Anda di halaman 1dari 10

A.

Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme
adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual
atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk
belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi
ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan
(Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi
adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali
struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat
(Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah
ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh
mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan
kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan
keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap
tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan
kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan
Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa
tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu
yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar
dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari
teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar
merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan
jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung
secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan,
sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau
tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988:
133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu
terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster
dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap
tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan
tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh
Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun
fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya
seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada
lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63)
adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah
menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis
masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator,
fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan
pada diri peserta didik.

B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak
dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif
secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi
baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh
secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam
proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya.
Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah
mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena
itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang
mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa
lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar
pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan
imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa
untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan
dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri
pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Teori Belajar Konstruktivisme


Teori konstruktivisme didasari oleh ide-ide Piaget, Bruner, Vygotsky
dan lain-lain. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah
memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang
dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna;
sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan
menjadi pengetahuan yang bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara
setelah itu dilupakan.

Dalam kelas kontruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana
menyelesaikan persoalan, namun mempresesentasikan masalah dan mendorong siswa untuk
menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Hal ini berarti siswa
mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan
lingkungan mereka.

Hal yang sama juga diungkapkan Wood dan Coob, para ahli kontruksivisme mengatakan
bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas, maka pengetahuan
matematika dikontruksi secara aktif, dan mereka setuju bahwa belajar matematika melibatkan
manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka
menolak paham bahwa matematika dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap
tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian
keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan
keterampilan inteligennya dalam setting matematika.

Beberapa prinsip pembelajaran dengan kontruksivisme diantaranya dikemukakan oleh Steffe


dan Kieren yaitu observasi dan mendengar aktifitas dan pembicaraan matematika siswa
adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar. Lebih jauh dikatakan bahwa dalam
kontruksivisme aktivitas matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja
dalam kelompok kecil dan diskusi kelas. Disebutkan pula bahwa dalam kontruksivisme
proses pembelajaran senantiasa “problem centered approach”, dimana guru dan siswa terikat
dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika.

Dari prinsip di atas terlihat bahwa ide pokok dari teori konstruktivisme adalah siswa aktif
membangun pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai fasilitator. Belajar
menurut paham konstruktivisme adalah mengkontruksi pengetahuan yang dilakukan baik
secara individu maupun secara sosial. Sedangkan mengajar bukanlah memindahkan
pengetahuan guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa
membangun sendiri pengetahuan, dengan menginkuiri suatu permasalahan dan kemudian
memecahkan permasalahan.

Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri merupakan salah satu pendekatan konstruktivisme


dapat diterapkan antara lain dalam pembelajaran kooperatif, dimana siswa diberi kesempatan
untuk berinteraksi secara sosial dan berkomunikasi dengan sesamanya untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator.
Pengantar
Lebih dua dasa warsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari
teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara
mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka, bahkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul Suparno dalam “Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan” mencoba mengurai implikasi filsafat konstruktivisme
dalam praktik pendidikan. Berikut ini adalah intisari buku tersebut, sekiranya bisa bermanfaat
bagi para pendidik dan orangtua.

Apakah itu?
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan
tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan
merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat
struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan
tersebut.

Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan,
sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia,
sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang
mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif
membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang
pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh
masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu
proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat
menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.

Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan
teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap
organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup,
demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan,
pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental).
Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu
perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan
cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:

1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan


terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan.
Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan
rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan
konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak
cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang
dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses
perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium
melalui asimilasi dan akomodasi.
Bermakna dan Menghafal
Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar
menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian
lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau
informasi yang sama sekali baru dan belum ada hubungannya dalam struktur pengertian
lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan
dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar bermakna Ausubel bersifat
konstruktif karena menekankan proses asimilasi dan asosiasi fenomena, pengalaman, dan
fakta baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.

Berlandaskan teori Piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa
bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif,
dengan terus manusia berani mengubah ide-idenya, Posner dkk lantas mengembangkan teori
belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep. Tahap pertama dalam perubahan konsep
disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk
menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru
yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan
konsep secara radikal, inilah yang disebut tahap akomodasi.

Tugas pendidikan adalah bagaimana dua tahap tersebut bisa terus berlangsung dengan terus
memberi tantangan sehingga ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Praktik
pendidikan yang bersifat hafalan seperti yang selama ini berlangsung jelas sudah tidak
memadai lagi, bahkan bertentangan dengan hakikat pengetahuan dan proses belajar itu
sendiri.

Perubahan Dalam Pembelajaran

Lahirnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah mengubah paradigma baru dalam
proses pembelajaran. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi
merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran. Tuntutan terhadap pelayanan
pembelajaran saat ini, banyak disebabkan oleh perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Karenanya, konsep pembelajaran saat ini pun berubah dari guru mengajar
menjadi siswa belajar.

Asumsi pergeseran itu, bertitik tolak pada siswa yang diharapkan mampu meningkatkan
kemampuan dirinya dalam memperkaya ilmu pengetahuan, sikap, dan keterampilan
berdasarkan kompetensi yang ada pada kurikulum.

Pembelajaran sebagai hasil usaha siswa dan pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah
merupakan suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan siswa sebagai bahan mentah
bagi proses perenungan dan pengabstrakan. Setiap siswa, sebenarnya telah mempunyai satu
aset ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif. Untuk membina siswa dalam
menemukan pengetahuan baru, guru sebaiknya memerhatikan struktur kognitif yang ada pada
mereka. Pada proses belajar mengajar, guru tidak lagi hanya mentransfer ilmu pengetahuan,
tetapi siswa sendiri yang harus membangun pengetahuannya (knowledge is constructed by
human).

Mengapa? Karena pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap
diterima dan diingat siswa. Siswa harus mengonstruksi pengetahuannya sendiri dan memberi
makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memunculkan ide-ide baru,
memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dalam ide-ide
konstruktif, biarkan siswa mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan
esensi konstruktivisme bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu
informasi kompleks ke situasi lain. Apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka
sendiri.

Melihat konsep dasar tersebut, pembelajaran saat ini setidaknya menggeser paradigma dari
pembelajaran yang berdasar kacamata guru menjadi pembelajaran yang berdasarkan
kacamata siswa. Artinya, saat ini bukan bagaimana guru mengajar, tetapi bagaimana agar
siswa dapat belajar. Pengertian belajar, menurut konstruktivisme, adalah perubahan proses
mengonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata yang dialami siswa sebagai hasil
interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan yang mereka peroleh sebagai hasil
interpretasi pengalaman yang disusun dalam pikirannya. Secara psikologis, tugas dan
wewenang guru adalah mengetahui karakteristik siswa, memotivasi belajar, menyajikan
bahan ajar, memilih metode belajar, dan mengatur kelas. Caranya? Biarkan mereka belajar
sebagai proses mengonstruksi pengetahuan dan guru sebagai fasilitator dalam menerapkan
kondisi yang kolaboratif. Siswa belajar dalam kelompok dan siswa tidak hanya belajar dari
dirinya sendiri, tetapi belajar pula dari orang lain.

Masalahnya sekarang, bagaimana penerapan konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas.


Guru akan banyak dituntut untuk mengubah pembelajaran yang menekankan pada
kemampuan siswa berdasarkan pengalaman nyata. Model itu diharapkan mampu
meminimalkan image bahwa siswa belajar hanya duduk, dengar, dan catat. Oleh karena itu,
pelaksanaan pembelajaran di kelas dapat dilakukan sebagai berikut:

Pertama, tetapkan topik yang akan dibahas. Temukan ide, opini dan perhatian siswa melalui
wawancara, survei, atau interaktif pertanyaan siswa. Kedua, respons terhadap interaksi,
dengan pikiran siswa melalui pembentukan jembatan yang dilengkapi tahapan bagi siswa
untuk mengkonstruksi ide baru. Ketiga, tarik pikiran siswa dengan mendorong kreativitas
melalui aktivitas yang mampu mendorong siswa untuk belajar mengambil risiko. Keempat,
melakukan refleksi atau evaluasi diri. Setelah itu, taksirlah kemajuan belajar siswa melalui
perubahan ide atau peningkatan hasil tes.

Kemudian, aturlah diskusi kelompok dan berikan kebebasan kepada setiap siswa untuk
membahas permasalahan utama. Berikan pula kesempatan untuk memaparkan hasil belajar
kepada siswa lain melalui presentasi. Tugas kita (guru), mengevaluasi proses dan hasil belajar
siswa. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator dan mediator dapat berfungsi.
Selamat mencoba. tetap semangat!!!

Unsur Penting dalam Lingkungan


Pembelajaran Konstruktivis
Posted on 18 Agustus 2008 by Tentang Pendidikan| 5 Komentar
Berdasarkan hasil analisisnya terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli,
Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran
yang konstruktivis, yaitu:

1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa

Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi


pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan
pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus
memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong
agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna

Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga
bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar
dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat
terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari,
penggunaan sumber daya dari kehidupan seharihari, dan juga penerapan konsep.

3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,

Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam
berbagai konteks sosial.

4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri


Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu
siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan
belajarnya.

5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.

Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan
sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa
tentang “kehidupan” ilmuwan.

Prinsip konstruktivisme adalah inti dari filsafat pendidikan William James dan John Dewey (John W.
Santrock, 2008 : 8). Konstruktivisme menekankan agar individu secara aktif menyusun dan
membangun pengetahuan dan pemahaman. Konstruktivisme dikembang luas oleh Jean Piaget, ia
dikenal sebagai seorang psikolog yang pada akhirnya lebih tertarik pada filsafat konstruktivisme
dalam proses belajar. Titik sentral teori Jean Piaget adalah perkembangan pikiran secara alami dari
lahir sampai dewasa, menurut Piaget untuk memahami teori itu kita harus paham tentang asumsi-
asumsi biologi maupun implikasi asumsi-asumsi tersebut dalam mengartikan pengetahuan
(http://pusdiklatdepdiknas.net).

Menurut Piaget seperti yang dikutip Rita L. Atkinson dkk. (………: 145) bahwa anak harus dipandang
seperti seorang ilmuwan yang sedang mencari jawaban yang melakukan eksperimen terhadap dunia
untuk melihat apa yang terjadi (“Seperti apa rasanya menggigit kuping beruang Teddy ini?”, “Apa
yang terjadi jika saya mendorong piring ini keluar dari meja?”).

Selanjutnya masih menurut Rita L. Atkinson (………..: 145), hasil dari eksperimen miniatur itu
menyebabkan anak menyusun “teori”, Piaget menyebutnya skemata (atau tunggal, skema) tentang
bagaimana dunia fisik dan sosial beroperasi. Saat menemukan benda atau peristiwa baru, anak
berupaya untuk memahaminya berdasarkan skema yang telah dimilikinya. Piaget menyebut hal ini
proses asimilasi; upaya anak untuk mengasimilasikan peristiwa baru ke dalam skema yang telah ada
sebelumnya. Jika skema lama tidak adekuat untuk mengakomodasi peristiwa baru, maka anak
seperti layaknya seorang ilmuwan yang baik memodifikasi skema dan dengan demikian memperluas
teori tentang dunia. Piaget menyebut proses revisi skema ini sebagai akomodasi.

Paradigma konstruktivisme oleh Jean Piaget melandasi timbulnya strategi kognitif, disebut teori meta
cognition. Meta cognition merupakan keterampilan yang dimiliki oleh siswa-siswa dalam mengatur
dan mengontrol proses berpikirnya, (Preisseisen, 1985: http://pusdiklatdepdiknas.net). Menurut
Preisseisen meta cognition meliputi empat jenis keterampilan, yaitu:

1. Keterampilan pemecahan masalah (problem solving), yaitu keterampilan individu dalam


menggunakan proses berfikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta-
fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan
masalah yang paling efektif.
2. Keterampilan pengambilan keputusan (decisión making), yaitu keterampilan individu dalam
menggunakan proses berfikirnya untuk memilih suatu keputusan yang terbaik dari beberapa
pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan dan kekurangan
dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan keputusan yang terbaik
berdasarkan alasan-alasan yang rasional.
3. Keterampilan berpikir kritis (critical thinking), yaitu keterampilan individu dalam menggunakan
proses berfikirnya yaitu menganalisa argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan
persepsi yang benar dan rasional, analisis asumsi dan bias dari argumen, dan interpretasi
logis.
4. Keterampilan berpikir kreatif (creative thinking), yaitu keterampilan individu dalam
menggunakan proses berfikirnya untuk menghasilkan gagasan yang baru, konstruktif
berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang rasional maupun persepsi, dan intuisi
individu.

Keterampilan-keterampilan di atas saling terkait antara satu dengan yang lainnya, dan sukar untuk
membedakannya, karena keterampilan-keterampilan tersebut terintegrasi.

Paradigma konstruktivisme dan teori meta cognition melahirkan prinsip reflection in action
(http://pusdiklatdepdiknas.net). Proses reflection in action merupakan gambaran tentang proses
belajar. Seseorang belajar melalui aktifitas atau pekerjaan sendiri dan kemudian mengkaji ulang dari
pekerjaan yang telah dilakukannya. Proses pembelajaran strategi kognitif merupakan proses
reflection in action. Berdasarkan teori ini bahwa proses belajar diawali dari pengalaman nyata yang
dialami oleh seseorang. Pengalaman tersebut direfleksi secara individual.

Menurut Brooks & Brooks, 2001 seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 : 8) bahwa dalam
pandangan konstruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak, akan tetapi guru
harus mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung
dan berpikir secara kritis.

Dewasa ini menurut Gauvain, 2001 seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 :8) bahwa
konstruktivisme juga menekankan pada kolaborasi anak-anak saling bekerja sama untuk mengetahui
dan memahami pelajaran.

Anda mungkin juga menyukai