Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.

AFASIA
A. DEFINISI
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh
kerusakan otak. Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa
(disebut juga disfasia), gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan
berbahasa sekunder akibat gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia.
Afasia adalah Gangguan pada komprehensi atau ekspresi dari bahasa
yang diakibatkan oleh lesi pada bagian otak yang bertanggung jawab untuk
bahasa (pada kebanyakan orang di hemisfer kiri otak). Dapat terjadi tibatiba (misalnya karena stroke atau cedera kepala) atau perlahan-lahan
(misalnya karena tumor otak, infeksi, atau dementia)

C.

B. EPIDEMIOLOGI
Banyak pada orang usia middle age
Sama pada pria dan wanita
80 ribu orang terkena tiap tahun karena stroke
Sekitar 1 juta orang di USA sekarang menderita afasia

ETIOLOGI
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat
timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal,
temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area
Broca, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya.
Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan
orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan
oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak akut dan sebagainya.
Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia
juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid
untuk penanganan nyeri kronis.

D.

PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak.
Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer
kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60%
orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia,
sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak,
atau penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas
pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan
tulisan.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area
sensorik penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan
mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti
suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan
bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan
afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus
arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area Wernicke.

E.

KLASIFIKASI
Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang
mendasarkan kepada:

Manifestasi klinik

Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek

Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik

Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas :

Afasia tidak lancar atau non-fluent

Afasia lancar atau fluent

Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan :


1. Sindrom afasia peri-silvian

Afasia Broca (motorik, ekspresif)

Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)

Afasia konduksi

2. Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)

Afasia transkortikal motorik

Afasia transkortikal sensorik

Afasia transkortikal campuran

3. Sindrom afasia subkortikal


Afasia talamik
Afasia striatal
4. Sindrom afasia non-lokalisasi
Afasia anomik
Afasia global

F. MANIFESTASI KLINIS
Afasia Non-fluent
Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita menggunakan
kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai
artikulasi dan irama bicara yang buruk.
Gambaran klinisnya ialah:

Pasien tampak sulit memulai bicara

Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)

Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks

Artikulasi umumnya terganggu

Irama bicara terganggu

Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih


kompleks

Pengulanan (repetisi) buruk

Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk

Afasia fluent
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi
bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak
dapat mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali.
Gambaran klinisnya ialah:

Keluaran bicara yang lancar

Panjang kalimat normal

Artikulasi dan irama bicara baik

Terdapat parafasia

Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk

Repetisis terganggu

Menulis lancar tadi tidak ada arti

Afasia Broca (motorik, ekspresif)


Disebabkan lesi di area Broca. Pemahaman auditif dan membaca tidak
terganggu, tetapi sulit mengungkapkan isi pikiran. Gambaran klinis afasia
Broca ialah bergaya afasia non-fluent.
Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
Disebabkan lesi di area Wernicke. Pada kelainan ini pemahaman bahasa
terganggu. Penderita tidak mampu memahami bahasa lisan dan tulisan
sehingga ia juga tidak mampu menjawab dan tidak mengerti apa yang dia
sendiri katakan. Gambaran klinis afasia Wernicke ialah bergaya afasia
fluent.
Afasia Konduksi
Disebabkan lesi di area fasciculus arcuatus yaitu penghubung antara area
sensorik (wernicke) dan area motorik (broca). Lesi ini menyebabkan
kemampuan berbahasa dan pemahaman yang baik tetapi didapati adanya
gangguan repetisi atau pengulangan.
Afasia transkortikal
Disebabkan lesi di sekitar pinggiran area pengaturan bahasa. Pada dasarnya
afasia transkortikal ditandai oleh terganggunya fungsi berbahasa tetapi
didapati repetisi bahasa yang baik dan terpelihara.
Afasia talamik
Disebabkan lesi pada talamus, dan afasia striatal disebabkan lesi pada
capsular-striatal, yang keduanya juga berperan dalam pengaturan bahasa.
Pada kedua afasia ini terdapat tanda afasia anomik
Afasia anomik
Merupakan suatu afasia dimana penderita kesulitan menemukan kata dan
tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Bicara,
gramatika dan irama lancar, tetapi sering tertegun ketika mencari kata dan
mengenal nama objek.
Afasia global
Bentuk afasia yang paling berat. Ini disebabkan lesi yang luas yang merusak
sebagian besar atau semua area bahasa pada otak. Keadaan ini ditandai oleh

tidak ada lagi atau berkurang sekali bahasa spontan dan menjadi beberapa
patah kata yang diucapkan secara berulang-ulang, misalnya baaah, baaah,
baaah atau maaa, maaa, maaa. Pemahaman bahasa hilang atau
berkurang. Repetisi, membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia
global hampir selalu disertai dengan hemiparese atau hemiplegia.

G. DIAGNOSA
Melihat manifestasi klinis dan riwayat trauma/penyakit

Tes

kognitif/fungsi

bahasa

Boston

Diagnostic

Aphasia

Examination, Western Aphasia Battery, Boston Naming Test, Token


Test, dan Action Naming Test pemeriksaan yang dilakukan harus
mencakup semua komponen bahasa (bicara spontan, penamaan,
pengulangan, pemahaman, membaca, dan menulis)

Pemeriksaan radiologis CT Scan, MRI, PET Scan, EEG

H. DIAGNOSIS BANDING

Kelainan psikiatri

Kelainan perkembangan

Mutism

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya,
misalnya stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.
Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif
dan terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk
mengobati afasia adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara.
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih
baik jika intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan
lebih baik jika pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari
dibandingkan dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan
jumlah hari yang lebih banyak pula.
Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan
berbagai bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam
bentuk musik, dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta
lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama
mengikuti sesi terapi afasia.
Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama
mengikuti sesi terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.
Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering
digunakan:

Terapi kognitif linguistik.

Program stimulus.

Stimulation-Fascilitation Therapy.

Terapi kelompok (group therapy).

PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness).

II.

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS).

STROKE
A. DEFINISI
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan
oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan
dapat menimbulkan cacat atau kematian.
Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular
Disease (CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI)
mengistilahkan stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah
otak (GPDO).
Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai
serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas,
invaliditas).

III. STROKE NON HEMORAGIK


A. KLASIFIKASI STROKE NON HEMORAGIK
Secara non hemoragik, stroke dapat dibagi berdasarkan manifestasi klinik dan
proses patologik (kausal):
a. Berdasarkan manifestasi klinik:
i. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
akan menghilang dalam waktu 24 jam.
ii. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Deficit (RIND)
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama
dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
iii. Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
iv. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Kelainan neurologik sudah menetap, dan tidak berkembang lagi.

b. Berdasarkan Kausal
i. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh
darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan
pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik terjadi
akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang
cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol
jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada pembuluh darah
kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil
terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit
aterosklerosis.
ii. Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau
lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah
yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.
B. GEJALA STROKE NON HEMORAGIK
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah
dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala
tersebut adalah :
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
i. Buta mendadak (amaurosis fugaks).
ii. Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan
(disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan.
iii. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis
kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
i. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih
menonjol.
ii. Gangguan mental.

iii. Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.


iv. Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
v. Bisa terjadi kejang-kejang.
c. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri media.
i. Bila sumbatan di pangkal arteri, terjadi kelumpuhan yang lebih
ringan. Bila tidak di pangkal maka lengan lebih menonjol.
ii. Gangguan saraf perasa pada satu sisi tubuh.
iii. Hilangnya kemampuan dalam berbahasa (aphasia).
d. Gejala akibat penyumbatan sistem vertebrobasilar.
i. Kelumpuhan di satu sampai keempat ekstremitas.
ii. Meningkatnya refleks tendon.
iii. Gangguan dalam koordinasi gerakan tubuh.
iv. Gejala-gejala sereblum seperti gemetar pada tangan (tremor),
kepala berputar (vertigo).
v. Ketidakmampuan untuk menelan (disfagia).
vi. Gangguan motoris pada lidah, mulut, rahang dan pita suara
sehingga pasien sulit bicara (disatria).
vii. Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop), penurunan kesadaran
secara lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat,
kehilangan daya ingat terhadap lingkungan (disorientasi).
viii.Gangguan penglihatan, seperti penglihatan ganda (diplopia),
gerakan arah bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus),
penurunan kelopak mata (ptosis), kurangnya daya gerak mata,
kebutaan setengah lapang pandang pada belahan kanan atau kiri kedua
mata (hemianopia homonim).
ix. Gangguan pendengaran.
x. Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
e. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
i. Koma
ii. Hemiparesis kontra lateral.
iii. Ketidakmampuan membaca (aleksia).
iv. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.

f. Gejala akibat gangguan fungsi luhur


i. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa.
Aphasia dibagi dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan
untuk berbicara, mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya
sendiri, sementara kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain
tetap baik. Aphasia sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti
pembicaraan orang lain, namun masih mampu mengeluarkan
perkataan dengan lancar, walau sebagian diantaranya tidak memiliki
arti, tergantung dari luasnya kerusakan otak.
ii. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan
otak. Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital),
yaitu Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi
dapat membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan
membaca huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi
ketidakmampuan keduanya disebut Global alexia.
iii. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya
kerusakan otak.
iv. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal
angka setelah terjadinya kerusakan otak.
v. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah
sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti
penamaan, melakukan gerakan yang sesuai dengan perintah atau
menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering bersamaan
dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari
yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya).
vi. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya
kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan
dengan ruang.
vii. Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku
akibat kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere
dominan yang menyebabkan terjadinya gangguan bicara.

viii.Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada


trauma capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi
pengangkatan massa di otak.
ix. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup
sejumlah kemampuan.
C. DIAGNOSIS STROKE NON HEMORAGIK
Diagnosis didasarkan atas hasil:
a. Penemuan Klinis
i. Anamnesis
Terutama terjadinya keluhan/gejala defisit neurologik yang mendadak.
Tanpa trauma kepala, dan adanya faktor risiko stroke.
ii. Pemeriksaan Fisik
Adanya defisit neurologik fokal, ditemukan faktor risiko seperti
hipertensi, kelainan jantung dan kelainan pembuluh darah lainnya
b. Pemeriksaan tambahan/Laboratorium
i. Pemeriksaan Neuro-Radiologik
Computerized Tomography Scanning (CT-Scan), sangat membantu
diagnosis dan membedakannya dengan perdarahan terutama pada fase
akut. Angiografi serebral (karotis atau vertebral) untuk mendapatkan
gambaran yang jelas tentang pembuluh darah yang terganggu, atau bila
scan tak jelas. Pemeriksaan likuor serebrospinalis, seringkali dapat
membantu membedakan infark, perdarahan otak, baik perdarahan
intraserebral (PIS) maupun perdarahan subarakhnoid (PSA).
ii. Pemeriksaan lain-lain
Pemeriksaan untuk menemukan faktor resiko, seperti: pemeriksaan
darah rutin (Hb, hematokrit, leukosit, eritrosit), hitung jenis dan bila
perlu gambaran darah. Komponen kimia darah, gas, elektrolit, Doppler,
Elektrokardiografi (EKG).
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas,
maka untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem
lain, misalnya system skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala

klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring
yang sering digunakan antara lain:
a. Siriraj Hospital Score (Poungvarin, 1991)

Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x
tekanan darah diastolik) (0.99 x atheromal) 3.71.
Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan
darah diastolik) (3 x atheroma) 12.
Kesadaran :

Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2


Muntah:
tidak = 0 ; ya = 1

Sakit kepala dalam 2 jam:


tidak = 0 ; ya = 1

Tanda-tanda ateroma:
tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1

Pembacaan:
Skor

> 1 : Perdarahan otak


< -1: Infark otak

Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.


Untuk infark: 93.2%.
Ketepatan diagnostik: 90.3%.

b. Alogaritma Gadjah Mada

D. FAKTOR RESIKO STROKE


Faktor risiko stroke terdiri dari dua kategori, yaitu:
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
i.
Usia
ii.
Jenis Kelamin
iii.
Ras/bangsa
iv.
Hereditas
c. Faktor yang dapat diubah
i.
Hipertensi

ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
ix.
x.

Diabetes Melitus
Penyakit jantung
Transient Ischemic Attack (TIA)
Obesitas
Hiperkolesterolemia
Merokok
Alkohol
Stres
Penyalahgunaan obat

E. PATOFISOLOGI

F. PENATALAKSANAAN (PERDOSSI 2007)


STADIUM HIPERAKUT

Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan


merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar
kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2
L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau
salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi,
foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR,
APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia,
dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah
memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan
pada keluarganya agar tetap tenang.
STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun
penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis
serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi
kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan
keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.
Stroke Iskemik
Terapi Umum :
Letakkan kepala pasien pada posisi 30, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila
hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai
didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam
diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika
kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 15002000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa
atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya
baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan
melalui selang nasogastrik.

Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan
gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan
harus dicari penyebabnya.
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obatobatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila
tekanan sistolik 220 mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu
30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta
gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat
ACE, atau antagonis kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70
mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4
jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum
terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi
dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan intrakranial
meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit,
dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus :
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin
dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA
(recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen
neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia).

Anda mungkin juga menyukai