Anda di halaman 1dari 19

Perombakan Zat Warna Azo Reaktif Secara Anaerob Aerob

Renita Manurung
Rosdanelli Hasibuan
Irvan
Fakultas Teknik
Jurusan Teknik Kimia
Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri tekstil dan produk tekstil merupakan salah satu bidang yang sangat
berkembang di Indonesia. Perkembangan industri ini dapat dilihat dari nilai ekspor tekstil
dan produk tekstil (TPT) yang terus meningkat. Tercatat pada tahun 1989 nilai ekspor
TPT mencapai US$ 2,02 miliar, kemudian meningkat menjadi US$ 8,40 miliar pada
tahun 1997. Dengan semakin meningkatnya nilai ekspor TPT dari tahun ke tahun seperti
ditunjukkan pada Tabel 1.1. menjadikan industri ini sebagai sumber devisa negara yang
penting.
Tabel 1.1. Jumlah Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia
Tahun
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1997
Nilai Ekspor
2.02 2.88 4.0
5.59 6.05 5.64 6.04 8.40
(milyar Us$)
Sumber: Harian Kompas, 17 Desember 1997
Terlepas dari peranannya sebagai komoditi ekspor yang diandalkan, ternyata
industri tekstil ini menimbulkan masalah yang serius bagi lingkungan terutama masalah
yang diakibatkan oleh limbah cair yan dihasilkan. Industri tekstil mengeluarkan air
limbah dengan parameter BOO, COD, padatan tersuspensi dan warna yang relatif tinggi.
Disamping itu limbah cair ini dapat pula mengandung logam berat yang bergantung pada
lat warna yang digunakan. Umumnya tujuan dari pengolahan limbah cair industri tekstil
adalah mengurangi tingkat polutan organik, logam berat, padatan tersuspensi dan warna
sebelum dibuang ke badan air. Pada saat ini polutan di Indonesia tidak memasukkan
warna sebagai parameter yang diatur. Walaupun demikian, limbah yang mengandung
warna seringkali menimbulkan kesulitan dalam penggunaan selanjutnya dalam masalah
estetika.
Zat warna banyak digunakan pada proses pencelupan dan pencapan industri
tekstil. Limbah cair dari kedua proses ini merupakan salah satu sumber pencemaran air
yang cukup tinggi jika tidak dilakukan pengolahan limbah. Teknologi pengolahan limbah
1
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

cair baik secara biologi, kimia, fisika,maupun kombinasi antara ketiga proses tersebut
dapat digunakan untuk mengolah limbah cair Industri tekstil.
Beberapa penelitian penghilangan warna dan senyawa organik yang ada dalam
limbah cair industri tekstil telah banyak dilakukan, misalnya dengan cara kimia
menggunakan koagulan, secara fisika dengan sedimentasi, adsorpsi dan lain-lain.
Pengolahan limbah cair dengan menggunakan proses biologi juga banyak diterapkan
untuk mereduksi senyawa organik dari limbah cair industri tekstil. Namun efisiensi
penghilangan warna melalui proses biologi ini seringkali tidak memuaskan, karena zat
warna mempunyai sifat tahan terhadap degradasi biologi (recalcitrance) .
Penghilangan warna secara kimia menggunakan koagulan akan menghasilkan
lumpur (sludge) dalam jumlah yang relatif besar. Lumpur yang dihasilkan ini akhirnya
akan menimbulkan masalah baru bagi unit pengolahan limbah. Menurut Peraturan
Pemerintah No. 19 tahun 1994, lumpur yang dihasilkan industri tekstil diklasifikasikan
sebagai limbah B3, sehingga membutuhkan pengolahan limbah lebih lanjut terhadap
lumpur yang terbentuk. Dengan adanya penanganan lanjutan ini akan menaikkan biaya
operasional unit pengolahan limbah. Sedangkan penggunaan karbon aktif untuk
menghilangkan warna juga memerlukan biaya yang cukup tinggi karena harga karbon
aktif relatif mahal. Untuk mengatasi masalah di atas diperlukan altematif baru untuk
mengolah limbah cair indutri tekstil yang efektif dan efisien dalam menurunkan polutan
organik dan zat warna.
1.2. Perumusan Masalah
Limbah cair industri tekstil dapat diamati dengan mudah, karena limbah cairnya
memiliki warna yang pekat. Warna ini berasal dari sisa-sisa zat warna yang merupakan
suatu senyawa kompleks aromatik yang biasanya sukar untuk diuraikan oleh mikroba.
Beberapa penelitian mengenai perombakan zat warna dari limbah cair industri tekstil
secara anerobik dilaporkan telah berhasil mengurangi warna, khususnya zat warna azo ini
umumnya resistan untuk dioksidasi oleh mikoorganisme aerobik.
Proses pengolahan secara anerobik berfungsi sebagai pengolahan pendahuluan
untuk mendegradasi senyawa-senyawa organik kompleks berantai panjang seperti zat
warna menjadi senyawa yang lebih sederhana agar lebih mudah terbiodegradasi pada
proses aerobik. Aplikasi sistem pengolahan limbah cair anaerobik cukup potensial untuk
diteliti pada lapangan pengolahan limbah cair industri tekstil
Perombakan zat warna secara biologi menggunakan proses anaerobik dan aerobik
dilaporkan oleh beberapa peneliti cukup berhasil menurunkan zat warna dan zat organik,
(Haug dkk. 1991, Zaoyan dkk. 1992, Seshadri dkk. 1994). Peneliti-peneliti lain yang
mengkaji perombakan zat warna azo adalah Carliell dkk. (1994). Carliell dkk. (1995),
Knapp dan Newby (1995), Nigam dkk.(1996a), Nigam dkk. 1996b) dan Oxspring dkk.
(1996). Salah satu penelitian yang banyak membahas tentang perombakan zat warna
secara anaerobik adalah penelitian yang dilakukan oleh Calriell dkk. (1995). Pada
penelitian tersebut digunakan mikroorganisme kultur campuran yang dialimatisasi
terlebih dahulu. Hasil penelitian menunjukkan penurunan warna yang cukup tinggi. Laju
penurunan warna ditemukan orde satu terhadap konsentrasi zat warna. Kehadiran karbon
labil dalam sistem anaerobik cukup penting untuk menaikkan laju reduksi zat warna
(CI141 Reactive Red) dengan kondisi operasi pada temperatur 37C dan pH 6,9 (Carliell
dkk. 1995).Yang menjadi permasalahan adalah sampai sejauh mana proses anaerobik2
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

aerobik dapat menurunkan kandungan zat organik dan menurunkan kadar warna limbah
tekstil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan zat warna dewasa ini meningkat, sejalan dengan memangnya seperti
bahan tekstil, makanan maupun obat-obatan. Salah satu proses penting dalam tahap
penyempurnaan bahan tekstil adalah proses pewarnaan. Pemakaian zat warna yang
bertujuan untuk memperindah bahan tekstil teryata membawa dampak bagi kelestarian
lingkungan. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai zat warna dan proses
perombakannya secara biologi menggunakan proses aerob.
2.1. Zat Warna
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan
kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna dengan serat.
zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah senyawa
aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya, fenol dan
turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung nitrogen.
Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna.
Pada tabel 2.1. dapat dilihat beberapa nama gugus kromofor dan memberi daya ikat
terhadap serat yang diwarnainya.
Gugus auksokrom terdiri dari dua golongan, yaitu:
Golongan kation : -NII2 ; NIIR; j -NR2 seperti -NR2CI.
Golongan anion : -S03H; -OH; -COOH seperti -0; -S03; dan lain-lain
Tabel 2.1. Nama dan Struktur Kimia Kromofor
Nama Gugus
Nitroso
Nitro
Grup Azo
Grup Etilen
Grup Karbonil
Grup Karbon Nitrogen
Grup Karbon Sulfur

Struktur Kimia
NO atau (-N-OH)
No2 atau (NN-OOH)
-N N-C
C-C
O-C=NH ; CH=N-C=S ; -C-S-S-C-

2.1.1. Penggolongan Zat Warna


Zat warna dapat digolongkan menurut sumber diperolehnya yaitu zat warna alam
dan zat warna sintetik. Van Croft menggolongkan zat warna berdasarkan pemakaiannya,
misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai serat disebutnya sebagai zat warna
substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat pembantu supaya dapat mewarnai serat
disebut zat reaktif. Kemudian Henneck membagi zat warna menjadi dua bagian menurut
warna yang ditimbulkannya, yakni zat warna monogenetik apabila memberikan hanya
satu warna dan zat warna poligenatik apabila dapat memberikan beberapa warna.
Penggolongan zat warna yang lebih umum dikenal adalah berdasarkan konstitusi
3
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

(struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaannya) pada bahan, misalnya
didalam pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit, kertas dan bahan-bahan lain.
Penggolongan zat warna menurut "Colours Index" volume 3, yang terutama
menggolongkan atas dasar sistem kromofor yang berbeda misalnya zat warna Azo,
Antrakuinon, Ftalosia, Nitroso, Indigo, Benzodifuran, Okazin, Polimetil, Di- dan Tri-Aril
Karbonium, Poliksilik, Aromatik Karbonil, Quionftalen, Sulfer, Nitro, Nitrosol dan lainlain (Heaton, 1994).
Zat warna Azo merupakan jenis zat warna sistetis yang cukup penting. Lebih dari
50% zat warna dalam daftar Color Index adalah jenis zat warna azo. Zat warna azo
mempunyai sistem kromofor dari gugus azo (-N=N-) yang berikatan dengan gugus
aromatik. Lingkungan zat warna azo sangat luas, dari warna kuning, merah, jingga, biru
AL (Navy Blue), violet dan hitam, hanya warna hijau yang sangat terbatas.
Penggolongan lain yang biasa digunakan terutama pada proses pencelupan dan
pencapan pada industri tekstil adalah penggolongan berdasarkan aplikasi (cara
pewarnaan). Zat warna tersebut dapat digolongkan sebagai zat warna asam, basa, direk,
dispersi, pigmen, reaktif, solven, belerang , bejana dan lain-lain.
Dari uraian di alas jelaslah bahwa tiap-tiap jenis zat warna mempunyai kegunaan
tertentu dan sifat-sifatnya tertentu pula. Pemilihan zat warna yang akan dipakai
bergantung pada bermacam faktor antara lain : jenis serat yang akan diwarnai, macam
wana yang dipilih dan warna-warna yang tersedia, tahan lunturnya dan peralatan produksi
yang tersedia
Jenis yang paling banyak digunakan saat ini adalah zat warna reaktif dan zat
warna dispersi. Hal ini disebabkan produksi bahan tekstil dewasa ini adalah serat sintetik
seperti serat polamida, poliester dan poliakrilat. Bahan tekstil sintetik ini, terutama serat
poliester, kebanyakan hanya dapat dicelup dengan zat warna dispersi. Demikian juga
untuk zat warna reaktif yang dapat mewarnai bahan kapas dengan baik.
2.1.2. Zat Warna Reaktif
Dalam daftar "Color Index" golongan zat warna yang terbesar jumlahnya adalah
zat warna azo, dan dari zat warna yang berkromofor azo ini yang paling banyak adalah
zat warna reaktif zat warna reaktif ini banyak digunakan dalam proses pencelupan bahan
tekstil.
Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakuinon
dengan berat molekul relatif kecil. Daya serap terhadap serat tidak besar. Sehingga zat
warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan. Gugus-gugus penghubung
dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan lat wama terhadap asam atau basa.
Gugus-gugus reaktif merupakan bagian-bagian dari zat warna yang mudah lepas. Dengan
lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi dengan serat kain. Pada
umumnya agar reaksi dapat berjalan dengan baik maka diperlukan penambahan alkali
atau asam sehingga mencapai pH tertentu.
Disamping terjadinya reaksi antara zat warna dengan serat membentuk ikatan
primer kovalen yang merupakan ikatan pseudo ester atau eter, molekul air pun dapat juga
mengadakan reaksi hidrolisa dengan molekul zat warna, dengan memberikan komponen
zat warna yang tidak reaktif lagi. Reaksi hidrolisa tersebut akan bertambah cepat dengan
kenaikan temperatur.
4
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Selulosa mempunyai gugus alkohol primer dan sekunder yang keduanya mampu
mengadakan reaksi dengan zat warna reaktif. Tetapi kecepatan reaktif alkohol primer
jauh lebih tinggi daripada alkohol sekunder. Mekanisme reaksi pada umumnya dapat
digambarkan sebagai penyerapan unsur positif pada zat warna reaktif terhadap gugus
hidroksil pada selulosa yang terionisasi. Agar dapat bereaksi zat warna memerlukan
penambahan alkali yang berguna untuk mengatur suasana yang cocok untuk bereaksi,
mendorong pembentukan ion selulosa dan menetralkan asam-asam hasil reaksi.
Tabel 2.2
Karakteristik Limbah Cair dari Proses penyempurnaan Beberapa Bahan Tekstil
Parameter

Unit

Kadar
Pencemaran dari
Proses Pencucian
Bahan Kapas dan
Sintetik

Kadar Pencemaran
dari Proses
Pencelupan Bahan
Kapas dan Sintetik

Bahan Mutu
Limbah Cair
Industri Tekstil
Kadar Maksimum

BOD5
TSS
COD
Minyak/Lemak
Krom, Total
Fenol
Sulfida
Warna
pH

mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/
mg/l
ADM
-

100-850
40-495
425-1440
0.05
0.04-0.27
0.20-2.72
325-400
7-11

75-340
25-75
200-1010
0.013
0.12
500
7-12

85
60
250
5.0
2.0
1.0
6.0-9.0

Sumber : Arena Tekstil, No.24 tahun 1995 dan baku Mutu limbah cair Lampiran A.IX Keputusan Menteri Neg.
lingkungan Hidup No.Kep-51/MENLH/10/1995.

2.2. Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil


Pengolahan limbah cair industri tekstil dapat dilakukan secara kimia, fisika,
biologi ataupun gabungan dari ketiganya. Pengolahan secara kimia dilakukan dengan
koagulasi, flokulasi dan netralisasi. Proses koagulasi dan flokulasi dilakukan dengan
penambahan koagulan dan flokulan untuk menstabilkan partikel-partikel koloid dan
padatan tersuspensi membentuk gumpalan yang dapat mengendap oleh gaya gravitasi.
Proses gabungan secara kimia dan fisika seperti pengolahan limbah cair secara kimia
(koagulasi) yang diikuti pengendapan lumpur atau dengan cara oksidasi menggunakan
ozon.
Pengolahan limbah cair secara fisika dapat dilakukan dengan cara adsorpsi, filtrasi
dan sedimentasi. Adsorpsi dilakukan dengan penambahan adsorban, karbon aktif atau
sejenisnya. Filtrasi merupakan proses pemisahan padat-cair melalui suatu alat penyaring
(filter). Sedimentasi merupakan proses pemisahan padat-cair dengan cara mengendapkan
partikel tersuspensi dengan adanya gaya gravitasi.
Pengolahan limbah cair secara biologi adalah pemanfaatan aktivitas
mikroorganisme menguraikan bahan-bahan organik yang terkandung dalam air limbah.
Dari ketiga cara pengolahan diatas masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Pengolahan limbah cair secara kimia akan menghasilkan lumpur dalam
jumlah yang besar, sehingga menimbulkan masalah baru untuk penanganan lumpurnya.
Oksidasi menggunakan ozon selain biaya tinggi juga tidak efektif untuk mereduksi sulfur
5
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

yang ada di dalam limbah. Penggunaan karbon aktif dalam pengolahan limbah yang
mengandung zat warna menghasilkan persen penurunan zat warna tinggi, tetapi harga
karbon aktif relatif mahal dan juga akan menambah ongkos peralatan untuk regenerasi
karbon aktif tersebut.
Proses pengolahan limbah cair secara biologi adalah salah satu alternatif
pengolahan yang sederhana dan ekonomis. Pada proses ini tidak diperlukan bahan kimia
seperti pada proses koagulasi sehingga biaya operasinya relatif lebih rendah. Pengolahan
limbah cair secara biologi ini dapat dikategorikan pada pengolahan limbah secara
anaerobik dan aerobik atau kombinasi keduanya. Namun sampai sekarang ini pengolahan
dengan sistem lumpur aktif tidak efisien untuk menghilangkan warna dari efluen industri
tekstil. Fakta dapat dilihat dari hasil penelitian Meyer (1981), bahwa penghilangan warna
dari antrakuinon dan azo pada sistem ini sangat kecil. Meskipun penelitian yang lain
menunjukkan bahwa mikroorganisme aerobik strain tertentu dapat beradaptasi untuk
mendegradasikan zat warna azo sederhana (Kulla, 1981).
2.3. Degradasi Zat Warna
Tekstil dengan Sistem Anaerobik Limbah cair industri tekstil dari proses
pewarnaan mengandung warna yang cukup pekat. Zat warna ini berasal dari sisa-sisa zat
warna yang tak larut dan juga dari kotoran yang berasal dari serat alam. Warna selain
mengganggu keindahan, mungkin juga bersifat racun dan sukar dihilangkan. Beberapa
penelitian tentang biodegradasi zat warna khususnya zat warna azo telah dilaporkan
(Seshadri dkk., 1994; Carliell dkk. 1995; Kenapp dan Newby, 1995 ; Nigam dkk. 1996;
Oxspring dkk. 1996). Zat warna azo ini banyak digunakan dalam industri tekstil,
makanan, obat-obatan dan kosmetika. Pada tahun 1990 di negara Amerika Serikat
penjualan zat warna azo menduduki nomor teratas daripada golongan zat warna lain
(Heaton, 1994).
Penelitian perombakan zat warna ini berawal dari penemuan hasil metabolisme
hewan mamalia yang diberi makanan campuran zat warna azo. Zat warna azo yang
masuk ke dalam pencernaan hewan ini direduksi oleh mikroflora yang berada di dalam
saluran pencernaan pada kandisi anaerobik. Ikatan azo yang direduksi ini menghasilkan
produk samping (intermediat) yaitu turunan amino azo benzen yang dikhawatirkan
karsinagen. Meyer (1981) menjelaskan bahwa reduksi azo dikatalisa aleh enzim azo
reduktase di dalam liver sama dengan reduksi aza aleh mikroorganisme yang ada di
dalam pencemaan pada kandisi anaerobik. Dari hasil penelitian-penelitian inilah
berkembang penelitian lanjutan perombakan zat warna secara anaerobik. Selanjutnya
biadegradasi zat warna dengan kandisi anaerobik ini cukup patensial untuk merombak zat
warna tekstil.
Perlakuan secara anaerobik pada dasarnya sebagai pengalahan pendahuluan untuk
limbah cair yang mengandung bahan organik tinggi dan sukar untuk didegradasi. Pada
proses anaerobik terjadi pemutusan molekul-molekul yang sangat kompleks menjadi
molekul-molekul yang lebih sederhana, sehingga mudah terbiadegradasi oleh proses
aerobik menjadi CO2, H2O, NH3 dan Biomassa. Pada Gambar 2.1. dapat dilihat
biadegradasi zat warna secara anaerabik-aerobik.

6
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1.
Biodegradasi Zat Warna Azo dengan Proses Anaerobik-Aerobik
(Sumber: Zaoyan, dkk, 1992).
Bhattacharya dkk (1990), menggunakan zat warna Acid Orange 10, yaitu zat
warna mono azo yang larut dalam air. Penghilangan warna dilakukan secara anaerobikaerobik pada skala lab; diperoleh penurunan warna pada sistem anaerobik sebesar 3050% dan aerobik 1-18%. Kemudian pada tahun 1992 Zaoyan dkk menerapkan perlakuan
anaerobik-aerobik pada percobaan skala pilot. Diperoleh hasil penurunan COD 75-80%,
warna 72-78%, PVA 80-85% dan BOD 95% dengan waktu tinggal cairan 7-8 jam
(anaerbik) dan 4,4 - 5 jam (aerobik).
Haug dkk; (1992), mengadakan perlakuan yang sama untuk merombak zat warna
Acid Red 27,4 Hydrokxy azobenzene-4-sulphonic acid, Acid Yellow 23, Acid Yellow 21
dan Mordant Yellow 3 (MY3). Haug menyimpulkan bahwa pada kondisi anaerobik
dibutuhkan empat reduksi ekivalen untuk memutuskan ikatan ala, sehingga menghasilkan
amina-amina aromatik. MY3 yang direduksi secara anaerobik menghasilkan 6aminonaphthalene-2-sulfonic acid (6A2NS) dan 5 aminosalicylate (5AS). Laju reduksi
azo juga akan meningkat dengan penambahan glukosa ke dalam media sebagai sumber
karbon tambahan. Setelah 3 hari inkubasi di bawah kondisi anaerobik pada temperatur
37C diperoleh persen penurunan zat warna Amarant 37%, 4hidroksiazobenzene-4sulfonic acid 43%, acid yellow 21 98% dan lat warna MY3 51 %.
Seshadri dan Bishop (1994), melakukan percobaan menggunakan empat zat
warna yaitu zat warna Acid Orange 7, Acid Orange 8, Acid Orange 10 dan Acid Red 14.
Penelitian dititikberatkan pada feasibilitas penggunaan reaktor embun fluidisasi untuk
kesempurnaan pemutusan ikatan zat warna. Reaktor ini berfungsi untuk mereduksi ikatan
ala menjadi amina-amina aromatik. Kemudian dilakukan pengolahan lanjutan secara
aerobik menggunakan reaktor lumpur aktif (Activated Sludge Reactor) untuk
mendegradasi amina-amina aromatik menjadi biomassa. Hasil reduksi masing-masing zat
warna dengan waktu tinggal cairan (HRT) bervariasi 1-24 jam diperoleh persen
penurunan warna sebagai berikut : Acid Orange 7 (90%), Acid Orange 10 (1782%), Acid
Orange 8 (98%), dan Acid Red 14 (86,3%).
Ikatan zat warna azo dapat direduksi oleh mikroorganisme anaerobik yang
berperanan panting dalam pemutusan ikatan. Meyer, (1981); Haug dkk., (1991) dan
7
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Carliell dkk., (1994) telah meneliti dan melaporkan mekanisme perombakan zat warna
secara anaerob.
2.4. Mekanisme Perombakan Zat
Tesktil pada Kondisi Anaerobik Proses penghilangan warna pada campuran azo
terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama reaksi yang terjadi tidak stabil, karena masih ada
molekul oksigen dalam media, yang dinyatakan sebagai persaingan dari oksida (zat
warna dan oksiogen) pada saat respisasi. Pada kondisi oksidasi zat warna akan kembali
ke bentuk semula. (Pers. 2.1.). Setelah molekul oksigen yang ada dalam media habis
maka proses perombakan zat warna akan stabil (Pers. 2.2.).
R1-N=N-R2 + 2e- + 2H+
R1-NH-NH-R2 + 2e- + 2H+

R1-NH-NH-R2............(2.1.)
R1-NH2 + R2-NH2...... .(2.2.)

dimana R1 dan R2 adalah substitusi dari residu fenil dan naphtol.


Khan dkk., (1983) yang dilaporkan oleh Kremer (1989) menyimpulkan bahwa
reduksi azo secara enzimatis dikatalisa oleh suatu enzim yang disebut azo reduktase.
Enzim ini sensitif terhadap oksigen, sehingga aktivitas maksimum diperoleh pada kondisi
anaerobik. Hasil penelitian ini masih kurang jelas apakah azoreduktase secara langsung
mengkatalisa transfer elektron akhir ke campuran zat. Ternyata secara umum digunakan
hasil penelitian yang dilaporkan oleh Gingel dan Walker (1971), Larsen dkk. (1976),
Wuhrmann dkk. (1980), dan Haug dkk. (1991). Mereka mengatakan bahwa reduksi azo
terjadi bersama dengan terbentuknya flavin yang tereduksi secara enzimatik, tetapi
transfer elektron akhir terjadi secara non enzimatik.
Mekanisme dasar pemutusan ikatan azo terjadi bersamaan dengan reoksidasi dari
nukleotida yang dibangkitkan secara enzimatis. Selama nukleotida direduksi dari sistem
pengangkutan elektron, zat warna berperan sebagai oksidator. Elektron yang dilepas oleh
nukleotida yang mengalami oksidasi akan diterima oleh campuran azo (aseptor elektron
akhir) melalui FAD (Flavin Adenin Dinucleotida) sehingga zat warna dapat direduksi
menjadi amina-amina yang bersesuaian. Flavoprotein mengkatalisa pembentukan flavinflavin tereduksi dengan regenerasi dari Nikotinamida Adenin Dinucleotida fosfat
(NADPH).
Mekanisme reduksi azo oleh enzim dan NADPH yang dilaporkan oleh Carliell
dkk (1995) dapat dilihat pada reaksi :

8
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Pemutusan ikatan azo dari zat warna Cl - 141 terjadi dengan bantuan enzim dan
NADPH yang dilakukan pada percobaan Carliell dkk (1995) diperkirakan akan
menghasilkan tiga pecahan yang diidentifikasi sebagai (I) 2-aminonaphtalene-1.5disulphonic acid; (II) 1.7 -diamino-8-naphto-3.6 disulphonic acid; dan (III) p-diaminobenzene, yang diidentifikasi menggunakan TLC dan analisa NMR. (Gambar 2.2.).

Gambar 2.2.
Degradasi Zat Warna C.I Reactive Red 141 yang diusulkan oleh Carliell dkk (1995)
Mekanisme perombakan zat warna yang dilaporkan oleh Gingel dan Walker
(1971) dengan penambahan flavin yang dapat larut ke preparasi sel bebas S. faecalis
meningkatkan laju reduksi azo. Ini berarti laju reduksi campuran azo sebanding dengan
laju generasi dari FMN tereduksi. Flavin yang tereduksi berperan sebagai dua elektron
donor seperti reaksi:
FMNH2 + R - N = N - R1
FMNH2 + R - NHNH - R1

FMN + R - NH = NH - R1
FMN + R-NH2 + R-NH2

Zat warna azo bertindak sebagai elektron aseptor akhir bila tidak ada oksigen
yang hadir di dalam media. Selanjutnya laju reduksi azo akan ditentukan oleh laju
pembentukan elektron donor yaitu nukleatida tereduksi. Laju pembentukan flavin ini
berhubungan dengan metabolisme dari mikroba.
Haug dkk (1991) mengatakan bahwa reduksi azo peka terhadap jumlah sumber
karbon yang tersedia dalam sistem, sehingga katabolisme dari substrat ini yang
menyebabkan terbentuknya fiavin tereduksi. Laju reduksi azo akan dikontrol dari
kemampuan dari karbon tambahan yang hadir dalam sistem.
Dubin dan Wright (1975) melaporkan bahwa kinetika reduksi azo untuk reduksi
yang terjadi di luar sel, dan sistem bebas sel adalah orde nol, sedangkan menurut Larsen
9
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

(1976) Whurmann dkk (1980), dan Kremer (1989) kinetika reduksi azo di dalam sel
adalah orde satu. Agar reduksi azo dapat mengikuti kinetika di atas maka elektron aseptor
yang bersaing dalam mendapatkan elektron (competitive electron acceptor) harus
dihilangkan terlebih dahulu dari media. Jika pada media masih terdapat elektron aseptor
selain zat warna maka laju reduksi azo akan terhambat dan warna tidak dapat hilang. Dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan, secara umum masih dititik beratkan pada
pengolahan air limbah sintetik, belum dilakukan terhadap limbah cair industri. Hal yang
sama juga akan dilakukan pada penelitian ini.
2.5. Proses Aerob
Salah satu sistem pengolahan secara aerob yang digunakan untuk mengolah
limbah organik adalah sistem lumpur aktif. Proses lumpur aktif dilaporkan pertama kali
oleh Arden dan Lockett tahun 1914 (Stanbury, 1984).
2.5.1. Metabolisme Sel
Metabolisme sel merupakan seluruh rangkaian proses dan konversi biokimiawi
yang berlangsung di dalam sel hidup. Dua proses utama dalam metabolisme adalah
katabolisme dan anabolisme. Proses katabolisme adalah penguraian substrat menjadi
produk-produk antara melalui reaksi oksidasi sambil melepaskan energi (eksergonik).
Sementara itu proses anabolisme adalah proses sintesis komponen penyusun sel baru dari
produk-produk antara hasil katabolisme melalui reaksi reduksi yang memerlukan energi
(ndergonik).
Sistem aerob membutuhkan pemakaian oksigen dari atmosfer atau sumber
oksigen murni. Sumber C dari air limbah merupakan bahan makanan mikroorganisme
untuk melangsungkan kehidupan.
Proses metabolisme secara umum adalah sebagai berikut:

dengan Pi adalah senyawa fosfat organik.


Adenosin trifosfat (A TP) adalah senyawa yang sangat penting dalam
metabolisme karena berfungsi sebagai penghubung antara proses katabolisme dan
anabolisme. Selama proses katabalisme berlangsung, ATP dibentuk dari adenasin difasfat
(ADP) dengan menggunakan energi yang berasal dari aksida substrat. Selanjutnya dalam
proses anabalisme, ATP kembali diubah menjadi ADP sambil melepaskan energi yang
10
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

diperoleh dari proses katabalisme. Energi inilah yang digunakan untuk sintetis
kompanen-komponen penyusun sel baru.
2.6. Perombakan Limbah Tekstil Secara Anaerob dan Aerob
Zat warna buangan industri terdapat dalam bentuk larutan dispersi dan larutan
murni. Zat warna azo adalah senyawa kimia xenobiatik yang mempunyai ciri-ciri struktur
tidak alami dan tidak biasa ditemukan di alam. Karena tidak ditemukan di alam, maka
jarang terjadi reaksi biolagi dan harus dibuat sesuai dengan lingkungan.
Perhatian lingkungan difakuskan pada polusi dan potensi zat warna yang
menghasilkan produk degradasi yang bersifat racun. Zat warna azo sengaja dibuat dengan
kualitas yang baik sehingga sulit dirombak. Umumnya degradasi zat warna azo
mengalami 2 tahap yaitu pertama tahap anaerob dan kedua tahap aerob.
Bhrom dan Frowein (1937), menyatakan biadegradasi senyawa azo dapat terjadi
dalam sistem anaerob dan aerob. Tahap pertama biodegradasi adalah pembelahan
kelampak azo (secara ), dimana te~adi penghilangan warna. Tahap kedua (kondisi aerob),
senyawa aromatik ada dapat di degradasi melalui hydoxylation dan membuka cincin.
Tahap ini dilakukan untuk mendekomposisi lebih lanjut kemungkinan amina aromatik
yang bersifat racun dan karsiogenik.
Proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4.
Biodegradasi zat warna azo dengan proses anaerob dan aerob
Kun dkk. (1992) melaporkan bahwa proses anaerobik dapat digunakan untuk
mendegradasi senyawa aromatik berantai panjang menjadi senyawa aromatik berantai
pendek. Senyawa aromatik dapat didegradasi lebih lanjut dalam kondisi aerob. Peneliti
menunjukkan bahwa kondisi aerob lebih ditujukan untuk mineralisasi, dengan sedikit
atau tidak ada degradasi senyawa seperti yang terjadi pada kondisi anaerob. Perlakuan
aerob lebih layak untuk mineralisasi produk degradasi (Brown dan Hamburger, 1987).
Sanjay dkk (1990) melakukan perombakan zat warna Acid Orange, Acid Red 88,
dan Acid Orange dengan perlakuan anaerob-aerob, hasilnya senyawa organik dihilangkan
0-98%.
Perlakuan anaerob-aerob untuk degradasi total zat warna azo muncul sebagai
pilihan yang logis dan menarik. Haug dkk (1991) menyimpulkan bahwa sistem anaerob
11
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

dan aerob perlu untuk mineralisasi zat warna azo tersulfonasi. Di bawah kondisi
anaerobik, 6A2NS-degrading mixed bacterial culturee mengurangi sulfonated azo dye
Mordant Yellow 3 menjadi amina sederhana.
Komponen ini dipilih karena pemecahan reduktif ikatan azo dari MY3 akan
menghasilkan 6A2NS dan SAS, yang keduanya merupakan substrat pertumbuhan untuk
6A2NS-degrading mixed culturee di bawah kondisi aerobik. Pada kondisi ini terjadi
perubahan warna. Setelah reaksi kultur, amina ini dimineralisasi oleh kultur bakteri
lainnya. Pada kondisi aerobik, tidak ada penghilangan warna dari zat warna azo yang
teramati. Jadi total degradasi sulfonated azo dye dicapai dengan menggunakan perlakuan
anaerobik-aerobik. Perombakan zat warna ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Pada tahap anaerob tidak hanya warna yang dapat dihilangkan, tetapi juga bahan
yang sulit diuraikan secara biologi dapat dikurangi menjadi bahan yang dapat diuraikan
secara biologi. Beberapa organik yang tidak mudah larut dan organik kompleks yang
mudah larut dalam limbah zat wama dapat dikurangi menjadi organik sederhana yang
mudah larut. Oksidasi produk akhir adalah asam rantai pendek yang mudah menguap
yang dapat didegradasi lebih lanjut dalam tahap aerob. Hal ini dapat dibuktikan dari
percobaan Zaoyan, et al, yang membandingkan perlakuan aerob dengan perlakuan
anaerob-aerob pada Rotating Biological Contactor (RBC).
Hasil RBC aerob pada kondisi yang sama menunjukkan penghilangan warna tidak
sebaik proses anaerob-aerob. Penghilangan warna kurang dari 60% dan warna keluaran
hampir sama dengan warna masukan, tetapi COO, BOO dan PVA dan LAS hampir sama
dengan proses anaerobaerab. Bhattacharya dkk (1990), menggunakan zat warna Acid
Orange 10, yaitu zat warna mono zat yang larut dalam air. Penghilangan warna dilakukan
secara anaerob-aerob pada skala lab, diperoleh penurunan warna pada sistem anaerob
sebesar 30-50% dan aerob 1-18%.
Jadi perlakuan aerob memberikan hasil degradasi warna yang tinggi dengan hasil
biodegradasi rendah. Perlakuan aerob memberikan hasil sebaliknya. Kombinasi
perlakuan dengan urutan anaerob sebagai perlakuan awal dan aerob sebagai perlakuan
kanjut, memberikan hasil yang lebih baik.

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELlTIAN
12
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

3.1. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kemampuan proses anaerob-aerob
untuk menurunkan kandungan zat.
3.2. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
2. Pengembangan ilmu pengetahuan yaitu dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
di bidang bioteknologi khususnya bioproses.
3. Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai informasi awal dalam
pengolahan limbah cair industri tekstil secara biologi anaerob-aerob.

BAB IV
METODE PENELlTIAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai bahan dan metoda percobaan, tahap
percobaan dan variabel percobaan.
4.1. Bahan dan Metoda Percobaan
4.1.1. Bahan
Perombakan zat warna secara anaerob-aerob dilakukan berdasarkan penelitian
yang dilakukan Batthacarya (1990), namun temperatur yang digunakan adalah 45C.
Bahan yang digunakan:
1. Inokulum: lumpur aktif yang digunakan untuk mengolah limbah cair industri
tekstil digunakan sebagai inokulum. Lumpur aktif yang digunakan berasal dari
bak pengolahan aerob perusahaan tekstil di Kota Bandung. Pabrik tekstil ini
memanfaatkan metode mikrobiologis aerob dalam pengolahan limbah cairnya.
Sebelum percobaan, konsentrasi biomassa perlu diukur, menggunakan standar
method APHA 1992 yang dicantumkan pada Lampiran B.
2. Zat warna: zat warna yang digunakan sebagai umpan dalam peneltian ini adalah
Cl Reactive Red 141 dengan konsentrasi 10 ppm. Sebelum zat warna digunakan,
zat warna diubah ke bentuk terhidrolisa untuk mendekati kondisi zat warna dalam
limbah cair pabrik tekstil. Cara mengubah zat warna ke bentuk hidrolisa (Ganesh,
dkk, 1994) :
Zat warna Cl Reactive Red 141 dibuat sampai konsentrasi 5000 ppm.
Larutan zat warna diubah ke bentuk vinyl sulfone dengan menambahkan
NaOH sampai pH larutan 11-12.
Larutan zat wama tersebut kemudian diubah ke bentuk terhidrolisa dengan
memanaskannya dalam oven bertemperatur 90C selama 12 jam.
3. Medium: medium rang digunakan sesuai dengan Carliell dkk (1995), dengan
sedikit perubahan larutan Becombion sebanyak 0.2 ml (4 tetes) dalam 1 liter
akuades. Persiapan medium keseluruhan ditampilkan pada Lampiran A.
13
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Komposisi
Thimine Hydrochloride
Riboflavine-5Phosphate Sodium
Nicotinamide
Panthotenic Acid
Panthothenyl Alcohol
Biotin
Pyridoxol Hydrochloride
Cyanocobalamin
Folic Acid

Konsentraasi (mg/l)LS4
Percobaan (Becombion)
1,0
0,4

Konsentrasi (mg/l) LS 4
(Caarliell, dkk, 1995)
0,5
5,0

4,0
0,6
0,05
0,4
0,8
(+)2,0

0,5
2,0
0,1
2,0

4.1.2. Alat
Alat yang digunakan meliputi:
1. Tangki umpan
2. Reaktor, dengan kapasitas 3,5 L dan 7 L .
3. Tangki keluaran
4. Alat sentrifugasi
5. pH meter, untuk menentukan derajat kemasaman medium
6. Spektrofotometer
7. Penentuan konsentrasi biomassa diperlukan: desikator, neraca elektronik, oven,
kertas saring Wathmann NO. 45
8. Peralatan gelas yang diperlukan: galas kimia, pipet volum, labu erlenmeyer, dan
lain-lain
4.2. Prosedur Percobaan
4.2.1. Tahap Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah suatu cara mengkondisikan mikroba supaya dapat hidup
dengan menggunakan limbah zat warna sebagai substratnya. Kultur mikroba yang
digunakan berasal dari limbah tekstil yang biasa digunakan untuk pengolahan limbah
dalam industri tekstil. Tahap aklimatisasi memerlukan waktu kurang, lebih 1-2 bulan.
Aklimatisasi dilakukan pada proses anaerob dan aerob dengan menggunakan
medium yang disajikan pada Lampiran A. Pada tahap awal aklimatisasi digunakan
glukosa untuk pembibitan (seeding). Setelah jumlah mikroorganisme mencukupi, secara
bertahap glukosa diganti dengan zat warna namun perubahan jumlah glukosa dan jumlah
zat warna sangat tergantung pada kadar MLSS. Apabila kadar MLSS tinggi, maka
pengurangan glukosa dan penambahan zat warna akan terus dilakukan. Tetapi apabila
kadar MLSS rendah, maka dilakukan penambahan glukosa dan pengurangan zat warna.
Pada tahap aklimatisasi ini dilakukan pengukuran konsentrasi padatan tersuspensi
dalam bioreaktor secara berkala.
4.2.2. Proses Awal
Pada proses awal dilakukan penambahan zat warna dengan konsentrasi 100 ppm
secara teratur ke dalam reaktor anaerob dan aerob sebanyak 3,5 L/hari dengan waktu
14
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

tinggal cairan HRT = 48 jam. Proses ini akan membiasakan mikroba menggunakan zat
warna sebagai substratnya. Proses ini berlangsung kurang lebih 1 bulan.
4.2.3. Proses Biologis
Bioreaktor anaerob dijalankan dengan waktu tinggal cairan HRT = 24 jam pada
kondisi pH 6 - 7 dan suhu 45C. Sedangkan untuk bioreaktor aerob dijalankan pada HRT
= 48 jam. Pengaturan waktu tinggal sel dilakukan dengan mengatur jumlah biomassa
yang dikeluarkan dari reaktor. Hal ini dilakukan dengan Gambaran menyaring sejumlah
tertentu isi reaktor dan membuang padatan yang tersaring, sedangkan supernanantnya
dimasukkan lagi, sehingga volume cairan dalam reaktor tetap.
Nilai konsentrasi zat warna aliran umpan dan keluaran tangki anaerob dan aerob,
serta MLSS tangki aerob diukur secara berkala (setiap hari). Saat pengukuran MLSS
menunjukkan nilai yang konstan, dilakukan pengukuran COO dan BOO.
4.4. Prosedur Analisa
Analisa dilakukan untuk mengetahui kandungan COD, BOO, MLSS dan
konsentrasi zat warna.
4.4.1. Analisis COD
Hasil analisis COD menunjukkan kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi
senyawa-senyawa organik dengan reaksi kimia dalam 1 liter larutan. Analisis COD
dilakukan dengan menggunakan oksidator bikromat (K2Cr2O7). Prinsip pemeriksaannya
adalah zat organik dioksidasi dengan bikromat dalam suasana asam. Kelebihan bikromat
dititrasi dengan garam ferm amonium sulfat (FAS) dengan menggunakan indikator
ferroin.
Analisis COO dengan cara ini memiliki beberapa kelemahan :
1. Beberapa substansi anorganik seperti sulfida, sulfid, tiosulfat dan besi dapat
dioksidasi oleh bikromat menghasilkan COD anorganik, sehingga menyesatkan
perhitungan kandungan senyawa organik dalam limbah.
2. Beberapa senyawa organik seperti asam alifatik jenuh dan alkohol tidak
dioksidasi secara efisien oleh bikromat.
3. Ion khlorida dapat dioksidasi oleh bikromat.
Untuk menghindari teroksidasinya ion khlorida dapat ditambahkan HgSO4 dalam
sampel. Agar oksidasi senyawa organik terjadi lebih efisien, perak sulfat (AgSO4)
ditambahkan ke dalam sampel. Prosedur analisis COD dapat dilihat pada Lampiran B.
4.4.2. Analisis BOD
Hasil analisis BOD menunjukkan banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh
bakteri untuik menguraikan zat organik pada rentang waktu 5 hari. Pada prinsipnya
pemeriksaaan BOD berdasarkan pada reaksi oksidasi zat organik dengan oksigen dalam
larutan, dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik. Alat yang
digunakan pada pengukuran BOD ini adalah Velp monometric. Pengukuran BOD
dilakukan pada temperatur ruang. Karena analisis BOD membutuhkan waktu 5 hari,
maka tidak dilakukan setiap hari. Prosedur penentuan BOD dapat dilihat pada Lampiran
B.
15
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

4.4.4. Analisis MLSS


Analisis MLSS dilakukan dengan menyaring 25 mL lumpur menggunakan kertas
saring dalam corong Buchner yang dilengkapi dengan pompa vakum, dan padatan yang
tertahan dalam kertas saring dikeringkan pada temperatur 105C selama 1 jam. Prosedur
penentuan MLSS dapat dilihat pada Lampiran B.
4.4.5. Analisis Pengukuran Warna
Pengukuran konsentrasi warna dilakukan setiap hari dengan mengambil sampel dari
umpan, keluaran tangki anaerob dan aerob, kemudian disentrifugasi pada 5000 rpm
selama 20 menit untuk memisahkan padatan tersuspensi. Supematant dianalisa dengan
spectrofotometri 'Spectronic 20' pada panjang gelombang maksimum absorbansi untuk
zat warna C 1-141 yaitu 520 nm. Konversi hasil bacaan absorbansi ke konsentrasi zat
warna dilakukan menggunakan kurva kalibrasi.

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan ditampilkan hasil yang telah dicapai dalam penelitian beserta
pembahasannya. Pembahasan akan meliputi fenomena yang diamati pada proses
gabungan anaerob-aerob lumpur aktif. Hasil pengamatan akan dibahas dalam 4 sub bab
yaitu umpan, proses anaerob, proses aerob dan proses gabungan anerob-aerob.
5.1. Umpan
Umpan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari medium dan zat warna.
Larutan medium yang digunakan tercantum pada Lampiran A (Carliell, 19995). Dengan
sedikit perubahan seperti dijelaskan pada bab III, sedangkan konsentrasi zat warna dalam
umpan sebesar 10 mg/I. Keadaaan kandungan umpan tersebut mempunyai nilai COD dan
BOD seperti tersaji pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Data COD dan BOO Umpan Segar
Parameter
COD (mg/l)
1350
BOD (mg/l)
236
BOD/COD
0.17
5.2. Proses Anaerob
Pada proses anaerob temperatur diatur konstan pada 45C dan pH sekitar 6-7.
5.2.1. Degradasi Zat Warna
Proses anaerob dimaksudkan untuk mendegradasi senyawa organik kompleks
seperti zat warna, menjadi senyawa yang lebih sederhana agar mudah terbiodegradasi
pada proses aerob. Pada penelitian ini, zat warna pada umpan yang semula berwarna
merah, setelah melalui proses anaerob berubah menjadi kuning muda. Ini menunjukkan
bahwa terjadi degradasi zat warna pada umpan setelah melalui proses anaerob.
16
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

5.2.2. Perubahan COD dan BOO


Sama seperti degradasi zat warna, penurunan nilai COD pada anaerob disajikan pada
Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Perubahan COD dan BOO pada Proses Anaerob
Anaerob 1
Anaerob 2
Anaerob 3 Anaerob 4
COD (mg/l)
293
245
235
187
Penurunan COD (%)
78.9
82.3
83.1
86.9
BOD (mg/l)
122
117
75
58
BOD/COD
0.4
0.4
0.3
0.3
Dilihat dari hasil percobaan, persentase penurunan COD dari proses anaerob
disemua tempuhan kurang lebih 80% dengan nilai COD 187 - 293 mg/I.
Dari hubungan antara COD dan BOD (BOD/COD) dapat dilihat biodegradabilitas
keluaran anaerob. Nilai awal (umpan) BOO/COD adalah 0.17 (Tabel 5.1.), kemudian
pada keluaran anaerob nilai BOD/COD meningkat mencapai nilai 0.3 - 0.4. Nilai rasio
BOD/COD mencapai 1.8 - 2.3 kali dari BOD/COD awal. Dengan peningkatan nilai
BOD/COD berarti umpan semakin mudah didegradasi oleh mikroorganisme proses aerob
(Setiadi dkk, 1997). Hal ini disebabkan, senyawa kompleks zat warna telah didegradasi
menjadi senyawa aromatik yang lebih sederhana.
5.3. Proses Aerob
Pada proses aerob, senyawa aromatik sederhana (hasil dari proses anaerob) akan
didegradasi dengan hydoxilation membuka cincin (Brohm dan Frowein, 1937).
Konsentrasi akhir zat warna dalam proses aerob antara 0.66 - 1.79 mg/I.
Konsentrasi ini lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi zat warna hasil aerob. Hasil
ini dapat dilihat secara visual bahwa umpan proses aerob (keluaran anaerob) yang
berwarna kuning muda, keluar dari aerob tetap berwarna kuning muda. Warna kuning
muda hasil proses aerob ini bersifat permanen tanpa terjadi perubahan warna setelah
terjadi kontak dengan udara.
Pada penelitian ini proses anaerob dimaksudkan sebagai pengolahan pendahuluan
untuk mendegradasi senyawa-senyawa organik kompleks berantai panjang menjadi
senyawa yang lebih sederhana agar mudah terbiodegradasi oleh aerob. Jadi dalam
penelitian ini diharapkan pada proses anaerob teradi penghilangan warna, sedangkan pada
proses aerob, terjadi penurunan COD yang besar pada proses anaerob terjadi degradasi
sempurna alat warna yang ditandai dengan hilangnya merah menjadi kuning muda.
Pada penelitian ini, penghilangan zat warna terjadi karena pemutusan ikatan
kromafor gugus azo pada zat wama C1 Reacrive Red 141. Hasil penelitian ini sama
dengan pernyataan Brohm dan Frowein (1997) yang ditunjukkan pada Gambar 5.7.

17
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Gambar 5.7. Biodegradasi Zat Warna Azo dengan Proses Anaerob dan Aerob
Pada Gambar 5.7. dapat dilihat bahwa terjadinya penghilangan warna membuat
senyawa aromatik berantai panjang (zat warna) menjadi senyawa aromatik berantai
pendek. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kun dkk (1992). Senyawa
aromatik berantai pendek mempunyai biodegradibiltas yang tinggi untuk prosesa aerob,
ini ditunjukkan dengan nilai BOD/COD keluaran anaerob lebih besar 1.8 - 2.3 kali
dibandingkan dengan BOD/COD umpan.
Pada proses aerob senyawa aromatik berantai pendek terdegradasi, ini
ditunjukkan oleh nilai BOD hasil aerob tidak terdeteksi lagi (BOD sampel hampir sama
dengan BOD blanko). Senyawa aromatik sederhana didegradasi melalui hydoxilation dan
membuka cincin (Brohm dan Frowein, 1937). Dengan tujuan mineralisasi (Kun dkk,
1992).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini disajikan beberapa kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan. Disamping itu akan diberikan beberapa saran untuk
pengembangan penelitian lebih lanjut.
6.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Proses anaerob dapat memutuskan ikatan kromofor azo (-N=N-) zat warna C1
Reactive Red 141 J yang ditandai dengan hilangnya zat warna secara visual,
tetapi konsentrasi yang tercatat pada spektrofotometer sekitar 1.1 - 2.2. mg/I.
2. Proses anaerob dapat meningkatkan biodegradable limbah sintetis tekstil.
3. Pada proses aerob terjadi penurunan warna antara 20 - 42%, penurunan COD 39 51 %, sedangkan nilai BOD tidak terdeteksi lagi.
4. Pada proses gabungan anaerob-aerob dapat diturunkan nilai COD sekitar 90%
dan warna 2 - 93%.

6.2. Saran

18
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini dilaksanakan masih dengan sistem Batch. Perlu dilakukan penelitian
lanjut yang jilaksanakan secara kontinyu dengan memvariasikan HRT dan SRT gel dan
variasi laju alir.
Penelitian ini juga masih dilakukan menggunakan limbah cair sintetis dengan
konsentrasi zat warna 10 mg/l dan glukosa (sumber karbon) 1 g/l. sistem pengolahan
gabungan anaerob-aerob memungkinkan dikembangkan penggunaan konsentrasi zat
warna lebih tinggi dari 10 mg/l dan sumber karbon yang terdapat dalam limbah tekstil itu
sendiri.

DAFTAR

PUSTAKA

Bailey, J.E., Ollis, D.F., Biochmeical Engineering Fundamental, 2nd edition, Mc Graw
Hill, 1986.
Bhattacharya SK, Wang S., Angara RV., Kawai T dan Bishop F.D., Fate anf Effect of
Azo Dye on an Anaerobic-aerobic System, 44th Purdue Industrial Waste
Conference Proceedings, Lewis Publishers Inc., Chelsea, Michigan, 295-297,
1990.
Browm, Frowein, dikutip dari Zaoyan, Y., Ke, S., Guangliang, S., Fan, y" Jinshan, D. dan
Haunian, M. Anaerobic-aerobic Treatment of a Dye Wstewater by Combination
of RBC with Activated Sludge, Wat. Sci. Tech., 26(9-11), 2093-2096, 1992.
Carliell C.M., Barclay, S.J., Naidoo, No, Bucley, CA, Mulholland, D.A. dan Senior, E.,
Microbial Decolorization of Reactive Red Dye Under Anaerobic Condition,
Water SA, 21(1), 61-69, 1995.
Grady, G.P.L., dan Lim, C.H., Biological Waste Water Treatment-Theory and Aplication,
Marcel Dekker Inc., New York, 1990.
Hug, W., Schmidt, A., Nortemana, B., Hempel, D.C., Stolz, A. dan Knackmuss, H.J.,
Mineralization of the Sulfonated Azo Dye Mordant Yellow 3 y a 6Aminoapthalene-2Sulfonate-Degrading Bacterial Consorsium, Applied and
Environmental Microbiology, 57(11), 3144-3149, 1991.
Heaton, Alan, The Chemical Industry, Second eition, Blackie Academic and Profesional,
Chapman & Hal London, 1994.
Kompas, 18 September 1997.

19
e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai