Proses Kebijakan publik, khususnya kebijakan anti kemiskinan tidak akan lepas dari peran
paradigma. Paradigma memberikan acuan kepada setiap analis kebijakan tentang apa yang
menjadi masalah dan bagaimana cara penyelesaiannya. Dalam perkembangannya, dua
paradigma utama yang berpengaruh dalam proses kebijakan publik tersebut adalah Kapitalisme
dan Sosialisme. Kapitalisme di satu sisi menganjurkan kebijakan publik diserahkan kepada
mekanisme pasar, individualisasi kesejahteraan, kemodifikasi, dan minimalisasi peran negara.
Sebaliknya, Sosialisme menekankan keterlibatan aktif negara dalam kebijakan publik, serta
mendukung upaya menciptakan pemerataan dan keadilan sosial.
Tulisan ini menyimpulkan, bahwa perdebatan paradigmatik dalam pengembangan kebijkan anti
kemiskinan di Indonesia didominasi oleh Kapitalisme. Dominasi ini terjadi karena proses
kebijakan publik yang kapitalistik tersebut bersifat elitis dan teknokratis. Hal ini terkait dengan
dominannya peran elit intelektual serta elit negara pro pasar dalam proses kebijakan. Selain itu,
dominasi ini juga disebabkan oleh adanya tekanan lembaga keuangan global, seperti IMF.
Tekanan ini membuat Indonesia memiliki alternatif kebijakan publik yang terbatas. Lebih dari tiga
dasawarsa Orde Baru, Kapitalisme berperan besar dalam mengarahkan kebijakan publik.
Sementara era reformasi lebih merupakan sebuah keberlanjutan hegemoni kapitalisme tersebut.
Latar yang memungkinkan dominasi kapitalisme tersebut sekaligus menjelaskan kekalahan
wacana-wacana sosialistik dalam pengembangan kebijakan publik di Indonesia.
Namun demikian, kasus Indonesia memperlihatkan pula adanya dualisme paradigma dalam
praktek kebijakan publik. Di tengah dominasi kapitalisme selama Orde Baru dan pascanya,
pemerintah dalam kasus tertentu memperlihatkan keberpihakannya pada wacana-wacana
sosialistik. Seperti yang diperlihatkan oleh kebijakan Inpres desa Tertinggal mulai tahun 1994,
dan bantuan langsung tunai sebagai kompensasi atas kebijakan kenaikan harga bahan bakar
minyak pasca krisis ekonomi.