TINJAUAN PUSTAKA
I.
AFASIA
A. DEFINISI
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh
kerusakan otak. Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa
(disebut juga disfasia), gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan
berbahasa sekunder akibat gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia.
Afasia adalah Gangguan pada komprehensi atau ekspresi dari bahasa
yang diakibatkan oleh lesi pada bagian otak yang bertanggung jawab untuk
bahasa (pada kebanyakan orang di hemisfer kiri otak). Dapat terjadi tibatiba (misalnya karena stroke atau cedera kepala) atau perlahan-lahan
(misalnya karena tumor otak, infeksi, atau dementia)
C.
B. EPIDEMIOLOGI
Banyak pada orang usia middle age
Sama pada pria dan wanita
80 ribu orang terkena tiap tahun karena stroke
Sekitar 1 juta orang di USA sekarang menderita afasia
ETIOLOGI
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat
timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal,
temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area
Broca, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya.
Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan
orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan
oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak akut dan sebagainya.
Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia
juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid
untuk penanganan nyeri kronis.
D.
PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak.
Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer
kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60%
orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia,
sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak,
atau penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas
pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan
tulisan.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area
sensorik penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan
mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti
suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan
bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan
afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus
arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area Wernicke.
E.
KLASIFIKASI
Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang
mendasarkan kepada:
Manifestasi klinik
Afasia konduksi
F. MANIFESTASI KLINIS
Afasia Non-fluent
Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita menggunakan
kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana. Sering disertai
artikulasi dan irama bicara yang buruk.
Gambaran klinisnya ialah:
Afasia fluent
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik, tetapi isi
bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita tidak
dapat mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali.
Gambaran klinisnya ialah:
Terdapat parafasia
Repetisis terganggu
tidak ada lagi atau berkurang sekali bahasa spontan dan menjadi beberapa
patah kata yang diucapkan secara berulang-ulang, misalnya baaah, baaah,
baaah atau maaa, maaa, maaa. Pemahaman bahasa hilang atau
berkurang. Repetisi, membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia
global hampir selalu disertai dengan hemiparese atau hemiplegia.
G. DIAGNOSA
Melihat manifestasi klinis dan riwayat trauma/penyakit
Tes
kognitif/fungsi
bahasa
Boston
Diagnostic
Aphasia
H. DIAGNOSIS BANDING
Kelainan psikiatri
Kelainan perkembangan
Mutism
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya,
misalnya stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.
Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif
dan terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk
mengobati afasia adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara.
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih
baik jika intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan
lebih baik jika pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari
dibandingkan dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan
jumlah hari yang lebih banyak pula.
Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan
berbagai bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam
bentuk musik, dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta
lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama
mengikuti sesi terapi afasia.
Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama
mengikuti sesi terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.
Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering
digunakan:
Program stimulus.
Stimulation-Fascilitation Therapy.
II.
STROKE
A. DEFINISI
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan
oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan
dapat menimbulkan cacat atau kematian.
Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular
Disease (CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI)
mengistilahkan stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah
otak (GPDO).
Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai
serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas,
invaliditas).
b. Berdasarkan Kausal
i. Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh
darah di otak. Trombotik dapat terjadi pada pembuluh darah yang besar dan
pembuluh darah yang kecil. Pada pembuluh darah besar trombotik terjadi
akibat aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah yang
cepat. Selain itu, trombotik juga diakibatkan oleh tingginya kadar kolesterol
jahat atau Low Density Lipoprotein (LDL). Sedangkan pada pembuluh darah
kecil, trombotik terjadi karena aliran darah ke pembuluh darah arteri kecil
terhalang. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit
aterosklerosis.
ii. Stroke Emboli/Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena adanya gumpalan dari jantung atau
lapisan lemak yang lepas. Sehingga, terjadi penyumbatan pembuluh darah
yang mengakibatkan darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.
B. GEJALA STROKE NON HEMORAGIK
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah
dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala
tersebut adalah :
a. Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
i. Buta mendadak (amaurosis fugaks).
ii. Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan
(disfasia) bila gangguan terletak pada sisi dominan.
iii. Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis
kontralateral) dan dapat disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
b. Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
i. Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih
menonjol.
ii. Gangguan mental.
klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring
yang sering digunakan antara lain:
a. Siriraj Hospital Score (Poungvarin, 1991)
Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x
tekanan darah diastolik) (0.99 x atheromal) 3.71.
Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan
darah diastolik) (3 x atheroma) 12.
Kesadaran :
Tanda-tanda ateroma:
tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
Pembacaan:
Skor
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
ix.
x.
Diabetes Melitus
Penyakit jantung
Transient Ischemic Attack (TIA)
Obesitas
Hiperkolesterolemia
Merokok
Alkohol
Stres
Penyalahgunaan obat
E. PATOFISOLOGI
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari
pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan
gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan
harus dicari penyebabnya.
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obatobatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila
tekanan sistolik 220 mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu
30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta
gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat
ACE, atau antagonis kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70
mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4
jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum
terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi
dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit,
maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral
(fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan intrakranial
meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit,
dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus
dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus :
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin
dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA
(recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen
neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia).