Anda di halaman 1dari 3

01 - Seri Gagasan Masa Depan Minangkabau

Membangun Istano Basa Pagaruyung


atau Universitas Pagaruyung

Oleh Fadlillah Malin Sutan

A
dalah benar, terbakarnya istano Basa Pagaruyung bukan berarti keruntuhan
kebudayaan Minangkabau, sebagaimana ditulis tajuk harian Singgalang (01/03).
Istano adalah benda, sebagaimana ditulis Wisran Hadi (05/03), sedangkan
budaya adalah budi, prilaku, kultur, segala sesuatu yang diperbuat manusia
Minangkabau. Agaknya, apa yang dikatakan oleh Wisran Hadi (05/03), dramawan
terkemuka Indoensia itu, agaknya benar, luar biasa, kita lebih mementingkan benda
dan jangan-jangan kita memang benar telah memberhalakannya.
Dengan demikian Istano hanyalah bagian kecil dari hasil budaya. Kalaulah
budaya yang runtuh, berarti keruntuhan moral, prilaku, keruntuhan dari segala sesuatu
yang diciptakan manusia Minang. Namun bolehkah ada yang bertanya; benarkah
kebudayaan Minangkabau tidak runtuh pada masa kini?
Seandainya aku adalah Gubernur, Bupati, keluarga Kerajaan Pagaruyung serta
kaum cerdik cendikia Minangkabau; dengan uang 20 sampai 45 miliyar, disuruh
memilih apakah akan membangun Istano Basa Pagaruyung atau membangun
Universitas Pagaruyung? Dengan uang sebanyak itu apakah akan membangun sektor
pariwisata atau dunia pendidikan. Dalam keadaan rakyat masih dalam taraf kemiskinan
apakah akan membangun benda atau membangun manusia?
Dengan uang sebanyak itu aku akan memilih untuk membangun manusia. Aku
akan memilih membangun Universitas Pagaruyung, daripada membangun istana yang
megah sementara tidak ada satu pun lembaga pendidikan yang representatif, yang
dapat melahirkan manusia berbudaya, berkarakter Minang. Untuk apa mendirikan

1
istana megah sementara orang Minang sedang berproses untuk tidak berbudaya atau
berkarater Minang, yang kata Syafii Marif; orang Minang sudah lebih Jawa dari orang
Jawa.
Orang Minang sekarang belajar tentang Minang ke Leiden, dan sebentar lagi
akan belajar (tentang Minangkabau) ke Malaysia, Singapore, Brunai dan Tokyo.
Sementara naskah-naskah Minangkabau pada hari ini sedang diperjual-belikan ke
Malaysia, Singapore, Brunai dan Tokyo dengan harga puluhan juta (tentang hal ini
tanya kepada M. Yusuf pakar tentang pernaskahan kuno di Fak. Sastra Unand). Bahkan
konon naskah asli Imam Bonjol konon ketika sampai ke tangan pemerintah hilang.
Kehancuran budaya atau karakter ke-Minangkabau-an jauh lebih dicemaskan
daripada kehancuran benda fisik replika Istano Basa Pagaruyung, dan tidak ada jalan
untuk membangun kebudayaan Minangkabau selain dari membangun dunia
pendidikan. Apakah karakter ke-Minangkabau-an pada manusia Minang dapat
dibangun dengan cara membangun fisik materi, pariwisata, ekonomi, militer, politik
kekuasaan? Jawabannya, tidak.
Kalaulah tentang pusat kajian, di Universitas Andalas sudah ada Pusat Kajian
Budaya Minangkabau yang didirikan oleh orang yang berkaliber, yakni; Mochtar Naim,
tetapi sampai sekarang tidak pernah jalan, kabarnya sudah berkapang. Ada jurusan
Sastra Minangkabau, tetapi jurusan itu perlakukan sebagai jurusan level paling bawah
dan terpinggirkan di Universitas Andalas.
Di samping itu, seluruh Universitas di Sumatera Barat ini bukan-lah bervisi dan
misi (paradigma) budaya Minangkabau (boleh dilihat visi dan misi akreditasi mereka).
Semua orang berharap pada BAM di sekolah, itu pun sesusungguhnya tataran pelajaran
level bawah dan jadi beban dan domplengan. Pada waktu terakhir ini juga ada Pusat
Pengkajian Islam dan Minangkabau konon pun sudah berakhir karena periode orang
berkuasanya sudah habis.
Sebenarnya masyarakat kita pun sudah lama menghina pedidikan budaya,
dengan tidak ada harga padanya, sementara kita berteriak bahwa bahasa kita sudah
kehilangan budi dan logika. Bukankah seluruh sekolah pemerintah tidak ada yang
meletakan budi pekerti dan budaya sebagai level pertama pada pendidikan mereka. Bagi
mereka matematika, fisika, biologi adalah level paling atas, sedangkan budaya budi
pekerti level paling bawah, bahkan sebenarnya tidak perlu ada.
Padahal bangsa kita mengalami keruntuhan karakter budaya yang paling
dahsyat. Bangsa kita adalah koruptor nomor satu, yang tidak bertanggung jawab dan
tidak pandai memelihara; dapat dibuktikan, mulai dari WC umum dan perkantoran
serta telepon umum tidak ada satu pun yang baik, semua rusak, di jalan raya kita jadi
bangsa yang sangat menakutkan, sampai ke urusan tempat tidur. Banyak profesor,
doktor, insinyur dan dokter, apakah mereka punya pertimbangan prikemanusiaan,
bukankah kebanyakan materialis dan kehilangan raso jo pareso?
Oleh sebab itu, apakah kita butuh istana yang megah? Bukanlah untuk
menghalangi atau menghambat pembangunan. Tafaddol, silahkan. Ini hanya sebuah
pandangan bahwa ada yang lebih penting dari itu, ada yang lebih mencemaskan dari itu.
Sedangkan apa yang dilakukan Luak Agam agaknya lebih tepat dengan dibangun
Pustaka Negara Bung Hatta di Bukittinggi.
Bukankah adat budaya jauh akan lebih terpelihara dengan adanya universitas
daripada pariwisata, bukankah secara moral daya hancurnya begitu hebat? Jika yang
dibangun adalah universitas maka orang dari berbagai negara akan datang belajar ke

2
Pagaruyung, kerajaan Brunai, Negeri Sembilan, dan banyak kerajaan di Nusantara akan
lebih positif membantu dan menyekolahkan putra-putrinya ke Pagaruyung. Pusat
Kajian akan lebih banyak, tidak satu. Pagaruyung untuk dua puluh tahun ke depan akan
menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pahala yang besar itu adalah ilmu
yang bermanfaat akan mengalir kepada keluarga sepanjang waktu.
Kepada pemerintah nampaknya tidak dapat berharap, seperti kata Gubernur
tidak boleh dihalangi jangan dihambat (02/03 PE). Maka tafaddol, silahkan
membangun Istano Basa. Agaknya harapan ini hanya tertuju kepada keluarga Kerajaan
Pagaruyung dan masyarakat Minangkabau, membuat proposal konkret untuk
membangun Universitas Pagaruyung atau Universitas Minangkabau, cukuplah PTPG
dilarikan pemerintah ke Padang, politeknik pertanian dibawa ke Payakumbuh, UMMY
dibawa ke Solok. Agaknya proposal itu akan disambut hangat dan dibantu oleh
Kerajaan Negeri Sembilan, Brunai, dan beberapa kerajaan Nusantara yang mempunyai
hubungan erat dengan Pagaruyung, begitu juga masyarakat Minangkabau di seluruh
nagari dan rantau. Kemudian mereka merasa memiliki bersama.
Namun dengan satu syarat, jangan berikan universitas itu kepada pemerintah.
Bukan kita melawan kepada pemerintah, tidak. Jawabnya hanya satu; budaya jangan
diberikan kepada orang lain, budaya kita harus di tangan kita. Cukuplah duplikat Istano
Basa di tangan pemerintah, tetapi malu nan indak ka babagi.
Di Batusangkar, ada cerita tetang dua pedagang. Pedagang yang satu ketika
dagangannya berhasil dan sukses, maka ia membangun rumah megah, membeli mobil
mewah, berwisata, akan tetapi anak-anaknya tidak disekolahkan. Pedagang kedua,
ketika ia berhasil dan sukses maka ia mensekolahkan seluruh anak-anaknya sampai
berhasil, tidak membangun rumah mewah (cukup rumah kelas ekonomi saja), tidak
membeli mobil mewah, tidak hidup berwisata setiap sebentar tetapi menyisakan uang
untuk haji. Tiga puluh tahun kemudian, tiba masa surut, pedagang pertama itu usianya
sudah tua, setelah meninggal anak-anaknya melarat dan semua harta warisan habis
dijual. Adapun pedagang kedua, bahagia di usia tua, rumah baru dan megah dibangun
anak-anaknya yang semua sudah jadi orang, ia dapat terbang ke berbagai kota dunia,
di mana anak-anaknya bermukim.
Dari cerita ini apakah kita akan membangun istana yang megah atau universitas
yang membuat orang Minang jadi orang yang berkarakter Minang. Universitas yang
bukan menyuruh orang ke masa lalu, bukan perpakaian seperti masa lalu, bertingkah
seperti masa lalu, tetapi Minang yang moderat yang mempunyai jati diri, kontekstual,
substansial, progresif, berpandangan ke depan dengan jati diri Minang, universitas
multikultural. Mungkinkah? ***.

*) Fadlillah Malin Sutan dosen dan peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.
Artikel ini pernah dimuat dengan judul Membangun Istano Basa Pagaruyung atau
Universitas Pagaruyung di harian Singgalang, Minggu, 25 Maret 2007, Halaman 10.
http://fadlillah.blogdetik.com/
http://blog.unand.ac.id/fadlillah/

Anda mungkin juga menyukai