REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis
REFERAT BAB I-II Rinitis Alergi Kronis
PENDAHULUAN
Rinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin/rhino (hidung) dan itis
(radang). Rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir
(membran mukosa) hidung. Rhinitis dapat muncul akut ataupun kronik. Rhinitis
kronik yaitu jika radang berlangsung lebih dari 1 bulan (1).
Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau
alergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan,
genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu (2).
Rinitis alergi adalah radang selaput hidung yang dimediasi antigen IgE dan
sel mast. Penyakit tersebut ditandai dengan bersin, hidung tersumbat, rinore jernih
dan gatal hidung atau palatal. Penyakit ini juga dapat terjadi bersamaan dengan
konjungtivitis alergi (ditandai dengan gatal dan mata berair yang sering disertai
kemerahan atau bengkak). Rinitis alergi dapat terjadi secara musiman, tahunan,
atau mungkin secara sporadis setelah paparan zat spesifik (2).
Selama tiga dekade terakhir, prevalensi rinitis alergi terus meningkat. Lebih
dari 20% populasi penduduk Inggris dilaporkan mengidap penyakit ini. Angka
prevalensi Rinitis Alergi masing-masing negara berbeda-beda misalnya Thailand
20%, Singapura 15%, Malaysia 17%, sedangkan Indonesia 15%. Ditinjau dari
segi usia Rinitis Alergi tumbuh sejak bayi, terlihat meningkat pada umur 510
tahun, dengan puncaknya umur 20 tahun, kemudian menurun pada usia 30 tahun
(3).
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
berkepanjangan
sering
terjadi
pernafasan
mulut
sehingga
fungsi
pembersihan udara dan fungsi pengatur kondisi udara hidung tidak dijalani.
Resistensi saluran udara bronkial akan meningkat bila selaput lendir hidung dan
nasofaring mengalami iritasi (5,8).
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratorius) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
mempunyai
silia
(cilliated
pseudostratified
collumnar
epithelium),
dan
diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid (5,8).
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas,
arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada
anyaman kapiler periglandular dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman
kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya
dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid
mempunyai sfingter otot selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil yang mudah mengembang
dan mengerut, vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi
saraf otonom (5).
Hidung mempunyai empat fungsi utama yaitu 1) Sebagai lokasi epitel
olfaktorius. 2) Saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian
bawah. 3) Organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar
sesuai dengan
2.1.3 Epidemiologi
Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10
25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir.
Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan
mempengaruhi 40% anak-anak. Di Amerika Serikat prevalensi rinitis alergi
meningkat setelah usia dekade ketiga berkisar antara 20%-30% (10).
Di Indonesia angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui
karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi
rinitis alergi perennial di Jakarta besarnya sekitar 20%, sedangkan menurut
Sumarman dan Haryanto tahun 1999, didaerah padat penduduk kota Bandung
menunjukkan 6,98%, dimana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan
survey dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood),
pada siswa SMP umur 13-14 tahun di semarang tahun 2001-2002, prevalensi
rinitis alergi sebesar 18,6%. Data dipoliklinik THT-KL RSU Dr.Soetomo
Surabaya tahun 2006 didapatkan 654 (3,45%) dari 25.254 penderita yang datang
berobat (10).
2.1.4 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Rhinitis
alergi dipicu oleh allergen, baik di luar ruangan (outdoor) maupun di dalam
ruangan (indoor). Rinitis alergi yang disebabkan oleh alergen outdoor (jamur atau
pohon, rumput dan serbuk sari) sering disebut sebagai alergi musiman, atau "hay
fever". Sedangkan rinitis alergi yang dipicu oleh alergen indoor (bulu binatang,
jamur dalam ruangan, atau tungau). Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau
biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban
udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk tumbuhnya jamur.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca (5,11,12).
2.1.5 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam (5,13).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan
menangkap alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah
diproses antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Mayor
Histocompatibility Complex), yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th 0), kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL 13. IL4 dan IL
13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit
B menjadi aktif dan akan memproduksi Immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan di ikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut Sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka ke-2
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain Prostaglandin D2 (PG D2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai Sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6), GM-CSF (Granulocyte
macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) (5,13).
Histamin akan merangsang reseptor H-1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal di hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala
lain adalah
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi (5,6,9,10,14).
2.1.6 Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi (5,6,7,10) :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi
(5,6,7,10) :
1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
2.1.7 Diagnosis
a. Anamnesis
10
11
geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appereance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tounge) (5).
c. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain alergi
juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan
diagnosis,
tetap
berguna
sebagai
pemeriksaan
lengkap.
12
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen inhalan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
2.1.8
Penatalaksanaan
13
14
pasien) dan menghindari alergen nonspesifik (Paparan asap rokok, parfum dengan
aroma yang kuat, asap, perubahan suhu yang cepat, dan polusi luar ruangan),
iritan serta faktor pemicu.
2. Manajemen farmakologis
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara per oral Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek
pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah
otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).
Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin
non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok
pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda
15
dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian
mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada
16
permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4.Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum
dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.
3.1 Imunoterapi
3.1.1 Definisi
Definisi imunoterapi alergi adalah pemberian berulang alergen spesifik
yang sudah diketahui, pada keadaan atau penyakit yang diperantarai
imunoglobulin E, yang bertujuan sebagai pencegahan dan perlindungan dari
gejala alergi dan reaksi inflamasi yang berhubungan dengan pajanan alergen (13).
Imunoterapi untuk penyakit alergi disebut juga sebagai imunoterapi
spesifik karena metode ini memberikan ekstrak alergen yang sensitif pada
penderita untuk merubah atau menghilangkan gejala alergi. Prosesnya spesifik
karena pengobatan ini ditujukan pada alergen yang diketahui oleh penderita dan
dokter sebagai penyebab gejala alergi. Keputusan untuk melakukan imunoterapi
17
diperlukan pemeriksaan yang teliti mengenai keadaan penderita dan peran dari
allergen (15).
3.1.2 Sejarah Imunoterapi
Noon dan Freeman melaporkan Imunoterapi Alergen untuk pertama kali
pada tahun 1910 dan melakukan pembuatan ekstrak grass polen dan disuntikkan
dengan dosis yang meningkat pada penderita rinitis alergi. Sejak itu digunakan
selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang disebabkan
oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rinitis dan juga asma alergi, tetapi
tidak diindikasikan pada alergi makanan. Cooke dari Amerika Serikat tahun 1918
melaporkan suatu kondisi alergi seperti Hay fever dan asma yang berasal dari
antibodi yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Cooke pada tahun 1922
juga mengemukakan metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan hal
ini yang berkembang menjadi imunoterapi sampai saat ini. Cooke tahun 1935
mengemukakan konsep antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat
pada pemberian imunoterapi. Tahun 1967 pertamakali dikemukan nama
immunoglobulin E (IgE) oleh Ischikawa dan tahun 1977 Yungiger dan Gleich
mengemukakan bahwa terjadi kenaikan titer IgE pada saat musim semi dan terjadi
penurunan apabila musim tersebut berganti (15,16).
3.1.3 Mekanisme Kerja Imunoterapi
Prinsip pertama dari imunoterapi adalah bahwa efektifitas klinis
tergantung dosis, dosis minimal tertentu dari ekstrak alergen harus diberikan
untuk mendapatkan suatu kontrol gejala yang efektif. Ekstrak alergen ini dibuat
dengan proses yang khusus dengan mencampurkan sumber material alergen
(pollen, mold spores, dust mites, animal pelt) pada cairan buffer untuk
18
mengekstraksi komponen yang larut dalam air. Pada saat ini banyak ekstrak
alergen komersial dibawah lisensi FDA yang dijual dipasaran (16,17).
Efek terapi meningkat bersamaan dengan lamanya pengobatan. Perbaikan
yang nyata biasanya baru tampak setelah terapi diberikan 6 bulan atau lebih.
Diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menaikkan dosis alergen yang
terkecil yang ditoleransi sampai konsentrasi 10.000 kali untuk mencapai kadar
yang memberi efek klinis dan imunologis. Efek klinis terus meningkat sampai
beberapa tahun setelah penyuntikkan dihentikan. Lamanya penyuntikan ini perlu
dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum memulai terapi. Pemberian
dosis meningkat umumnya dilakukan tiap minggu, namun ada juga yang
memberikan dengan cara setiap hari dalam seminggu, dilanjutkan 1 minggu
istirahat kemudian disusul seminggu setiap hari. Cara ini disebut semi rush
protocol. Ada juga yang memberikan semua peningkatan dosis sampai rumatan
dalam 1 hari. Cara ini disebut sebagai rush protocol (16,17).
Sebagian besar gejala pasien berkurang, dan imunoterapi hanya
mengurangi beratnya gejala tetapi tidak menghilangkannya. Reaksi anafilaksis
yang bersifat sistemik sering dilaporkan, tetapi biasanya ringan. Reaksi ini sangat
mungkin terjadi oleh karena pasien diberikan alergen yang berdasarkan
pemeriksaan RAST dan tes kulit memang sensitif, serta diberikan penyuntikan
secara berulang. Jadi untuk mengantisipasi terjadinya reaksi anafilaksis pasien
harus menunggu 20-30 menit, baru boleh pulang. Penelitian sedang dilakukan
dengan penambahan ajuvan untuk meningkatkan efektivitas dari imunoterapi, dan
19
Mekanisme dan cara kerja yang pasti dari imunoterapi belum diketahui.
Beberapa
antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik meningkat sementara pada awal
20
pemberian imunoterapi, tetapi menurun setelah dosis rumatan. Reaksi cepat kulit
menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya dalam perbaikan klinis.
Dipihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara nyata setelah
imunoterapi. Imunoterapi juga menginduksi IgG spesifik terhadap alergen,
berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah
dengan perbaikan klinis. IgG terutama meningkat berkorelasi dengan peningkatan
dosis (14,15,18,19,20).
Imunoterapi rupanya mempunyai efek modulasi pada sel T, hal ini
menerangkan mengapa gejala klinis dan reaksi lambat sangat ditekan walaupun
penurunan antibodi tidak menurun bermakna. Berdasarkan hal ini
beberapa
21
penyebab rinitis alergi perennial. Selain alergi, ada penyebab lain yaitu instabilitas
vasomotor, infeksi, dan, sensitifas terhadap aspirin. Beberapa penelitian
membuktikan adanya perbaikan toleransi terhadap paparan dengan bulu kucing,
baik melalui uji provokasi maupun klinis. Terdapat peningkatan kadar IgG spesifik
terhadap alergen dalam bulan-bulan pertama imunoterapi. Diperkirakan alergen
spesifik IgG ini berfungsi sebagai blocking antibodi dengan menghalangi antigen
berikatan dengan
Th1/Th2, dengan bergeser kearah Th1. Seperti diketahui fenotipe interleukin Th2
dihubungkan dengan peningkatan penyakit alergi, dan produksi interleukin Th1
berpengaruh pada proteksi. Imunoterapi juga mempunyai pengaruh pada sel mast,
basofil dan eosinofil. Terdapat penurunan yang sangat menyolok dari sel mast
dan basofil, juga terjadi penurunan eosinofil dari sekresi nasal dan spesimen
bronchial (16,18).
3.1.4 Efektivitas Imunoterapi pada Rinitis Alergi
Pada penelitian yang dilakukan Yuwan Pradana dkk tentang Efektivitas
Imunoterapi terhadap Gejala, Temuan Nasoendoskopik dan Kualitias Hidup Paien
Rinosinusitis Alergi didapatkan hubungan bermakna berdasarkan uji chi-kuadratFriedman antara imunoterapi selama 1 tahun (p<0,005) terhadap penurunan
tingkat
berat
penyakit,
penurunan
gejala
hidung,
perbaikan
temuan
22
tingkat
berat
penyakit,
penurunan
gejala
hidung,
perbaikan
temuan
b).
c).
d).
e).
f).
rush
immunotherapy
schedules
telah
dikerjakan
pada
Immunotherapy,
adalah
cara
lain
imunoterapi.
Sebagai alternatif pemberian yang lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah
ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan secara oral atau
25
Prosedur Pemberian
Keputusan untuk memberikan imunoterapi berdasarkan kriteria pemilihan
pasien yang tepat, antigen yang tepat dan dilakukan hanya oleh tenaga medis yang
telah mendapat pelatihan dan pengalaman dalam bidang
imunoterapi. Untuk
b.
c.
d.
2.
3.
4.
Imunoterapi dapat diberikan satu sampai dua kali seminggu dengan dosis
awal dimulai dengan 0,05 ml alergen konsentrasi 1:10.000 sampai
1:1.000.000 berat/volume (wt/vol) ditingkatkan sampai tercapai dosis
27
pemeliharaan yaitu 0,05 ml alergen konsentrasi 1:100. Lama penyuntikan 610 bulan untuk mencapai dosis pemeliharaan.
5.
Dosis pemeliharaan diberikan dalam interval 2-4 minggu selama 3-5 tahun
dan berdasarkan penelitian, cukup untuk memberikan perlindungan jangka
panjang pada hampir semua pasien (cara lambat).
6.
7.
Cara Cluster merupakan modifikasi cara lambat dan cara cepat dengan
memberikan 2-4 kali suntikan dalam sehari, diulang setelah 1-2 minggu
sampai dosis maksimal dan dipertahankan dengan dosis pemeliharaan.
28
1)
2)
Kontrol periodik perlu meliputi pengukuran gejala, dan penggunaan obatobatan, riwayat penyakit sejak kontrol terakhir dan evaluasi klinis
imunoterapi.
3)
4)
Pada keadaan seperti adanya reaksi sistemik dan pasien kurang taat, perlu
mempertimbangkan kembali rancangan imunoterapi.
5)
Belum ada petanda spesifik sebagai penduga siapa yang akan tetap dalam
kondisi remisi klinis setelah penghentian imunoterapi yang efektif.
6)
7)
8)
Memperhatikan
faktor-faktor
tingkat
beratnya
penyakit
sebelum
29
30
31