Anda di halaman 1dari 28

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Saluran Pencernaan

2.1.1 Organ Pencernaan

Organ pencernaan dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu saluran

gastrointestinal dan struktur aksesoris. Saluran gastrointestinal merupakan saluran

yang panjang pada rongga tubuh yang dimulai dari mulut sampai anus. Organ dari

saluran gastrointestinal terdiri dari mulut, sebagian besar faring, esophagus, lambung,

usus halus, dan usus besar. Struktur aksesoris terdiri dari gigi, lidah, kelenjar ludah,

empedu dan pankreas. Pada saat saluran gastointestinal berisi makanan dari waktu

dimakan sampai dicerna dan dipersiapkan untuk dieliminasi, kontraksi otot pada

dinding saluran gastrointestinal merusak makanan secara fisik dengan cara

mengaduknya.13 Berikut keterangan beberapa organ pencernaan :

2.1.1.1 Lambung

Lambung adalah ruang berbentuk kantung mirip huruf J yang terletak di

antara esofagus dan usus halus. Lambung dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan

perbedaan anatomis, histologis, dan fungsional. Fundus adalah bagian lambung yang

terletak di atas lubang esofagus. Bagian tengah atau utama lambung adalah korpus

(badan). Lapisan otot polos di fundus dan korpus relatif tipis, tetapi bagian bawah

lambung, antrum, memiliki otot yang jauh lebih tebal. Bagian akhir lambung adalah
6

sfingter pilorus, yang berfungsi sebagai sawar antar lambung dan bagian atas usus

halus, duodenum.14

Fungsi motorik lambung ada tiga yaitu menyimpan makanan dalam jumlah

besar sampai makanan tersebut dapat diproses pada bagian bawah saluran

pencernaan, mencampur makanan tersebut dengan sekret lambung sampai ia

membentuk suatu campuran setengah padat yang dinamakan khimus, dan

mengeluarkan makanan perlahan-lahan dari lambung masuk ke usus halus dengan

kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi oleh usus halus.14, 15

2.1.1.2 Usus Halus

Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan

penyerapan. Setelah isi lumen meninggalkan usus halus tidak terjadi lagi pencernaan,

walaupun usus besar dapat menyerap sejumlah kecil garam dan air. Usus halus adalah

statu saluran dengan panjang sekitar 6,3 m dengan diameter kecil 2,5 cm. Usus ini

berada dalam keadaan bergelung di dalam rongga abdomen dan terentang dari

lambung sampai usus besar.14

Terdapat dua jenis gerakan dari usus halus, yaitu gerakan segmentasi dan jenis

peristaltik yang disebut kompleks gerakan yang berpindah. Gerakan segmentasi

merupakan gerakan yang timbul pada bagian usus yang terdesak oleh kimus dalam

jumlah yang besar. Gerakan ini mencampur kimus dengan cairan digestif, dan

kemudian akan diserap oleh mukosa usus. Gerakan ini tidak mendorong isi usus

sepanjang saluran pencernaan. Setelah gerakan segmentasi selesai akan muncul

peristalsis. Jenis peristalsis pada usus halus dikenal sebagai kompleks motilitas yang
7

berpindah, dimulai pada bagian bawah lambung dan akhirnya mendorong kimus

bersamaan dengan sedikit peregangan dari usus halus. Iritasi yang sangat kuat pada

mukosa usus, seperti yang terjadi pada beberapa infeksi, dapat menimbulkan apa

yang dinamakan peristaltic rush yang merupakan gelombang peristaltik sangat kuat

yang berjalan jauh pada usus halus dalam beberapa menit. Gelombang ini dapat

menyapu isi usus masuk ke kolon dan karena itu menghilangkan zat pengiritasi atau

peregangan yang berlebihan pada usus halus.14, 15

2.1.1.3 Usus Besar

Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Sekum

membentuk kantung buntu di bawah taut antara usus halus dan usus besar di katup

ileosekum. Tonjolan kecil mirip jari di dasar sekum adalah apendiks, jaringan limfoid

yang mengandung limfosit. Kolon, yang membentuk sebagian besar usus besar, tidak

bergelung-gelung seperti usus halus, tetapi terdiri tiga bagian yang relatif lurus (kolon

asendens, kolon transervus, dan kolon desendens). Bagian akhir kolon desendens

berbentuk huruf S, yaitu kolon sigmoid, dan kemudian berbentuk lurus yang disebut

rektum.14

Fungsi utama kolon adalah mengabsorpsi air dan elektrolit serta menyimpan

feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon terutama

berhubungan dengan absorpsi, dan setengah bagian distal, berhubungan dengan

penimbunan. Karena tidak diperlukan pergerakan intensif untuk fungsi – fungsi ini,

maka pergerakan kolon secara normal sangat lambat. Meskipun lambat,

pergerakannya masih mempunyai karakteristik yang srupa dengan pergerakan usus


8

halus. Proses pencernaan yang terjadi pada usus besar terbagi atas 3 yaitu pencernaan

mekanik, pencernaan kimia, dan absorbsi.14, 15

Gambar 2.1 Organ saluran pencernaan19

2.1.2 Kontrol Saraf Terhadap Fungsi Gastrointestinal

Traktus gastrointestinal memiliki sitem persarafan sendiri yang disebut sistem

saraf enterik. Sistem ini seluruhnya terletak di dinding usus, mulai dari esophagus dan

memanjang sampai ke anus. Sistem ini terutama mengatur pergerakan dan sekresi

gastrointestinal. Sistem enterik terutama terdiri atas dua pleksus, satu pleksus bagian

luar yang terletak di antara lapisan otot longitudinal dan sirkular, disebut pleksus

mienterikus atau pleksus Auerbach, dan satu pleksus bagian dalam, disebut pleksus

submukosa atau pleksus Meissner, yang terletak di dalam submukosa, yang terletak di
9

dalam submukosa. Pleksus mienterikus terutama mengatur pergerakan

gastrointestinal, dan pleksus submukosa terutama mengatur sekresi gastroimtestinal

dan aliran darah lokal.15

Neuron-neuron postganglionik dari parasimpatis terletak di pleksus

mienterikus dan pleksus submukosa, dan perangsangan saraf parasimpatis

menimbulkan peningkatan umum dari seluruh aktivitas sistem saraf enterik. Hal ini

kemudian akan memperkuat aktivitas sebagian besar fungsi gastrointestinal tetapi

tidak semuanya, karena beberapa neuron enteric bersifat inhibitoris dan karena itu

menghambat fungsi-fungsi tertentu. Persarafan simpatis menghambat aktivitas dalam

traktus gastrointestinal menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang

ditimbulkan oleh sistem parasimpatis.15

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pencernaan

2.1.3.1 Umur

Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga

pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem

neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasa juga

mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses pengosongan

lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-

otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya

(mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan

tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga


10

mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak

pada proses defekasi.16

2.1.3.2 Diet

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya

selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan

tertentu pada beberapa orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini

berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses.

Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat

mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama

setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan

makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.16

2.1.3.3 Cairan

Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan

cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine, muntah) yang berlebihan untuk

beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia

lewat di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal,

menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan

memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan

reabsorbsi cairan dari chyme.16


11

2.1.3.4. Tonus Otot

Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi.

Aktivitasnya juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme

sepanjang colon. Otot-otot yang lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan

intraabdominal selama proses defekasi atau pada pengontrolan defekasi. Otot-otot

yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise), imobilitas atau

gangguan fungsi syaraf.16

2.1.3.5 Faktor Psikologi

Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit

tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai

komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah

dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang

yagn depresi bisa memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada

konstipasi.16

2.1.3.6 Gaya hidup

Gaya hidup mempengaruhi eliminasi feses pada beberapa cara. Pelathan

buang air besar pada waktu dini dapat memupuk kebiasaan defekasi pada waktu yang

teratur, seperti setiap hari setelah sarapan, atau bisa juga digunakan pada pola

defekasi yang ireguler. Ketersediaan dari fasilitas toilet, kegelisahan tentang bau, dan

kebutuhan akan privacy juga mempengaruhi pola eliminasi feses. Klien yang berbagi
12

satu ruangan dengan orang lain pada suatu rumah sakit mungkin tidak ingin

menggunakan bedpan karena privacy dan kegelisahan akan baunya.16

2.1.3.7. Obat-obatan

Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh terhadap

eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang lain seperti dosis yang

besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan

codein, menyebabkan konstipasi.16

Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laksatif adalah obat

yang merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini

melunakkan feses, mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine

hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan

untuk mengobati diare.16

2.1.3.8. Prosedur Diagnostik

Prosedur diagnostik tertentu, seperti sigmoidoscopy, membutuhkan agar tidak

ada makanan dan cairan setelah tengah malam sebagai persiapan pada pemeriksaan,

dan sering melibatkan enema sebelum pemeriksaan. Pada tindakan ini klien biasanya

tidak akan defekasi secara normal sampai ia diizinkan makan.16

Barium (digunakan pada pemeriksaan radiologi) menghasilkan masalah yagn

lebih jauh. Barium mengeraskan feses jika tetap berada di colon, akan mengakibatkan

konstipasi dan kadang-kadang suatu impaksi.16


13

2.1.3.9. Anastesi dan Pembedahan

Anastesi umum menyebabkan pergerakan colon yang normal menurun dengan

penghambatan stimulus parasimpatik pada otot colon. Klien yang mendapat anastesi

lokal akan mengalami hal seperti itu juga.

Pembedahan yang langsung melibatkan intestinal dapat menyebabkan

penghentian dari pergerakan intestinal sementara. Hal ini disebut paralytic ileus,

suatu kondisi yang biasanya berakhir 24 – 48 jam. Mendengar suara usus yang

mencerminkan otilitas intestinal adalah suatu hal yang penting pada manajemen

keperawatan pasca bedah.16

2.1.3.10. Nyeri

Klien yang mengalami ketidaknyamanan defekasi seperti pasca bedah

hemorhoid biasanya sering menekan keinginan untuk defekasi guna menghindari

nyeri. Klien seperti ini akan mengalami konstipasi sebagai akibatnya.16

2.1.3.11. Iritan

Zat seperti makanan pedas, toxin baklteri dan racun dapat mengiritasi saluran

intestinal dan menyebabkan diare dan sering menyebabkan flatus.16

2.1.3.12.Gangguan Syaraf Sensorik dan Motorik

Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan stimulus

sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisamembatasi kemampuan klien untuk

merespon terhadap keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau
14

mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien

bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter.16

2.2 Mengkudu

2.2.1 Klasifikasi Ilmiah

Mengkudu memiliki klasifikasi ilmiah sebagai berikut:17

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Rubiales

Familia : Rubiaceae

Genus : Morinda

Spesies : Morinda citrifolia L.

2.2.2 Sejarah Perkembangan

Mengkudu berasal dari Asia Tenggara. Pada tahun 100 SM penduduk Asia

Tenggara berimigrasi ke kepulauan Polinesia dan membawa mengkudu sebagai

tanaman obat. Laporan tentang khasiat mengkudu sudah ada pada tulisan-tulisan kuno

2000 tahun yang lalu pada masa dinasti Han di Cina. Pada tahun 1860 penggunaan

mengkudu sebagai bahan pengobatan alami mulai tercatat dalam literatur-literatur

Barat.18

Buah mengkudu sudah digunakan di Hawaii sebagai obat tradisional sejak

lebih dari 1500 tahun lalu, penduduknya menyebut mengkudu dengan istilah noni dan
15

dijuluki Hawaii magic plant.19 Di Indonesia tanaman mengkudu sudah dimanfaatkan

sejak zaman dahulu. Pada awalnya yang dimanfaatkan adalah kulit akarnya sebagai

zat pewarna. Setelah diketahui bahwa dalam bagian tanaman lain mengkudu,

terutama buahnya mengandung berbagai zat yang dapat menyembuhkan berbagai

macam penyakit, maka selanjutnya tanaman mengkudu lebih dikenal sebagai

tanaman obat.20

2.2.3 Deskripsi Tanaman

Mengkudu merupakan pohon berdaun hijau yang tumbuh di daerah pantai dan

dalam area hutan hingga ketinggian 1300 kaki di atas permukaan laut.7

Adapun bagian mengkudu adalah sebagai berikut:21

a. Batang

Tinggi batang sekitar 4-6 m. Bentuk batang umumnya bengkok, berdahan kaku,

kulit batang kasar, dan memiliki akar tunggang yang tertancap dalam. Kulit

batang berwarna cokelat keabu-abuan atau cokelat kekuningan, dan tidak berbulu.

Tajuknya selalu hijau sepanjang tahun.

b. Daun

Daun letaknya berhadap-hadapan, berbentuk bulat telur sampai elips (lonjong dan

ujungnya meruncing) dengan panjang 10-20 cm dan lebar 8-15 cm. Tepi daun

bergelombang dan ujung daun lancip. Pangkal daun menyempit dan berbentuk

pasak, ukurannya 0,5-2,5 cm. Tulang daun menyirip. Warna daun hijau mengilap

dan tidak berbulu.

c. Bunga
16

Bunga bertipe bonggol bulat, bergagang dengan ukuran 1-4 cm. Bunga putih,

kecil, harum, dan menggerombol pada satu dasar bersama yang membentuk

benjol-benjol sehingga disebut bonggol. Bunga tumbuh di ketiak daun penumpu

yang berhadapan dengan daun yang tumbuh normal. Bunga berkelamin dua.

Benang sari tertancap di mulut mahkota. Kepala putik berputing dua. Bunga

mekar dari kelopak berbentuk seperti tandan.

d. Buah

Buah terbentuk dari bonggol bunga yang membengkak dan mengukuhkan diri

setelah bunga rontok. Buah bulat lonjong sebesar telur ayam sampai berdiameter

7,5-10 cm. Permukaan buah seperti terbagi dalam sel-sel poligonal (bersegi

banyak) yang berbintik-bintik dan berkutil. Mula-mula buah berwarna hijau,

menjelang masak menjadi putih kekuningan. Setelah masak, warnanya putih

transparan dan lunak. Daging buah tersusun dari buah-buah batu berbentuk

piramid, berwarna coklat merah.

e. Biji

Biji berwarna cokelat kehitaman dengan ruang udara yang tampak jelas.

Pertumbuhan tanaman yang berasal dari biji cukup cepat. Dalam waktu sekitar 6

bulan, tinggi tanaman bisa mencapai 1,2-1,5 meter. Pembungaan dan pembuahan

berlangsung terus-menerus sepanjang tahun.


17

Gambar 2.2 Buah mengkudu30

2.2.4 Bahan Gizi

Berdasarkan sejumlah literatur dan publikasi ilmiah, ternyata hampir pada

semua bagian mengkudu terkandung berbagai macam senyawa kimia yang berguna

bagi kesehatan manusia.19

Pada daun terkandung protein, zat kapur, zat besi, karoten, dan askorbin. Pada

kulit akar terkandung senyawa morindin, morindon, aligarin-d-methyleter, dan

soranjideol. Pada bunga terkandung senyawa glikosida, antrakinon, asam kapron dan

asam kaprylat.19

Beberapa jenis senyawa kimia dalam buah mengkudu adalah terpen, acubin,

lasperuloside, alizarin, zat-zat antrakuinon, asam askorbat, asam kaproat, asam

kaprilat, zat-zat skopoletin, damnachantal, dan alkaloid.25 Senyawa turunan

antrakuinon antara lain adalah morindin, morindon, dan alizarin, sedangkan

alkaloidnya antara lain xeronin dan proxeronin.23


18

Buah mengkudu juga mengandung vitamin A, vitamin C, niasin, tiamin, dan

riboflavin, serta mineral seperti natrium, kalium, kalsium, zat besi, dan selenium. 27, 28

Selain itu, terkandung pektin yang digolongkan ke dalam soluble fiber yang dapat

mengatasi konstipasi.26

Hasil analisis fruit powder secara keseluruhan menunjukkan bahwa buah

mengkudu mempunyai tingkatan karbohidrat dan serat yang tinggi, cukup protein,

dan rendah lemak.27

Kandungan bahan-bahan terpenting dalam 100 g buah mengkudu dapat dilihat

pada Tabel 2.1 berikut.27

Tabel 2.1 Kandungan Bahan-Bahan Terpenting Dalam 100 g Buah Mengkudu

Jenis Bahan Kandungan (%)


Protein 5.8 %
Lemak 1.2 %
Air 9.3 %
Abu 10.3 %
Serat 36 %
Karbohidrat 71 %

Kandungan nutrisi hasil analisis dari 1200 mg sari buah mengkudu dapat

dilihat pada Tabel 2.2 berikut.27

Tabel 2.2 Kandungan Nutrisi Hasil Analisis Dari 1200 mg Sari Buah Mengkudu

Jenis Nutrisi Jumlah Kandungan


19

Protein 69,6 mg
Lemak 15,5 mg
Karbohidrat 843 mg
Serat 419 mg
Kalori 3 mg
Vitamin A 2,26 IU
Vitamin C 9,81 mg
Niasin 0,048 mg
Thiamin –
Riboflavin –
Besi 0,02 mg
Kalsium 0,88 mg
Natrium 2,63 mg
Kalium 32,0 mg

2.2.5 Kegunaan

Hampir semua bagian mengkudu baik akar, buah, maupun daun dapat

digunakan untuk pengobatan. Adapun kegunaannya adalah sebagai berikut:28

a. Akar digunakan untuk mengatasi tekanan darah tinggi (hipertensi) dan sulit buang

air besar (sembelit/konstipasi).

b. Buah digunakan untuk mengobati konstipasi, diabetes, infeksi, ulkus.

c. Daun digunakan untuk mengatasi kencing manis, kolesterol tinggi, sakit perut

(mulas), mual, ulkus, dan batuk.

2.3 Laksatif
20

2.3.1 Pengertian

Laksatif merupakan obat yang berkhasiat memperlancar buang air besar

(defekasi).29

2.3.2 Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja laksatif yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan,

karena kompleksnya faktor-faktor yang mempengarui fungsi kolon, transpor air dan

elektrolit. Namun, secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:12

a. Laksatif menarik air karena adanya sifat hidrofilik atau osmotiknya, akibatnya

massa, konsistensi, dan transit tinja bertambah.

b. Laksatif bekerja langsung ataupun tidak langsung terhadap mukosa kolon dalam

menurunkan absorpsi air dan NaCl.

c. Laksatif dapat meningkatkan motilitas usus sehingga absorpsi garam dan air

menurun kemudian mengurangi waktu transit.

2.3.3 Jenis Obat

2.3.3.1 Laksatif Rangsang

Laksatif rangsang meningkatkan peristaltik dan sekresi lendir usus melalui

perangsangan mukosa, saraf intramural, atau otot polos usus. Obat yang termasuk ke

dalam golongan ini adalah minyak jarak, difenilmetan (fenolftalein, bisakodil,

oksifenasetin), dan antrakinon (aloe, kaskara sagrada, sena, dantron).12

2.3.3.2 Laksatif Garam dan Laksatif Osmotik


21

Adanya daya osmotik laksatif memberikan pengaruh tidak langsung pada usus

sehingga peristaltik usus meningkat. Air ditarik ke dalam lumen usus dan tinja

menjadi lembek setelah 3-6 jam. Absorpsi laksatif garam melalui usus berlangsung

lambat dan tidak sempurna. Obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah garam

magnesium, garam natrium, Gliserin, Sorbitol, Mannitol dan laktulosa.12

2.3.3.3 Laksatif Pembentuk Massa

Golongan ini bekerja dengan mengikat air dan ion dalam lumen kolon, dengan

demikian feses akan menjadi lebih banyak dan lunak. Sebagian dari komponennya

misalnya pektin akan dicerna bakteri kolon dan metabolitnya akan meningkatkan efek

laksatif melalui peningkatan osmotik cairan lumen. Sediaan yang termasuk ke dalam

golongan ini adalah sediaan alam (agar-agar dan psillium) dan sediaan semisintetik

(metilselulosa, natrium karboksimetilselulosa, dan kalsium polikarbofil).12

2.3.3.4 Laksatif Emolien

Laksatif ini melunakkan tinja tanpa merangsang peristaltik usus, baik

langsung maupun tidak langsung sehingga memudahkan defekasi. Obat yang

termasuk ke dalam golongan ini adalah dioktilnatrium sulfosuksinat, dioktilkalsium

sulfosuksinat, parafin cair, dan minyak zaitun.12

2.3.4 Bentuk Sediaan


22

Beberapa jenis laksatif dapat diperoleh di apotek, supermarket dan toko obat

tanpa resep dokter. Namun, ada juga yang harus memerlukan resep dokter. Adapun

bentuk sediaan laksatif yaitu tablet, kapsul, makanan, sirop, bubuk, enema, serta

suppositoria.12

2.3.5 Indikasi

Beberapa indikasi laksatif adalah sebagai berikut :

a. Mengatasi konstipasi fungsional dan tidak dapat mengatasi konstipasi yang

disebabkan keadaan patologi usus.12

b. Membersihkan isi usus sebelum pemeriksaan radiologi, endoskopi, pemeriksaan

rektum atau operasi usus.30

c. Digunakan pada penyakit yang membahayakan bila tinja keras atau mengejan,

yaitu pada pasien dengan penyakit angina, wasir, fisura ani, hernia, gagal jantung,

penyakit koroner, hipertensi berat, dan peninggian tekanan intrakranial ataupun

intraokular.12, 31

d. Detoksifikasi/menghilangkan racun pada pasien dengan keracunan.12

e. Untuk mengeluarkan parasit setelah pengobatan antihelmintik.32

2.3.6 Kontraindikasi

Penggunaan laksatif pada pasien dengan dugaan appendisitis, obstruksi usus,

atau sakit perut yang tidak diketahui sebabnya, dapat membahayakan. Semua laksatif

tidak boleh diberikan pada pasien dengan mual, muntah, spasme, kolik, atau berbagai

gangguan abdomen lainnya.12


23

2.3.7 Efek Samping

2.3.7.1 Cathartic Colon Syndrom

Penggunaan laksatif jangka panjang dan berlebihan dapat menyebabkan diare,

nyeri abdomen, dan kejang. Secara morfologi, terjadi inflamasi, hipertrofi mukosa

otot, atrofi lapisan otot luar, serta kerusakan submukosa dan pleksus myenterikus.29

2.3.7.2 Ketergantungan Laksatif

Keinginan untuk buang air besar setiap hari mungkin menghasilkan

ketergantungan psikologis pada laksatif, terutama laksatif stimulant (laksatif

rangsang). Sebagai tambahan, mengosongnya kolon distal sebelum waktunya,

membuat pasien salah menginterpretasikan ketiadaan buang air besar setiap hari

sebagai konstipasi yang pada kenyataannya rektum kosong.29

2.3.7.3 Hipokalemia

Gangguan keseimbangan elektrolit mengakibatkan pengurangan volume

plasma, stimulasi sistem renin-angiotensin, dan peningkatan aldosteron. Pada kolon

dan ginjal, aldosteron meningkatkan reabsorpsi Na+ diganti dengan K+, sehingga

terjadi kehilangan K+ melalui feses dan urin, yang berakibat terjadinya

hipokalemia.12,29

2.3.7.4 Abnormalitas Hati


24

Hepatitis kronik telah dilaporkan terjadi setelah menggunakan kombinasi

dioktilkalsium sulfosuksinat dan dantron.29

2.3.7.5 Peningkatan Kehilangan Protein Melalui Usus

Seluruh laksatif telah dilaporkan menyebabkan kehilangan protein berlebihan

melalui usus, kecuali serat dan laktulosa.29

2.3.7.6 Malabsorpsi

Penggunaan laksatif yang kronik dan terus-menerus dapat menyebabkan

malabsorpsi xylosa dan karbohidrat lain, lemak, vitamin larut lemak, serta kalsium.

Pengeluaran kalsium yang terlalu banyak dapat menyebabkan osteomalasia.12, 29

2.3.8 Penyalahgunaan

Sebagian orang menyalahgunakan laksatif untuk menurunkan berat badan

dengan menggunakan laksatif dosis tinggi secara teratur, sehingga dapat

menimbulkan gejala yang serius. Kondisi pasien tergantung pada jenis dan jumlah

laksatif yang ditelan, serta lamanya waktu yang telah dilewati sebelum mendapatkan

perawatan.31

Penyalahgunaan laksatif berpotensi serius karena dapat mendorong ke arah

paralisis intestinum, Irritable Bowel Syndrome, pankreatitis, gagal ginjal, gangguan

keseimbangan elektrolit dan masalah lainnya.32


25

Penyalahgunaan laksatif yang banyak terjadi di masyarakat dengan alasan

menjaga kesehatan, sama sekali tidak rasional karena akan menurunkan sensitivitas

mukosa usus sehingga usus gagal bereaksi terhadap rangsang fisiologis.12

2.4 Konstipasi

Konstipasi merupakan salah satu dari masalah kesehatan yang sering

ditemukan dalam praktek sehari-hari dan biasanya mengarah kepada defekasi yang

persisten, susah, jarang dan tidak puas. Karena banyaknya variasi kebiasaan defekasi

di antara individu, maka prevalensi yang tepat dari konstipasi sulit untuk ditentukan.

Kebanyakan orang mengalami defekasi sekurang-kurangnya 3 kali dalam seminggu.

Namun, frekuensi defekasi sendiri bukan merupakan krieria yang tepat untuk

diagnose konstipasi karena banyak pasien konstipasi mempunyai frekuensi defekasi

yang normal namun mengeluhkan defekasi yang susah, feses yang keras, rasa penuh

pada perut bagian bawah, dan rasa defekasi yang tidak puas. Untuk mendiagnosa

konstipasi dapat digunakan criteria Roma II, yaitu :

1. Penegangan

2. Feses yang keras

3. Sensasi defekasi yang inkomplit

4. Sensasi adanya hambatan anorektal

5. Kurang dari 3 defekasi per minggu

Konstipasi ditetapkan bila terdapat 2 atau lebih gejala di atas menetap

sekurang-kurangnya selama 12 minggu, namun tidak harus berurutan selama 12

minggu tersebut
26

2.4.1 Etiologi dan patofisiologi

Konstipasi merupakan hasil dari berbagai macam kelainan baik local maupun

sistemik. Ketika penyebab dari suatu konstipasi diketahui, maka konstipasi itu

dikenal sebagai konstipasi sekunder. Penyebab sering konstipasi sekunder adalah :

1.`Struktural

2.`obat-obatan

3. Endokrin

4. Metabolik

5. Kelainan infiltrattif

6. Kelainan neurologis

7. Psikologis

Ketika pemeriksaan gagal mendapatkan penyebab spesifik dari konstipasi,

maka konstipasi tersebut dikenal sebagai konstipasi fungsional/idiopatik. Secara

konsep konstipasi ini mengarah kepada kelainan pergerakan feses melewati kolon

atau rectum. Sindrom konstipasi fungsional adalah :

1. Constipation predominant irritable bowel syndrome (IBS)

Sering juga disebut sebagai spastik kolon. Ini merupakan penyebab konstipasi

fungsional paling sering di antara orang berumur muda dan menengah. Biasanya

disertai dengan nyeri abdomen dan perasaan tidak puas setelah defekasi. Patofisiologi

yang pasti dari kondisi ini belum pasti walaupun penurunan jumlah kontraksi dan

terhambatnya waktu transit kolon ditemukan pada banyak pasien.


27

2. Konstipasi transit lambat

Tanda-tanda kliniknya disebabkan oleh konstipasi yang sulit dan

terhambatnya transit kolon. Inersia kolon mengarah pada bentuk konstipasi transit

lambat yang parah yang ditandai dengan kurangnya respon kontraksi terhadap

makanan atau terhadap stimulant.

Patofisiologi dari konstipasi transit lambat ini hanya sedikit dimengerti.

Beberapa pasien dengan konstipasi transit lambat ini mungkin mengalami persepsi

visceral yang terganggu dan berkurangnya sejumlah serat sarad dan sel interstitial di

kolon.

3. Konstipasi fungsi anorektal abnormal

Ditandai dengan sejumlah kelainan anatomi dan fungsi yang menghasilkan

gejala berupa pengeluaran feses yang sulit. Patofisiologi dari konstipasi ini adalah

disinergi dasar pelvis ( kegagalan relaksasi terkooordinasi dari otot puborektalis dan

spingter anal eksternal), tenaga dorong dan arah dorong yang lemah. Banyak pasian

dengan konstipasi jenis ini memiliki disfungsi rectal yang tidak bisa dijelaskan

2.4.2 Pemeriksaan klinis

2.4.2.1. Riwayat

Riwayat yang terperinci merupakan keharusan pada pasien dengan riwayat

konstipasi. Pemeriksaan umum tentang gaya hidup, stress psikologis, diet, aktifitas

fisik dan sebagainya sangat bernilai dalam mendiagnosa konstipasi fungsional. Gejala

dengan periode yang sangat pendek, anoreksia, turunnya berat badan atau darah pada

feses akan memberikan petunjuk adanya kelainan organic yang serius. Riwayat
28

konsumhsi obat juga penting mengingat banyaknya obat yang dapat menyebabkan

konstipasi. Sejak kelainan metabolic diketahui dapat menyebabkan konstipasi,

riwayat diabetes atau disfungsi tiroid harus diketahui.

Riwayat kelainan serebrovaskular, neuropati perifer, gejala penyakit

Parkinson atau cedera spinal merupakan petunjuk penting terhadap kebiasaan usus

yang abnormal.

2.4.2.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan dilakukan pada abdomen untuk mencari massa, kekakuan,

hepatomegali, atau asites. Pemeriksaan pada rectum dilakukan sebagai kelanjutan dari

pemeriksaan fisik dan tidak boleh diabaikan. Pemeriksaan fisik ini membutuhkan

informasi tentang tonus spingter anal, prolaps rectal, dan obstruksi atau lesi lainnya

dari saluran anal.

2.4.2.3 Pemeriksaan tambahan

Berikut jenis-jenis pemeriksaan tambahan pada konstipasi :

1. Waktu transit seluruh usus dan kolon

2. Manometri anorektal

3. Elektromiography anorektal

4. Proktography defekasi

5. Teknik ekspulsi balon

Waktu transit seluruh usus/kolon ditentukan dengan mengkonsumsi 30 marker

radio opaque ( Kapsul Sitz Mark) dan melakukan x-ray pada hari kelima. Jika fungsi

transit normal, setidaknya 80% marker yang sudah masuk tidak terlihat lagi pada x-

ray. Marker yang tersebar di kolon menunjukkan adanya inersia kolon dan marker
29

yang terlokalisir di rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi pada usus bagian

belakang.

Perubahan tekanan pada rectum dan saluran anal dan rekaman elektromiografi

dapat membedakan pasien dengan konstipasi disfungsi pengeluaran dan pasien

dengan konstipasi transit lambat. Dengan mengetahui gejala-gejala sendiri tidak dapat

membedakan antara konstipasi yang disebabkan karena disfungsi dasar pelvis dan

konstipasi transit lambat, pemeriksaan fungsi dasar pelvis harus dilakukan pada

semua pasien konstipasi yang sulit disembuhkan. Selain itu, adanya transit kolon

yang terhambat tidak efektif untuk mendiagnosa konstipasi transit lambat karena

tramsit kolon juga terhambat pada pasien dengan disfungsi dasar pelvis. Defekografi

untuk mengetahui kelengkapan evakuasi rectal dan dapat menunjukkan abnormalitas

seperti rektokel, prolaps mukosa dan gerakan dasar pelvis paradoksikal.

2.4.3 Penatalaksanaan

Banyak yang dapat dilakukan dalam penatalaksaan pasien konstipasi selain

dengan pemberian laksatif. Pengembalian dan edukasi untuk memperoleh kebiasaan

usus normal sangat penting. Pasien disarankan untuk menetapkan waktu yang teratur

untuk defekasi Aktifitas harus dilakukan bagi pasien yang inaktif. Efek dari aktifitas

pada transit kolon dan konstipasi telah diteliti dan haslnya secara umum

menyebabkan penurunan waktu transit tanpa penambahan signifikan pada berat feses

dan frekuensi pergerakan usus.

Dukungan psikologis penting pada pasien dengan konstipasi yang disebabkan

oleh stress atau gangguan emosi. Pada pasien dengan konsumsi kalori yang rendah,
30

kekurangannya harus dikembalikan karena masukan kalori yang adekuat dapat

menmperbaiki transit kolon. Konsumsi makanan tinggi serat juga dianjurkan pada

pasien konstipasi. Terapi perilaku pada anak-anak dan pasien tirah baring berguna

untuk menyembukan konstipasi dan diketahui berhasil pada sekitar 80% pasien.

Terkadang operasi dibutuhkan pada beberapa kasus. Operasi perbaikan pada rektokel

dapat menyembuhkan konstipasi ketika kelainan ini merupakan penyebab utama

konstipasi.
31

2.5 Kerangka Teori

Obat

Laksatif

Penarikan Air Meningkat Penurunan Absorpsi Air Peningkatan Peristaltik

Makanan Defekasi Psikis, Penyakit, Obat

Frekuensi
Konsistensi Berat
32

2.6 Kerangka Konsep

Obat

Minyak jarak Infusa buah mengkudu

Laksatif

Peningkatan Peristaltik

Anda mungkin juga menyukai