Anda di halaman 1dari 17

A.

LATAR BELAKANG
Usia di bawah lima tahun (balita) adalah usia yang paling kritis atau
paling menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang.
Termasuk juga pengembangan intelegensi hampir seluruhnya terjadi pada usia di
bawah lima tahun. Kalau seseorang sudah terlanjur menjadi pencuri atau
penjahat, maka pendidikan Universitas bagi orang tersebut boleh dikatakan tidak
berarti apa-apa. Sebagaimana halnya sebatang pohon bambu, setelah tua susah
dibengkokkan.
Anak-anak pada usia di bawah lima tahun memiliki intelegensi laten
(potential intelegence) yang luar biasa. Namun pada umumnya para orangtua dan
guru hanya bisa mengajarkan sedikit hal pada anak-anak. Sesungguhnya anakanak usia muda tidak complicated (ruwet) dalam belajar, tetapi orangtua
atau guru yang bermasalah. Pada umumnya kita selalu menyalahkan anak-anak
apabila tingkah laku mereka tidak seperti yang kita inginkan. Hal ini lebih banyak
disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman kita terhadap
perkembangan jiwa anak, sehingga kita sering memperlakukannya dengan
tidak/kurang tepat.
Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa dan kemampuan
untuk menyerap informasi sangat tinggi. Kebanyakan orang tidak mengenali dan
memahami kemampuan 'magic' yang ada pada anak-anak. Mereka hanya bisa
berkata, "Saya tahu anak-anak belajar lebih cepat", tetapi mereka tidak tahu
seberapa cepat anak-anak bisa belajar. Karena keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan orang tua dan guru-guru maka potensi luar biasa yang ada pada
setiap anak sebagian besar tersia-siakan.
Umumnya orang siap mengorbankan waktu bertahun-tahun dan uang
berjuta-juta rupiah untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi ; untuk apa ?
--- untuk mendapatkan sedikit tambahan intelegensi, karena sedikitnya
kemampuan sel-sel otak yang tersisa. Sebaliknya orang kurang memperhatikan
pendidikan anak-anak pada usia muda. Anak-anak usia belia memiliki bermilyarmilyar sel-sel syaraf otak yang sedang ber-kembang dan memiliki kemampuan
yang dahsyat.serta daya memory yang kuat. Maka pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan (pengembangan intelegensi/kecerdasan,

karakter, kreativitas, moral, dan kasih sayang universal) sangatlah perlu diberikan
pada anak-anak sejak usia muda.
Oleh karena itu Pendidikan Pre-School dan Taman Kanak-Kanak tidak
boleh dianggap sepele dan diabaikan. Bahkan pendidikan bayi sejak usia nol
tahun (baru lahir) atau bahkan sejak bayi masih dalam kandungan sudah saatnya
dikembangkan. Guru-guru dan fasilitas yang terbaik semestinya diprioritaskan
pada lembaga pendidikan kanak-kanak. Dedikasi yang tulus dari guru-guru dan
dukungan sepenuhnya dari orangtua anak akan menjamin keberhasilan
pendidikan anak-anak.
Kerjasama yang baik antara guru dengan orang tua anak sangat diperlukan.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum
jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan
bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian

rangsangan

pendidikan

untuk

membantu

pertumbuhan

dan

perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan
informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan
pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan
perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir,
daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan
perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahaptahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:

Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu


anak

yang

tumbuh

dan

berkembang

sesuai

dengan

tingkat

perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam

memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.


Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan
belajar (akademik) di sekolah.

Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1


adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan

penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8


tahun.
B. Perkembangan Anak Usia Dini
Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak
harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja,
dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak
contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada
umummnya

memperlakukan

anak

tidak

sesuai

dengan

tingkat

perkembangananya. Di dalam keluarga orang tua sering memaksakan


keinginannya sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan tekanan
(preasure) tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media
cetak/elektronika tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.
Mencermati perkembangan anak dan perlunya pembelajaran pada anak
usia dini, tampaklah bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan pada pendidikan
anak usia dini, yakni: 1) materi pendidikan, dan 2) metode pendidikan yang
dipakai. Secara singkat dapat dikatakan bahwa materi maupun metodologi
pendidikan yang dipakai dalam rangka pendidikan anak usia dini harus benarbenar memperhatikan tingkat perkembangan mereka. Memperhatikan tingkat
perkembangan berarti pula mempertimbangkan tugas perkembangan mereka,
karena setiap periode perkembangan juga mengemban tugas perkembangan
tertentu.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 menegaskan bahwa,
pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada
anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui
pemberian

rangsangan

pendidikan

untuk

membantu

pertumbuhan

dan

perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut.
Menyikapi perkembangan anak usia dini, perlu adanya suatu program pendidikan
yang didisain sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Kita perlu kembalikan
ruang kelas menjadi arena bermain, bernyanyi, bergerak bebas, kita jadikan ruang
kelas sebagai ajang kreaktif bagi anak dan menjadikan mereka kerasan dan secara

psikologis nyaman. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini dikemukan


bagaimana Mantessori mendisain program perkembangan anak usia dini.
Banyak pendapat dan gagasan tentang perkembangan anak usia dini,
Montessori yakin bahwa pendidikan dimulai sejak bayi lahir. Bayipun harus
dikenalkan pada orang-orang di sekitarnya, suara-suara, benda-benda, diajak
bercanda dan bercakap-cakap agar mereka berkembang menjadi anak yang
normal dan sehat. Metode pembelajaran yang sesuai dengan tahun-tahun
kelahiran sampai usia enam tahun biasanya menentukan kepribadian anak setelah
dewasa. Tentu juga dipengaruhi seberapa baik dan sehat orang tua berperilaku
dan bersikap terhadap anak-anak usia dini. Karena perkembangan mental usiausia awal berlangsung cepat, inilah periode yang tidak boleh disepelekan. Pada
tahun-tahun awal ini anak-anak memiliki periode-periode sensitive atau kepekaan
untuk mempelajari atau berlatih sesuatu. Sebagian besar anak-anak berkembang
pada asa yang berbeda dan membutuhkan lingkungan yang dapat membuka jalan
pikiran mereka.
Menurut Montessori, paling tidak ada beberapa tahap perkembangan
sebagai berikut:
1. Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan
daya pikir yang sudah mulai dapat menyerap pengalaman-pengalaman
melalui sensorinya.
2. Usia setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun, mulai memiliki kepekaan
bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya (berbicara,
bercakap-cakap).
3. Masa usia 2 - 4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan
dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi
rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai
menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam).
4. Rentang usia tiga sampai enam tahun, terjadilah kepekaan untuk
peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi, khususnya pada
usia sekitar 4 tahun memiliki kepekaan menulis dan pada usia 4 - 6 tahun
memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca.
Pendapat Mantessori ini mendapat dukungan dari tokoh pendidkan Taman
Siswa, Ki hadjar Dewantara, sangat meyakini bahwa suasana pendidikan yang

baik dan tepat adalah dalam suasana kekeluargaan dan dengan prinsip asih
(mengasihi), asah (memahirkan), asuh (membimbing). Anak bertumbuh
kembang dengan baik kalau mendapatkan perlakuan kasih sayang, pengasuhan
yang penuh pengertian dan dalam situasi yang damai dan harmoni. Ki Hadjar
Dewantara menganjurkan agar dalam pendidikan, anak memperoleh pendidikan
untuk mencerdaskan (mengembangkan) pikiran, pendidikan untuk mencerdaskan
hati (kepekaan hati nurani), dan pendidikan yang meningkatkan keterampilan.
Tokoh pendidikan ini sangat menekankan bahwa untuk usia dini bahkan
juga untuk mereka yang dewasa, kegiatan pembelajaran dan pendidikan itu
bagaikan kegiatan-kegiatan yang disengaja namun sekaligus alamiah seperti
bermain di taman. Bagaikan keluarga yang sedang mengasuh dan membimbing
anak-anak secara alamiah sesuai dengan kodrat anak di sebuah taman. Anak-anak
yang mengalami suasana kekeluargaan yang hangat, akrab, damai, baik di rumah
maupun di sekolah, serta mendapatkan bimbingan dengan penuh kasih sayang,
pelatihan kebiasaan secara alami, akan berkembang menjadi anak yang bahagia
dan sehat.
Anak-anak yang memiliki motivasi kuat untuk belajar akan mempunyai
masa depan yang cerah diwarnai penemuan, kesempatan, dan kontribusi. Mereka
memiliki kecenderungan alami untuk menguasai hal-hal tersebut yang akan
membuatnya sukses pada abad ke 21, serta mendapat manfaat dari segala
perubahan positif dalam masyarakat. Mereka yang memiliki motivasi belajar
yang kuat mungkin saja akan menghadapi kendala-kendala dari sebuah
ketidakadilan, tetapi kendala tersebut bukanlah musuhnya. Mereka akan menjadi
orang-orang yang paling cocok untuk belajar bagaimana menghadapi kendala
tersebut. Mareka akan menjadi orang yang paling mampu berkreasi dan mencapai
kesuksesan karena hasil terbaik dalam IPTEK, penelitian, dan kesenian tidak
dapat dipaksakan dari hati yang mengerdil.
Neil Postman seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an sangat
mencemaskan akan hilangnya masa kanak-kanak dalam kehidupan anak. Sistem
pendidikan, terutama pada pendidikan anak usia dini terjebak dalam suatu
pemikiran yang tidak memberi kesempatan pada anak untuk bertumbuh

memekarkan dirinya sesuai dengan potensi dan keunikan yang mereka miliki
sebagai anak. Padahal anak perlu menjadi anak untuk dapat menjadi manusia
dewasa. Tercerabutnya para belia ini dari masa kanak-kanaknya, dikhawatirkan
akan menggelincirkan kehidupan mereka menjadi masyarakat yang infantile,
suatu masyarakat yang kekanak-kanakan. Untuk itu akan akan dilakukan
beberapa kajian ilmiah terkait dengan teori-teori klasik dan kekinian yang
diharapkan dapat membangun pola pikir yang sama dalam memberikan
pelayanan yang terbaik bagi belia kita, anak-anak usia dini di Indonesia.
1. Teori Perkembangan
Memunculkan prinsip teoritis dalam naskah akademik ini sangat penting
untuk membangun kesepaham sebagai usaha memberikan pelayanan pendidikan
yang baik terhadap pendidikan anak usia dini. Berbagai teori klasik yang ada
hingga teori-teori kekinian yang ada merupakan sebuah perjalanan panjang
bagaimana dunia pendidikan selalu berubah memberikan solusi terbaik dalam
rangka membangun manusia yang mulia cerdas dan baik (good and smart).
Beberapa teori yang akan diungkapkan secara ringkas antara lain :
a. Teori Perkembangan Kognitif oleh Piaget
Ada beberapa tahap perkembangan kognitif yang digagas Piaget :
Tahap Sensomotoris ( usia 0 hingga 18 bulan )
Tahap Praoperasional ( usia 1 bulan hingga 6 atau 7 tahun )
Tahap Konkrit Operasional ( usia 8 tahun hingga 12 tahun )
Tahap Formal Operasional ( usia 12 tahun hingga usia dewasa )
Anak usia dini yang berusia 4 hingga 6 tahun berada pada tahapan ini. Di
mana anak mampu berfikir tentang obyek benda, kejadian, atau orang
lain. Anak sudah mulai mengenal symbol berupa kata-kata, angka,
gambar dan gerak tubuh. Namun cara berfikir ini masih tergantung pada
obyek konkrit dan rentang waktu kekinian, sserta tempat di mana ia
berada. Mereka belum mampu berfikir abstrak sehingga symbol-simbol
yang konkrit sangat dibutuhkan untuk dapat dipahami mereka. Misalnya
dalam mengenalkan angka mesti diiringi dengan obyek nyata berupa
gambar atau benda-benda lainnya yang jumlahnya sesuai dengan angka

tersebut. Selain itu anak juga belum mampu mengaitkan waktu sekarang
dengan waktu lampau.
b. Teori Perkembangan Psikososial oleh Erik Erikson
Erikson (1902-1994) membagi tahapan perkembangan psikososial ini ke
dalam delapan rentang perkembangan, yang dalam rentang usia 3 hingga
6 tahunan tengah berada dalam tahapan Inisiatif. Menurut Erikson rentang
inisiatif ini berada dalam perkembangan emosi. Peran guru sebagai
penidik mesti mampu menghadirkan emosi positif dalam mengringi
proses pendidikan. Hal ini akan membantu anak dalam mengelola
konflik-konflik yang terjadi akibat benturan emosi positif dan emosi
negative dalam pergaulan sehari-hari mereka yang berhubungan
antarmanusia dan lingkungannya. Seorang anak dengan perkembangan
emosi yang baik pada tahap sebelumnya akan berpotensi berkembang kea
rah yang positif. Mereka kreatif, antisius melakukan sesuatu, suka
bereksperimen, berimajinasi, berani mengambil risiko dan senang bergaul
dengan sesame teman. Namun semua ini tergantung pada kondisi yang
disiapkan pendidik kepada mereka. Jika anak-anak suka dipuji dan hasil
karyanya dihargai tentu saja akan menumbuhkan eosi positif yang
berguna menguatkan perkembangan kepribadiannya. Sebaliknya jika ia
suka dikritik, dilabel sebagai anak nakal tentu saja akan muncul emosi
negative yang akan menumbuhkan rasa bersalah pada diri mereka sebagai
anak. Pada saat tertentu rasa bersalah mesti dihadirkan yang membantu
membangun rasa tanggung jawab yang dalam kepatutan akan mendukung
tumbuhnya karakter baik pada diri anak. Semakin rasa tanggung jawab
tumbuh dalam diri anak maka rasa inisiatif akan semakin berkembang
dalam diri mereka.
c. Teori Sosio-Kultural oleh Vygotsky
Vygotsky (1896-1934) sangat setuju dengan adanya pesan budaya dalam
proses pembelajaran di sekolah. Ia mengatakan bahwa kontribusi budaya,
interaksi social, dan sejarah dalam pengembangan mental individual
sangat berpengaruh, khususnya dalam perkembangan bahasa, membaca
dan menulis pada anak. Pembelajaran yang berbasis pada budaya dan

interaksi sosial mengacu pada perkembangan fungsi mental tinggi, yang


terkait dengan aspek sosio-historis-kultural. Ketiga hal ini akan sangat
berdampak terhadap persepsi, memori dan berpikir anak. Ia menganjurkan
pentingnya melakukan interaksi sosiokultural yang menjadi sarana atau
tools di dalam proses pembelajaran di sekolah. Pengalaman-pengalaman
anak yang mempertemukannya dengan budaya dibutuhkannya untuk
dapat meraih Zone of Proximal Development. Untuk itu dibutuhkan
suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mengaitkan berbagai aspek
pembelajaran yang ada dalam kurikulum dengan pengalaman nyata yang
dijalani anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Metodologi yang
efektif terkait dengan pengajaran dalam kelompok besar yang utuh,
pengajaran melalui objek nyata, beragam gaya belajar, pengajaran adaptif
dan individual, pembelajaran tuntas, pembelajaran kooperatif, pengajaran
langsung, penemuan, konstruktif, melalui tutor sebaya sangat dibutuhkan
anak agar ia dapat mengarahkan dirinya sendiri untuk belajar.
Khusus terhadap pendidikan anak usia dini teori konstruktivisme modern
oleh Vygotksy dibagi dalam tiga tahap yaitu:
1) Tahap Zona Perkembangan (Zone of Proximal Development (ZPD)).
Suatu ide bahwa anak usia dini belajar konsep paling baik apabila
konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Artinya,
suatu jarak antara keterampilan yang sudah dimiliki oleh anak dengan
keterampilan baru yang diperoleh dengan bantuan dari orang dewasa
(adult/caregiver/orang tua/guru) atau orang yang terlebih dahulu
menguasai keterampilan tersebut (knowledgeable person/peer/siblings).
Zone of Proximal Development dihadirkan di tengah lingkungan dengan
fitur yang sekaya mungkin sehingga memberikan kesempatan melimpah
bagi anak untuk membangun konsep dan internalisasi pemahaman dalam
dirinya tentang berbagai hal sehingga anak memperoleh rangsangan yang
kuat untuk mempelajari suatu konsep bagi pemahamannya dengan cara
terbaik.
2) Tahap Pemagangan Kognitif atau cognitive apprenticeship.

Adalah suatu istilah untuk proses pembelajaran di mana guru


menyediakan dukungan kepada anak usia dini dalam bentuk scaffold
hingga anak usia dini berhasil membentuk pemahaman kognitifnya.
Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship juga merupakan suatu
budaya belajar dari dan di antara teman sebaya melalui interaksi satu
sama lain sehingga membentuk suatu konsep tentang sesuatu pengalaman
umum dan kemudian membagikan pengalaman membentuk konsep
tersebut di antara teman sebayanya (Collins, Brown, and Newman1989).
Wilson and Cole (1994) mendeskripsikan ciri khas pemagangan kognitif
yaitu heuristic content, situated learning, pemodelan, coaching,
articulation, refleksi, eksplorasi, dan order in increasing complexity.
3) Scaffolding atau mediated learning,
Yaitu dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan
masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran konstruktivis
memodern. Scaffolding is adjusting the support offered during a teaching
session to fit the childs current level of performance .Scaffolding
sebagian besar ditemukan dilakukan oleh orang dewasa (adult/care
giver/parent/teacher) atau orangyang lebih dahulu tahu (knowledgeable
person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai
oleh anak usia dini.
d. Teori Perkembangan Moral oleh Kohlberg dan Thomas Lickona.
Kohlberg sebagai pakar perkembangan moral, bertumpu pada teori Piaget
yang menyatakan bahwa perkembangan afektif (affective development)
terjadi pada anak usia 1 hingga 5 tahun. Saat itu anak berada pada self
oriented Morality. Sebagai tahapan awal dari perkembangan moral
kondisi ini merupakan the Golden Rule karena pada tahapan ini mulai
tumbuh mutual respect pada diri anak. Kepada mereka mulai dapat
dikenalkan sopan santun, dan perbuatan baik lainnya, walau terkadang
mendapat pertentangan karena mereka sulit diatur dan berada pada masa
egosentris. Berbenturannya antara berfikir egosentris dengan mutual
respek

merupakan

arena

yang

mengasyikkan

bagi

tumbuhnya

transformasi nilai-nilai pada diri anak. Kebajikan akan tumbuh melalui

serangkaian proses panjang yang melibatkan dan mengasah logika serta


emosi saling berbenturan. Namun dari kondisi inilah akan muncul
kecerdasan emosi yang akan menjaga pertumbuhan moral anak dapat
berjalan semestinya. Thomas Lickona, bapak karakter dari Cortland
University menyatakan bahwa pada usia 4 hingga 6 tahun anak tengah
berada pada tahap PATUH TANPA SYARAT (Authority Oriented
Morality). Pada fase ini anak meperlihatkan sikap penurut, mudah diajak
kerjasama, dan mau mengerjakan perintah orang tua dan guru. Namun
terkadang juga muncul sifat egosentrisnya sebagai bentuk bahwa
perkembangan moral pada diri mereka tengah mencari bentuk. Ada
beberapa karakteristik perkembangan moral pada fase ini, yakni:
Menganggap orang dewasa sebagai makhluk serba tahu
Dapat menerima pandangan orang lain
Mudah terpengaruh dengan kenakalan sebayanya
Suka mengadu jika dinakali teman
Terkadang cenderung melanggar aturan
Menghormati kehadiran guru dan orang tua
e. Teori Ekologi dan Kontekstual oleh Bronfenbrenner
Bronfenbrenner mengembangkan teori perkembangan anak

yang

dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mencakup kehidupan manusia.


Ringkasnya teori ini mengatakan bahwa perkembangan anak dipengaruhi
oleh konteks mikrosistem (keluarga, sekolah dan teman sebaya), konteks
mesosistem (hubungan keluarga dan sekolah, sekolah dengan sebaya, dan
sebaya dengan individu), konteks ekosistem (latar sosial orang tua dan
kebijakan pemerintah), dan konteks makrosistem (pengaruh lingkungan
budaya, norma, agama, dan lingkungan sosial di mana anak dibesarkan.
Teori Bronfenbrenner ini membantu memberikan penjelasan kepada para
pendidik untuk memahami berbagai risiko yang dapat mempengaruhi
proses perkembangan anak secara negatif misalnya masalah kemiskinan,
kekerasan pada anak, dan konflik dalam keluarga. Seorang guru akan
menjalin hubungan dengan anak yang memiliki latar negatif dengan
memberikan perhatian khusus yang tidak didapatkan anak dari
lingkungannya.

10

2. Mendeteksi Perkembangan Anak Sejak Usia Dini


Di lapangan sering ditemukan kasus-kasus yang berakibat sudah terlalu
jauh, sehingga bantuan yang diperlukan untuk menormalkan kembali
perkembangan anak memakan waktu yang tentunya lebih lama pula. Perlu
ditekankan disini bantuan yang harus diberikan bagi anak-anak yang mengalami
keterlambatan perkembangan merupakan satu proses belajar, dimana kita harus
mengetahui tahapan-tahapan yang harus dilalui anak sesuai dengan pada saat
perkembangan itu mulai berhenti atau mengalami gangguan. Oleh karena itu
program yang dibutuhkanpun menjadi berbeda-beda pula dari satu anak ke anak
yang lain, karena kemampuan mereka juga berbeda.
Jadi kita sebagai Orangtua/pendidik yang akan melatih anak tsb harus
mengetahui dengan tepat tahapan dimana dan kapan perkembangan itu berjalan
ditempat. Kalau perlu juga melalui kerjasama dengan lembaga terapi atau ahli
perkembangan anak. Mengenai istilah untuk jenis bantuan tsb, seperti misalnya
sensori integrasi (SI) atau sering disebut juga basic stimulation dll tidak perlu
dipermasalahkan, yang penting disini adalah Taman Bermain tempat anak di
sekolahkan memiliki orang-orang yang ahli untuk mengobservasi anak ,sehingga
gangguan-gangguan perkembangan anak dapat terdeteksi sejak dini. Orang-orang
ini harus betul-betul mengerti masalah perkembangan anak secara holistik dan
dapat membuat

program pelatihan yang tepat bagi setiap anak yang

membutuhkan, sehingga target untuk menormalkan kembali perkembangan


anak itu bisa tercapai sesuai harapan.
Siapakah yang mampu mendeteksi anak yang mengalami hambatan
perkembangan? Jawabannya adalah seorang ahli tumbuh kembang anak yang
mengerti permasalahan anak secara holistik artinya yang benar-benar mengerti
secara keseluruhan perkembangan anak dan hambatan-hambatannya dan yang
memahami bahwa tidak ada bagian dari perkembangan anak yang dapat
berkembang

dengan

sendirinya

tanpa

mendapatkan

input

rangsangan/stimulasi dari luar.

11

Bila kita memperhatikan perkembangan anak dengan cermat, maka kita


akan melihat dengan jelas adanya satu proses pergantian perkembangan antara
motorik, persepsi, psikis, kemampuan berbicara dan berpikir. Selain itu kita juga
akan

melihat

perkembangan

biologisnya

yang

menyangkut

gizi

dan

perkembangan ini juga sama pentingnya, namun tema ini tidak disinggung disini,
karena terlalu khusus dan memerlukan keahlian tentang gizi. Seorang ahli
perkembangan anak harus mengetahui permasalahan perkembangan anak sampai
sekecil-sekecilnya, agar dia mudah mengerti dan memahami tahap-tahap
stimulasi yang dibutuhkan masing-masing anak. Sehingga perkembangan anak
dapat berjalan semakin lancar dan bagian-bagian yang mengalami hambatan
dapat dipulihkan, dan dengan itu membuat perkembangan anak secara
keseluruhan yang tadinya berjalan ditempat bisa berkembang normal kembali
sesuai usianya.
Melalui kerjasama antara pendidik di sekolah, terapis/shadow teacher dan
orangtua di rumah, tidak berarti harus mengerjakan program yang identis/sama,
melainkan hanya memberikan stimulus/rangsangan yang serupa dan boleh
dengan tema yang berbeda, hambatan/kesulitan dalam perkembangan anak dapat
diatasi dengan baik.
C. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan
anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun
berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di
lingkungannya

sebagai

stimulans

terhadap

perkembangan

kepribadian,

psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50%


kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun,
80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika
anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004). Hal ini berarti bahwa
perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya
dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya.
Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana
perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap

12

perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini
hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya.
Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk pemberian rangsanganrangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk
mengoptimalkan kemampuan anak.
Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam
program Bina Keluarga Balita (BKB) sejak tahun 1980, namun implementasinya
belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati (2002) di Bogor menemukan
bahwa dari 265 keluarga yang diteliti, hanya terdapat 15% yang mengetahui
program BKB. Faktor penentu lain dari kurang memasyarakatnya program BKB
adalah rendahnya tingkat partisipasi orang tua. Kemudian pada tahun 2001,
pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda
mengeluarkan program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Namun keberadaan
program tersebut sampai saat ini belum menjangkau tingkat pedesaan secara
merata, sehingga belum dapat diakses langsung oleh masyarakat.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar
dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan
apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya.
Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003,
Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak
usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia
(Direktorat PAUD, 2004).
1. PAUD Berbasis Aqidah Islam
Tujuan pendidikan Islam adalah membentuk generasi berkualitas
pemimpin, yakni (1) berkepribadian Islam,(2) menguasai tsaqofah Islam, dan (3)
menguasai ilmu kehidupan (sains dan teknologi) yang memadai. Apabila ke tiga
tujuan ini tercapai, maka akan terwujudlah generasi pemimpin yang individunya
memiliki ciri sebagai insan yang sholeh/sholehah, sehat, cerdas dan peduli
bangsa.

13

Setiap orang harus siap untuk menjadi pemimpin. Karena kepemimpinan


itu

sebuah

sunatullah

dan

merupakan

amanah

pertanggungjawabannya oleh Allah SWT kelak.

yang

akan

dimintai

Sebagaimana ditegaskan

didalam sabda Rasulullah SAW: Setiap kalian adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya...

(HR. Bukhori,

Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Umar).


Upaya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam ini sangat erat kaitannya
dengan sistem hidup Islam. Sebagai bagian yang menyatu (integral) dari sistem
kehidupan Islam, pendidikan memperoleh masukan dari supra sistem, yakni
keluarga dan masyarakat atau lingkungan, dan memberikan hasil/keluaran bagi
suprasistem tersebut.

Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem

pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik
(pelajar/mahasiswa), manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga
pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali
mutu, penelitian dan biaya pendidikan.
Interaksi fungsional antar subsistem pendidikan dikenal sebagai proses
pendidikan. Proses pendidikan dapat terjadi di mana saja, sehingga berdasarkan
pengorganisasian serta struktur dan tempat terjadinya proses tersebut dikenal
adanya pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Melalui proses ini
diperoleh hasil pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan yang telah
ditentukan.
Untuk menjaga kesinambungan proses pendidikan dalam menjabarkan
pencapaian tujuan pendidikan, maka keberadaan kurikulum pendidikan yang
integral menjadi suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Kurikulum pendidikan
integral sangatlah khas dan unik. Kurikulum ini memiliki ciri- ciri yang sangat
menonjol pada arah, azas, dan tujuan pendidikan, unsur-unsur pelaksana
pendidikan serta pada struktur kurikulumnya.
Azas pendidikan Islam adalah aqidah Islam. Azas ini berpengaruh dalam
penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru,
budaya

yang

dikembangkan

dan

interaksi

diantara

semua

komponen

penyelenggara pendidikan. Yang dimaksud dengan menjadikan aqidah Islam


sebagai azas atau dasar dari ilmu pengetahuan adalah menjadikan aqidah Islam

14

sebagai standar penilaian. Dengan istilah lain, aqidah Islam difungsikan sebagai
kaidah atau tolak ukur pemikiran dan perbuatan. Oleh sebab itu, implementasi
pendidikan anak usia dini adalah PAUD BAI.
2. Pihak-Pihak yang Berperan dalam PAUD
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan anak usia dini
adalah pemerintah (negara), masyarakat dan keluarga. Keluarga adalah institusi
pertama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi).
Disanalah pertama kali dasar?dasar kepribadian anak dibangun. Anak dibimbing
bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang
Pencipta Allah SWT. Demikian pula dengan pengajaran perilaku dan budi pekerti
anak yang didapatkan dari sikap keseharian orangtua ketika bergaul dengan
mereka. Bagaimana ia diajarkan untuk memilih kalimat?kalimat yang baik, sikap
sopan santun, kasih sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan
untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih
barang halal yang akan mereka gunakan. Kesimpulannya, potensi dasar untuk
membentuk generasi berkualitas dipersiapkan oleh keluarga.
Masyarakat yang menjadi lingkungan anak menjalani aktivitas sosialnya
mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi baik buruknya proses
pendidikan, karena anak satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.
Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik maupun biologis. Oleh
sebab itu masalah?masalah yang akan dihadapi anak ketika berinteraksi dalam
masyarakat harus difahami agar kita dapat mengupayakan solusinya. Masyarakat
yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan
yang sama serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala
masing?masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan generasi maka semua orang akan sepakat
memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan
mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi. Sedapat
mungkin perkara negatif yang akan menjerumuskan anak akan dicegah bersama.
Disinilah peran masyarakat sebagai kontrol sosial untuk terwujudnya generasi

15

ideal. Masyarakat yang menjadi lingkungan hidup generasi tidak saja para
tetangganya tetapi juga termasuk sekolah dan masyarakat dalam satu negara.
Karena itu para tetangga, para pendidik dan juga pemerintah sebagai
penyelenggara urusan negara bertanggung jawab dalam proses pendidikan
generasi.
Selain keluarga dan sekolah, partai dan organisasi masyarakat seperti
majelis talim, mempunyai peran dalam melahirkan generasi berkualitas
pemimpin. Disanalah generasi akan dibina untuk menjadi politikus yang ulung
dan tangguh. Oleh sebab itu, partai dan ormas ini juga berperan dalam membina
para ibu agar ibu dapat mendidik generasi secara baik dan benar. Dari seluruh
pihak yang mempunyai tanggungjawab dalam mendidik generasi cerdas, generasi
peduli bangsa, tentu negaralah yang mempunyai peran terbesar dan terpenting
dalam menjamin berlangsungnya proses pendidikan generasi.
Negara bertanggung jawab mengatur suguhan yang ditayangkan dalam
media elektronik dan juga mengatur dan mengawasi penerbitan seluruh media
cetak. Negara berkewajiban menindak perilaku penyimpangan yang berdampak
buruk pada masyarakat dll. Negara sebagai penyelenggara pendidikan generasi
yang utama, wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan umat secara layak. Atas dasar ini negara wajib menyempurnakan
pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan pendidikan bebas
biaya akan membuka peluang yang sebesar?besarnya bagi setiap individu rakyat
untuk mengenyam pendidikan, sehingga pendidikan tidak hanya menyentuh
kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis yang
bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri. Padahal mutu pendidikan sangat
mempengaruhi corak generasi yang dihasilkannya.
Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka
yang memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang
tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara?cara yang harus
dilakukannya, karena mereka adalah tauladan bagi anak didiknya. Kelemahan
sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi.
Seorang guru tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya tetapi ia
seorang pendidik dan pembina generasi. Agar para pendidik bersemangat dalam

16

menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin kehidupan materi


mereka. Ini dapat memberi motivasi lebih pada mereka meski tugas mereka tidak
ditujukan semata untuk memperoleh materi, tetapi merupakan ibadah yang
mempunyai nilai tersendiri di sisi Allah SWT. Betapa besar jasa para pendidik
yang hingga ada ungkapan: "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa". Tentu saja
pengabdian mereka harus mendapat penghargaan, dan ini merupakan
tanggungjawab negara.

17

Anda mungkin juga menyukai