Anda di halaman 1dari 3

Mencari Pemimpin atau Pemimpi?

Oleh: Andy Arnold

Kritik tajam bahkan cenderung sarkatis kerap ditujukan sejak Pemilukada (dulu
Pilkada) secara langsung dilaksanakan. Kritik yang seharusnya tidak berkelanjutan seiring
perjalanan waktu tersebut justru kian mendapatkan ruang untuk diyakini sebagai sebuah
kebenaran ketika publik mencermati bahwa mayoritas pemilukada belum bisa menghasilkan
pemimpin daerah yang memiliki kapasitas leadership sekaligus orientasi kepemimpinan yang
citizen minded (Alchmi, 2009).
Fakta ini menunjukkan bahwa Pemilukada masih berfungsi sebagai instrument
demokrasi belaka alih-alih sebagai media merajut lahirnya kepemimpinan lokal yang kuat
dengan visi global. Realitas ironi di tengah gempita harapan pelaksanaan desentralisasi
pemerintahan yang digadang-gadang akan memberikan pemerataan dan mempersempit
ketimpangan pembangunan jawa-luar jawa. Belakangan, Pemilukada telah pula disesaki
figur-figur yang kapasitas maupun kualitasnya patut dipertanyakan. Sontak, menjadi kepala
daerah telah menjadi sebuah profesi bergengsi yang dianggap sebagai peluang a
Uraian di atas sebenarnya cukup ringkas dan kuat untuk menggambarkan guyubnya
persaingan memperebutkan kekuasaan di tingkat daerah ternyata berbanding terbalik dengan
capaian pembangunan di era otonomi daerah. Pemilukada, meskipun statement ini masih
debatable sebenarnya telah direduksi sebagai arena baru persaingan politik dengan
melibatkan beberapa aktor seperti parpol, penguasa (terutama petahana atau incumbent) dan
pengusaha. Relasi mutualistik ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar partisan politik di
daerah-daerah karena relatif memudahkan jika dilihat dari sisi akomodasi kepentingan.
Padahal berbagai studi menunjukkan bahwa konfigurasi kekuasaan yang dibangun
berdasarkan basis kepentingan adalah rapuh dan berjarak jauh dengan pemenuhan kebutuhan
pembangunan yang berkonsep, terencana dan berkelanjutan.
Sejauh ini, otonomi daerah sendiri masih menyisakan ruang besar menyangkut
efektivitas dan efisiensi dalam praktek pelaksanaannya. Ketergantungan mayoritas daerah
otonom pada Dana Alokasi Umum (DAU) untuk menjalankan pemerintahan adalah sebuah
ceruk dalam yang masih belum ditemukan jalan keluarnya. Apalagi kemudian, diketahui
alokasi terbanyak DAU justru untuk kepentingan belanja pegawai yang bisa menyedot 60-80
% anggaran. Kemudian, studi lebih lanjut menunjukkan rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD)
mayoritas daerah otonom terhadap DAU pun berada dikisaran 2 – 2,5 %. Artinya, banyak
daerah otonom yang sekedar untuk membayar gaji pegawainya pun tak bisa tertutupi melalui
PAD yang diterima.
Untuk mengurai segala kekusutan tersebut dibutuhkan seorang pemimpin yang
extraordinary. Pemimpin luar biasa yang memahami bahwa menjadi pemimpin bukanlah
pelepasan syahwat haus kekuasaan semata. Pemimpin yang sarat pemahaman tentang
problematika pembangunan daerah secara komprehensif. Tidak hanya bermodal niat atau
tekad belaka tetapi juga beramunisikan konsep-program-kinerja yang prima. Sebuah wacana
kepemimpinan ideal yang sayangnya begitu sulit terwujud melalui panggung Pemilukada.
Selama satu dekade kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah yang dapat dibaca dari
kacamata kritis adalah korupsi yang seolah bersalin rupa mengikuti deret hitung. Sejak
pelaksanaan otonomi daerah, sudah 75 Kepala daerah yang divonis hukum karena tersangkut
kasus korupsi (Litbang Kompas). Selain itu ditenggarai maraknya modus kesepakatan antara
pemodal dan calon kepala daerah apabila kelak terpilih untuk menyerahkan proyek-proyek
besar sebagai imbal jasa. Masih banyak praktek-praktek sumir lainnya terkait Pemilukada
yang sebenarnya kian menjauhkan harapan rakyat akan hadirnya seorang pemimpin yang
ideal. Inilah realitas bukan mimpi!

Mencari Pemimpin Bukan Pemimpi


Sampai di titik tersebut, kritik kritis kepada pihak-pihak yang menihilkan tujuan mulia
pelaksanaan Pemilukada seharusnya tidak dimaknai semata sebagai bentuk kecerewetan
melihat banalitas pemahaman politik konvensional yang melulu berisi konsep pencarian
kekuasaan atau setidaknya menjadi bagian dari kekuasaan. Bagaimanapun, kekuasaan adalah
sebuah amanat yang harus dipertangunggungjawabkan dalam anasir-anasir yang kompleks.
Artinya, menggenggam kekuasaan bukanlah akhir dari segalanya. Implementasi kekuasaan
yang tergambar dari kebijakan, keberpihakan pada kepentingan publik dan kinerja
profesional adalah wujud kepemimpinan yang ideal. Pemimpin yang ideal bukan hanya
menawarkan pepesan kosong dalam rupa-rupa jargon dan deretan baliho tapi harus memiliki
konsep yang matang, kepemimpinan yang kuat dan (seharusnya) rekam jejak yang bersih.
Melihat berbagai fenomena aktual di sekitar Pemilukada justru membuat kening kita
berkerenyit menahan tanya. Adakah kesadaran transenden atau alami yang mengalir ke
permukaan pada diri setiap pihak yang terlibat dalam proses suksesi kepemimpinan melalui
Pemilukada jika dikaitkan dengan paparan diatas? Pertanyaan yang terkesan naïf namun bisa
jadi berubah menjadi pertanyaan kolektif tersebut tumbuh, melihat begitu mudahnya orang
per orang memajukan diri sebakai kandidat pemimpin melalui Pemilukada. Semua berlomba,
mengedepankan narasi tentang kelayakan personal alih-alih membentangkan konsep
masalah-solusi secara cerdas dan elegan. Dominasi wacana kepantasan memimpin lebih
dipenuhi ego lokalitas, status, latar belakang sosial bahkan kekayaan dibandingkan mencoba
menawarkan kapasitas intelektual sekaligus integritas pengabdian.
Demokrasi, memberikan ruang bagi setiap insan untuk terlibat aktif dalam proses
politik. Tidak ada salahnya, apabila orang-orang beradu cepat-beradu untung untuk menjadi
pemimpin. Persoalannya, Pemilukada bukanlah ajang kontestasi atau idol-idolan yang sarat
dramatisasi dan unsur komersilnya. Pemilukada adalah media vital yang menjadi pembuka
kotak Pandora misteri kelangsungan pembangunan daerah untuk satu periode jabatan
tertentu. Kepentingan yang lebih luas yang menyangkut dimensi kehidupan rakyat tentunya
tidak bisa tersolusi hanya dengan anjangsana, sumbangan atau kunjungan simpatik saja.
Harus ada sebuah cetak biru yang jelas mengenai kepemimpinan yang ditawarkan oleh orang
per orang yang merasa pantas untuk terjun dalam Pemilukada ketimbang cuma
mengandalkan rasa percaya diri yang dibangun diatas pondasi yang rapuh.
Komedian, Will Rogers, pernah melepas komentar satir, “Politik itu mahal, bahkan
untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang”. Jika, kita mau belajar lebih dalam,
maka quote ini akan mendorong kita untuk mau menerima kenyataan lalu belajar lebih
banyak seraya mematut diri di depan cermin dan melepaskan otoktirik, “sudah layakkah
saya?”. Pemilukada bukan ajang kontes-kontesan pencarian bakat, Kalau menang, anda
(mungkin) terkenal, kaya atau makin kaya raya. Sementara kalau kalah, anda sudah pasti
dilupakan dan kehilangan banyak uang!. Pemilukada, sejatinya adalah panggung pencarian
Pemimpin bukan pemimpi(n)!
(Penulis, kerani rendahan, Mengajar di STIA Setih Setio-Muara Bungo)

Anda mungkin juga menyukai