal ke balon TT.
TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,
spiral, wire reinforced TT (armored tubes), TT tidak kinking dipakai pada operasi
kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja
menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan menggigit
pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus lainnya
termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double lumen
tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radio opak yang
mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trakea.
2.2.6 Rigid Laryngoscope
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas
intubasi trakea. Handle biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung
blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya
dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

14

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang


MRI. Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan
dari blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan
karena tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan
ahli dengan bentuk blade yang beragam.

15

2.2.7 Laringoskop Khusus


Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk
membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas yang
sulit- Laringokop Bullard dan laringoskop Wu.

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung


dengan ujung yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis
pada pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior.
Banyak dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang
memiliki jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang
digunakan jalan nafas pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada
pasien normal sebelum digunakan pada saat penting dan memergensi pada pasien
dengan jalan nafas sulit.
2.2.8 Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)
Dalam beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak
stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular joint, atau dengan
16

kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi
langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan
atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibel mungkin visualisasi tidak
langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana
direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB yang dibuat dari fiberglass ini
mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya
akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.
Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000
fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya bundel)
yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan gambaran
resolusi tinggi.

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat yang


kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi O2 atau
penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk dibersihkan, akan tetapi,
sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan kehati-hatian pada pembersihan dan
sterilisasi telah digunakan.

17

2.3 Teknik Laringoskopi dan Intubasi


2.3.1 Indikasi Intubasi
Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum.
Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan
anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan untuk
akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang memiliki
resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut atau kepala
dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan untuk prosedur
operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi, perbaikan hernia
inguinal dan lain lan.
2.3.2 Persiapan Untuk Rigid Laringoskopi
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi
pasien. TT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat ditest dengan
menggembungkan balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan
balon menjamin balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi. Beberapa
dokter anestesi memotong TT untuk mengurangi panjangnya dengan tujuan untuk
mengurangi resiko dari intubasi bronkial atau sumbatan akibat dari pipa kinking.
Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk menurunkan kemungkinan terlepas,
jika mandren digunakan ini harus dimasukan ke dalam TT dan ini ditekuk
menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi dengan posisi laring ke anterior.
Blade harus terkunci di atas handle laringoskop dan bola lampu dicoba berfungsi
atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal
cahaya yang berkedap kedip karena lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk
mengganti baterai. Extra blade, handle, TT ( 1 ukuran lebih kecil atau lebih besar)
dan mandren harus disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas
pada kasus dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.

18

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid laringoskop
memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung untuk melihat
dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10 cm diatas meja
operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien pada posisi
sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari tulang leher adalah fleksi dengan
menempatkan kepala diatas bantal.
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam
dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak
mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien yang
akan di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki jalan
nafas yang sulit.

19

Setelah induksi anestesi umum, dokter anestesi menjadi pelindung pasien.


Karena anestesi umum menghilangkan reflek proteksi kornea, perlindungan harus
dilakukan selama periode ini, tidak boleh ada cedera pada mata pasien dengan terjadi
abrasi kornea tanpa disengaja. Oleh karena itu mata rutin direkat dengan plester,
walaupun telah diberi petrolum atau salep mata.
2.3.3 Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,
blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari
gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir
blade. Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus
menutupi epiglotis. Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari
mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan
blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari. TT diambil dengan tangan kanan,
dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon TT harus
berada dalam trakea bagian atas tapi dibawah laring. Langingoskop ditarik dengan
hati-hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit
20

udara yang dibutuhkan agar tidak ada kebocoran selama ventilasi tekanan positif,
untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan
pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon
yang adekuat.

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan


capnograf dimonitor untuk memastikan TT ada di intratrakeal. Jika ada keraguraguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakea, cabut lagi TT dan ventilasi
pasien dengan face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester atau
diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan capnograf
merupakan konfirmasi terbaik untuk menentukan letak TT di trakea, kita tetap tidak
dapat mengabaikan terjadinya intubasi bronkial. Manifestasi dini dari intubasi
bronkial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat dapat
dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot balon
dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid, karena lokasi
intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan
radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.

21

Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat
mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus
terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring,
regional blok saraf akan memperbaiki penerimaan pasien.

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi kembali


karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan
keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa,
pemasangan mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau
meminta bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi
dengan face mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA,
combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi, trakeostomi).

Petunjuk yang

dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk
algoritma rencana terapi.
2.3.4 Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih
gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan pembuluh
vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi, pemberian tetes
hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan hipertensi, takikardi dan
lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok saraf dapat
digunakan.
22

TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan
dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh
dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal
dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga
ujungnya terlihat di orofaring, dengan laringoskop, digunakan untuk adduksi pita
suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trachea tanpa kesulitan.
Jika ditemukan kesulitan memasukkan ujung pipa menuju pita suara mungkin
difasilitasi dengan forcep Magil, yang dilakukan dengan hati-hati agar tidak
merusakkan balon. Memasukkan TT melalaui hidung atau pemasangan kateter
nasogastrik berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan
adanya resiko masuk ke intrakranial.
2.3.5 Intubasi Nasal Fiberoptik Fleksibel
Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan pemberian tetes vasokonstriktor.
Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih mudah. O 2 dapat diinsuflasi
melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB untuk memperbaiki
oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip.
Pilihan lain, nasal airway ukuran besar (ukuran 36F) dapat dipasang dalam
lubang hidung kolateral. Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung
dari nasal airway untuk memberikan O 2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak
sadar dan tidak bernafas spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan
melalui nasal airway tunggal. Bila teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan
oksigenasi harus di konfirmasi dengan capnograph dan pulse oximetry. TT yang
telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam lubang hidung lainnya sepanjang
nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi pelicin dimasukan ke dalam lubang
TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya dinding dari TT atau membran
mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk mempertahankan tangkai bronkoskop
relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop diputar secara langsung, ujung distal
akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika ujung dari FOB masuk ujung distal
dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari bronchoskop dimanipulasi
untuk melewati pita suara yang telah abduksi.

23

Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas
adekuat dan pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat, FOB
ditarik danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw thrust atau
lakukan tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika
pasien bernafas spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi.
Sekali dalam trakea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin
trakhea dan carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB.
Sudut sekitar cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya
memasukan pipa. Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan
masalah ini disebabkan lebih besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian distal
lebih tumpul. Posisi TT yang tepat dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa
diatas karina sebelum FOB ditarik.
2.4 Teknik Ekstubasi
Menentukan saat yang tepat untuk mencabut TT merupakan sebuah seni pada
anestesiolog, yang berjalan sesuai dengan pengalaman. Hal ini merupakan bagian
yang sangat penting karena komplikasi sering terjadi selama dan segera setelah
ekstubasi dibandingkan dengan intubasi. Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan
ketika pasien sedang teranestesi dalam atau bangun. Pasien juga harus pulih
sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika

24

pelemas otot digunakan, pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik


terkontrol, maka dari itu pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelum ekstubasi.
Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun)
harus dihindari karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara
anestesi dalam dan ringan biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring :
adanya reaksi pada penyedotan (tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan,
dimana jika tidak ada reaksi menandakan anestesia dalam. Pasien membuka mata
atau bergerak yang bertujuan menandakan pasien sudah bangun.
Mengekstubasi pasien yang sudah bangun biasanya berhubungan dengan
batuk pada TT. Reaksi ini meningkatkan denyut nadi, tekanan vena sentral, tekanan
darah arteri, tekanan intrakranial, dan tekanan intraokular. Hal ini juga dapat
menyebabkan dehisensi luka dan perdarahan. Adanya TT pada pasien asma yang
sudah sadar dapat memicu bronkospasme. Meskipun konsekuensi ini dapat
diturunkan dengan premedikasi 1,5 mg/kg lidokain intravena 1-2 menit sebelum
suction dan ekstubasi, ekstubasi saat anestesia dalam lebih dianjurkan pada pasien
yang tidak dapat mentolerir hal ini. Ekstubasi menjadi kontraindikasi pada pasien
yang memiliki risiko aspirasi atau yang jalan napasnya sulit untuk dikontrol setelah
pencabutan TT.
Selain kapan TT dicabut, yakni ketika pasien teranestesi dalam atau sudah
sadar, faring pasien juga sebaiknya disuction terlebih dahulu sebelum ekstubasi
untuk mengurangi risiko aspirasi atau laringospasme. Pasien juga harus diventilasi
dengan 100% oksigen sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi kesulitan
untuk mengontrol jalan napas setelah TT dicabut. Sesaat sebelum ekstubasi, TT
dilepas dari plester dan balon dikempiskan. Pemberian sedikit tekanan positif pada
jalan napas pada kantong anestesia yang dihubungkan dengan TT dapat membantu
meniup sekret yang terkumpul pada ujung balon supaya ke luar ke arah atas, menuju
faring, yang kemudian dapat disuction. Pencabutan TT pada saat akhir ekspirasi atau
akhir inspirasi mungkin tidak terlalu penting. TT dicabut dengan satu gerakan yang
halus, dan sungkup wajah biasanya digunakan untuk menghantarkan oksigen 100%
sampai pasien menjadi cukup stabil untuk diantar ke ruang pemulihan. Pada
beberapa institusi, oksigen dengan sungkup wajah dipertahankan selama pengantaran
pasien.

25

2.5 Komplikasi Laringoskopi dan Intubasi


Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma
gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau malfungsi ETT.
Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi atau intubasi, saat ETT
dimasukkan, dan setelah ekstubasi.
2.5.1 Trauma Jalan Napas
Instrumentasi blade laringoskop berbahan metal dan insersi TT yang kaku
sering menyebabkan trauma pada selaput saluran napas. Meskipun trauma gigi ialah
malpraktik terbanyak yang diklaim terhadap anestesiologis, laringoskopi dan
intubasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi, mulai dari sakit tenggorokan
sampai stenosis trakea. Hal ini paling banyak disebabkan karena terlalu lamanya
tekanan eksternal pada struktur saluran napas yang sensitif. Ketika tekanan TT
melebihi tekanan arteriolar-kapiler (kurang lebih 30 mmHg), iskemia jaringan dapat
mengakibatkan inflamasi, ulserasi, granulasi, dan stenosis. Pengembangan balon TT
pada tekanan minimum yang membentuk segel selama ventilasi tekanan positif
(biasanya minimal 20 mmHg), mengurangi aliran darah trakea sampai 75% pada
trakea bagian balon.
Croup post intubasi, disebabkan oleh edema glotis, laring, trakea, merupakan
komplikasi yang serius pada anak-anak. Efektivitas kortikosteroid (deksametason 0,2
mg/kg, maksimum 12 mg) dalam mencegah edema jalan napas post ekstubasi masih
menjadi kontroversi ; namun daripada itu, kortiokosteroid telah diuji coba memang
efektif pada anak dengan cropu akibat penyebab lain. Paralisis pita suara akibat
kompresi balon atau trauma lain pada saraf rekuren laringeal, dapat menyebabkan
serak dan meningkatnya risiko aspirasi. Beberapa komplikasi ini dapat dicegah
dengan menggunakan bentuk TT jenis tertentu untuk menyesuaikan anatomi jalan
napas (contohnya, Lindholm Anatomial Tracheal Tube). Insidensi serak post operasi
meningkat dengan adanya obesitas, intubasi sulit, dan durasi lama obat anestesi.
Menaruh lubrikan yang larut air atau anestesi mengandung gel pada ujung atau balon
TT tidak menurunkan insidens sakit tenggorokan atau serak post operasi. TT yang
lebih kecil (ukuran 6,5 pada wanita dan ukuran 7,0 pada laki-laki) berhubungan
dengan keluhan sakit teinggorokan post operasi yang lebih sedikit. Penempatan
laringoskopi yang berulang selamaa intubasi yang sulit dapat memicu terjadinya

26

edema periglotik dan kesulitan untuk ventilasi dengan face mask, yang dapat
menimbulkan situasi buruk yang menyebabkan kematian.

2.5.2 Kesalahan Posisi TT


Intubasi pada esofagus dapat menyebabkan hasil katastropik. Pencegahan
komplikasi ini tergantung pada visualisasi langsung pada ujung TT yang melewati
pita suara, auskultasi yang cermat akan adanya suara napas bilateral dan tidak
adanya gurgling lambung saat ventilasi dengan TT, analisis gas ekspirasi untuk
menilai adanya CO2 (metode paling reliabel), rontgen dada, atau penggunaan FOB.
Meskipun telah dipastikan bahwa TT terdapat pada trakea, belum tentu dalam
posisi yang tepat. Insersi berlebihan biasanya mengakibatkan intubasi yang masuk ke
bronkus kanan, karena sudut yang lebih lurus pada trakea kanan. Tanda yang
menunjukkan bahwa intubasi mencapai bronkus, antara lain suara napas unilateral,
27

hipoksia tidak terduga dengan pulse oksimetri (tidak reliabel dengan konsentrasi
oksigen terinspirasi yang tinggi), tidak dapat mempalpasi balon TT pada sternal
notch selama inflasi balon, dan menurunnya komplian balon-napas (tekanan
inspiratori tinggi).
Sebaliknya, kedalaman yang tidak adekuat akan membuat posisi balon pada
laring, yang menyebabkan trauma laring pada pasien. Kedalaman inadekuat dapat
dideteksi dengan mempalpasi balon diatas kartilago tiroid.
Karena tidak ada teknik yang dapat mencegah semua kemungkinan seperti
kesalahan tempat masuknya TT, tes seperti auskultasi dada, kapnografi rutin, dan
palpasi balon, minimal harus dilakukan.
Jika pasien direposisi, penempatan TT harus dikonfirmasi ulang. Ekstensi
leher atau rotasi lateral memindahkan TT jauh dari karina, dimana fleksi leher dapat
mengubah posisi TT menuju karina.
2.5.3 Respon Fisiologis pada Instrumentasi Jalan Napas
Laringoskopi dan intubasi trakea mengganggu refleks protektif jalan napas
dan mencetuskan hipertensi dan takikardia. Insersi LMA menimbulkan lebih sedikit
perubahan hemodinamik. Perubahan hemodinamik ini dapat dikurangi dengan
administrasi obat intravena lidokain(1,5 mg/kg) 1-2 menit, remifentanil (1,0
mikrogram/kg) 1 menit, alfentanil (10-20 mikrogram/kg) 2-3 menit, atau fentanil
(0,5-1,0 mikrogram/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Agen hipotensi, termasuk
sodium nitroprusid, nitrogliserin, hidralazin, beta bloker, dan kalsium channel bloker,
dapat mengurangi respon hipertensi yang berhubungan dengan laringoskopi dan
intubasi secara efektif. Disritmia jantung terutama bigeminus ventrikular- tidak
sering terjadi selama intubasi dan biasanya mengindikasikan anestesia ringan.
Laringospasme ialah spasme involunter pada otot laring yang disebabkan
oleh stimulasi sensori pada saraf laringeal superior. Hal-hal yang mencetuskan
termasuk sekresi faringeal atau memasukkan TT melewati laring selama ekstubasi.
Laringospasme biasanya dicegah dengan ekstubasi pasien dalam keadaan tidur
dalam atau bangun sepenuhnya, meski dapat juga terjadi, meskipun jarang pada
pasien yang sadar. Pengobatan laringospasme yaitu melakukan ventilasi tekanan
positif dengan kantong dan masker anestesi menggunakan 100% oksigen atau
penambahan lidokain intravena (1-1,5 mg/kg). Jika laringospasme menetap dan
terjadi hipoksia, suksinilkolin (0,25-1 mg/kg {biasa menggunakan dosis yang lebih
28

rendah}) harus diberikan untuk merelaksasi otot laring dan dapat terjadi ventilasi
terkontrol. Tekanan intratorak negatif yang besar oleh usaha pasien selama
laringospasme dapat menyebabkan terjadinya edema pulmo tekanan negatif, bahkan
pada dewasa muda yang sehat.
Dimana laringospasme menunjukkan adanya refleks kesensitivan yang
abnormal, aspirasi dapat terjadi akibat dep[resi refleks laring saat intubasi dan
anestesia umum.
Bronkospasme merupakan respon refleks lainnya dari intubasi dan paling
sering terjadi pada pasien asma. Bronkospasme dapat menunjukkan adanya intubasi
bronkus. Efek patofisiologis lainnya termasuk meningkatnya tekanan intrakranial
dan intraokular.
2.5.4 Malfungsi TT
TT tidak selalu dapat berfungsi sebagaimana mestinnya. Kerusakan katup
atau balon sering terjadi dan harus dieksklusi sebelum intubasi. Obstruksi TT dapat
terjadi dari kinking, aspirasi benda asing, atau dari sekresi kental pada lumen.

29

BAB III
KESIMPULAN

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars oralis).
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari otot
genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh
kebelakang kearah dinding posterior faring. Pemasangan oral airway kadang-kadang
difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan
menekan

lidah

dengan

spatel

lidah.

Alat-alat

yang

digunakan

untuk

mempertahankan jalan nafas diantaranya adalah oral dan nasal airway, face mask,
LMA, Esophageal Tracheal Combitube (ETC), dan Pipa Tracheal (TT). Sedangkan
untuk laringoskop nya terdapat berbagai jenis yaitu Rigid Laryngoscope, Laringokop
Bullard dan laringoskop Wu, dan Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB) .
Teknik intubasi ada 2 macam yaitu intubasi endotrakeal dan intubasi
nasotrakeal. Ektubasi saat anestesi dangkal (keadaan antara anestesi dalam dan
sadar) harus dihindari karena meningkatkan resiko laringospasme. Komplikasi
laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia, trauma gigi dan jalan
nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau malfungsi ETT. Komplikasikomplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau intubasi, saat ETT dimasukkan,
dan setelah ekstubasi.

DAFTAR PUSTAKA
30

Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.


Philadelphia: Lippincott, Williams, and Wilkins.
Moore KL, Dalley AF. 1999. Clinical Anatomy, 4th edn. Philadelphia: Lippincott,
Williams, and Wilkins.
Peterson GN, Domino KB, Caplan RA et al. 2005. Management of The Difficult
Airway: A Closed Claims Analysis. Anesthesiology 103:3339
Caplan RA, Benumof JA, Berry FA. 2003. Practice Guidelines For The Management
Of The Difficult Airway: An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of The Difficult Airway.
Anesthesiology 98:12691277
Mallampati SR, Gatt SP, Gugino LD et al. 1985. A Clinical Sign to Predict Difficult
Tracheal Intubation: a Prospective Study. Can J Anaesth 32:429
Hagberg CA (ed). 2007. Benumof s Airway Management, 2nd edn. Philadelphia:
Mosby Elsevier.
Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006.

31

Anda mungkin juga menyukai