Anda di halaman 1dari 4

Marketing Politik Parpol dalam Pilgub 2010

Oleh: Burhanuddin, SH, M.Hum dan Andy Arnold

Pemilihan Umum Kepala Daerah telah menyorongkan fakta baru dalam pertarungan
memperebutkan kekuasaan politik. Kalau pada masa Orde Baru pendekatan represif menjadi
cara yang efektif untuk mengarahkan pilihan kostituen maka sejak era reformasi dibutuhkan
lebih dari sekedar kemampuan menekan atau memaksa. Para calon, Partai Politik (Parpol)
dan segenap elemen pendukung harus menggunakan metode yang lebih canggih untuk
mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Era keterbukaan dan pilihan referensi informasi yang cukup luas, memberi banyak
pilihan bagi konstituen menentukan sikap dan pilihan-pilihan politiknya. Sebuah posisi ideal
bagi konstituen dalam praktek demokrasi prosedural. Disatu sisi, kompetisi antar Parpol
untuk meraih dukungan dan simpati pemilih juga sangat berkembang. Pola dan strategi yang
dilakukan termasuk mencoba gunakan pendekatan baru dengan pemasaran politik (Politic
Marketing) menjadi semacam prasyarat untuk menunjang keberhasilan di skala nasional
maupun lokal.
Menyitir Butler dan Collins (2001), Marketing Politik tidak dapat dilihat hanya selama
masa kampanye saja. Marketing Politik sebenarnya adalah proses yang jauh lebih penting
dibandingkan proses kampanye pemilu yang bersifat temporal karena berkaitan dengan
keterikatan ideologi partai dan identitas pilihan politiknya. Apakah selama ini stakeholder
dunia politik kita telah memahami dalil ini? Tentulah khalayak pembaca mahfum adanya.
Mengurai pilihan konstituen sesungguhnya mengandung kompleksitas pendekatan sekaligus
kemampuan menjaga kesinambungan sikap politik yang ditawarkan.

Pentingnya Marketing Politik


Salah satu tujuan utama marketing politik adalah mendorong pemilih sebagai subyek
bukan obyek politik semata. Sebelumnya, beberapa studi politik para Indonesianis seperti
Herbert Feith dan Ben Anderson menunjukkan kecenderungan tipologi politik kita telah sejak
lama terpolarisasi dalam bentuk aliran-aliran tradisional ataupun massa yang sengaja
dikondisikan untuk tidak punya pemahaman ideologi politik yang kuat (floating mass) oleh
penguasa pada saat itu. Kondisi ini yang menyebabkan masyarakat atau pemilih selalu
diposisikan sebagai obyek politik. Sampai saat ini pun ada kecenderungan Parpol masih
terjebak pada praktek yang sama.
Disinilah Marketing Politik menjadi wacana penting yang dapat dipilih untuk menata
ulang konsolidasi antara Parpol dengan konstituennya. Masalah utama dalam bangun politik
kontemporer kita memang adalah relasi Parpol – masyarakat yang jauh dari kata saling
memahami. Dermody dan Scullion (2001) menawarkan pendekatan untuk menjadikan
permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal menyusun program kerja yang
ditawarkan dalam kerangka masing- masing ideologi partai. Konsep ini menekankan bahwa
program partai haruslah berangkat dari pemahaman substansi alih-alih hanya berisi buah pikir
elit partai yang kemungkinan artikulasinya tidak senada dengan aspirasi mayoritas.
Kecenderungan program Parpol ramai bermunculan hanya saat menjelang hajatan tertentu
dan praktis mengusung isu-isu jangka pendek harus mulai ditinggalkan karena dalam
marketing politik kesinambungan adalah sebuah keniscayaan.
Mengutip Firmanzah (2009), Marketing Politik setidaknya mempermudah gerak partai
karena mengandung kejelasan tahapan seperti Segmentasi pasar politik, Targetisasi pasar
politik dan positioning Parpol. Apabila diurai secara singkat ketiga tahapan ini akan
mempermudah Parpol menyebarkan platform Parpol secara lugas, gampang dicerna dan
tertanam lama dalam pemikiran politik massa. Identifikasi politik yang menyasar segmentasi
konstituen akan tergambar melalui pembahasaan politik yang akrab dan mewakili keinginan
arus besar di akar rumput. Konsekuensinya Parpol harus siap dan menghargai proses yang
panjang dan mengakumulasi berbagai wacana mendasar dalam kerangka kerjanya. Marketing
Politik mensyaratkan terbangunnya kesinambungan bukan semata pencitraan tapi image serta
reputasi politik yang kuat.
Parpol harus mampu membangun interaksi yang positif dalam relasi partai – konstituen,
parpol-parpol atau parpol-media. Hubungan ini bukan semata soal pengungkapan ideologi
partai, menarik simpati atau short term goals lainnya tapi lebih fokus pada upaya menjaga
konsistensi sikap, daya kritis terhadap kesulitan masyarakat dan keeratan ingatan kolektif
ideologis konstituen. Seperti diungkap diatas, tantangan terbesar bagi Parpol untuk efektivitas
Marketing Politiknya adalah kesabaran menghargai berjalannya proses. Sederhana tapi
sejarah menunjukkan kesabaran adalah barang yang langka dalam praktek politik bangsa ini.

Marketing Politik Parpol di Pilgub 2010


Sejauh ini, aktivitas politik jelang Pemilukada Jambi yang akan dilaksanakan medio
Juni 2010 menunjukkan bahwa Marketing Politik belum diadopsi secara maksimal. Melalui
berbagai media yang tergambar baru sebatas strategi politik dalam konsep kampanye.
Memang ini adalah konsekuensi logis karena terbatasnya waktu, logistik dan sumber daya
manusia yang dimiliki Parpol. Hanya saja, jika diperhatikan secara seksama fenomena ini
lebih disebabkan Parpol-parpol yang terlibat dalam hajatan Pemilukada Jambi sebagai
pengusung calon-calon Kepala Daerah tersebut masih berorientasi pada model pendekatan
konvensional.
Marketing Politik yang dianut Parpol-parpol tersebut masih berhenti pada pendekatan
pragmatis bahkan menjurus transaksional. Fenomena yang marak berkembang di ruang
publik adalah mobilisasi massa, penyampaian program yang sepotong-sepotong, tag line
kampanye yang bombastis dan sejenisnya. Pendekatan dengan menyisir sentimen-sentimen
kedaerahan pun masih dipilih sebagai alternatif padahal jika jeli dan memiliki konsep yang
visioner jauh-jauh hari para elit Parpol di level lokal seharusnya sudah bisa menginventarisasi
problem-problem pembangunan di Jambi, meramunya dalam sebuah konsep-program-solusi
dengan pertimbangan kesesuaian platform serta ideologi partai. Ketika persoalan yang
mengemuka di ruang publik ternyata sedemikian kompleks maka Parpol harus menentukan
fokus pergerakan program alih-alih terjebak pada isu-isu temporal yang cenderung menguras
energi dan tidak beimbas positif dalam jangka panjang.
Kami mencoba mengapungkan contoh sederhana mengenai isu yang seharusnya bisa
dikelola untuk mendapatkan simpati pemilih yaitu mengenai semakin panasnya suhu
permukaan bumi akibat pemanasan global. Tanpa harus menggunakan bahasa yang sifatnya
teknis Parpol sebagai bagian dari mesin politik Calon Kepala Daerah harus bisa membaca
keresahan masyarakat terhadap perubahan iklim yang ekstrem, curah hujan yang tak menentu
dan bencana ekologis yang diakibatkan deforestasi dan praktek pertambangan yang belum
memenuhi kaidah yang semestinya. Banyak lagi isu-isu sejenis yang bisa dijual untuk
mengelola keberadaan Parpol sebagai institusi terhormat bukan semata sebagai kendaraan
politik atau praktek-praktek banal lainnya. Keberadaan Marketing Politik seyogyanya dibaca
sebagai salah satu alternatif manajemen Parpol yang modern dan mengikuti arus perubahan di
tengah-tengah konstituennya.
Di tengah berbagai sorotan terhadap eksistensinya di level nasional maupun lokal mau
tak mau elit Parpol harus cerdas mereposisi diri baik secara individu maupun kelembagaan.
Pemilihan Gubernur Jambi yang tak lama lagi akan berlangsung bisa dijadikan awal yang
baik bagi Parpol untuk mendedah pilihan-pilihan demi keberlangsungan peran politiknya.
Marketing Politik yang komprehensif, dikelola secara profesional dan menghargai Proses
adalah salah satu alternatif yang tak ada salahnya untuk dicoba. Meski harus dingat
sebagaimana O’Shaugnessy (2001) menyatakan bahwa Marketing politik tidak menjamin
sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools bagaimana menjaga hubungan dengan pemilih
untuk membangun kepercayaan dan selanjutnya memperoleh dukungan suara di masa-masa
yang akan datang. Sebuah tantangan yang hanya bisa dijawab oleh Parpol seiring kian
bertambahnya usia demokrasi kita. (Penulis adalah Ketua STIA Muara Bungo dan
Pemerhati Masalah Politik, Sosial dan Budaya)

Anda mungkin juga menyukai