Anda di halaman 1dari 40

Pembimbing :

dr. Alex Syamsuddin, Sp.THT-KL

Oleh:

Yulia Margareth, S. Ked- I1A010045


Idama Asido Rohana S., S. Ked-I1A010052
BAGIAN/SMF ILMU THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Oktober, 2015

Pendahuluan

Rinitis alergi adalah radang


selaput hidung yang dimediasi
antigen IgE dan sel mast.
Penyakit tersebut ditandai
dengan bersin, hidung
tersumbat, rinore jernih dan
gatal hidung
Rinitis alergi dapat muncul
akut ataupun kronik.
Rinitis alergi kronik yaitu jika
berlangsung lebih dari 1 bulan

Angka prevalensi Rinitis Alergi


Thailand 20%,
Singapura 15% Malaysia 17%
Indonesia 15%

Pendahuluan

Pada pasien dengan rinitis alergi sedang berat,


ARIA-WHO (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma)
merekomendasikan untuk dilakukan imunoterapi yaitu berupa
pemberian alergen spesifik berulang secara teratur dengan dosis
meningkat bertahap kepada pasien dengan gejala hipersensitivitas
tipe I
untuk memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala alergi
dan reaksi inflamasi akibat pajanan allergen

Rinitis Alergi

Definisi

WHO ARIA tahun 2008


Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rhinorrhea, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen karena reaksi
hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh
IgE

Anatomi

Fisiologi

1. Fungsi Respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara,


penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik

2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir


udara untuk menampung stimulus penghidu

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu


proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi
tulang

4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala

5. Refleks nasal
(mukosa hidungreseptor refleks yg berhub dgn sal cerna,
kardiovaskuler, & pernapasan)

Rinitis Alergi

Epidemiologi

Rinitis alergi mewakili permasalahan


kesehatan dunia mengenai sekitar 1025%
populasi dunia, dengan peningkatan
prevalensi selama dekade terakhir.

Di Amerika Serikat prevalensi rinitis alergi


meningkat setelah usia dekade ketiga
berkisar antara 20%-30%
Di Indonesia belum diketahui karena belum pernah
dilakukan penelitian multisenter.
Data dipoliklinik THT-KL RSU Dr.Soetomo Surabaya
tahun 2006 didapatkan 654 (3,45%) dari 25.254
penderita yang datang berobat

Rinitis Alergi

Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara


lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya
Alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak
di luar ruangan (outdoor) : jamur atau pohon, rumput dan
serbuk sari
di dalam ruangan (indoor) : bulu binatang, jamur dalam
ruangan, atau tungau
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat
adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca

Rinitis Alergi

Patofisiologi

Patofisiologi

Patofisiologi

Rinitis Alergi

Klasifikasi

WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma )


tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya
dibagi menjadi
1.Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit :


1.Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan
aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan halhal lain yang mengganggu.
2. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan
tersebut diatas

Rinitis Alergi

Diagnosis

Rinitis Alergi
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan utama rinitis alergi terdiri dari 4


kategori pengobatan, yakni :
1. Langkah-langkah pengendalian lingkungan dan
menghindari alergen
2. Manajemen farmakologis
3. Operatif
4.Imunoterapi

Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi (WHO ARIA 2008)

DEFINISI

Pemberian berulang alergen spesifik


yang sudah diketahui, pada keadaan
atau penyakit yang diperantarai
imunoglobulin E, yang bertujuan
sebagai pencegahan dan
perlindungan dari gejala alergi dan
reaksi inflamasi yang berhubungan
dengan pajanan alergen

Noon dan
Freeman
(1910)

SEJARAH
IMUNOTERAPI

Ekstrak grass
polen

Cooke

Metode
hiposensitisa
si
(1922)

Ischikawa
dan Yungiger
(1977)

Pertamaka
kali
dikemukakan
nama IgE

Konsep
blocking
antibody
(1935)

MEKANISME KERJA
IMUNOTERAPI

MEKANISME KERJA
IMUNOTERAPI

EFEKTIVITAS
IMUNOTERAPI

Penurunan tingkat
berat penyakit
Perbaikan temuan
nasoendoskpi
Penurunan
penggunaan obat
Penurunan gejala
hidung

Peningkatan kualitias
hiduo

INDIKASI
IMUNOTERAPI

Menurut panduan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)


yang dirumuskan oleh 34 ahli yang bertemu pada bulan Desember
1999 di Jenewa:

Untuk penyandang rhinitis atau asma alergi


yang disebabkan oleh alergen spesifik
Bilamana telah dilakukan penghindaran
alergen dan iritan secara maksimal, dan
pemberian medikamentosa secara benar dan
optimal

KONTRAINDIKASI
IMUNOTERAPI

JENIS- JENIS
IMUNOTERAPI

a) Subcutaneous conventional immunotherapy


b) Subcutaneous cluster immunotherapy

Ditandai dengan 2 atau lebih penyuntikan

Diberikan pada 1 kunjungan

c) Subcutaneous rush immunotherapy

Dosis peningkatan dipercepat

Pemberian tambahan dosis alergen berulang


bertingkat pada setiap kunjungan dengan
interval waktu suntikan bervariasi anatar 15-60
menit

Interval waktu kunjungan 1 sampai 3 hari

Dosis pemeliharaan dimungkinkan tercapai


dalam waktu 6 hari

d) Subcutaneous ultra rush immunotherapy

telah dikerjakan pada hipersensitifitas


sengatan serangga

Untuk mencapai dosis pemeliharan dalam


waktu singkat (3,5- 4jam)
e) Immunotherapy Sublingual swallow
d)
Ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan
alergen
e)
diberikan secara oral atau sublingual
f)
Cara kerja dengan cara mengubah respon
limfosit T terhadap alergen
g)
Hemat, aman, nyaman bagi pasien.

f) Intra nasal immunotherapy

menggunakan larutan alergen disemprotkan


ke mukosa hidung dengan interval waktu
tertentu.

Efek samping pruritus, kongesti, bersin.

Belum direkomendasikan

PROSEDUR
PEMBERIAN

Sebelum melakukan imunoterapi, pahami hal


dibawah ini :

LANGKAH
IMUNOTERAPI

2. Ekstrak alergen dapat diberikan secara


tunggal atau dicampur (idealnya kurang dari 10
jenis alergen), akan tetapi campuran ini akan
mengencerkan kadar setiap alergen dan dapat
mengurangi respons terhadap imunoterapi.
3. Jenis alergen yang diberikan tergantung
penilaian klinisi didasarkan pada jenis alergen
yang memberi hasil positif pada uji kulit dan yang
menimbulkan gejala klinis bila terpajan. Jenis
alergen yang dapat diberikan secara injeksi
subkutan adalah bermacam jenis serbuk sari
(pollen), tungau debu rumah dan bulu kucing.

4. Imunoterapi dapat diberikan satu sampai dua


kali seminggu dengan dosis awal dimulai dengan
0,05 ml alergen konsentrasi 1:10.000 sampai
1:1.000.000 berat/volume (wt/vol) ditingkatkan
sampai tercapai dosis pemeliharaan yaitu 0,05 ml
alergen konsentrasi 1:100. Lama penyuntikan 610 bulan untuk mencapai dosis pemeliharaan.
5. Dosis pemeliharaan diberikan dalam interval
2-4 minggu selama 3-5 tahun dan berdasarkan
penelitian, cukup untuk memberikan
perlindungan jangka panjang pada hampir semua
pasien (cara lambat).

6. Pemberian imunoterapi dengan cara cepat,


dilakukan dengan menyuntikkan alergen 4 kali
sehari dengan interval jam dan diulang setelah
2 minggu. Respons antibodi yang diinginkan
terjadi setelah 5 kali kunjungan.
7. Cara Cluster merupakan modifikasi cara
lambat dan cara cepat dengan memberikan 2-4
kali suntikan dalam sehari, diulang setelah 1-2
minggu sampai dosis maksimal dan
dipertahankan dengan dosis pemeliharaan.

DOSIS DAN CARA


PEMBERIAN

Dosis Permulaan
adalah 1/10 dari
dosis yang
menimbulkan
reaksi tes kulit
positif

Dosis dinaikkan
sedikit setiap
minggunya
sampai 100010.000 kali dosis
awal

Memerlukan
waktu 6
bulan dengan
penyuntikan
1 minggu
sekali untuk
mencapai
dosis
pemeliharaan

Dosis
pemeliharaa
n tercapai,
terapi
dilanjutkan
dalam 3
tahun atau
lebih

Bila seseorang sudah dapat mentoleransi paparan alergen tanpa


menimbulkan serangan, imunoterapi dihentikan

Pasien yang menjalani dosis pemeliharaan


imunoterapi perlu:

1) Kontrol ulang sekurang-kurangnya 6 atau 12


bulan.

2) Kontrol periodik perlu meliputi pengukuran gejala,


dan penggunaan obat-obatan, riwayat penyakit
sejak kontrol terakhir dan evaluasi klinis
imunoterapi.
3) Dipertimbangkan dosis dan rancangan
imunoterapi, dicatat riwayat reaksi imunoterapi
dan ketaatan pasien.

4) Pada keadaan seperti adanya reaksi sistemik dan


pasien kurang taat, perlu mempertimbangkan
kembali rancangan imunoterapi.

5) Belum ada petanda spesifik sebagai penduga


siapa yang akan tetap dalam kondisi remisi klinis
setelah penghentian imunoterapi yang efektif.
6) Beberapa pasien akan tetap dalam keadaan
remisi seperti gejala-gejala terakhir pada saat
penghentian alergen imunoterapi.

7) Seperti halnya pada keputusan mulai menjalani


imunoterapi, keputusan untuk menghentikan
imunoterapi juga harus bersifat individualistic.

8) Memperhatikan faktor-faktor tingkat beratnya


penyakit sebelum pengobatan, manfaat
pengobatan yang terus menerus (sustained), dan
penggangguan (inconvenience) dari imunoterapi
pada pasien tertentu.
9) Efek potensial kekambuhan klinis yang mungkin
terjadi pada pasien.

10)Lamanya imunoterapi harus individual


berdasarkan : Respon klinis pasien terhadap
imunoterapi, beratnya penyakit terhadap
imunoterapi, riwayat respon klinis pasien, riwayat
reaksi imunoterapi dan tergantung keinginan
maupun keputusan pasien.

EFEK SAMPING

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai