Anda di halaman 1dari 4

Apa Itu Filsafat?

hayatulislam.net - Soal: Apa itu Filsafat? Bagaimana


pandangan Islam terhadap filsafat? Apakah para ulama
dahulu menggunakan metode filsafat untuk memperkuat
keimanan mereka? Apakah filsafat bisa memberi kontribusi
terhadap dakwah Islam sekarang?

Jawab: Saya tidak akan masuk pada pembahasan-


pembahasan filsafat secara definitive, akan tetapi langsung
pada substansi pertanyaannya. Pada dasarnya, filsafat yang
kemudian mendapat kecaman dan kritik dari kalangan
kaum muslim, adalah metode berfikir (epistemologi) yang
didasarkan pada kaedah-kaedah silogisme (ilmu mantic).
Kaedah-kaedah ini disusun berdasarkan hubungan-
hubungan premis yang disusun di atas silogisme tertentu.

Para ahli logika telah menyusun bermacam-macam kaedah


logika, misalnya mulai dari logika kuantitas menjadi
kualitas, coversion (pembalikan), obversion (perlipatan),
contraposition (perlipatan terbalik), hingga silogisme.
Silogisme sendiri terdiri dari empat macam (menurut
Aristoteles). Kadang-kadang ada yang membaginya
menjadi tiga. Silogisme Aristoteles adalah silogisme paling
terkenal yang dipakai hingga sekarang.

Dari keragaman kaedah logika tersebut, kita bisa menarik


benang merah, bahwa mereka berusaha memberikan
simpulan (konklusi) atas suatu fakta berdasarkan premis-
premis (premis major, dan premis minor) yang kemudian
disusun dalam kaedah-kaedah logika tertentu. Contohnya
adalah kesimpulan dari sebagian orang yang menyatakan
bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

Premis major = al-Qur’an tersusun dari huruf Arab


Premis minor = Huruf Arab adalah makhluk
Conclusi = al-Qur’an adalah makhluk
Ahli filsafat hanya berkutat dengan premis-premis ini,
kemudian menyusunnya dalam timbangan logika. Konklusi
apapun yang lahir dari premis minor dan mayor, dianggap
sebagai sebuah kesimpulan yang benar, bila sejalan
dengan kaedah-kaedah logika. Padahal, bisa jadi
kesimpulan itu salah dan bertentangan dengan fakta yang
ada.

Pada dasarnya, cara berfikir semacam ini tidak pernah


dikenal oleh kaum muslim. Bahkan, cara berfikir semacam
ini adalah cara berfikir dangkal yang akan merusak akal
manusia. Sedangkan tradisi berfikir kaum muslim tidak
dibentuk berdasarkan filsafat. Mereka diajari untuk
mengamati fakta kemudian membuat kesimpulan
berdasarkan fakta tersebut dan berdasarkan dalil naqliy
yang terpercaya. Jika suatu perkara itu bisa diindera dan
didekati dengan akal, maka proses pembuktiannya cukup
dengan akal. Akan tetapi, jika suatu perkara sudah berada
di luar jangkauan indera, maka akal tidak mampu
menjangkaunya, dan untuk membuat kesimpulan dalam
ranah seperti ini, mereka disuruh melihat dalil-dalil naqliy
yang shahih. Dalam kondisi seperti ini, akal harus tunduk
dengan dalil naqliy yang menerangkan perkara tersebut.
Kaum muslim juga tidak diperintahkan untuk membahas
secara mendalam, hal-hal yang tidak diterangkan secara
rinci oleh nash-nash syara’. Misalnya, duduknya Allah, Allah
bisa dilihat dengan mata atau tidak, dan lain sebagainya.
Seorang muslim hanya menyandarkan diri pada makna-
makna global yang ditunjukkan oleh nash tersebut, dan
tidak perlu membahasnya lebih rinci dan mendalam lagi.

Dari sinilah kita bisa memahami, mengapa para ‘ulama


sangat benci terhadap ahli kalam, bahwa konon Imam
Syafi’iy pernah memberikan fatwa kepada kaum muslim
untuk memukul ahli kalam dengan pelepah kurma jika
mereka bertemu.

Cara berfikir kaum muslim boleh dikatakan sangat simple


dan sederhana, namun sangat mendalam dan produktif.
Untuk membuktikan kebenaran sesuatu, mereka
mencukupkan diri dengan penginderaan, jika sesuatu
tersebut berada dalam jangkauan indera. Jika indera
mereka tidak mampu menjangkau hal tersebut, maka
mereka mencukupkan diri pada keterangan yang
disampaikan oleh al-Qur’an dan as-sunnah.

Untuk membuktikan eksistensi Allah, kaum muslim diajari


untuk mengamati dan meneliti alam semesta melalui
inderanya, bukan dengan cara membuat kesimpulan
berdasarkan premis-premis logika. Dengan mengamati
alam semesta, kita bisa menyimpulkan bahwa ada al-Khaliq
al-Mudabbir yang menciptakannya. Adapun hal-hal yang
berada di luar jangkauan indera, mereka diperintahkan
untuk merujuk kepada dalil-dalil yang pasti. Misalnya,
tentang adanya surga dan neraka. Indera tidak mampu
menjangkau keduanya. Untuk itu, akal tidak bisa
menetapkan seperti apa surga dan neraka itu. Dalam
keadaan seperti ini, seorang muslim mesti merujuk kepada
keterangan yang telah dipaparkan oleh al-Qur’an tentang
surga dan neraka. Jika al-Qur’an tidak menerangkan secara
rinci, maka kita harus mencukupkan diri pada pengertian-
pengertian globalnya saja. Kita tidak perlu membahasnya
lebih rinci lagi. Sebab, tidak ada dalil yang menerangkan
secara detail masalah itu. Misalnya, duduknya Allah di
‘Arsy. Kita mesti yakin terhadap malah ini. Namun kita tidak
perlu membahas lebih rinci, bagaimana posisi dudukNya,
terbuat dari apa ‘Arsy itu, jika memang tidak ada dalil yang
menerangkannya.

Walhasil, filsafat tidak akan mampu membangun keimanan


yang kokoh dan tangguh. Sebaliknya, ia adalah metodologi
berfikir yang rusak dan dangkal. Lebih dari itu, filsafat tidak
akan memberikan pengaruh apapun bagi dakwah Islam,
dalam arti pengaruh yang baik. Justru dengan filsafatlah
kaum muslim terpecah belah dalam firqah-firqah yang tidak
jarang firqah-firqah tersebut saling menyerang,
mengkafirkan, bahkan saling membunuh satu dengan yang
lain. Untuk itu, filsafat harus ditinggalkan dan dibersihkan
dari benak kaum muslim. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
[Syamsuddin Ramadhan]

Anda mungkin juga menyukai