Pertanyaan:
Isteri saya mengajukan gugatan cerai dengan pergi dari rumah. Apakah isteri masih berhak
mendapatkan harta gono-gini menurut hukum perkawinan Islam dan sejauhmana hukum
mengenai pembagian harta tersebut ?
dari Si
Jawaban:
Suatu perbuatan hukum yang menjadi penyebab timbulnya harta bersama itu adalah
"Perkawinan" baik perkawinan yang diatur oleh pasal 26 dan seterusnya KUHPerdata, maupun
perkawinan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusnya perkawinan karena perceraian ada dua sebutan yaitu "cerai gugat" dan "cerai talak",
penyebutan ini menunjukkan kesan adanya perselisihan antara suami dan isteri. Dalam hal ini
hak untuk memecah perkawinan melalui perceraian tidak lagi monopoli suami. Isteri diberi hak
untuk mengajukan gugatan cerai. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai talak hanya berlaku
bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Sedangkan perceraian
dengan gugatan biasa disebut dengan cerai gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam dan bukan agama Islam.
Harta bersama menurut KUHPerdata
Persatuan harta kekayaan dalam pasal 119 KUHPerdata pada pokoknya dikemukakan bahwa
terhitung sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadilah persatuan bulat harta
kekayaan suami dan isteri sejauh tidak diadakan perjanjian perkawinan tentang hal tersebut, jadi
dari sini dapat diartikan bahwa yang dimaksud Harta Bersama adalah "Persatuan harta
kekayaan seluruhnya secara bulat baik itu meliputi harta yang dibawa secara nyata (aktiva)
maupun berupa piutang (pasiva), serta harta kekayaan yang akan diperoleh selama
perkawinan".
Harta bersama menurut UU No. 1 Tahun 1974
Harta bersama menurut UU ini ialah: "terbatas pada harta yang diperoleh selama dalam
perkawinan". Sedangkan harta yang dibawa sebelum perkawinan berlangsung ini disebut dengan
harta bawaan.
Mengenai harta bersama ini, dalam syariat Islam (Al Quran dan Sunnah) tidak ada diatur.
Seolah-olah masalah harta bersama dalam hukum Islam kosong atau vakum. Hukum agama
tidak mengenal harta bersama.
Mengenai pokok-pokok hukum Lembaga harta bersama yang diatur dalam Bab XII Kompilasi
Hukum Islam secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
a. harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing:
- harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya (suamiisteri).
- harta bersama menjadi hak bersama suami-isteri dan terpisah sepenuhnya dari harta pribadi.
b. harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan:
- sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama,
- tanpa mempersoalkan siapa yang mencari,
yang mengalami ketidakadilan dalam putusan pembagian harta bersama, Anda dapat mengetahui
upaya apa yang sebaiknya Anda lakukan untuk mengupayakan pembagian harta yang lebih adil
melalui lembar info ini.
Pengertian Harta Bersama
Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama
berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri
tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari
usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami
maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan
hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat
berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak
bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan,
apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak atas separoh
(seperdua) dari harta bersama.
Apa saja harta yang tidak termasuk harta bersama?
Menurut hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang No 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam), harta kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak
termasuk dalam harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan
demikian, pada dasarnya, harta bawaan suami tetap menjadi milik suami dan harta bawaan istri
tetap menjadi milik istri. Selain itu, mahar, warisan, hadiah dan hibah yang didapat selama
perkawinan bukanlah harta bersama.
Ketidakadilan Pembagian Harta Bersama
Seringkali pihak isteri dirugikan dan mengalami ketidakadilan dalam pembagian harta bersama.
Ketidakadilan ini terkait dengan masalah pembakuan peran suami isteri dalam Undang-Undang No.
1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan
isteri ibu rumah tangga. UUP juga telah menempatkan isteri sebatas pengelola rumah tangga
(domestik) dengan aturan yang mewajibkan isteri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Dampaknya, banyak isteri yang tidak memiliki kesempatan bekerja dan mencari nafkah sendiri
sehingga tidak bisa mengolah ketrampilan yang dimilikinya untuk memperoleh penghasilan. Dalam
hal ini, para isteri mengalami ketergantungan ekonomi terhadap suaminya. Bagaimana jika
kemudian terjadi perceraian? Isteri yang telah "dirumahkan" tentu akan mengalami kesulitan untuk
mandiri secara ekonomi. Beban isteri pun semakin berat jika dalam perkawinan sudah lahir anakanak yang menjadi tanggungannya.
Ketidakadilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda yang memberatkan pihak isteri.
Kadang kala isteri bekerja diluar rumah sebagai pencari nafkah (bahkan sebagai pencari nafkah
utama) dan juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan
suami yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan isteri saja,umumnya enggan
melakukan pekerjaan rumah tangga meski isterinya sejak pagi bekerja di luar rumah.
Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi perempuan jika aturan pembagian harta bersama
hanya terbatas pada pembagian separoh dari harta bersama karena tidak sedikit isteri yang
berkontribusi lebih besar daripada suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur
secara proporsional dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing pihak. Misalnya
dalam kasus perselisihan harta bersama antara ibu Nina (bukan nama sebenarnya) dan suaminya.
Ibu Nina memilih untuk membagi harta bersama melalui pembuatan kesepakatan bersama dengan
suaminya. Sebelumnya, dibuat daftar harta bersama yang dimiliki oleh Ibu Nina dan suami selama
perkawinan. Dalam kesepakatan tersebut, baik Ibu Nina maupun suami memperoleh bagian harta
sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak.
Namun, penting untuk diingat bahwa dalam membuat kesepakatan Anda harus dalam keadaan
bebas dari segala tekanan, intimidasi dan ancaman.
Jika Anda tidak mendapatkan kesepakatan yang adil, sedikitnya Anda memperoleh separuh bagian
harta bersama sesuai hukum yang berlaku.
Hal yang dapat Anda lakukan untuk menghindari percampuran harta karena perkawinan
Jika Anda tidak menghendaki harta kekayaan yang Anda peroleh selama masa perkawinan menjadi
harta bersama, Anda harus membuat perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Hal-hal yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan ,diantaranya, adalah :
a) Ketentuan pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagian harta bersama jika
terjadi perceraian;
b) Pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang anda peroleh dan harta
suami terpisah sama sekali.
Membuat perjanjian perkawinan adalah hal yang penting untuk mencegah terjadinya
ketidakadilan dalam pembagian harta bersama.
Dalam perjanjian perkawinan juga dapat diatur ketentuan bahwa jika terjadi perceraian (termasuk
cerai karena kematian), Anda berhak mendapatkan prosentase lebih dari separuh bagian apabila
Anda tidak bekerja,dilarang bekerja, menanggung beban ganda, menanggung beban perwalian
anak,mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sebagainya. Jika Anda tidak
membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, Anda dapat melakukan musyawah mengenai
besarnya pembagian harta bersama yang akan Anda terima.
Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi disahkan oleh notaris dan
dicatatkan dalam lembaga pencatatan perkawinan. Pada saat perkawinan dilangsungkan,
perjanjian perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan. Bagi yang
beragama Islam, perjanjian perkawinan dicatatkan di KUA dan bagi yang beragama non Islam
dicatat di Kantor Catatan Sipil.
Cara mengajukan gugatan pembagian harta bersama
Bagi yang beragama Islam, gugatan harta bersama dapat diajukan ke Pengadilan Agama
bersamaan dengan gugatan perceraian atau dapat juga diajukan terpisah setelah adanya putusan
cerai. Anda dapat memilih prosedur mana yang sesuai dengan kepentingan Anda. Perlu Anda
ketahui, jika pasangan Anda setuju bercerai tetapi tidak setuju dengan pembagian harta bersama,
putusan cerai Anda bisa terhambat. Jadi, jika Anda menghendaki putusan cerai segera
dilaksanakan maka sebaiknya Anda mengajukan gugatan pembagian harta bersama setelah
adanya putusan cerai. Namun, jika Anda ingin menghemat biaya peradilan dan sudah ada
kesepakatan pasangan suamiisteri untuk bercerai maka gugatan pembagian harta bersama
sebaiknya diajukan bersamaan dengan pengajuan gugatan perceraian.
Pengadilan Agama berwenang memutuskan pembagian harta bersama berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Menurut KHI, apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang
pasangannya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau
matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Sementara, janda atau duda cerai
hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, gugatan harta bersama baru dapat diajukan setelah
adanya putusan perceraian ke Pengadilan Negeri terkait.
Jika Anda tidak puas dengan putusan harta bersama yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atau
Pengadilan Negeri, Anda dapat mengajukan upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 hari
sejak Anda mengetahui atau menerima putusan Pengadilan tingkat pertama.
1. Melakukan upaya musyarawah dengan pihak suami dan jika diperlukan melibatkan pihak
keluarga suami atau isteri dalam musyawarah tersebut;
2. Mengajukan upaya eksekusi putusan harta bersama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
ke Pengadilan yang berwenang.
Kembali ke daftar Lembar Info lainnya
-- Informasi ini dapat diperbanyak dengan mencantumkan sumbernya - 2010, LBH APIK Jakarta; Jl. Raya Tengah No.31 Rt. 01/09, Kramatjati, Jakarta Timur 13540
Telp. 021-87797289, Fax.: 021 - 87793300, e-mail: apiknet@centrin.net.id