Anda di halaman 1dari 6

02 - Seri Gagasan Masa Depan Minangkabau

Universitas Kebudayaan Minangkabau

Oleh Fadlillah Malin Sutan

S
ebanyak ini perguruan tinggi atau Universitas yang ada di Minangkabau, bukan
tidak mungkin, tidak satupun yang berpardigma kebudayaan, ber-roh
kebudayaan Minangkabau. Mungkin sulit untuk ditemui paradigma
kebudayaan Minangkabau pada semua kurikulum mata perkuliahan. Apakah
ribuan sarjana yang lahir pada akhir tahun di Minangkabau, merupakan sarjana yang
paham dengan budaya Minang, dan mempunyai wawasan ke-Minangkabau-an yang
moderat?
Jika ditanyakan tentang ke-Minangkabau-an kepada mereka tentu akan
membuat mereka tertawa. Kami bukan dari Fakultas Sastra loh (loh dengan gaya
Jakarta), mungkin itu jawabannya, tahukah mereka jangan-jangan kebudayaan
Minangkabau sudah tercerabut dari diri mereka. Sarjana yang sudah tercerabut dari
budayanya sendiri. Universitas Andalas, UNP, IAIN IB, UBH, UNES, UPI dll. bukanlah
perguruan tinggi dengan filosofi visi dan misi paradigma kebudayaan Minangkabau
(agaknya kita mungkin berani bertaruh).
Perguruan tinggi dan Universitas di Indonesia adalah dunia pendidikan yang
menghina kebudayaan dengan meletakan fakultas-fakultas budaya sebagai strata
sudra, yakni dunia kelas tiga, strata terkebelakang. Ini adalah kelas terhina.
Adapun strata Brahmana, kelas kaum bangsawan, terhormat, mulia adalah pendidikan
berparadigma eksak. Maka, apakah yang dapat diharapkan dan maukah
menggantungkan nasib kebudayaan Minangkabau kepada Universitas Andalas, UNP,
IAIN IB, UBH, UNES, UPI dll?
Sebagai contoh di Universitas Andalas, Fakultas yang kelas sudra adalah
Fakultas Sastra, kemudian jurusan yang paling sudra adalah Jurusan Sastra Minang,
adapun Jurusan kelas Brahmana adalah Jurusan Sastra Inggris, sebagaimana Fakultas
kelas Brahmana adalah Fakultas Kedokteran. Jurusan Sastra Minang jadi anak jajahan
yang hina (inlander) di tengah-tengah sastra Inggris. Jadi Tamu di Negeri sendiri. Jadi
orang asing yang tercampak. Apakah nasib kebudayaan Minangkabau akan
digantungkan kepada mereka yang menghina dan menjadikan kebudayaan
Minangkabau sebagai kelas tiga?
Fakultas Sastra itu (juga Universitas Andalas sendiri) pun tidak mau bervisi dan
bermisi kebudayaan Minangkabau (dapat dilihat visi dan misi mereka). Padahal pada
hakekatnya bisa dapat diduga sebagian besar perguruan tinggi di Minangkabau
berparadigma barat (tapi tanggung) dan menghujamkan gaya pandang barat (yang
tanggung itu) sehingga lahirlah sarjana ber-etos barat, Indonesia bukan, apalagi
Minang.
Sepertinya tidak ada yang berani membuat sebuah Universitas Kebudayaan
Minangkabau di pusat kebudayaan Minang, berparadigma kebudayaan, kurikulum dan
berfilosofi kebudayaan Minangkabau untuk seluruh sub di universitas itu, bukan hanya
sekedar nama, dan terlepas dari pemerintah. Berjiwa kebudayaan Minangkabau. Dalam
hal ini, Nasrul Azwar dalam satu perbincangan mengungkapkan nama yang tepat,
yakni; Universitas Alam Takambang Jadi Guru(Alam Takambang Jadi Guru
University), sebuah nama yang langsung jadi paradigma dari visi dan misi kebudayaan
Minangkabau.
Menurut sejarah, nagari Pariangan dan beberapa nagari sekitarnya, luhak nan
tuo, adalah pusat kajian, belajar (seperti universitas) dan spiritual Minangkabau.
Terbukti, ditemukan oleh M. Yusuf (peneliti dari Kelompok Kajian Poetika) mesjid
besar yang dikelilingi oleh 36 surau, di sana sampai hari ini ada ribuan naskah.
Ternyata nagari itu adalah pusat dan berhimpunnya serta berstudi seluruh aliran tarikat
yang ada di Minangkabau, termasuk tiga tarikat besar, yakni Samaniah, Syatariah dan
Naksabandy. Sebuah univeritas multikultural. Jauh sebelum Syekh Burhanuddin
berjaya. Menurut penelitian seluruh Tambo di Minangkabau itu ditulis oleh para Ulama
di Pariangan ini, bukanlah oleh para raja dan penghulu. Di sinilah master Tambo Alam
Minangkabau master spiritual, kebudayaan, dan politik bangsa Minangkabau
ditulis. grand disaint kebudayaan Minangkabau, tambo, yang isi intinya sesungguhnya
sangat sufistik (sebagaimana diteliti Prof.Dr.Herwandi dan M. Yusuf, MA.).
Negeri Pariangan ini disebut oleh M. Yusuf, dosen Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Universitas Andalas itu, sebagai Negeri Seribu Surau, tetapi paling
tidak inilah pusat spiritual, pendidikan, ilmu pengetahuan, serta politik di
Minangkabau. Di sinilah Raja-raja di Minangkabau dinobatkan, tidak terkecuali Raja
Pagaruyung. Tetapi sejak robohnya surau satu persatu digantikan oleh sekolah
pemerintah, sejak diserahkan urusan kebudayaan kepada pemerintah maka sejak
itulah universitas kebudayaan Minangkabau (yang informal) mulai hilang di tanah
Minang. Runtuhnya universitas kebudayaan Minangkabau adalah saat bangsa
Minangkabau menyerahkan kebudayaan mereka kepada pemerintah Indonesia (maaf
bukan dalam pengertian saparatif), kemudian mereka sibuk dengan dirinya maiang-
masing. Sekarang naskah-naskah kebudayaan Minangkabau sudah pindah ke musium
pemerintah, di ibu kota provinsi dan ibu kota negara Jakarta (lebih mirip ibu kota raja),
serta Belanda dan Inggris, yang gunanya hanya untuk wisata dan nostalgia, tidak lebih.
Sampai hari ini penjualan naskah-naskah kebudayaan Minangkabau ke luar negeri
dengan harga ratusan juta oleh sebagaian besar orang Minang masih berlansung, dan
pemerintah mana mau tahu dengan urusan itu, contoh kasus hilangnya naskah Imam
Bonjol, contoh kasus lebih hebat lagi adalah naskah Supersemar saja (bagi pemerintah
sendiri) hilang tidak tahu rimbanya. Dengan demikian, kebudayaan; bagaimanapun,
harus di tangan bangsa Minangkabau sendiri.
Akan tetapi, akan tragis, ketika tidak seorang pun mengangap penting
membangun sebuah Universitas Kebudayaan Minangkabau. Kalau para (mantan)
pejabat barangkali lebih suka membuat taman mini Minangkabau untuk bernostalgia-
nostalgia di hari tua, supaya tidak kentara maka dinamakan Minangkabau Village,
untuk kata kasarnya; hanya tempat wisata, ini hanyalah gaya kaum aristokrat, borjuis
mungkin.
Ada sekolah engku M. Syafie (INS), sepertinya tetap terbengkalai karena
diserahkan kepada orang-orang pemerintah yang agaknya tidak pernah mengerti dan
mungkin tidak mau mengerti tentang filosofi paradigma pendidikan engku Syafie,
(padahal A. A. Navis sudah penat berteriak tentang ini) sehingga INS hanya jalan
ditempat. Para Dr. dan Prof. pemerintah tidak seorang pun paham dengan roh dan
filosofi pendidikan engku Syafie (bagaimana hebatnya perbedaan
filosofimenumbuhkan dengan mencetak). Ada perguruan tinggi memakai nama tokoh-
tokoh Minang, tetapi apakah basis paradigma pendidikan, kurikulum dan ilmu
pengetahuan sebagaimana paradigma kebudayaan Minangkabau yang dibawakan tokoh
tersebut? Ber-roh kebudayaan Minangkabau? Jangan-jangan jauh panggang dari api,
hanya sekedar cantelan nama. Ada perguruan tinggi yang berbasis paradigma agama,
tetapi ternyata pun sesuai dengan paradigma kurikulum yang sudah kendalikan oleh
departeman agama yang tidak pernah lepas dari orang NU, juga bukan berparadigma
dalam corak pendidikan kebudayaan Minangkabau, bagaimana akan lahir Ulama
Minangkabau, sebagaimana Hamka? Sejak diserahkan sekolah agama kepada
pemerintah, maka sejak itulah ulama tidak lahir. Semua diserahkan kepada pemerintah,
dan pemerintah sudah terlalu gendut serta tidak sanggup memikulnya.
Pendidikan, adalah tonggak tua pertama dari kebudayaan dan tonggak tua politik
suatu bangsa. Dengan demikian untuk menghancurkan suatu bangsa dan suatu
kebudayaan, maka hancurkan pendidikannya. Untuk menghancurkan bangsa
Minangkabau, maka hilangkan dan hancurkan pendidikan kebudayaan mereka.
Hilangkan roh kebudayaan Minangkabau dari dunia pendidikannya. Ketika Jepang
hancur pada perang dunia ke-2, yang pertama kali ditanya sang Kaisar adalah masih
adakah guru kita? Inilah yang membedakan Jepang dengan kita. Bukankah dalam
waktu singkat Jepang dapat bangkit. Bangsa Minangkabau tidak pernah bangkit
kembali setelah PRRI, agaknya bisa jadi dikarenakan meletakan guru, dosen,
perpustakaan, pendidikan, yayasan beasiswa pada level yang terendah dan hina.
Mungkin karena bangsa Minang lebih mementingkan jabatan dan pitih.
Seluruh sekolah di Minangkabau pada hari ini (mulai dari Tk sampai ke
perguruan tinggi) membunuh cara berpikir kreatif, mendidik mereka menjadi tukang
contek (di sinilah pendidikan korupsi itu), membunuh kejujuran mereka, menjadikan
anak didik jadi tukang hafal bukan melatih untuk berfikir, tidak satupun dididik life
skillsehingga mereka jadi impotent (tidak punya kepandaian apa pun kecuali
hampalan), tidak dididik mempunyai tradisi kerja mandiri (mereka akan jadi bangsa
pemalas, pegawai pemalas, diperintah baru bekerja) dengan filosofi memukul paku,
tidak ada pendidikan tentang pahitnya realitas kehidupan sehingga mereka jadi anak
mama (mereka diajari bahwa Indonesia kaya raya), mereka dididik dengan sistem
otoriter. Filosofi pendidikan di Indonesia adalah mencetak, mencerek, murid harus
sesuai dengan kehendak guru, kehendak standar yang ditentukan, kehendak
kurikulum, murid dicetak sesuai dengan apa yang diinginkan kurikulum atau UAN.
Bukan kehendak potensi yang ada dalam diri anak didik. Filosofi ini menjadikan anak
didik jadi objek, benda bukan manusia, diperlakukan secara tidak manusiawi. Maka
dapat dipahami yang lahir tiap tahun adalah ribuan sarjana objek bukan subjek. Sarjana
objek adalah sarjana impotent. Sajana yang tidak mempunyai jati diri, sajana hapalan
tak ber-life skill, bukan sajana pemikir dan bukan sarjana punyalife skill.
Pendidikan yang berfilosofi materialistik (sehingga banyak para intelektual dan
tokoh Minang mengatakan sekolah adalah pabrik, paham pabrik adalah paham
berdasarkan materialistik), menghilangkan dunia rasa, karena dunia rasa tidak objektif,
tidak ilmiah, kuno, maka jangan pakai rasa, maka wajar rasa bahasa hilang (maka
dekan Fakultas Sastra pun terheran-heran; mengapa kita kehilangan rasa berbahasa),
rasa sosial hilang, rasa kamanusiaan pun dihilangkan. Pendidikan di Indonesia
menghancurkan aspek hati nurani, mereka didik untuk tidak berhati nurani, sejak Tk
sampai ke perguruan tinggi mereka dididik untuk tidak boleh membantah guru
mengeluarkan pendapat. Pada satu sisi orang juga menlihat di Indonesia tidak ada
pendidikan, yang ada hanya pengajaran.
Kecerdasan hanya satu sebagaimana standar kecerdasan IQ yang ditentukan oleh
kurikulum. Tidak ada kecerdasan emosi, tidak ada kecerdasan kebudayaan, tidak ada
kecerdasan emosional. Siapa yang yang nilai matematika, fisika, biologi tinggi maka
itulah yang cerdas (kelas brahmana) sedangkan yang nilai budaya, bahasa, agamanya
tinggi dianggap bukan cerdas tetapi bodoh (kelas sudra). Mereka dididik untuk menjadi
meterialistik, filosofi pendidikan meterialistik yang egoistik serta asosial, maka kelas
yang hebat adalah jadi dokter, insinyur, dan tentara polisi, maka ditanamkan ke dalam
otak anak dididik kalau budaya, bahasa, sastra, dan agama membuat anak didik tidak
akan menjadi orang. Sekolah hanya untuk orang kaya dan untuk jadi kaya. Inilah
kejahatan terbesar dunia pendidikan Indonesia.
Dari Tk sampai ke perguruan tinggi dikurung dalam ruang kelas, sebuah penjara
(astagfirullah) cuci otak, dijauhkan dari kenyataan masyarakat dan kenyataan nasib
bangsa yang pahit dan bobrok. Sehingga mereka yang keluar dari penjara itu adalah
orang-orang yang tidak mampu melihat realitas, menerima dan memahami realitas,
tetapi merupakan orang-orang yang memaksakan konsep hapalan kepada realitas
masyarakat. Mereka menjadi dokter, insinyur, pajabat, tentara, polisi yang a-sosial tidak
mau tahu dengan kebudayaan; cendrung tindakan mereka otoriter dan tidak mau tahu
dengan lingkungan. Maaf, umumnya begitu, hanya satu satu dua yang humanis.
Jangan salahkan Datuk, Mamak, anak kemenakan yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang adat dan budaya Minangkabau. Karena mereka dididik bukan di
lembaga yang berdasarkan filosofi dan berparadigma serta bervisi misi kebudayaan
Minangkabau. Sehingga ada dewan juri Uda-Uni terheran-heran ada anak kemanakan
yang tidak tahu dengan nama suku dan mamaknya, sebenarnya tidak perlu diherankan
karena memang sejak Tk mereka sudah didisain untuk tidak tahu.
Dengan demikian, hal ini hanya impian di siang bolong sambil minum kopi pagi,
apalagi akan menghadirkan gagasan Minangkabau Foundation yang bergerak untuk
penyediaan beasiswa untuk para mahasiswa Minang dan para calon intelektual Minang,
sebagaimana yang dirintis oleh nagari Koto Gadang di zaman Inyiak Agus Salim, atau
orang kampuang Tan Malaka. Sebuah Foundation yang bergerak menghimpun dana
pendidikan, agaknya adalah urusan yang mentertawakan orang-orang kaya, pejabat dan
profesor doktor Minang. Padahal banyak mahasiswa Minang di ITB, UI dan banyak
perguruan tinggi lainnya, serta di luar negeri, berteriak-teriak dan putus asa mencari
beasiswa. Sementara kebanyakan kita berbicara kian kemari tentang industri otak
(kata industri secara filosofis perlu dikoreksi sesungguhnya, dan ini sudah pernah
dikatakan pak Mestikazet), tentang kecemasan tidak lahirnya tokoh dan ulama di
Minangkabau.
Pada hal orang Minang banyak yang kaya dan jadi pejabat negara, bahkan
sanggup membuat mesjid agung dengan milyaran rupiah, membangun hotel mewah,
membangun swalayan mentereng. Seandainya setiap Luhak membuat sebuah
Universitas Kebudayaan Minangkabau yang terlepas dari pemerintah, suatu hal yang
luar biasa terhadap kehidupan kebudayaan Minang. Luhak nan tigo bukanlah luhak
yang miskin dengan orang kaya dan para perantaunya. Paling tidak, di Luhak nan Tuo
sudah selayaknya dibangun Universitas Alam Takambang Jadi Guru (Alam
Takambang Jadi Guru University), sebuah universitas yang berparadigma kebudayaan
dengan misi dan visi pendidikan alam kebudayaan Minangkabau. Universitas yang
terlepas dari pemerintah, universitas mandiri. Barangkali di Luhak Agam
didirikan Universitas Datuk Perpatih nan Sabatang, bisa jadi di Luhak Lima Puluhkota
didirikan Universitas Alam Kebudayaan Minangkabau.
Mereka para pejabat dan pedagang hanya membuat Gebu Minang yang
berorientasi pitih, dagang, ekonomi, (Bank Pengkreditan Rakyat) untuk membangun
nagari, bukan kebudayaan. Apa yang yang terjadi; (barangkali) orang Minang berpitih
tetapi hilang keminangannya. Itulah yang membedakannya; mereka membangun Gebu
Minang bukan Minangkabau Foundation, karena mereka, mungkin, bukanlah seperti
Kaisar Hirohito. Memang, sekarang baru ada DAMI (Dana Abadi Minangkabau
Internasional) apakah sudah ada akuntan publiknya? entalah , tetapi programnya
untuk kredit dan perbankan, adapun pembicaraan tentang beasiswa hanyalah nomor
terakhir (nomor kincik, dan nampaknya daripada tidak ada sama sekali bukanlah
prioritas). DAMI bukanlah Minangkabau Foudation. Mungkin; yang penting pitih,
bukan pendidikan, mungkin (menurut sebagian mereka) dengan pitih; kebudayaan dan
orang bisa dibeli, kebudayaan hanyalah tari-menari dan kesenian. Maaf, Gebu Minang
dan DAMI bukan tidak ada baiknya, tentu ada baiknya dan mereka telah menunjukan
suksesnya, namun dalam hal ini kita perlu melihat dari sisi yang lain (the other).
Mereka membangun mesjid agung dengan megah (dengan uang miliyaran
rupiah) untuk menjawab tetang kerobohan surau kami (jemaah lima waktu tetap sedikit
paling satu baris saf dan ulama tetap tidak lahir), padahal yang dimaksud Navis
adalah; robohnya surau kami (kebudayaan Minangkabau) akibat kita menghina dan
meletakan pada level bawah dunia pendidikan berbasis kebudayaan Minangkabau. Dari
pembicaraan dan rumusan Kongres Kebudayaan MinangkabauNovember tahun 2006,
kongres yang dibuat oleh pemerintah, bukan oleh rakyat Minangkabau, kongres plat
merah, tidak ada rumusan untuk membuat Universitas Alam Takabambang Jadi
Guru (universitas kebudayaan Minangkabau) atauMinangkabau Foundation, akan
jauh panggang dari api nampaknya. Mungkin ide seperti ini akan disambut dengan
gelak sengeng dan cemooh saja sambilstanding parti (makan minum sambil tagak
yang sudah jadi gaya baralek dan seminar). Kongres Kebudayaan
Minangkabau menyerahkan semua tugas (yang mereka rumuskan) kepada pemerintah,
artinya mereka menyerahkan kebudayaan Minangkabau kepada pemerintah yang sudah
terbukti sejak zaman kemerdekaan sampai saat ini meletakan persoalan kebudayaan
sebagai kelas pinggiran dan tercampak (maaf bukan menyudutkan pemerintah, tetapi
kenyaaannya memang begitu). Kongres Kebudayaan Minangkabau itu tidak
menyerahkan kebudayaan kepada bangsa Minangkabau sendiri. Bukan tidak sekedar
persolan tidak percaya pada pemerintah tetapi logikanya memang harus di tangan
bangsa Minangkabau, memberikan sesuatu kepada yang berhak adalah amanah. Atau
cukupkah Minangkabau bagi kita sebagai landasan pesawat terbang? Sebenarnya,
kata C.A. van Peursen, budaya adalah kata kerja bukan kata nama. Begitukah? ***

*) Fadlillah Malin Sutan dosen dan peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia
Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang,
Artikel ini pernah dimuat di harian Singgalang Minggu, 7 Januari 2007, halaman 10,
dengan judul Universitas Kebudayaan Minangkabau dan Minangkabau Foundation
(Sebuah Mimpi Malawan Kepunahan)
http://fadlillah.blogdetik.com/
http://blog.unand.ac.id/fadlillah/

Anda mungkin juga menyukai