Anda di halaman 1dari 6

REVITALISASI SENI BLANTENAN DALAM

KONTEKS BUDAYA MASA KINI

Oleh
Muhammad Abdullah Asror Al-Maksumi1

1. Pengantar

Dalam sejarah intelektual Islam Indonesia, pesantren merupakan basis pengajaran


Islam tradisional yang berakar dari kitab-kitab Islam klasik (Abdullah, 1995: 40). Dari
pesantren itulah dapat diketahui sistem pengajaran yang didasarkan pada sumber-sumber
tertulis berupa naskah-naskah klasik maupun kitab klasik terbitan Timur Tengah yang
merupakan karya ulama salaf. Yaitu ulama-ulama ahli fiqih, hadis, tafsir, ilmu kalam dan
tasawuf yang hidup antara abad ketujuh sampai dengan abad ketiga belas Masehi
(Dhofier, 1982:8). Kitab-kitab jenis inilah yang dalam sastra Melayu dan tradisi
pesantren dikenal sebagai sastra kitab, atau secara khas disebut kitab kuning (Wahid,
1989 : 31 ; Liaw Yock Fang, 1993 : 41). Kitab-kitab kuning yang menurut van
Bruinessen merupakan tradisi agung (great tradition) di Nusantara, dipakai sebagai alat
transmisi ajaran Islam tradisional di Jawa pada abad 18-19 (Bruinessen, 1999: 17).
Melalui karya pesantren inilah tradisi pemikiran dan intelektual Islam diwariskan
secara turun temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari segmen inilah
sesungguhnya jaringan intelektual Islam Indonesia tumbuh dan berkembang. Hal ini
terutama terjadi pada era ulama besar seperti Syeikh Abdus Samad Al-Palembani, Syeikh
Abdur Rauf As-Singkili, Syeikh Yusuf Al-Makassari, Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-
Samatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Muhammad Arsyad Al-Banjari, dan lain-lainnya sampai
akhirnya muncul generasi Imam Nawawi Al-Bantani, Kyai Ihsan Jampes, Kyai Saleh
Darat (Shalih bin Umar Al-Samarani, w.1321/1903), sekitar abad 17-19 M. Pasca abad
19 muncul nama-nama penulis kitab dan sastra pesantren, seperti KH Mahfudz dari
Tremas yang hidup dan mengajar di Makkah sekitar tahun 1900-an; ulama lain adalah
KH Ihsan bin Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri yang menulis kitab Siraj Al-
Thalibin. Selain itu ada Ulama Jawa yang sangat produktif adalah KH Bisri Mustofa
(ayah dari KH Mustofa Bisri) dari Rembang. Dia menulis lebih dari dua puluh karya
1
Penulis adalah dosen Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Kini ia sedang
menyelesaikan program doktornya (S-3) di FIB UI Depok.
pesantren. Penulis lain dari ulama Jawa adalah KH Muslikh dari Mranggen (Muslikh bin
Abd Al-Rahman Al-Maraqi, w. 1981) yang menulis berbagai risalah tentang tarekat
Qadiriyah waNaqsabandiyah, dan Ahmad ‘Abdul hamid Al-Qandali dari Kendal (lihat,
Azra, 1994: 36; Bruinessen, 1999: 19-20; Daudy, 1983: 35; Baried dalam Drewes, 1990:
vii; Thohari, 1991).
Tradisi intelektual Islam inilah yang terungkap melalui tradisi tulis dalam bentuk
pendidikan, pemikiran dan budaya Islam. Itulah sebabnya jejak-jejak intelektual Islam itu
justru muncul dalam bentuk naskah-naskah klasik keagamaan yang berisi berbagai
pengajaran Islam, seperti tauhid, tafsir, ahlak, fiqih, dan pengajaran tasawuf, atau disebut
juga sastra tasawuf (Liaw Yock Fang, 1993: 41-42). Namun tampaknya, di Indonesia
tradisi keberaksaraan ini justru mengalami penurunan setelah kejayaan pemikiran Imam
Nawawi Al-Bantani dari Banten yang karya-karyanya banyak dipakai di kawasan India
dan negara-negara Timur Tengah (Hasan, 1990: 21). Di antara faktor yang
mempengaruhi merosotnya tradisi penulisan di kalangan ulama Indonesia waktu itu
hingga belakangan ini adalah (1) semakin kuatnya pengaruh budaya oral (oral tradition)
yang melembaga dalam tradisi masyarakat Islam, sehingga para kyai atau ulama lebih
suka mengaktualisasikan ilmunya melalui pengajian dan ceramah-ceramah; (2) lemahnya
etos keberaksaraan2 dalam tradisi pesantren di Indonesia, terutama disebabkan kebiasaan
melakukan pengajaran lisan, baik berupa ceramah agama, atau penyampaian pengajaran
kitab kuning di pesantren secara manqul dan sorogan,3 (3) dan terjadinya pergeseran
orientasi masyarakat dari dunia keilmuan ke lapangan lain, seperti misalnya dunia politik
dan ekonomi (Dhofier, 1982: 9; Thohari, 1991; Abdullah, 1995: 23; Bruinessen, 1999:
25-26).
Di samping berbagai karya tulisan, dalam tradisi pesantren juga memiliki seni
tradisi yang masih kuat pengikutnya. Di antaranyan aadalah kesenian Blantenan.
Kesenian Blantenan adalah kesenian tradisi yang teksnya berasal dari karya sastra
pesantren. Sumber teksnya berasal dari teks Syaraful Anam, Al-Barzanji, Burdah, dan

2
Pinjam istilah A.Teeuw (1994) dalam Indonesia : Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta :
Gramedia. Keberaksaraan dimaksudkan sebagai kemampuan menulis teks secara ilmiah.
3
Sistem pengajaran manqul adalah model penyampaian pendidikan dengan metode penurunan teks secara
lisan, tanpa perubahan sedikit pun dari guru (kyai) terdahulu kepada santrinya. Sedang sorogan atau
talaqqi adalah metode pengajaran pesantren dengan cara santri menghadap kyai satu per satu (face to face)
untuk menerima pengajaran lisan dari kyainya, sesuai kitab yang diajarkannya (Dhofier, 1982: 12).
teks lain yang bersifat modifikasi teks lama dan baru. Kesenian ini dipertunjukkan
(Performing art) secara berkelompok menyampaikan nyanyian qasidah dan shalawat
deengan iringan musik rebana, terbangan, dan tanjidor.

2. Seni Blantenan : Kesenian Tradisional Pesantren


Dalam prakteknya kesenian di kalangan pesantren seringkali masih menjadi
masalah yang pro dan kontra, terutama pada kesenian modern. Namun, dalam konteks
kesenian tradisi Islam, masyarakat pesantren masih bersedia menjaga, melestarikannya
untuk memperkaya khazanah budaya dan peradaban Islam. Satu di antaranya adalah
kkesenian tradisional pesantren Blantenan. Kata Blantenan konon berasal ddari kata
”Banten”, karena kesenian ini diyakini berasal dari daerah Banten. Hanya karena tradiusi
lisan, maka kata ’banten’ berubah menjadi Blanten.
Kesenian Blantenan terdiri atas beberapa pemain, (1) 2 orang pemabawa teks
(mbawani), (2) 4 orang pembawa rebana, (3) 2 orang pemukul kemung, (4) 1 orang
pemukul tanjidor, (5) 1 orang pemukul kendang, (6) dan 2 orang penari latar. Selebihnya
adalah orang-orang yang berperan sebagaim pemain cadangan lebih kurang 3 orang.
Kesenian ini hampir sama dengan Kesenian Shalawat Pitutur di Jawa Tengah. Hal ini
karena di samping berisi bacaan teks shalawat juga terdapat teks berisi pesan-pesan moral
dan dakwah Islam.
Adapun fungsi kesenian ini adalah sebagai berikut, (1) untuk fungsi hiburan, (2)
berfungsi sebagai sarana dakwah Islam, (3) berfungsi sebagai alat perekat sosial, (4)
untuk sarana ibadah, dan (5) untuk wahana silaturahim jamaah Islam kalngan pesantren.
Di antara fungsi-fungsi itu fungsi hiburan dan sarana ibadah tampaknya yang mendorong
para pemain seni ini menjaga dan melestarikan kesenian ini.

3. Revilatisasi Seni Blantenan Dalam Konteks Budaya Masa Kini


Adalah sebuah proses sejarah panjang jika dalam suatu komunitas kesenian terjadi
transformasi budaya dan nilai-nilai spiritual. Begitu pula sudah saatnya kesenian
tradisional seperti Blantenan. Upaya kongkretisasi dan revitalisasi seni Blantenan dalam
konteks budaya masa kini, sebetulnya sudah sering dilakukan. Misalnya dengan
seringnya diadakan penyegaran tekstual, mengadakan vestival blantenan, penyuluhan dan
lain sebagainya. Namun ternyata asilnya belum menggemberikan. Karena itu ke depan
perlu trobosan baru agar keseniajn ini tetap eksis dalam masyarakat modern dewasa ini.
Revitalisasi yang mungkin bisa dilakukan adalah menyangkut tiga hal, (1)
revitalisasi tekstual, (2) revitalisasi alat musik , dan (3) revitalisasi perkaderan pemain.
Kelemahan umum yang terjadi dalam berbagai seni tradisi adalah lemahnya kader
penerus kesenian tersebut. Pertama, revitalisasi teks, bisa dilakukan dengan meninjau
ulang teksnya, atau dengan cara memodifikasi teks lama dan teks modern yang
menyesuaikan buadaya populer di masyarakat. Kedua, revitalisasi alat musik bisa
dilakukan dengan tetap mempertahankan musik tradisinya, tetapi dengan aksentuasi
modrenis. Ketiga, Revitalisasi kader pemain sebaiknya dilakukan penyegaran dan
pembinaan periodik yang berkesinambungan hal ini untuk mendapatkan kader seni tradisi
yang kuat dan handal.

4. Khatimah
Demikianlah, seluruh aktivitas seni tradisi dalam Islam hendaklah membawa
kebahagiaan, hiburan, membawa muatan dakwah, nilai ibadah dan tetap memiliki fungsi
sosial yang tinggi dalam masyarakat. Tak kalah penying dalam revitalisasi jhendaknya
tetap menjaga nilai-nilai Islam dan syariat, dan tanpa mengorbankan aqidah agama.
Hanya dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang menjunjung tinggi kesucian, menjaga
martabat kemanusiaan, keadilan dan menghiasi dengan keindahan dalam kesopanan
berahlak, kesenian tradisi pesantren dapat tetap etis, estetis, eksis dan lestari. Itulah
sebabnya misi diturunkannya Nabi SAW di dunia ini tiada lain untuk menyempurnakan
ahlak manusia, ”Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq” , dan mengeluarkan
manusia dari kegelapan hidup kepada cahaya Islam, ”wa yukhrijuhum min adz-
dzulumati ila an-Nuur” (QS. Al-Maidah, 15-16). Wallahu a’lam.
Daftar Bacaan :
Abdullah, Muhammad, “Puji-pujian : Sebuah Tradisi Lisan dalam Sastra Pesantren”
dalam WARTA ATL, Edisi 1 Maret 1995.
__________________.2003. “Wirid, Hizib, dan Wifik dalam Sastra Pesantren” makalah
pada Simposium Internasional Antropologi. Denpasar Bali.
__________________.2006. Dekonstruksi Sastra Pesantren. Semarang : Fasindo.
Abbas, Siradjudin, 1983. 40 Masalah Agama (Jilid IV). Jakarta : Pustaka Tarbiyah.
_______________, 1992. I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah.
Al-Buni, Abul Abbas Ahmad bin Ali (t.th). Manba’ Usul Al-Hikmah Lil Buni.
Al-Ghazali, Imam. 1400 H. Minhajul ‘Abidin (Terj. Abdullah bin Nuh).
Bogor : Majlis Ta’lim Al-Ihya.
At-Tahami, Abi Muhammad Maulana (tanppa tahun) Qurratul ’Uyun.
Azra, Azyumardi, 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Obor Indonesia.
_______________, 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII –XVIII. Bandung Mizan.
Baried, Baroroh. 1997. “Kedatangan Islam dan Penyebarannya di Indonesia,
Suatu Kajian Lewat Naskah Melayu” dalam Pendar
Pelangi,(Penyunting Adiwimarta, Sri Sukesi dkk). Jakarta :
Fakultas Sastra UI dan Yayasan Obor Indonesia.
Daudy, Ahmad. 1978. Syeh Nuruddin Ar-Raniri. Jakarta : Bulan Bintang.
______________1983. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nuruddin Ar-Raniri.
Jakarta : Rajawali.
Departemen Agama RI, 1989. Al-Quran dan Terjemahannya.
Semarang : CV Toha Putra.
Dhofier, Zamachsyari, 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta : LP3ES.
Faqihuddin Abdul Kodir “Diskriminasi Seks dalam Teks Klasik Islam”
dalam Desantara, edisi 08 Th III, 2003 halaman 30-37.
Hasan, Ahmad Rifai (Ed.), 1990. Warisan Intelektual Islam Indonesia.
Bandung : Mizan.
Hadis Bukhari-Muslim, 1984.Surabaya : Al-Ikhlas.
Huzaemah “Jilbab adalah Kewajiban Syar’i”. Hidayatullah (Mei 2006 hal. 54)
Konrad Kebung, “Kembalinya Moral Melalui Seks”; dalam BASIS, Nomor 01-02
Th ke-51, Januari-Februari 2002.
Nashuha, Muhammad. “ Pemikiran Teologis Imam Ghazali” dalam Teologia, Jurnal
Ilmu-ilmu Ushuluddin. VVVol. 12 No. 1 Februari 2001.
Nasr, Seyyed Hossein. 1993. Spiritualitas Dan Seni Islam. Bandung : Mizan.
Othman, Ali Isa, 1981. Manusia Menurut Al-Ghazali (Terjemahan dari The Concept
Of Man in Islam in the Writings of Al-Ghazali).
Bandung : Pustaka Salman ITB.
Rahardjo, Dawam. 1975. Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-
Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta: LP3ES.
Steinbrink, Karel, 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta : LP3ESS
Syaltout, Muhammad.1975. Islam Sebagai Aqidah dan Syari’ah. Jakarta:
Bulan Bintang.
“Seks Undercover : Ikon Bokong Inul” dalam BASIS, No. 03-04
Th ke-52, Maret-April 2003.
Thohir, Mudjahirin dkk, 1992. Inventarisasi Karya-karya Sastra Pesantren di
Kaliwungu Kendal. Semarang : Lemlit UNDIP.
_________________.1999. Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran.
Semarang : Penerbit Bendera.
Trimingham, 1971. The Sufi Orders in Islam. Oxford : Clarandon Press
Tudjimah, 1960. Asrar Al- Insan Fi Ma’rifatir Ruh Wa Ar-Rahman. Jakarta : Djambatan.
Zuhri, Syaefuddin.1980. Guruku Orang-orang dari Pesantren. Bandung : Al-Ma’arif.

Anda mungkin juga menyukai