Kritik tajam bahkan cenderung sarkatis kerap ditujukan sejak Pemilukada (dulu
Pilkada) secara langsung dilaksanakan. Kritik yang seharusnya tidak berkelanjutan seiring
perjalanan waktu tersebut justru kian mendapatkan ruang untuk diyakini sebagai sebuah
kebenaran ketika publik mencermati bahwa mayoritas pemilukada belum bisa menghasilkan
pemimpin daerah yang memiliki kapasitas leadership sekaligus orientasi kepemimpinan yang
citizen minded (Alchmi, 2009).
Fakta ini menunjukkan bahwa Pemilukada masih berfungsi sebagai instrument
demokrasi belaka alih-alih sebagai media merajut lahirnya kepemimpinan lokal yang kuat
dengan visi global. Realitas ironi di tengah gempita harapan pelaksanaan desentralisasi
pemerintahan yang digadang-gadang akan memberikan pemerataan dan mempersempit
ketimpangan pembangunan jawa-luar jawa. Belakangan, Pemilukada telah pula disesaki
figur-figur yang kapasitas maupun kualitasnya patut dipertanyakan. Sontak, menjadi kepala
daerah telah menjadi sebuah profesi bergengsi yang dianggap sebagai peluang a
Uraian di atas sebenarnya cukup ringkas dan kuat untuk menggambarkan guyubnya
persaingan memperebutkan kekuasaan di tingkat daerah ternyata berbanding terbalik dengan
capaian pembangunan di era otonomi daerah. Pemilukada, meskipun statement ini masih
debatable sebenarnya telah direduksi sebagai arena baru persaingan politik dengan
melibatkan beberapa aktor seperti parpol, penguasa (terutama petahana atau incumbent) dan
pengusaha. Relasi mutualistik ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar partisan politik di
daerah-daerah karena relatif memudahkan jika dilihat dari sisi akomodasi kepentingan.
Padahal berbagai studi menunjukkan bahwa konfigurasi kekuasaan yang dibangun
berdasarkan basis kepentingan adalah rapuh dan berjarak jauh dengan pemenuhan kebutuhan
pembangunan yang berkonsep, terencana dan berkelanjutan.
Sejauh ini, otonomi daerah sendiri masih menyisakan ruang besar menyangkut
efektivitas dan efisiensi dalam praktek pelaksanaannya. Ketergantungan mayoritas daerah
otonom pada Dana Alokasi Umum (DAU) untuk menjalankan pemerintahan adalah sebuah
ceruk dalam yang masih belum ditemukan jalan keluarnya. Apalagi kemudian, diketahui
alokasi terbanyak DAU justru untuk kepentingan belanja pegawai yang bisa menyedot 60-80
% anggaran. Kemudian, studi lebih lanjut menunjukkan rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD)
mayoritas daerah otonom terhadap DAU pun berada dikisaran 2 – 2,5 %. Artinya, banyak
daerah otonom yang sekedar untuk membayar gaji pegawainya pun tak bisa tertutupi melalui
PAD yang diterima.
Untuk mengurai segala kekusutan tersebut dibutuhkan seorang pemimpin yang
extraordinary. Pemimpin luar biasa yang memahami bahwa menjadi pemimpin bukanlah
pelepasan syahwat haus kekuasaan semata. Pemimpin yang sarat pemahaman tentang
problematika pembangunan daerah secara komprehensif. Tidak hanya bermodal niat atau
tekad belaka tetapi juga beramunisikan konsep-program-kinerja yang prima. Sebuah wacana
kepemimpinan ideal yang sayangnya begitu sulit terwujud melalui panggung Pemilukada.
Selama satu dekade kurun waktu pelaksanaan otonomi daerah yang dapat dibaca dari
kacamata kritis adalah korupsi yang seolah bersalin rupa mengikuti deret hitung. Sejak
pelaksanaan otonomi daerah, sudah 75 Kepala daerah yang divonis hukum karena tersangkut
kasus korupsi (Litbang Kompas). Selain itu ditenggarai maraknya modus kesepakatan antara
pemodal dan calon kepala daerah apabila kelak terpilih untuk menyerahkan proyek-proyek
besar sebagai imbal jasa. Masih banyak praktek-praktek sumir lainnya terkait Pemilukada
yang sebenarnya kian menjauhkan harapan rakyat akan hadirnya seorang pemimpin yang
ideal. Inilah realitas bukan mimpi!