Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Transportasi jalan memberikan manfaat baik untuk bangsa dan untuk individu
dengan memfasilitasi pergerakan barang dan orang. Hal ini memungkinkan
peningkatan akses ke pekerjaan, pasar, pendidikan, rekreasi dan kesehatan memiliki
dampak positif langsung dan tidak langsung pada kesehatan masyarakat. Namun
peningkatan transportasi jalan juga telah menempatkan beban yang cukup besar pada
kesehatan masyarakat - dalam bentuk cedera lalu lintas jalan, penyakit pernapasan,
dan konsekuensi kesehatan yang menyebabkan terjadinya pengurangan aktivitas fisik.
Ada konsekuensi tambahan negatif pada sisi ekonomi, sosial dan lingkungan yang
timbul dari pergerakan orang dan barang di jalan - polusi udara seperti, emisi gas
rumah kaca, konsumsi sumber daya yang terbatas, dan kebisingan.1
Epidemiologi cedera akibat kecelakaan lalulintas telah menjadi masalah
utama yang menjadi perhatian di seluruh dunia. Tidak seperti di negara berkembang,
tingkat kecelakaan lalulintas paling banyak terjadi di negara yang sedang berkembang
atau negara miskin. Cedera akibat kecelakaan lalulintas adalah penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia, khususnya negara dengan pendapatan
rendah atau miskin. WHO memperkirakan lebih dari 3000 orang terbunuh setiap hari
dengan setidaknya 30.000 cedera atau cacat. Negara-negara miskin atau pendapatan
rendah dan menengah terdapat sekitar 85 % kematian dan 90 % terjadi kecacatan. 1
Hampir sebagian dari mereka yang meninggal akibat kecelakaan di tempat yang padat
lalulintas adalah pejalan kaki, pengguna sepeda atau sepeda motor, yang secara
kolektif mereka ini termasuk dalam Pengguna jalan yang rentan, dan sayangnya
kebanyakan berada di negara-negara dengan pendapatan rendah atau miskin. Faktor
lain adalah penegakan undang-undang angkutan dan jalan, misalnya hukuman bagi

pengendara mabuk dan mereka yang melebihi kecepatan berkendara, penggunaan


helm, seat-belt dan pembatasan umur untuk mengendarai kendaraan, tidak ditegakkan
dengan sepenuhnya.2.3
Kecelakaan lalu lintas merupakan masalah kesehatan yang sangat serius di
seluruh dunia, masalah yang sama juga dihadapi Indonesia. Menurut data Kepolisian
RI pada tahun 2003 jumlah kecelakaan di jalan mencapai 13.399 kejadian dengan
jumlah kematian mencapai 9.865 orang, 6.142 orang mengalami luka berat dan 8.694
luka ringan. Kecelakaan terbanyak terjadi pada usia 15-40 tahun sehingga
menurunkan angka produktivitas.4
Menurut data kecelakaan lalu lintas di Singapura, dari 1804 kasus kecelakaan
nonfatal, cedera tersering adalah cedera pada ekstremitas bawah yang meliputi
58.3%, diikuti oleh cedera kepala sebanyak 18.1%, cedera maksilofasial 14.2% dan
cedera ekstremitas atas 9.4%.5 Di India, dari total 423 kecelakaan lalu lintas, 85.8% di
antaranya laki-laki dan 14.2% perempuan, jadi rasionya 6:1. Lokasi cedera terbanyak
adalah di ekstremitas bawah yang ditemukan pada 45.39% dan cedera multipel pada
26.95% kasus.6
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisis yang bersifat total maupun parsial. Fraktur juga
melibatkan jaringan otot, saraf, dan pembuluh darah di sekitarnya. Secara klinis,
dibagi menjadi fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga
berhubungan dengan udara luar, dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak
berhubungan dengan dunia luar atau kulit di lokasi fraktur masih intak. Pembagian
fraktur terbuka berdasarkan Gustillo dan Anderson dibagi menjadi derajat I, II, IIIA,
IIIB, dan IIIC .4-7 pembagian fraktur menurut Tscherne dibagi menjadi derajat 0, 1, 2,
dan 3.8 Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan kekuatan tulang lebih besar dari
tenaga tulang. Penyebab tersering dari fraktur adalah kecelakaan lalu lintas (70/%),
jatuh (11%), kena tembakan (8%), dan lain-lain.9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN
Akibat yang ditimbulkan kecelakaan lalulintas sangat beragam, tergantung
pada berat ringannya kecelakaan yang dialami, mekanisme trauma, lokasi trauma,
adekuat tidaknya penanganan yang diberikan dan berbagai fakor lain. Cedera yang
dialami dapat menyebabkan kematian, cacat fisik, maupun psikologis, dengan
cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, pembahasan berikutnya dibatasi hanya
seputar cedera yang dialami penderita, yaitu fraktur femur.
B. FRAKTUR
1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang
umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan
jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan
persarafan, fraktur dapat disebabkan oleh trauma dan non trauma (fraktur patologis),
ataupun akibat tekanan yang terus menerus misalnya sering terjadi benturan pada
ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula, ataupun fraktur
pada femur.10
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan
trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang
dan terjadi fraktur pada daerah tekanan misalnya benturan langsung pada ekstremitas.
Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari

daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur
pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.11
2. Etiologi
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis.
Peristiwa Trauma (kekerasan)
a) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan
itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di
tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan
garis patah melintang atau miring.
b) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak
langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu.
Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan
pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak
tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan
tulang lengan bawah.
c) Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang
akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot
adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak
berkontraksi.9.15
3. Klasifikasi
Klasifikasi Fraktur secara umum
Berdasarkan Penyebab:
a. Non Trauma: Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat kelainan
patologis didalam tulang, ini bisa karena kelainan metabolic atau infeksi.

b. Trauma: Trauma dapat dibagi menjadi dua yaitu langsung dan tidak langsung,
trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di
tempat itu, sedangkan trauma tidak langsung bilamana titik tumpuan benturan
dengan terjadinya fraktur.
Berdasarkan Hubungan dengan dunia luar:
a

Fraktur tertutup (simple fracture). Fraktur tertutup adalah fraktur yang


fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan / tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

Fraktur terbuka (compound fracture ) fraktur terbuka merupakan suatu fraktur


dimana terjadi hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga
terjadi kontaminasi sehingga timbul komplikasi berupa infeksi. Luka pada
kulit dapat berupa tusukan yang tajam keluar menembus kulit (from within)
atau dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma
langsung (from without).9,10

Gambar 1. Fraktur tertutup dan fraktur terbuka


Berdasarkan bentuk patahan tulang :
a.

Transversal

Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang
atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur semacam ini biasanya mudah dikontrol
dengan pembidaian gips.
b.

Spiral
5

Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul akibat torsi
ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak.
c.

Oblik

Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana garis patahnya
membentuk sudut terhadap tulang.
d. Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen tulang yang retak
dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai
darah.
e.

Kominuta

Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau terputusnya keutuhan


jaringan dengan lebih dari dua fragmen tulang.
f. Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak lengkap dimana korteks
tulang sebagian masih utuh demikian juga periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi
pada anak anak.
g.

Fraktur Impaksi

Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang
berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan dua vertebra lainnya.
h. Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang berarti, fragmen
biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan reduksi.11,12
Gustilo et al mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi tiga tipe yaitu
a

Tipe I: Luka lebih kecil dari 1 cm, bersih dan disebabkan oleh fragmen
tulang yang menembus kulit.

Tipe II: Ukuran luka lebih dari 1 cm, terkontaminasi dan tanpa cedera
jaringan lunak yang major

Tipe III: Luka lebih besar dari 1 cm cm dengan kerusakan jaringan lunak
yang signifikan dengan kontaminasi yang berat. Tipe III juga dibagi
menjadi beberapa sub tipe:
I

IIIA: Luka memiliki jaringan yang cukup untuk menutupi tulang


tanpa memerlukan flap coverage.

II

IIIB: kerusakan jaringan yang luas membuat diperlukannya local


atau distant flap coverage.

III

IIIC: Fraktur apapun yang menyebabkan cedera arterial yang


membutuhkan perbaikan segera.13-15

Tabel berikut merupakan klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo


dan Anderson: 13.19
Derajat

Luka

Kontaminasi

Kerusakan jaringan

Kerusakan tulang

lunak
I
II
III
A

<1 cm
>1 cm

Bersih
Sedang

Minimal
Sedang

Minimal
Sedang

>10

Hebat

Hebat

Kominutif, jaringan

cm

lunak cukup menutup

>10

Sangat hebat, perlu

tulang
Kominutif, jaringan

cm

rekonstruksi jaringan

lunak tidak cukup

>10

lunak
Sangat hebat disertai

untuk menutup tulang


Bervariasi

cm

Hebat

Hebat

cedera vaskuler yang


harus diperbaiki

Gambar 2. Fraktur terbuka


Tscherne mengklasifikasikan fraktur terbuka menjadi derajat, yaitu:
Derajat 0 : fraktur sederhana tanpa/disertai dengan sedikit kerusakan jaringan
lunak.
Derajat 1 : fraktur disertai degan abrasi superficial atau luka memar pada kulit
dan jaringan subkutan.
Derajat 2 : fraktur yang lebih berat dibanding derajat 1 yang disertai dengan
kontusio dan pembengkakan jaringan lunak.
Derajat 3 : raktur berat yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan terdapat ancaman terjadinya sindrom kompartemen.8

Gambar 3. Fraktur tertutup


4. Diagnosis

Pada diagnosis harus bisa menuliskan diagnosis fraktur yang didasarkan pada jenis
tulang yang patah (femur, tibia, dan sebagainya), lokalisasinya (proksimal, tengah, distal
dan sebagainya), pola garis fraktur (simpel seperti transversal,oblik, kominutif, dan
sebagainya) dan integritas kulit daerah tulang yang mengalami fraktur (tertutup atau
terbuka ).
Untuk mencapai diagnosis dapat diketahui pada riwayat keluhan penderita dengan
deskripsi yang jelas, mencakup biomekanisme trauma, lokasi dan derajat nyeri serta
kondisi penderita sebelum kecelakaan seperti penyakit hipertensi dan sebagainya.
Pemeriksaan fisik pada penderita fraktur selalu dimulai dengan look, kemudian feel dan
terakhir movement. Kesalahan diagnosis jarang terjadi karena deformitas yang hebat dan
jelas pada pertengahan tulang panjang.
Pada inspeksi (look) bagian lesi terlihat asimetri dari bentuk maupun posture,
kebiruan, atau kerusakan kulit akibat trauma maupun edema (swelling) yang terlokalisir
dan berakhir menjadi diffuse.
Pada palpasi (feel) terasa nyeri tekan (tenderness) yang terlokalisir pada daerah
fraktur, gerakan abnomal, krepitasi, dan deformitas. Jangan lupa memeriksa gangguan
sensibilitas dan temperatur bagian distal lesi serta nadinya.
Pemeriksaan gerakan (movement) dapat secara pasif dan aktif pada sendi terdekat
dari fraktur perlu dikerjakan dengan teliti. Pemeriksaan sendi dilakukan untuk
mengetahui apakah terjadi perluasan fraktur ke sendi tersebut.Umumnya suspek fraktur
dapat dibuat hanya dari riwayat dan pemeriksaan fisik.11
Pada pemeriksaan tambahan dilakukan pemeriksaan Radiologi, Untuk setiap
penderita yang diperkirakan fraktur, pemeriksaan radiologis yang Anda minta hanya
sebagai konfirmasi / diagnosis, rencana terapi dan kritik medicolegal pada tindakan
pertama yang dilakukan terhadap penderita tersebut serta perkiraan prognosisnya. Oleh
karena itu pada permintaan X-ray proyeksi dan daerah / ara yang diminta harus jelas.
Kadangkala proyeksi khusus seperti proyeksi oblik diperlukan atau sisi sehat guna
perbandingan terutama pada anak-anak atau proyeksi stress guna menentukan adanya lesi
pada ligamen sebagai stabilitas sendi. Bahkan pemeriksaan yang lebih canggih seperti

MRI, CT-scan

dan lainnya perlu dipikirkan untuk informasi yang rinci terhadap

penderita.10.12
5. Penatalaksanaan
Metode penanganan fraktur ada dua macam yaitu metode non operatif dan
metode operatif. Penanganan dengan metode non operatif maksudnya penanganan
fraktur tanpa dilakukan tindakan operasi misalnya dengan reduksi tertutup disebut
juga dengan reposisi. Dimana prinsip reposisi adalah berlawanan dengan arah fraktur.
Setelah dilakukan reposisi dilakukan pemasangan eksternalfiksasi yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya pergeseran kembali fragmen tulang. Salah satu contoh
eksternal fiksasi adalah pemasangan gips. Umumnya reduksi tertutup digunakan
untuk semua fraktur dengan pergeseran fragmen minimal. Penanganan dengan
metode operatif adalah suatu bentuk operasi dengan pemasangan open reduction
internal fixatie (ORIF) maupun open reductionexternal fixatie (OREF). Metode
penanganan fraktur dengan internal fiksasi harus dipilih atau disesuaikan dengan
jenis frakturnya. Bentuk-bentuk internal fiksasiantara lain plate and screw,
intramedullary nail, oblique transfixion screws,circumferential wire. 13
1. Prinsip Dasar Penanganan Fraktur
Terdapat 4R prinsip penatalaksanaan fraktur ( Rasjad, 1998) antara lain :
a. Recognition
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan, dan deskripsi
tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri menentukan apakah ada fraktur,
dan apakah perlu pemeriksaan spesifik untuk menentukan adanya fraktur.
b. Reduction
Adalah usaha dan tindakan manipulasi frakmen-fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin untuk dikembalikan keposisi anatomi normal. Tindakan ini dapat dilakukan
secara elektif di Rumah Sakit.
c. Retention
Sebagaimana aturan umum ketika melakukan reduction harus melewati sendi
di atas fraktur dan sendi di bawah fraktur.
d. Rehabilitation

10

Mengembalikan fungsi aktifitas semaksimal mungkin. Penatalaksanaan awal fraktur


meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Status neurologis dan vaskuler
di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan
imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma sebaiknya dilakukan stabilisasi awal,
fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan
definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan
ORIF maupun OREF.15
2. Tujuan Penanganan fraktur:
a) Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmenfragmen ke posisi anatomi.
b) Imobilisasi atau fiksasi den1gan tujuan mempertahankan posisi fragme-fragmen
tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi union.
c) Penyambungan fraktur (union)
d) Mengembalikan fungsi (rehabilitasi).15.,16
3. Proses penyembuhan tulang
Menurut Cormack (2000) Proses penyembuhan tulang ada tiga fase yaitu :
Fase inflamasi
Berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang padaawalnya terjadi reaksi
inflamasi. Peningkatan aliran darah menimbulkanhematom fraktur yang segera diikuti
invasi dari sel-sel peradangan yaitu netrofil,makrofag dan sel fagosit. Sel-sel tersebut
termasuk osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik untuk
menyiapkan fase reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena
material nekrotik disingkirkan.
Fase reparatif
umumnya berlangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan differensiasi dari sel
mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi olehkondroblas dan fibroblas
yang akan menjadi tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak, yang
terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang.
Osteoblas kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak menjadi kalus
keras dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak
tampak.

11

Fase remodelling
membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan
tulang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklasyang menghasilkan perubahan
jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah
stabilitas daerah fraktur.Dibawah ini gambar proses penyembuhan tulang.13
6. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi saat terjadi fraktur adalah :
1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam
posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring.
2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi tan yang
lebih lambat dari keadaan normal.
3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang
berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu
tempat.
5. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
6. Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor
resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun,
usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.
7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu
yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya
komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal
bila terjadi pada bedah ortopedi.
8. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. thopedic
infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.13
MALUNION
12

Fragmen tulang menyatu pada posisi yang tidak memuaskan (angulasi,


rotasi atau pemendekkan yang tidak dapat diterima)
Faktor penyebab :
-

Tidak tereduksinya fraktur secara cukup

Kegagalan mempertahankan reduksi ketika terjadi penyembuhan

Kolaps yang berangsur-angsur pada tulang yang osteoporotik atau kominutif

Terapi
-

Pada orang dewasa, fraktur harus direduksi sedekat mungkin dengan posisi
anatomis. Angulasi lebih dari 15 derajat pada tulang panjang atau deformitas
rotasional yang nyata mungkin membutuhkan koreksi dengan manipulasi
ulang atau membutuhkan osteotomi dan fiksasi internal.

Pada anak-anak, deformitas sudut dekat ujung tulang biasanya akan


berubah bentuknya sejalan dengan waktu, sedang deformitas rotasional tidak

Pada tungkai bawah, pemendekkan lebih dari 2,5 cm jarang dapat diterima
oleh pasien dan prosedur pemanjangan tungkai dapat diindikasikan.

LAPORAN KASUS

13

A. IDENTITAS
Nama

: Tn. A.P

Umur

: 19 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Malalayang I Timur Lingk III

Agama

: Protestan

Pekerjaan

: Pelajar

No. CM

: 00 457067

MRS

: 7 Desember 2015

B. SECONDARY SURVEY
ANAMNESIS
Keluhan utama: Berjalan pincang pada kaki kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Berjalan pincang pada kaki kanan dialami sejak kurang lebih 3 tahun lalu.
Awalnya penderita mengalami kecelakaan motor, kemudian terdiagnosa patah tulang
paha kanan, penderita hanya berobat ke pengobatan tradisional. Setelah sembuh,
pasien berjalan pincang kemudian berobat ke dokter.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum

: Pasien tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda Vital

: T

: 120/80 mmHg

: 80 x/menit

: 20x/menit

SB

: 36,0oC (Axilla)

Status Generalis :
Kepala

: Conj an (-), pupil isokor, 3 mm, RC +/+ normal.

Leher

: T.A.K

Thoraks

: T.A.K

Abdomen

: T.A.K

14

Extermitas superiot

: T.A.K

Extermitas inferior :
Regio Femur Dekstra
L : deformitas : luka (-), oedem (-), shortening (+)
F : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
M : Locking (-)
Status Distalis :
- Pulsasi arteri dorsalis pedis ada ki = ka
- Cappilary refill time < 2 ki= ka
- Sensorik + motorik dalam batas normal

True leg length


Anatomical length

Kanan
84 cm
42cm

Kiri
86 cm
44 cm

Resume
Pasien laki-laki umur 19 tahun MRS dengan berjalan pincang pada kaki kanan
dialami sejak kurang lebih 3 tahun lalu. Awalnya penderita mengalami kecelakaan
motor, kemudian terdiagnosa patah tulang paha kanan, penderita hanya berobat ke
pengobatan tradisional. Setelah sembuh, pasien berjalan pincang kemudian berobat ke
dokter.
DIAGNOSIS KERJA
Malunion Fraktur Femur Dextra
E. PENATALAKSANAAN
-

Pro Osteotomi

Skeletal Traksi/Interlocking nail


Penderita ini disarankan untuk dilakukan pemeriksaan penunjang:
a. X foto femur dextra (AP-Lateral)
b. Laboratorium darah lengkap
15

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambar 4. Pemeriksaan Rontgen femur dextra (AP-Lateral)

Kesan : Malunion fraktur femur dextra


Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin
Leukosit

Hasil
13700

Satuan
/mm3

nilai rujukan
4.000-10.000

Eritrosit

3,09

106/ uL

4.25-5.40

Hemoglobin

11,7

g/ dL

12.8 16.8

Hematokrit

29,2

35 47

Trombosit

142

103/ ul

150 450

Glukosa Darah Sewaktu

103

mg/dL

70-125

Creatinin Darah

1,1

mg/dL

0,6-1,1

Ureum Darah

22

mg/dL

20-40

Natrium

143

meq/L

135-153

Kalium

4,81

meq/L

3.50-5.30

Chlorida

100,9

meq/L

98.0-109.0

PT

12,1

detik

12,0-16,0

16

APTT

26,7

detik

25,0-33,0

G. DIAGNOSIS
Malunion Fraktur Femur Dextra
FOLLOW UP
7/12/2015
S : Berjalan pincang sebelah kanan
O: T: 120/70 mmHg N: 80x/m R : 20x/m S: 36,5C
Extermitas inferior :
True leg length
Anatomical length
A : Malunion Fraktur Femur Dextra

Kanan
84 cm
42cm

Kiri
86 cm
44 cm

P : Pro Osteotomi + Skeletal Traksi/Interlocking Nail


8/12/2015
S : Berjalan pincang sebelah kanan
O: T: 110/70 mmHg N: 72x/m R : 18x/m S: 36,4C
Extermitas inferior :
True leg length
Anatomical length
A : Malunion Fraktur Femur Dextra

Kanan
84 cm
42cm

P : Pro Osteotomi + Skeletal Traksi/Interlocking Nail hari ini


9/12/2015
S : Nyeri luka operasi (+)
O: T: 110/80 mmHg N: 80x/m R : 22x/m S: 36,3C
17

Kiri
86 cm
44 cm

R. Femur dextra : luka tertutup kasa. Drain 300cc.


A : Post Osteotomi + Interlocking nail hari 1
P: -

IVFD NaCl 0,9% = 24 tts/menit

Ceftriaxone 2x1 gr iv

Ketorolac amp 3 x 1 iv

Ranitidin amp 2x1 iv

Rawat Luka operasi

X-Foto Femur Dextera AP Lat

Gambar 5. Pemeriksaan Rontgen femur dextra (AP-Lateral) kontrol 9/12/2015

10/12/2015
S : Nyeri luka operasi (+)
O: T: 110/70 mmHg N: 88x/m R : 20x/m S: 36,7C
R. Femur dextra : luka tertutup kasa.
A : Post Osteotomi + Interlocking nail hari 2
P: -

IVFD NaCl 0,9% = 24 tts/menit

Ceftriaxone 2x1 gr iv

Ketorolac amp 3 x 1 iv

Ranitidin amp 2x1 iv

Rawat Luka operasi

12/12/2015
Darah rutin

Hasil

18

Satuan

nilai rujukan

Leukosit

7200

/mm3

4.000-10.000

Eritrosit

5,26

106/ uL

4.25-5.40

Hemoglobin

16,2

g/ dL

12.8 16.8

Hematokrit

46,0

35 47

Trombosit

250

103/ ul

150 450

BAB IV
PEMBAHASAN

19

Diagnosis ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemerikan penunjang. pada anamnesis perlu diketahui ada riwayat trauma atau
tidak. Bila tidak, berarti fraktur patologis. Trauma harus terperinci kapan terjadinya,
di mana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah trauma, dan posisi pasien atau
ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Perlu diteliti kembali trauma di
tempat lain secara sistematik dari kepala, leher, dada, perut, dan keempat
ekstremitas. Pada anamnesis diperoleh penderita berusia 19 tahun MRS dengan
Berjalan pincang pada kaki kanan dialami sejak kurang lebih 3 tahun lalu. Awalnya
penderita mengalami kecelakaan motor, kemudian terdiagnosa patah tulang paha
kanan, penderita hanya berobat ke pengobatan tradisional. Setelah sembuh, pasien
berjalan pincang kemudian berobat ke dokter. Hal ini sesuai dengan kepustakaan
bahwa penyebab tersering dari fraktur adalah kecelakaan lalu lintas (70/%), jatuh dari
ketinggian (11%), terkena tembakan (8%), dan lain-lain. 1.4 Kebanyakan terjadi pada
laki-laki dengan rasio laki-laki:perempuan = 6:1.1.4.7
Pemeriksaan fisik terdiri atas status generalis, status lokalis, dan status distalis. Pada
status lokalis dinilai:13
a. Inspeksi (Look)
1. Kulit (warna dan tekstur), jaringan lunak, tulang, sendi, apakah terdapat luka atau
tidak.
2. Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi, translasi, dan
pemendekan
b. Palpasi (Feel)
1. Nyeri tekan dan lokalisasi, apakah nyeri setempat atau nyeri alih
2. Krepitasi
3. Pengukuran panjang anggota gerak
Didapatkan true leg length dextra 84 cm dan anatomical length 42 cm, sedangkan
true leg length sinistra 86 cm dan anatomical length 44 cm. Dapat disimpulkan
terdapat shortening pada ekstremitas inferior dekstra.
c. Move, untuk mencari:
1. Evaluasi gerakan sendi yang aktif maupun pasif

20

2. Stabilitas sendi
3. Pemeriksaan ROM (Range of Joint Movement)
Pemeriksaan status distalis mencakup penilaian pulsasi dibagian distal, dalam hal ini
pada arteri dorsalis pedis, pemeriksaan sensibilitas kedua, dan waktu pengisian
kapiler pada kedua tungkai. Pemeriksaan status distalis dilakukan pada kedua
ekstremitas untuk membandingkan kiri dan kanan. Pada status distalis didapatkan
pulsasi a.dorsalis pedis sama pada kaki kiri dan kanan, sensibilitas normal pada kedua
tungkai, dan waktu pengisian kapiler <2 detik.13
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan
radiologis femur posisi AP dan lateral. Pada foto femur tampak malunion fraktur
femur dekstra dextra. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
radiologis didiagnosis sebagai malunion fraktur femur dekstra dextra.15
Penanganan fraktur terdiri atas penanganan preoperatif, dan pascaoperatif.
Preoperatif berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan
singkatan ABC. Proses ini dikenal dengan singkatan ABC. ABC pada trauma meliputi
A

untuk airway atau

jalan

napas

yaitu

pembebasan

jalan

napas;

untuk breathing atau pernapasan yaitu dengan pemberian O2, memperhatikan adakah
tanda-tanda hemothoraks, pneumothoraks, flail chest; C untuk circulation atau
sirkulasi/fungsi

jantung

untuk

mencegah

atau

menangani

syok;

untuk disability yaitu evaluasi status neurologik secara cepat dengan metode AVPU
(Alert,

Vocal

stimuli,

Pain

stimuli,

Unresponsive);

dan

untuk exposure/environment yaitu melakukan pemeriksaan secara teliti, pakaian


penderita harus dilepas, selain itu perlu dihidari terjadinya hipotermi.4,7,10 Setelah
stabilisasi tanda vital, penderita harus diberi antibiotik intravena, dan pembidaian
sementara.16,17
Fraktur tergolong dalam kegawatan bedah sehingga memerlukan penanganan
secepatnya untuk mengurangi risiko infeksi yang sebaiknya dilakukan dalam 6-8 jam
pertama.19

21

Penanganan pascaoperatif meliputi pemeriksaan radiologik serial, darah


lengkap, serta rehabilitasi. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi protein untuk
menunjang proses penyembuhan.
Imobilisasi fraktur adalah mengembalikan atau memperbaiki bagian tulang
yang patah kedalam bentuk yang mendekati semula (anatomis)nya, Cara-cara yang
dilakukan meliputi reduksi, traksi, dan imobilisasi. Reduksi terdiri dari dua jenis,
yaitu tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup (Close reduction) adalah tindakan non
bedah atau manipulasi untuk mengembalikan posisi tulang yang patah, tindakan tetap
memerlukan lokal anestesi ataupun umum. Reduksi terbuka (Open reduction) adalah
tindakan pembedahan dengan tujuan perbaikan bentuk tulang. Sering dilakukan
dengan internal fiksasi yaitu dengan menggunakan kawat, screws, pins, plate,
intermedulari rods atau nail. Selanjutnya metode traksi dilakukan dengan cara
menarik tulang yang patah dengan tujuan meluruskan atau mereposisi bentuk dan
panjang tulang yang patah tersebut. Ada dua macam jenis traksi yaitu skin traksi dan
skeletal traksi.20
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang patah dengan menempelkan
pleter langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membentuk menimbulkan
spasme otot pada bagian yang cidera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek
(48 72 jam). Skeletal Traksi adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang
yang cidera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan
pins atau kawat ke dalam tulang. Imobilisasi, setelah dilakukan reposisi secara
reduksi atau traksi pada fragmen tulang yang patah, dilakukan imobilisasi dan
hendaknya anggota badan yang mengalami fraktur tersebut diminimalisir gerakannya
untuk mencegah tulang berubah posisi kembali.20
Salah satu tindakan yang akan dilakukan adalah ORIF (Open Reduction
Internal Fixation) atau fiksasi internal dengan pembedahan terbuka akan
mengimmobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan dengan memasukan paku,
sekrup atau pin ke dalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang yang
fraktur secara bersamaan.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global status report on road safety. Time for action.
WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. 2009.
2. Atubi A. Epidemiology of injuries from road traffic accidents in Lagos State,
Nigeria. Affrev Stech. 2012 April-July; 1(1): p. 56-75.
3. RAC Foundation. Mortality statistics and road traffic accidents in the UK. 2011
May.
4. AAPC. Fracture classification in ICD-10-CM.
2013.
23
5. Medline Plus. Dislocation. US National Library of Medicine. 2013.
6. Joint Pain Expert. Joint-pain-expert.org. [Online].; 2010 [cited 2015 May 9.
Available from: http://www.joint-pain-expert.net/elbow-dislocation.html.

7.

Lateef F. Riding motorcycles: is it a lower limb hazard? Singapore Med J


2002;43(11):566-9.

8.

Ipleys System of Orthopaedics and fractures, 9th edition. 2010.

9.

Rasjad C. Trauma. Dalam: Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang


Lamumpatue; 2000. h.343-536.

10.

Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor.
Essentials of orthopedic surgery. 3rd ed..Washington: Springer; 2007. p.40-83.

11.

McRae E. The diagnosis of fractures and principles of treatment. In: McRae E,


Esser R, editor. Practical fracture treatment. 4th ed. Churchil Livingstone. p.2554.

12.

Okoro OI, Ohadugha OC. The anatomic pattern of fractures and dislocations
among accident victims in Owerri,Nigeria. Nigerian J of Surg Res 2006;8:54-6.

13.

Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal Trauma


Surgery. In: Skinner H, editor. Current diagnosis and treatment in orthopedics.
3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2003. p.76-150.

14.

Quamar A, Sherwani, Mazhar A, Gupta R, Asif N, Sabir. Internal fixation in


compound type III fractures presenting after golden period. Indian J Orthop
2007;41(3):204-8.

15.

Buckley R, Panaro CDA. General Principles of Fracture Care [online]. 2007 Jul
19 [cited 2008 Oct 12]; Available from: URL:
http://www.emedicine.com/orthoped/topic636.htm

16.

Department of Orthopaedic Surgery University of Stellenbosch. External fixator


[online]. 2008 [cited 2008 Oct 12]; Available from: URL:
http://www0.sun.ac.za/ortho/webct-ortho/general/exfix/exfix.html

17.

Koval K, Zuckerman JD. Lower extremity fractures and dislocations. In: Koval
K, Zuckerman JD, editor. Handbook of fractures. 3rd ed. Lippincot Williams &
Wlkins; 2006. p.347-54.

18.

Open Fractures and Trauma [online]. 2004 [cited 2008 Oct 12]; Available from:
URL: http://www.limbcenter.com/disorders/index.asp

24

19.

S. Milenkovic, L. Paunkovic, S. Karalejic. Severe open Gustilo type III


tibial fracture treated by external fixation and primary soft-tissue coverage. J
Hellenic Association Ortho Trauma 2006; 57(4).

20.

Henderson, MA. 1997. Ilmu bedah untuk medis. Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medika.

21.

Apley A, Graham. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.

22.

Maharta GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. 2011. Manajemen fraktur pada


trauma muskeletal. Bali: FK Udayana Bali.

23.

Sfeir C, Ho L, Doll BA, Azari K, Hollinger JO. 2005. Fraktur repair, Human
Pess Inc, Totowa, NJ.

24.

Burhan E, Manjas M, Riza A, Erkadius. 2014. Perbandingan fungsi extremitas


atas pada fraktur metafise distal radius intraartikuler usia muda antara tindakan
operatif dan non operatif dengan penilaian klinis quick dash score. Jurnal
kesehatan andalas. Hlm. 312.

25

Anda mungkin juga menyukai