Anda di halaman 1dari 13

BAB V

TEORI TENTANG FITRAH

Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik di antara makhluk Allah
yang lain. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah, atau unsur fisiologis
dan unsur psikologis. Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan
seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi
disebut potensialitas atau disposisi, yang menurut aliran psikologi behaviorisme disebut
prepotence reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).
Dalam pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut dengan
“fitrah”, kata yang berasal dari fatoro yang dalam pengertian etimologis mengandung arti
“kejadian”.
Kata “fitrah” ini disebutkan dalam al-Qur’an, Surat ar-Rum, 30 sebagai berikut:
‫فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة ال التي فطر الناس عليها ل تبديل لخلق ال ذلككك الككدين القيككم ولكككن أكككثر‬
‫الناس ل يعلمون‬
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai
dengan kecenderungan aslinya); Itulah fitrah Allah, yang menciptakan manusia atas fitrah.
Itulah Agama yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya”. (ar-Rum: 30).
Di samping itu terdapat beberapa sabda Nabi Saw. dengan beberapa riwayat dari
para sahabat yang berbeda pula matannya. Sebuah sabda Nabi Saw. yang polpuler, yang
banyak disitir oleh para ulama antara lain adalah sebagai berikut:
‫كل مولود يولد على الفطره فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسا نه‬
"Tiap-tiap anak dilahhirkan di atas fitrah, maka ibu-bapaknyalah yang
mendidiknya menjadi orang yang beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi".
Bila diinterpretasikan lebih lanjut dari istilah “fitrah” sebagaimana tersebut dalam
al-Qur’an dan al-Hadist tersebut di atas, maka dapat diambil pengertian secara terminologis
sebagai berikut:
1. Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut di atas mengandung implikasi kependidikan
yang berkonotasi kepada paham Nativisme. Oleh karena kata “fitrah” mengandung

48
makna “kejadian” yang di dalamnya berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus
(ad-Din al-Qoyyim) yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau
lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan
mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasarkan interpretasi demikian, maka Ilmu Pendidikan Islam bisa dikatakan
berpaham Nativisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa perkembangan
manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses
kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik tidak berdaya
mengubahnya. Paham Nativisme ini berasal dari pandangan filosofis ahli pikir Italia
bernama Lomrosso, dan ahli pikir Jerman bernama Schopenheuer pada abad
pertengahan.
Pengertian fitrah yang bercorak nativistik di atas berkaitan juga dengan faktor heriditas
(keturunan) yang bersumber dari orang tua, termasuk keturunan beragama
(religiositas). Faktor keturunan religiositas ini didasarkan atas beberapa dalil dari ayat
al-Qur’an dan al-Hadist ntara lain sebagai berikut:
‫وقال نوح رب ل تذر على الرض من الكافرين ديارا إنك إن تذرهم يضلوا‬
‫عبادك ول يلدوا إل فاجرا كفارا‬
"Berkatalah Nabi Nuh: Hai Tuhanku, janganlah Engkau memberikan tempat kepada
mereka, maka mereka akan menyesatkan hamba-Mu dan mereka tidak akan
melahirkan anak, melainkan anak yang kafir pula terhadapMu". (Nuh: 26-27).

Ali Fikry, salah seorang ahli pendidikan Mesir menyatakan bahwa kecenderungan
nafsu itu berpindah dari orang tua secara turun temurun. Oleh karena itu anak adalah
rahasia dari orang tuanya. Manusia sejak awal perkembangannya berada di dalam garis
keturunan dari keagamaan orang tuanya. Jika orang tuanya muslim maka otomatis
anaknya menjadi muslim, dan jika mereka kafir maka anaknya akan menjadi muslim,
dan jika mereka kafir maka anaknya akan menjadi kafir pula.1
Sabda Nabi Saw. yang dapat dijadikan sumber pandangan nativisme seperti tersebut, di

1 Ali Fikri, al-Insan, hal. 97-99.


49
atas adalah sebagai berikut:
‫كل انسان تلده امه على الفطرة وابواه بعد يهودانه وينصرانه ويمجسانه فان كانا مسلمين فمسككلم ]رواه‬
[‫مسلم‬
"Setiap orang dilahirkan oleh ibunya atas dasar fitrah (potensi dasar untuk
beragama), maka setelah itu orang tuanya mendidik menjadi beragama Yahudi, dan
Nasrani dan Majusi; Jika orang tua keduanya beragama Islam, maka anaknya menjadi
muslim (pula)". (H.R. Muslim dalam kitab Shahih, Juz II, p. 459).

Pengertian yang bersumber dari kedua dalil di atas diperkuat oleh Syeikh Muhammad
Abduh dalam Tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah.2
Pendapat Muhammad Abduh ini serupa dengan pendapat Abu A’la al-Maududi yang
menyatakan bahwa agama Islam identik dengan watak tabi’y manusia (human nature).3
Demikian pula pendapat Sayyid Qutb yang menyatakan bahwa Islam diturunakn Allah
untuk mengembangkan watak asli manusia (human nature), karena Islam adalah
agama fitrah.4
Agama Islam sebagai agama fitrah disamakan oleh Ibnu Qoyim dengan kecenderungan
asli anak bayi yang secara instinktif (naluriah) menerima tetek ibunya.5 Manusia
menerima agama Islam bukan karena paksaan, melainkan karena adanya
kecenderungan asli itu yaitu fitrah Islamiah.
2. Dalil-dalil lainnya yang dapat diinterpretasikan untuk mengartikan “fitrah” yang
mengandung kecenderungan yang netral ialah antara lain sebagai berikut:
‫وال أخرجكم من بطون أمهاتكم ل تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والبصار والفئدة لعلكم تشكرون‬
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu tidaklah kamu mengetahui
sesuatu apapun dan ia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati”. (an-
Nahl: 78).

Menurut Dr. Mohammad Fadhil al-Djamaly, firman Allah di atas menjadi petunjuk

2 Mohammad Abduh, Tafsir al-Manar, Juz IV, hal. 119.


3 Abu A’la al-Maududi, Toward Understanding Islam, hal. 4-6.
4 Sayyid Qutb, The Religion of Islam, hal. 2-3.
5 Ibnu Qoyim, Shifa al-Alil, hal. 381.
50
bahwa kita harus melakukan usaha pendidikan aspek eksternal (mempengaruhi dari luar
diri anak didik). Dengan kemampuan yang ada dalam diri anak didik terhadap pengaruh
eksternal yang bersumber dari fitrah itulah maka pendidikan secara operasional bersifat
hidayah (menunjukkan).6
Dalam surat al-‘Alaq: 3-4 dinyatakan oleh Allah sebagai berikut:
‫اقرأ وربك الكرم الذي علم بالقلم‬
"Bacalah dengan Tuhan-Mu yang Maha Mulia yang mengajar kamu dengan kalam
(pena); Dia mengajar manusia tentang sesuatu yang tidak ia ketahui”.

Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa manusia tanpa melalui belajar, niscaya
tidak akan dapat mengetahui segala sesuatu yang ia butuhkan bagi kelangsungan
hidupnya di dunia dan akhirat. Pengetahuan manusia akan berkembang jika diperoleh
melalui proses belajar mengajar yang diawali dengan kemampuan menulis dengan pena
dan membaca dalam arti luas, yaitu tidak hanya dengan membaca tulisan melainkan
juga membaca segala yang tersirat di dalam ciptaan Allah.
Pengaruh dari luar diri manusia terhadap fitrah sebagaimana terdapat dalam sabda
Nabi Saw riwayat Abu Hurairah dapat disimpulkan sebagai berikut:
‫ماالمولود اليولد على الفطرة فابواه يهودانه او ينصرانه‬
"idaklah anak dilahirkan kecuali dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi atau Nasrani" (H.R. Abu Hurairah).

Fitrah dalam hadis tersebut diartikan sebagai faktor pembawaan sejak lahir manusia
yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan, bahkan ia tak akan dapat berkembang sama
sekali bila tanpa adanya pengaruh lingkungan. Sedang lingkungan itu sendiri dapat
diubah bila tidak favorable (tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita
manusia).
Dari interpretasi tentang fitrah di atas, meskipun fitrah dapat dipengaruhi oleh
lingkungan, namun kondisi fitrah tersebut tidakalah netral terhadap pengaruh dari luar.
Potensi yang terkandung di dalamnya secara dinamis mengadakan reaksi atau respon
6 Prof. Dr. Mohammad Fadhil al-Djamaly, Nahwa Tarbiyatin Mukminatin, hal. 14.
51
(jawaban) terhadap pengaruh tersebut. Dengan kata lain bahwa dalam proses
perkembangannya, terjadi interaksi (saling mempengaruhi) antara fitrah dan lingkungan
sekitar, sampai akhir hayat manusia.
Interpretasi tersebut sejalan dengan peham behaviorisme (yang bersumber dari
sarjana psikologi dan pendidikan Amerika Serikat) yang berpandangan bahwa manusia
tidak dilahirkan menjadi baik atau buruk, sebagaimana pendapat Skinner yang
menyatakan bahwa lingkungan sekitar menentukan perkembangan hidup seseorang,
namun ia sendiri dapat merubah lingkungan tersebut.7 Lingkungan sekitar berperan
sangat crucial (rumit) dalam proses pembentukan kepribadian seseorang.
Jika kita mempercayai pendapat John Lock bahwa jiwa anak sejak lahir berada
dalam keadaan suci bagaikan meja lilin (tabula rasa) yang secara pasif menerima
pengaruh dari lingkungan eksternal, berarti kita tidak menghargai benih-benih potensial
manusia yang dapat ditumbuh-kembangkan melalui pendidikan. Sikap demikian akan
membawa pikiran kita ke arah paham Empirisme dalam pendidikan yaitu paham yang
berpendapat bahwa pengaruh lingkungan eksternal termasuk pendidikan merupakan
satu-satunya pembentuk dan penentu perkembangan hidup manusia.
Telah dibuktikan oleh para ahli psikologi dan pendidikan yang berpaham
Behavirisme bahwa perkembangan manusia tidaklah secara mutlak ditentukan oleh
pengaruh lingkungan eksternal, sehingga seolah-olah ia menjadi budaknya lingkungan.
Mereka membuktikan bahwa meskipun seseorang yang hidup dalam lingkungan yang
sama dengan orang lain, masing-masing akan memberikan respon yang sama terhadap
stimulus (rangsangan) yang ada tetapi dengan cara yang berbeda.
Perbedaan cara pandang seseorang dalam memberikan respon terhadap stimulus,
membuktikan bahwa seseorang tidaklah secara mutlak tunduk kepada pengaruh
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu jiwa seseorang tidak netral dalam menghadapi
pengaruh lingkungan sekitarnya, tapi responsif dan aktif.
Dengan demikian, pengertian fitrah manurut interpretasi kedua ini tidak dapat
sejalan dengan paham Empirisme, karena faktor fitrah tidak hanya mengandung
kemampuan dasar pasif yang beraspek hanya pada kecerdasan semata dalam kaitannya

7 Skinner, Science and Human Behaviour, h. 448


52
dengan pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan mengandung pula tabiat atau
watak dan kecenderungan untuk mengacu kepada pengaruh lingkungan aksternal itu,
sekalipun tidak aktif.
3. Konsep al-Qur’an yang menunjukan tiap manusia diberi kecenderungan nafsu untuk
menjadikannya kafir bagi yang ingkar terhadap Tuhan-nya dan kecenderungan yang
membawa sikap bertaqwa mentaati perintah-Nya, sebagaimana firman Allah dalam
surat asy-Syams: 7-10 sebagai berikut:
‫ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها قد أفلح من زكاها وقد خاب من دساها‬
"Demi jiwa dan apa yang menyempurnakannya; Lalu diilhamkan kepadanya poleh
Allah jalan yang salah dan jalan yang benar. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan jiwanya, dan sesungguhnya rugilah orang yang mengotorinya".

Firman tersebut dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi


jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan
perkembangan seseorang kepada jalan kebenaran yiatu Islam. Tanpa melalui usaha
pendidikan, manusia akan terjerumus ke jalan yang slah atau sesat.
Firman Allah berikut ini menunjukan bahwa manusia diberi kebebasan untuk
memilih antara dua jalan, yang benar atau yang sesat. Jalan yang benar terbentang jelas
dan begitupun sebaliknya.
10 ‫وهديناه النجدين ]البلد‬
"Dan Aku tunjukan dia dua macam jalan (jalan yang benar dan jalan yang sesat.
(al-Balad: 10)
Atas dasar ayat tersebut di atas kita dapat menginterpretasikan bahwa dalam
“fitrah”, manusia telah diberi kemampuan untuk memilih jalan yang benar dari yang
salah. Kemampuan memilih tersebut, mendapatkan pengarahan dalam proses
kependidikan yang mempengaruhinya.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat dalam firtah (human
nature) manusia berpusat pada kemampuan berpikir sehat (berakal sehat), karena akal
sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dan yang salah. Sedangkan seseorang

53
yang mampu menjatuhkan pilihan yang benar secara tepat hanyalah orang yang
berpendidikan sehat.
Dengan demikian berpikir benar dan sehat merupakan kemampuan fitrah yang dapat
dikembangkan melalui pendidikan dan latihan.
Sejalan dengan interpretasi tersebut maka kita dapat mengatakan bahwa pengaruh
faktor lingkungan yang sengaja adalah pendidikan dan latihan berproses inetraktif
dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam berproses
secara konvergensis, yang dapat membawa kepada paham konvergensi dalam
pendidikan Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa ilmu pendidikan Islam dapat
berorientasi kepada salah satu paham filosofis pendidikan saja atau campuran paham
tersebut di atas. Namun apapun paham filosofis yang dijadikan dasar pandangan, Ilmu
Pendidikan Islam tetap berpijak pada kekuatan hidayah Allah yang menentukan hasil
akhir.
Dalam pendidikan Islam, hidayah Allah menjadi sumber spiritual yang menjadi
penentu keberhasilan terkhir dari proses ikhtiariah manusia dalam pendidikan.
Dengan dasr firman Allah berikut ini, pendidik muslim sebagai salah satu faktor
Pendidikan Islam tidak akan merasa pesimis dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
untuk membimbing dan mengarahkan anak didik kepada tujuan yang dicita-citakan,
karena firman tersebut mengandung prospek yang penuh optimisme bagi ikhtiar
manusia yang berprofesi sebagai pendidik. Optimisme tersebut tercermin dalam janji
Allah sebagai berikut:
‫والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن ال لمع المحسنين‬
"Dan orang- orang berjuang (berusaha) keras di dalam jalan Kami, sungguh Kami
akan menunjukan jalan-jalan Kami. Sesunguhnya alah berserta orang-orang yang
berbuat kebaikan". (al-Ankabut: 69)
4. Komponen Psikologis dalam Fitrah
Jika kita perhatikan berbagai pandangan para ulama dan ilmuwan Islam yang telah
memberikan makna terhadap istilah “fitrah”, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
fitrah adalah suatu kemampuan dasar perberkembangan manusia yang dianugerahkan
54
Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu
sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia.
Komponen-komponen potensial fitrah tersebut adalah:
a. Kemampuan dasar untuk beragama Islam (Ad-Dinul Qayyimah), di mana faktor
iman merupakan inti beragama manusia. Muhammad Abduh, Ibn Qayyim, Abu
A’la Al-Maududi, Sayyid Quttub berpenadapat sama bahwa fitrah mengandung
kemampuan asali untuk beragama Islam, karena Islam adalah agama fitrah atau
identik dengan fitrah. Ali Fikri lebih menekankan pada peranan heriditas
(keturunan) dari bapak ibu yang menentukan keberagamaan anaknya. Faktor
keturunan psikologis (heriditas kejiwaan) orang tua anak merupakan salah satu
aspek dari kemampuan dasar manusia itu.
b. Mawahib (bakat) dan qabiliyat (tendensi atau kecenderungan) yang mengacu kepada
keimanan kepada Allah. Dengan demikian maka “fitrah” mengandung komponen
psikologis yang berupa keimanan tersebut. Karena iman bagi seorang mukmin
merupakan elan vitale (daya penggerak utama) dalam dirinya yang memberi
semangat untuk selalu mencari kebenaran hakiki dari Allah.
Sebagaimana semangat Nabi Ibrahim yang dikisahkan dalam al-Qur’an surat ar-
Rum: 74-77, Ibrahim yang ayahnya sendiri menyembah berhala tidak terpengaruh
sama sekali oleh kepercayaan ayahnya. Bahkan sebaliknya, ia dengan daya pikirnya
yang mengandung penuh iman kepada yang Maha Pencipta Semesta Alam, tergerak
pikirannya mencari dan menganalisa tentang gejala almiah, mulai dari melihat
bintang-bintang di langit, lalu melihat blan yang bercahaya terang, kemudian
melihat benda langit yang bersinar panas di ufuk langit yakni matahari yang
berakhir pada kesimpulan bahwa Tuhan Yang Benar bukanlah benda-benda seperti
yang ia saksikan di langit, melainkan Tuhan yang benar, menurut pemikiran
analisisnya adalah bersifat abadi, Yang Eksistensi-ya tidak goyah atau insidental,
karena Tuhan adalah Maha Kuasa dan Maha Pencipta semua benda dan makhluk di
langit dan bumi serta yang berada di antara langit dan bumi. Bahkan makhluk-
makhluk lain diciptakan-Nya menurut Iradah-Nya sendidri.
Pendapat tersebut antara lain dikemukakan oleh Prof. Dr. Muhammad Fadhil al-
55
Djamaly, Guru besar Ilmu Pendidikan pada universitas Tunis dengan alasan sebagai
berikut:8
.‫ض على المشاهدة والتفكير والتأمل للوصول إلى إليمان الصحيح‬
ّ ‫أّما السلم يح‬
“Adapun Islam itu adalah agama yang mendorong mausia untuk mencari
pembuktian melalui penelitian, berpikir dan merenungkan ke arah iman yang
benar”.
c. Naluri dan kewahyuan (revilasi) bagaikan dua sisi dari uang logam, keduanya saling
terpadu dalam perkembangan manusia. Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung,
Fitrah dapat dilihat dari dua segi yakni: Pertama, segi naluri pembawaan manusia
atau sifat-sifat Tuhan yang menjadi potensi manusia sejak lahir, dan yang kedua,
dapat dilihat dari segi wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi-nabi-Nya. Jadi
potensi manusia dan agama wahyu itu merupakan satu hal yang nampak dalam dua
sisi; ibaratnya mata uang logam yang mempunyai dua sisi yang sama. Mata uang
itulah kita ibaratkan fitrah.
Dilihat dari satu sisi ia adalah potensi dan dari sisi lainnya adalah wahyu.
Prof. Langgulung memandang bahwa sifat-sifat Tuhan yang 99 macam (Asma al-
Husna) merupakan potensi yang masing-masingnya berdiri sendiri. Tetapi bila
dikombinasikan akan timbul sifat-sifat atau potensi manusia yang jumlahnya
berjuta-juta macam.9
Pendapat di atas bila kita kaji akan nampak bahwa pengertian fitrah hanya
berkomponen pada dua kemampuan yaitu potensi yang mengembangkan sifat-sifat
Tuhan dan kemampuan menerima wahyu Tuhan yang telah diturunkan kepada Nabi
atau rasul-Nya. Kemampuan menerima sifat-sifat Tuhan dan mengembangkan sifat-
sifat tersebut merupakan potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir.
Dengan istilah lain pengertian fitrah yang demikian itu adalah sama dengan fitrah
diniyah (beragama wahyu) yaitu agama Islam.
d. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum, tidak hanya tidak terbatas pada
agama Islam. Dengan kemampuan ini manusia dapat dididik menjadi beragama

8 Prof. Dr. Muhammad Fadhil al-Djamaly, “Nahwa Tarbiyatin Mukminatin”, hal. 27


9Prof. Dr. Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan, hal. 22
56
Yahudi, Nasrani atau pun Majusi, namun tidak dapat dididik menjadi Atheis (anti
Tuhan).
Pendapat ini diikuti oleh banyak ulama Islam yang berpaham Mu’tazilah antara lain
Ibn Sina dan Ibn Khaldun.
e. Dalam fitrah, tidak terdapat komponen psikologis apapun, karena fitrah diartikan
sebagai kondisi jiwa yang suci, bersih yang reseptif terbuka kepada pengaruh
aksternal, termasuk pendidikan. Kemampuan untuk mengadakan reaksi atau
responsi (jawaban) terhadap pengaruh dari luar tidak terdapat di dalam fitrah.
Pendapat ini dikembangkan oleh ulama ahli sunah, wal jama’ah atau filosof muslim
seperti al-Ghozali.
Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan sebuah diagram tentang fitrah dan
komponen-komponennya:

………………………………..

DIAGRAM FITRAH
Diagram di atas menunjukan aspek-aspek psikologis fitrah yang saling
mempengaruhi antara satu aspek terhadap aspek lainnya. Aspek-aspek tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Fitrah adalah factor kemampuan dasar perkembangan
manusia yang dibawa sejak lahir dan berpusat pada
“POTENSI DASAR” untuk berkembang.
2. Potensi dasar tersebut berkembang secara menyeluruh
(integral) yang menggerakkan seluruh aspek-
aspeknya secara mekanistis satu sama lain saling
pengaruh mempengaruhi menuju ke arah tujuan
tertentu.
57
3. Aspek-aspek fitrah merupakan komponen dasar yang
bersifat dinamis, responsive terhadap pengaruh
lingkungan sekitar, termasuk pengaruh pendidikan.
Komponen-komponen dasar tersebut meliputi:
a. Bakat, suatu kemampuan pembawaan yang potensial mengacu kepada
perkembangan kemampuan akademis (ilmiah) dan keahlian (professional)
dalam berbagai bidang kehidupan. Bakat ini berpangkal pada kemampuan
kognisi (daya cipta), konasi (kehendak) dan emosi (rasa) yang disebut dalam
psikologi filosofis dengan Tri Chotomie (tiga kekuatan rohaniah) manusia.
Masing-masing kekuatan rohaniah itu berperan kemampuan akal pikiran
dan fantasi (kognisi), aspek kemapuan atau konasi serta aspek perasaan atau
Emosi.
b. Insting atau gharizah adalah kemapuan berbuat atau bertingkah laku tanpa
melului proses belajar. Kemampuan insting inipun merupakan pembawaan
sejak lahir. Dalam psikologi pendidikan kemampuan ini termasuk
“KAPABILITAS” yaitu kemampuan berbuat sesuatu dengan melalui
belajar. Jenis-jenis tingkah laku manusia yang digolongkan insting:
(1) Melarikan diri (Flight)
karena perasaan takut (fear).
(2) Menolak (repulsion), karena
jijik (disgust).
(3) Ingin tahu (curiosity) karena
menakjubi sesutu (wonder).
(4) Melawan (pugnacity) karena
kemarahan (anger).
(5) Merendahkan diri (self
abasement) karena perasaan
mengabdi (subjection).
(6) Menonjolkan diri (self
assertion) karena adanya
58
harga diri atau manja
(elation).
(7) Orang tua (parental) karena
perasaan halus budi (tender).
(8) Berkelamin (sexual) karena
keinginan mengadakan
reproduksi.
(9) Mencari sesuatu
(acquisition) karena
keinginan mendapatkan
sesuatu yang baru.
(10)Berkumpul (quisition) karena ingin bergaul atau bermasyarakat.
(11)Membangun sesuatu (contruction) karena mendapatkan kemajuan.
(12)Menarik perhatian orang lain (appeal) Karena ingin diperhatikan oleh
orang lain.
Jenis-jenis insting tersebut menurut pandangan Mac Dougall, ahli psikologi
sosial Inggris, diartikan sebagai tendensi khusus dari jiwa manusia atau
binatang yang terbawa sejak lahir, yang menimbulkan tingkah laku tanpa
melalui proses belajar.
b. Nafsu dan dorongan-dorongannya (drives). Dalam Tasawuf dikenal adanya
nafsu-nafsu lawwamah yang mendorong ke arah perbuatan mencela dan
merendahkan orang lain (egosentros). Nafsu ammarah (polemos) yang
mendorong ke arah perbuatan merusak, membunuh atau memusuhi orang lain
(destruktif). Nafsu birahi (eros) yang mendorong ke arah perbuatan seksual
untuk memuaskan tuntutan akan pemuasan hidup berkelamin. Nafsu
mutmai’innah (religios) yang mendorong ke arah ketaatan kepada Tuhan yang
Maha Kuasa.
Menurut al-Ghazali, nafsu manusia terdiri dari nafsu malakiyah yang cenderung
ke arah perbuatan mulia sebagai halnya para malaikat, dan nafsu bahimiyah
yang mendorong ke arah perbuatan rendah sebagaimana nafsu binatang.
59
c. Karakter atau tabi’at manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa
sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial
serta etis seseorang. Karakter terbentuk oleh kekuatan dalam diri manusia,
bukan terbentuk karena pengaruh dari luar. Karakter erat hubungannya dengan
personalitas (kepribadian) seseorang. Oleh karena itu ciri-ciri keduanya hampir
tidak dapat dibedakan dengan jelas.
e. Hereditas atau keturunan merupakan faktor kemampuan dasar yang mengandung
ciri-ciri psikologis dan pisiologis yang diturunkan atau diwariskan oleh orang
tua, baik dalam garis yang telah jauh.
f. Intuisi adalah kemampuan psikologis manusia untuk menerima ilham Tuhan.
Intuisi menggerakkan hati nurani (conscience) manusi yang membimbingnya ke
arah perbuatan dalam situasi khusus di luar kesadaran akal pikirannya, namun
mengandung makna yang bersifat konstruktif bagi kehidupannya. Intuisi
biasanya diberikan Tuhan kepada orang yang bersih jiwanya. Di kalangan kaum
sufi, intuisi ini lebih banyak dirasakan sebagai getaran hati nurani yang
merupakan panggilan Tuhan untuk berbuat sesuatu yang amat khusus. Filosof
Perancis, Bergsom, memandang intuisi sebagai élan vitale yang mendorong
manusia berfikir dan berbuat.

60

Anda mungkin juga menyukai