Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin/rhino (hidung) dan itis
(radang). Rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir
(membran mukosa) hidung. Rhinitis dapat muncul akut ataupun kronik. Rhinitis
kronik yaitu jika radang berlangsung lebih dari 1 bulan (1).
Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau
alergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan,
genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu (2).

Rinitis alergi adalah radang selaput hidung yang dimediasi antigen IgE dan
sel mast. Penyakit tersebut ditandai dengan bersin, hidung tersumbat, rinore jernih
dan gatal hidung atau palatal. Penyakit ini juga dapat terjadi bersamaan dengan
konjungtivitis alergi (ditandai dengan gatal dan mata berair yang sering disertai
kemerahan atau bengkak). Rinitis alergi dapat terjadi secara musiman, tahunan,
atau mungkin secara sporadis setelah paparan zat spesifik (2).
Selama tiga dekade terakhir, prevalensi rinitis alergi terus meningkat. Lebih
dari 20% populasi penduduk Inggris dilaporkan mengidap penyakit ini. Angka
prevalensi Rinitis Alergi masing-masing negara berbeda-beda misalnya Thailand
20%, Singapura 15%, Malaysia 17%, sedangkan Indonesia 15%. Ditinjau dari
segi usia Rinitis Alergi tumbuh sejak bayi, terlihat meningkat pada umur 510
tahun, dengan puncaknya umur 20 tahun, kemudian menurun pada usia 30 tahun
(3).

Pada pasien dengan rinitis alergi sedang berat, ARIA-WHO (Allergic


Rhinitis and its impact on Asthma) merekomendasikan untuk dilakukan
imunoterapi yaitu berupa penyuntikan alergen spesifik berulang secara teratur
dengan dosis meningkat bertahap kepada pasien dengan gejala hipersensitivitas
tipe I, untuk memberikan perlindungan terhadap timbulnya gejala alergi dan
reaksi inflamasi akibat pajanan allergen (4).
Imunoterapi alergen spesifik bertujuan untuk memberikan perlindungan
terhadap timbulnya gejala alergi dan reaksi inflamasi akibat pajanan alergen,
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien rinosinusitis (4).

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rinitis Alergi


2.1.1 Definisi
Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang
sama

serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang

dengan alergen spesifik tersebut (5).


Definisi menurut WHO ARIA tahun 2008 Rhinitis alergi adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinorrhea, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen karena reaksi hipersensitivitas tipe I yang
diperantarai oleh IgE (6,7).
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi
Struktur bagian luar dari hidung terdiri dari kerangka piramida yang
didukung oleh struktur tulang dan tulang rawan yang memberikan proyeksi
hidung dari bidang wajah. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan
dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Pada
dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior yang terbesar dan
letaknya paling bawah kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema yang
biasanya rudimenter. Konka-konka ini, terutama konka inferior cepat merespon
terhadap berbagai rangsangan alergi, nonalergi, dan fisik, merespon mediator

inflamasi seperti histamin, jaringan mukosa cepat mengalami vasodilatasi yang


menyebabkan terjadinya edema konka dan menimbulkan hidung tersumbat (5,8).
Lapisan mukosa bagian paling distal rongga hidung terdiri dari epitel,
lapisan tipis keratin, skuamosa berlapis yang membentang kebagian depan rongga
hidung bilateral. Epitel skuamosa ini berisi bulu-bulu halus yang dikenal sebagai
vibrissae, yang terlibat dalam penyaringan partikel-partikel yang lebih besar yang
terbawa saat proses inspirasi. Penyaringan partikel ini terjadi didalam hidung dan
nasofaring (5,8).
Bagian proksimal rongga hidung bagian depan adalah area katup hidung
yang merupakan bagian yang paling sempit dari traktus respiratorius. Resistensi
terhadap aliran udara adalah maksimum di daerah ini, sehingga bila ada resistensi
yang

berkepanjangan

sering

terjadi

pernafasan

mulut

sehingga

fungsi

pembersihan udara dan fungsi pengatur kondisi udara hidung tidak dijalani.
Resistensi saluran udara bronkial akan meningkat bila selaput lendir hidung dan
nasofaring mengalami iritasi (5,8).
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratorius) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang
mempunyai

silia

(cilliated

pseudostratified

collumnar

epithelium),

dan

diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan

selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada
permukaannya. Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung
pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid (5,8).
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas,
arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun
secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada
anyaman kapiler periglandular dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman
kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar, yang dindingnya
dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid
mempunyai sfingter otot selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil yang mudah mengembang
dan mengerut, vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi
saraf otonom (5).
Hidung mempunyai empat fungsi utama yaitu 1) Sebagai lokasi epitel
olfaktorius. 2) Saluran udara yang kokoh menuju traktus respiratorius bagian
bawah. 3) Organ yang mempersiapkan udara inspirasi agar

sesuai dengan

permukaan paru. 4) Sebagai organ yang mampu membersihkan dirinya sendiri.


Berarti hidung merupakan alat pelindung tubuh terhadap zat-zat yang berbahaya
yang masuk bersama udara pernafasan. Hidung juga berperan sebagai resonator
dalam fonasi, hal ini nyata pada seseorang yang terserang selesma (5,8,9).

2.1.3 Epidemiologi
Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10
25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir.
Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan
mempengaruhi 40% anak-anak. Di Amerika Serikat prevalensi rinitis alergi
meningkat setelah usia dekade ketiga berkisar antara 20%-30% (10).
Di Indonesia angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui
karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi
rinitis alergi perennial di Jakarta besarnya sekitar 20%, sedangkan menurut
Sumarman dan Haryanto tahun 1999, didaerah padat penduduk kota Bandung
menunjukkan 6,98%, dimana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan
survey dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood),
pada siswa SMP umur 13-14 tahun di semarang tahun 2001-2002, prevalensi
rinitis alergi sebesar 18,6%. Data dipoliklinik THT-KL RSU Dr.Soetomo
Surabaya tahun 2006 didapatkan 654 (3,45%) dari 25.254 penderita yang datang
berobat (10).
2.1.4 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Rhinitis
alergi dipicu oleh allergen, baik di luar ruangan (outdoor) maupun di dalam

ruangan (indoor). Rinitis alergi yang disebabkan oleh alergen outdoor (jamur atau
pohon, rumput dan serbuk sari) sering disebut sebagai alergi musiman, atau "hay
fever". Sedangkan rinitis alergi yang dipicu oleh alergen indoor (bulu binatang,
jamur dalam ruangan, atau tungau). Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau
biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban
udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk tumbuhnya jamur.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca (5,11,12).
2.1.5 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam (5,13).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell / APC) akan
menangkap alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah
diproses antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan
molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Mayor
Histocompatibility Complex), yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper

(Th 0), kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL 13. IL4 dan IL
13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit
B menjadi aktif dan akan memproduksi Immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan di ikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut Sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka ke-2
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain Prostaglandin D2 (PG D2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai Sitokin (IL3, IL4, IL5, IL6), GM-CSF (Granulocyte
macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) (5,13).
Histamin akan merangsang reseptor H-1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal di hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala

lain adalah

hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung

saraf vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga


terjadi pengeluaran Intercellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1) (5,10,13).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
akan berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor (GM CSF) dan ICAM 1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hipereaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Mayor Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini , selain faktor
spesifik

(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala

seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi (5,6,9,10,14).

Gambar 2.1. Mekanisme Imunologik pada Rhinitis Alergi

2.1.6 Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2008, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi (5,6,7,10) :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi
(5,6,7,10) :
1. Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
2.1.7 Diagnosis
a. Anamnesis

10

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi


dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah, terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamine. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul
tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien
(5).
b. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwara pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung (allergic shiner). Selain itu sering anak menggosok-gosok hidung karena
gatal dengan punggung tangan (allergic salute). Keadaan menggosok hidung in
lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi
bagian sepertiga bawah (allergic crease). Mulut sering terbuka dengan lengkung
langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan perumbuhan gigi

11

geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobblestone appereance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tounge) (5).
c. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain alergi
juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan

diagnosis,

tetap

berguna

sebagai

pemeriksaan

lengkap.

Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi


inhalan. Jika basofil >5sel/lap mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In vivo:
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain allergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.

12

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).
Alergen inhalan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

2.1.8

Penatalaksanaan

13

Gambar 2.2 Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO initiative


ARIA 2008 (7).

Penatalaksanaan utama rinitis alergi terdiri dari 4 kategori pengobatan,


yakni (5,7,8,9):
1. Langkah-langkah pengendalian lingkungan dan menghindari alergen
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Yakni dengan menghindari alergen yang
sudah dikenal (zat yang dapat menimbulkan IgE-mediated hypersensitivity pada

14

pasien) dan menghindari alergen nonspesifik (Paparan asap rokok, parfum dengan
aroma yang kuat, asap, perubahan suhu yang cepat, dan polusi luar ruangan),
iritan serta faktor pemicu.
2. Manajemen farmakologis
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara per oral Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek
pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah
otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).
Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk
mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin
non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok
pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda

15

dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian
mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk
mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran
protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif
terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat).
Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin
menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada

16

permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti
leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4.Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum
dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.

3.1 Imunoterapi
3.1.1 Definisi
Definisi imunoterapi alergi adalah pemberian berulang alergen spesifik
yang sudah diketahui, pada keadaan atau penyakit yang diperantarai
imunoglobulin E, yang bertujuan sebagai pencegahan dan perlindungan dari
gejala alergi dan reaksi inflamasi yang berhubungan dengan pajanan alergen (13).
Imunoterapi untuk penyakit alergi disebut juga sebagai imunoterapi
spesifik karena metode ini memberikan ekstrak alergen yang sensitif pada
penderita untuk merubah atau menghilangkan gejala alergi. Prosesnya spesifik
karena pengobatan ini ditujukan pada alergen yang diketahui oleh penderita dan
dokter sebagai penyebab gejala alergi. Keputusan untuk melakukan imunoterapi
17

diperlukan pemeriksaan yang teliti mengenai keadaan penderita dan peran dari
allergen (15).
3.1.2 Sejarah Imunoterapi
Noon dan Freeman melaporkan Imunoterapi Alergen untuk pertama kali
pada tahun 1910 dan melakukan pembuatan ekstrak grass polen dan disuntikkan
dengan dosis yang meningkat pada penderita rinitis alergi. Sejak itu digunakan
selama kurang lebih 90 tahun untuk mengobati penyakit alergi yang disebabkan
oleh alergen inhalasi dan ternyata efektif pada rinitis dan juga asma alergi, tetapi
tidak diindikasikan pada alergi makanan. Cooke dari Amerika Serikat tahun 1918
melaporkan suatu kondisi alergi seperti Hay fever dan asma yang berasal dari
antibodi yang timbul setelah pajanan agen sensitizing. Cooke pada tahun 1922
juga mengemukakan metode hiposensitisasi untuk mengobati pasien alergi dan hal
ini yang berkembang menjadi imunoterapi sampai saat ini. Cooke tahun 1935
mengemukakan konsep antibodi penghalang (blocking antibody) yang meningkat
pada pemberian imunoterapi. Tahun 1967 pertamakali dikemukan nama
immunoglobulin E (IgE) oleh Ischikawa dan tahun 1977 Yungiger dan Gleich
mengemukakan bahwa terjadi kenaikan titer IgE pada saat musim semi dan terjadi
penurunan apabila musim tersebut berganti (15,16).
3.1.3 Mekanisme Kerja Imunoterapi
Prinsip pertama dari imunoterapi adalah bahwa efektifitas klinis
tergantung dosis, dosis minimal tertentu dari ekstrak alergen harus diberikan
untuk mendapatkan suatu kontrol gejala yang efektif. Ekstrak alergen ini dibuat
dengan proses yang khusus dengan mencampurkan sumber material alergen
(pollen, mold spores, dust mites, animal pelt) pada cairan buffer untuk
18

mengekstraksi komponen yang larut dalam air. Pada saat ini banyak ekstrak
alergen komersial dibawah lisensi FDA yang dijual dipasaran (16,17).
Efek terapi meningkat bersamaan dengan lamanya pengobatan. Perbaikan
yang nyata biasanya baru tampak setelah terapi diberikan 6 bulan atau lebih.
Diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menaikkan dosis alergen yang
terkecil yang ditoleransi sampai konsentrasi 10.000 kali untuk mencapai kadar
yang memberi efek klinis dan imunologis. Efek klinis terus meningkat sampai
beberapa tahun setelah penyuntikkan dihentikan. Lamanya penyuntikan ini perlu
dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum memulai terapi. Pemberian
dosis meningkat umumnya dilakukan tiap minggu, namun ada juga yang
memberikan dengan cara setiap hari dalam seminggu, dilanjutkan 1 minggu
istirahat kemudian disusul seminggu setiap hari. Cara ini disebut semi rush
protocol. Ada juga yang memberikan semua peningkatan dosis sampai rumatan
dalam 1 hari. Cara ini disebut sebagai rush protocol (16,17).
Sebagian besar gejala pasien berkurang, dan imunoterapi hanya
mengurangi beratnya gejala tetapi tidak menghilangkannya. Reaksi anafilaksis
yang bersifat sistemik sering dilaporkan, tetapi biasanya ringan. Reaksi ini sangat
mungkin terjadi oleh karena pasien diberikan alergen yang berdasarkan
pemeriksaan RAST dan tes kulit memang sensitif, serta diberikan penyuntikan
secara berulang. Jadi untuk mengantisipasi terjadinya reaksi anafilaksis pasien
harus menunggu 20-30 menit, baru boleh pulang. Penelitian sedang dilakukan
dengan penambahan ajuvan untuk meningkatkan efektivitas dari imunoterapi, dan

19

memodifikasi alergen untuk mengurangi resiko reaksi anafilaksis yang berat


misalnya secara sublingual (16,17).

Gambar 3.1 Mekanisme Imunoterapi, dikutip Allergology International Journal

Mekanisme dan cara kerja yang pasti dari imunoterapi belum diketahui.
Beberapa

mekanisme imunoterapi telah dikemukakan untuk menerangkan

keberhasilan imunoterapi yaitu, Induksi pembentukan IgG (blocking antibody),


penurunan produksi IgE, penurunan pengerahan sel efektor, perubahan
keseimbangan sitokin (pergeseran dari Th2 ke Th1), induksi terjadinya sel T
regulator, anergi sel T. Atopi adalah peningkatan sensitivitas sebagai hasil
peningkatan antibodi IgE spesifik terhadap alergen lingkungan yang umum seperti
tungau, serbuk sari, atau bulu hewan. Pajanan berulang terhadap alergen secara
bermakna akan meningkatkan prevalensi asma.

Imunoterapi bekerja pada

antibodi spesifik terhadap alergen. IgE spesifik meningkat sementara pada awal

20

pemberian imunoterapi, tetapi menurun setelah dosis rumatan. Reaksi cepat kulit
menurun setelah imunoterapi tetapi sangat kecil perannya dalam perbaikan klinis.
Dipihak lain, reaksi lambat pada uji kulit menurun secara nyata setelah
imunoterapi. Imunoterapi juga menginduksi IgG spesifik terhadap alergen,
berfungsi untuk meniadakan respons alergi walaupun terdapat korelasi lemah
dengan perbaikan klinis. IgG terutama meningkat berkorelasi dengan peningkatan
dosis (14,15,18,19,20).
Imunoterapi rupanya mempunyai efek modulasi pada sel T, hal ini
menerangkan mengapa gejala klinis dan reaksi lambat sangat ditekan walaupun
penurunan antibodi tidak menurun bermakna. Berdasarkan hal ini

beberapa

formula baru imunoterapi telah dirancang dengan menggunakan peptide sel T


atau bentuk konjugasi alergen untuk menggeser sitokin kearah pola Th1.
Imunoterapi spesifik sangat efektif untuk rinitis alergi jika penyebabnya terbatas.
Seperti penggunaan untuk penyakit lain, sangat penting dilakukan pemilihan
pasien yang tepat. Efektifitas imunoterapi terhadap rinitis alergi musiman
(Seasonal Allergic Rhinitis) terutama yang gagal pengobatan konvensional, telah
banyak dibuktikan pada beberapa penelitian. Data yang telah ada menunjukkan
bahwa pemberian imunoterapi selama 3 tahun pada rinitis alergika cukup efektif
memberi penyembuhan, dan khasiatnya masih bertahan sampai 6 tahun setelah
imunoterapi dihentikan. Hal ini sangat kontras dengan pengobatan konvensional
yang biasanya berhenti khasiatnya begitu pengobatan dihentikan (16,17).
Kegunaan imunoterapi untuk rinitis alergi perennial kurang memuaskan
dibanding rinitis alergi musiman. Hal ini mencerminkan lebih kompleksnya faktor

21

penyebab rinitis alergi perennial. Selain alergi, ada penyebab lain yaitu instabilitas
vasomotor, infeksi, dan, sensitifas terhadap aspirin. Beberapa penelitian
membuktikan adanya perbaikan toleransi terhadap paparan dengan bulu kucing,
baik melalui uji provokasi maupun klinis. Terdapat peningkatan kadar IgG spesifik
terhadap alergen dalam bulan-bulan pertama imunoterapi. Diperkirakan alergen
spesifik IgG ini berfungsi sebagai blocking antibodi dengan menghalangi antigen
berikatan dengan

IgE. Imunoterapi juga berperan pada keseimbangan aksis

Th1/Th2, dengan bergeser kearah Th1. Seperti diketahui fenotipe interleukin Th2
dihubungkan dengan peningkatan penyakit alergi, dan produksi interleukin Th1
berpengaruh pada proteksi. Imunoterapi juga mempunyai pengaruh pada sel mast,
basofil dan eosinofil. Terdapat penurunan yang sangat menyolok dari sel mast
dan basofil, juga terjadi penurunan eosinofil dari sekresi nasal dan spesimen
bronchial (16,18).
3.1.4 Efektivitas Imunoterapi pada Rinitis Alergi
Pada penelitian yang dilakukan Yuwan Pradana dkk tentang Efektivitas
Imunoterapi terhadap Gejala, Temuan Nasoendoskopik dan Kualitias Hidup Paien
Rinosinusitis Alergi didapatkan hubungan bermakna berdasarkan uji chi-kuadratFriedman antara imunoterapi selama 1 tahun (p<0,005) terhadap penurunan
tingkat

berat

penyakit,

penurunan

gejala

hidung,

perbaikan

temuan

nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta peningkatan kualitas hidup.


Didapatkan perbaikan secara bermakna terhadap penyakit, penurunan 3 bulan
pasca imunoterapi (p<0,0001) berdasarkan uji beda Wilcoxon. Kesimpuan
daripenelitian tersebut imunoterapi selama 1 tahun efektif terhadap penurunan

22

tingkat

berat

penyakit,

penurunan

gejala

hidung,

perbaikan

temuan

nasoendoskopi, penurunan penggunaan obat, serta peningkatan kualitas hidup


pada pasien rinosinusitis alergi, dengan perbaikan sejak 3 bulan dan bertahan
hingga 1 tahun pasca imunoterapi (15).
3.1.5 Indikasi dan Kontraindikasi Imunoterapi
Menurut panduan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) yang
dirumuskan oleh 34 ahli yang bertemu pada bulan Desember 1999 di Jenewa,
indikasi imunoterapi adalah untuk penyandang rhinitis atau asma alergi yang
disebabkan oleh alergen spesifik. Alergen yang diberikan tersebut telah dijamin
efektivitas dan keamanannya melalui penelitian klinis. Imunoterapi juga
diindikasikan sebagai profilaksis untuk pasien yang sensitif terhadap alergen
selama musim pollen atau perrenial (21).
Imunoterapi pada rinitis alergi hanya diberikan bilamana telah dilakukan
penghindaran alergen dan iritan secara maksimal, dan pemberian medikamentosa
secara benar dan optimal, terutama oleh karena lamanya terapi. Imunoterapi pada
rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis alergi yang intermiten
maupun persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun, dan biasanya gejala
tetap membaik walaupun pengobatan telah dihentikan (21).
Imunoterapi pada rinitis alergi hanya diberikan bilamana telah dilakukan
penghindaran alergen dan iritan secara maksimal, dan pemberian medikamentosa
secara benar dan optimal, terutama oleh karena lamanya terapi. Imunoterapi pada
rinitis alergi telah terbukti sangat efektif baik untuk rinitis alergi yang intermiten
maupun persisten. Lamanya terapi biasanya antara 3-5 tahun, dan biasanya gejala
tetap membaik walaupun pengobatan telah dihentikan.
23

Kontra indikasi relatif imunoterapi adalah sebagai berikut (14,16):


1. Anak dibawah usia 5 tahun
2. Keadaan hamil sebaiknya tidak dimulai imunoterapi, akan tetapi bila
imunoterapi telah dilakukan sebelum kehamilan maka dapat diteruskan .
3. Penyakit imunopatologik seperti pneumonitis hipersensitif termasuk
4.
5.
6.
7.

aspergilosis bronkopulmoner alergi


Keadaan imunodefisiensi yang berat
Keganasan
Kelainan psikiatri yang berat
Pengobatan dengan penyekat beta, karena reaksi anafilaksis keadaan akan

memberat dan sulit diatasi dengan cara konvensional


8. Pasien tidak patuh
9. Pasien mengalami efek samping yang berat yang berulang selama terapi
10. Asma berat yang tidak terkontrol dengan farmakoterapi
11. Penyakit kronik saluran pernafasan dengan volume ekspirasi paksa detik1(VEP1) < 70% prediksi walaupun telah mendapatkan farmakoterapi yang
optimal
12. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler berat yang disebabkan oleh efek
anafilaksis terhadap miokardium. Hipotensi dan vasokonstriksi pulmoner
akan menambah beban jantung juga perfusi miokardium sendiri akan
berkurang.
3.1.6 Jenis Imunoterapi
Jenis-jenis Imunoterapi Alergen Spesifik (17):
a).

Subcutaneous conventional immunotherapy

b).

Subcutaneous cluster immunotherapy

c).

Subcutaneous rush immunotherapy

d).

Subcutaneous ultra rush immunotherapy

e).

Immunotherapy Sublingual swallow

f).

Intra nasal immunotherapy


24

Cluster schedules immunotherapy (skedul tandan) ditandai dengan 2 atau


lebih penyuntikan diberikan pada satu kunjungan, sehingga untuk mencapai dosis
pemeliharaan waktu lebih cepat dapat dicapai dibanding skedul konvensional
(Summary) (18).
Rush immunotherapy (Imunoterapi sangat cepat) adalah rancangan
imunoterapi (15) :
1) Dosis peningkatan dipercepat
2) Pemberian tambahan dosis alergen berulang bertingkat pada setiap
kunjungan dengan interval waktu suntikan bervariasi antara 15 dan 60
menit.
3) Interval waktu kunjungan 1 sampai 3 hari sampai target dosis terapeutik/
pemeliharaan dicapai.
4) Dosis pemeliharaan dimungkinkan tercapai dalam waktu 6 hari, namun
pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, karena lebih sering diikuti
reaksi sistemik.
Ultra

rush

immunotherapy

schedules

telah

dikerjakan

pada

hipersensitifitas sengatan serangga untuk mencapai dosis pemeliharaan dalam


waktu lebih singkat (3,5 sampai 4 jam). Local nasal aeroallergen immunotherapy,
merupakan bentuk imunoterapi alternatif yang menggunakan larutan alergen yang
disemprotkan ke mukosa hidung dengan interval waktu tertentu. Efek samping
yang timbul berupa pruritus, kongesti dan bersin. Belum ada penelitian yang
merekomendasikan bentuk ini sebagai salah satu imunoterapi (16,17).
Sublingual

Immunotherapy,

adalah

cara

lain

imunoterapi.

Sebagai alternatif pemberian yang lebih aman dan nyaman bagi pasien adalah
ekstrak tumbuhan yang dicampur dengan alergen dan diberikan secara oral atau
25

sublingual. Cara kerja imunoterapi sublingual adalah dengan mengubah respons


limfosit T terhadap alergen. Pemberian imunoterapi sublingual ternyata lebih
hemat, lebih aman, dan nyaman bagi pasien serta tidak memerlukan supervise
medis dalam pelaksanaan tetapi efektifitasnya lebih rendah daripada imunoterapi
suntikan (20,22,23).
3.1.7

Prosedur Pemberian
Keputusan untuk memberikan imunoterapi berdasarkan kriteria pemilihan

pasien yang tepat, antigen yang tepat dan dilakukan hanya oleh tenaga medis yang
telah mendapat pelatihan dan pengalaman dalam bidang

imunoterapi. Untuk

persiapan pasien dapat mengikuti petunjuk dibawah ini (16):


1) Identifikasi pasien, kehadiran, memanggil nama lengkap dan mencocokkan
tanggal lahir atau nomor pasien.
2) Apakah ada riwayat terjadi reaksi pada pemberian terakhir.
3) Terapkan aturan 3 benar yaitu: kartu (chart) yang benar, antigen benar,
pasien benar
4) Triple check antigen, yakni: label, nama pasien, isi pengenceran, tanggal
kadaluarsa, tanggal penyuntikan terakhir.
Sebelum melakukan imunoterapi, harus memahami sebagai berikut:
a.

Cara penyesuaian dosis untuk meminimalkan reaksi

b.

Cara penatalaksanaan reaksi lokal dan sistemik

c.

Telah mendapat pelatihan resusitasi jantung paru

d.

Memiliki alat resusitasi termasuk stetoskop, sfigmomanometer, jarum


suntik, epinefrin, antihistamin, steroid, oksigen, oral airway, cairan
intravena, set infuse, set trakeotomi, nebulizer, dan obat bronkodilator
inhalasi.
26

Langkah melakukan imunoterapi sebagai berikut (16,17):


1.

Diberikan dengan cara suntikan subkutan pada regio deltoid secara


bergantian pada periode imunoterapi. Dengan menggunakan semprit 0,5-1,0
ml untuk pengukuran yang akurat jumlah antigen yang masuk dan jarum 27
G untuk kenyamanan pasien, Jarum disuntikkan dan setelah masuk pada
posisi subkutan jarum diaspirasi. Apabila darah teraspirasi maka semprit
tersebut harus dibuang dan prosedur dimulai lagi dari awal. Semprit yang
digunakan harus berbeda untuk setiap pasien untuk mencegah penularan
penyakit infeksi. Setelah penyuntikan pasien diminta menunggu selama 2030 menit untuk mengantisipasi reaksi sistemik yang mungkin muncul dalam
periode tersebut. Pasien dengan derajat hipersensitivitas tinggi harus
diobservasi selama 30 menit atau lebih.

2.

Ekstrak alergen dapat diberikan secara tunggal atau dicampur (idealnya


kurang dari 10 jenis alergen), akan tetapi campuran ini akan mengencerkan
kadar setiap alergen dan dapat mengurangi respons terhadap imunoterapi.

3.

Jenis alergen yang diberikan tergantung penilaian klinisi didasarkan pada


jenis alergen yang memberi hasil positif pada uji kulit dan yang
menimbulkan gejala klinis bila terpajan. Jenis alergen yang dapat diberikan
secara injeksi subkutan adalah bermacam jenis serbuk sari (pollen), tungau
debu rumah dan bulu kucing.

4.

Imunoterapi dapat diberikan satu sampai dua kali seminggu dengan dosis
awal dimulai dengan 0,05 ml alergen konsentrasi 1:10.000 sampai
1:1.000.000 berat/volume (wt/vol) ditingkatkan sampai tercapai dosis

27

pemeliharaan yaitu 0,05 ml alergen konsentrasi 1:100. Lama penyuntikan 610 bulan untuk mencapai dosis pemeliharaan.
5.

Dosis pemeliharaan diberikan dalam interval 2-4 minggu selama 3-5 tahun
dan berdasarkan penelitian, cukup untuk memberikan perlindungan jangka
panjang pada hampir semua pasien (cara lambat).

6.

Pemberian imunoterapi dengan cara cepat, dilakukan dengan menyuntikkan


alergen 4 kali sehari dengan interval jam dan diulang setelah 2 minggu.
Respons antibodi yang diinginkan terjadi setelah 5 kali kunjungan.

7.

Cara Cluster merupakan modifikasi cara lambat dan cara cepat dengan
memberikan 2-4 kali suntikan dalam sehari, diulang setelah 1-2 minggu
sampai dosis maksimal dan dipertahankan dengan dosis pemeliharaan.

3.1.8 Dosis dan Cara Pemberian


Prinsip dasarnya adalah dosis permulaan yang diberikan adalah 1/10 dari
dosis yang menimbulkan reaksi tes kulit positif, dan dosis dinaikkan sedikit demi
sedikit setiap minggunya sampai mencapai 1000-10.000 kali dosis awal yang
masih ditoleransi. Biasanya memerlukan waktu sedikitnya 6 bulan dengan
penyuntikan 1 minggu sekali untuk mencapai dosis pemeliharaan. Kalau terjadi
reaksi sistemik, maka dosis yang lebih rendah menjadi dosis maksimum yang
dapat ditoleransi. Sekali dosis pemeliharaan tercapai, biasanya terapi akan
dilanjutkan dalam 3 tahun atau lebih. Kalau seorang anak sudah dapat
mentoleransi paparan alergen tanpa menimbulkan serangan, maka imunoterapi
dapat dihentikan (16,17,19,21).
Pasien yang menjalani dosis pemeliharaan imunoterapi perlu (17):

28

1)

Kontrol ulang sekurang-kurangnya 6 atau 12 bulan.

2)

Kontrol periodik perlu meliputi pengukuran gejala, dan penggunaan obatobatan, riwayat penyakit sejak kontrol terakhir dan evaluasi klinis
imunoterapi.

3)

Dipertimbangkan dosis dan rancangan imunoterapi, dicatat riwayat reaksi


imunoterapi dan ketaatan pasien.

4)

Pada keadaan seperti adanya reaksi sistemik dan pasien kurang taat, perlu
mempertimbangkan kembali rancangan imunoterapi.

5)

Belum ada petanda spesifik sebagai penduga siapa yang akan tetap dalam
kondisi remisi klinis setelah penghentian imunoterapi yang efektif.

6)

Beberapa pasien akan tetap dalam keadaan remisi seperti gejala-gejala


terakhir pada saat penghentian alergen imunoterapi.

7)

Seperti halnya pada keputusan mulai menjalani imunoterapi, keputusan


untuk menghentikan imunoterapi juga harus bersifat individualistic.

8)

Memperhatikan

faktor-faktor

tingkat

beratnya

penyakit

sebelum

pengobatan, manfaat pengobatan yang terus menerus (sustained), dan


penggangguan (inconvenience) dari imunoterapi pada pasien tertentu.
9)
10)

Efek potensial kekambuhan klinis yang mungkin terjadi pada pasien.


Lamanya imunoterapi harus individual berdasarkan : Respon klinis pasien
terhadap imunoterapi, beratnya penyakit terhadap imunoterapi, riwayat
respon klinis pasien, riwayat reaksi imunoterapi dan tergantung keinginan
maupun keputusan pasien.

3.1.9 Efek Samping

29

Efek samping setelah imunoterapi bisa berupa reaksi lokal maupun


sistemik. Suatu penelitian melaporkan bahwa 3 sampai 7% pasien dapat
mengalami reaksi sistemik, dimana reaksi sistemik dapat ringan atau berat
(anafilaksis) dan dapat terjadi pada setiap 250 sampai 1600 penyuntikan,
umumnya reaksi berat sistemik terjadi dalam waktu 30 menit setelah suntikan,
tetapi dapat juga terjadi setelah 30 menit, sekitar 40-70% dapat mengenai saluran
pernafasan (stridor, rinitis, mengi) dan hampir 10% disertai hipotensi. Reaksi yang
fatal dapat terjadi pada 1:2 juta atau 1:3 juta suntikan. Reaksi yang tersering
terjadi pada waktu pemberian dosis pemeliharaan. Reaksi lebih sering terjadi pada
anak remaja dan pada waktu pajanan terhadap alergen tinggi. Faktor resiko untuk
terjadinya reaksi berat antara lain asma berat, usia kurang dari 5 tahun dan
penggunaan beta bloker. Untuk alasan ini, penyuntikan harus dilakukan di fasilitas
kesehatan dan oleh orang yang mengetahui dan dapat mengenali dan mengatasi
reaksi sistemik anafilaksis. Harus tersedia fasilitas minimal untuk resusitasi.
Setelah penyuntikan, pasien harus menunggu selama 30 menit, dan diawasi bila
tampak tanda reaksi alergi. Penyuntikan sebaiknya tidak dilakukan dirumah
(16,17).
Reaksi lokal yaitu kemerahan dan pembengkakan (urtikaria) pada tempat
suntikan yang menimbulkan sedikit keluhan. Pengobatan dengan melakukan
kompres dingin, pemberian antihistamin oral, steroid topikal dan pengurangan
dosis. Reaksi vasovagal meliputi penurunan tekanan darah dengan perlambatan
frekuensi nadi, kulit menjadi dingin atau hangat disertai pengeluaran keringat
tanpa timbul urtikaria atau angioedema. Reaksi vasovagal tidak memerlukan

30

pengobatan dan modifikasi dosis karena segera memberi respon dengan


menelentangkan pasien.

Adrenalin merupakan pengobatan pilihan pada

anafilaksis, lebih baik diberikan secara intramuskular, walaupun suntikan


subkutan juga dapat diterima. Antihistamin dan kortikosteroid sistemik merupakan
pengobatan sekunder, yang mampu menolong memodifikasi reaksi sistemik, tetapi
tidak boleh menggantikan epinefrin pada pengobatan anafilaksis. Infus NaCl
fisiologis atau pemberian oksigen perlu diberikan pada kasus berat (16).
Dosis imunoterapi dan tahapannya harus dievaluasi setelah terjadinya
reaksi sistemik terinduksi alergen spesifik imunoterapi. Setelah reaksi sistemik,
untuk beberapa pasien dosis pemeliharaan imunoterapi perlu dikurangi karena
dapat terjadi reaksi sistemik berulang akibat imunoterapi. Bahkan setelah reaksi
sistemik berat, pertimbangkan penghentian imunoterapi (16).

31

Anda mungkin juga menyukai