Anda di halaman 1dari 3

Harga Intelektualitas di Pentas Politik

Oleh : Ardiman Kelihu / Peneliti Muda di Pattimura Park Corner – Ambon

Menjelang Pemilu, kerapkali orang mempertanyakan kualitas para kontestan. Tujuannya untuk menimbang
si kontestan. Apakah ia layak untuk “dibeli” di pasar elektoral ataukah tidak. Salah satu yang kerap dilakukan para
kontestan untuk “memasarkan” dirinya adalah melalui sejumlah visi dan misi di selebaran, datang di kampanye,
atau lakukan silaturahmi. Tapi apakah dengan begitu kita menjadi mudahnya bisa mengukur kualitas si calon ?.
Bisa jadi kampanye dan visi misinya di selebaran, hanyalah retorika dalam buaian ?. Bisa jadi juga dia bersilaturahmi
sekadar untuk bermanis muka. Kita-pun kesulitan untuk menerka kualitas si calon, apalagi mau menakar harga
intelektualnya di Pentas Pemilu. Meski demikian, tindakan meragukan juga penting sebelum memutuskan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa, retorika politik saja tak cukup untuk membuktikan apakah si kontestan benar
akan melakukan apa yang diucapkannya atau tidak. Bahasa politik selalu bersayap. Bahkan, beberapa politisi
justru bisa bersembunyi di balik impresi yang ia ciptakan. Ada benarnya apa yang diucapkan seorang pemimpin
militer Prancis, Charles de Gaulle, bahwa : politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru
terkejut bila rakyat mempercayainya. Dalam narasi yang persis, Noam Chomsky, juga mengingatkan itu,
bahwa bahasa politik juga punya makna ideologis yang menyembunyikan sejumlah kuasa secara bertaksa.
Ucapan de Gaulle dan Chomsky adalah alarm bagi mereka yang hanya mengandalkan kemampuan retorika
tanpa intelektualitas di pentas politik.

Bahasa politik tak bisa berhenti pada visi-visi retoris. Visi politik harus dibahasakan secara kontesktual. Ia mesti
diterjemahkan dengan kekuatan intelektual. Maksud diterjemahkan dengan kekuatan intelektual adalah, visi-misi
tersebut harus bisa di-breakdown dalam rancangan-rancangan kerja yang konkrit, dan “membumi”. Ia tak sekedar
tampil dengan gagasan-gagasan yang mengawang. Dalam kaitan itulah, peran-peran intelektual dibutuhkan
untuk menguji sejauh mana rasio sehat si kontestan bekerja ketika merumuskan visi-misinya, dan sedalam apa
Pemilu akan juga bermanfaat untuk mengedukasi publik.

Sebagai ruang rembuk demokratis, Pemilu harus bisa menguji isi kepala para kontestan. Ia bukan perayaan
procedural, melainkan ruang temu substansial. Tempat dimana publik mengadili para kontestan. Sebaliknya pula,
para kontestan tidak sekadar datang dan berbaris tanpa gagasan. Dalam pada itu, maka elektabilitas para kontestan
politik harusnya ditentukan oleh bekerjanya perangkat-perangkat intelektual. Bukan intelektulitas mereka tersapu
habis oleh popularitas yang kosong.

Pentas politik kita belakangan ini, sering kali diisi dengan bahasa-bahasa politik yang melangit, dan terkesan kosong.
Sangat jarang--bahkan mungkin belum ada, para kontestan datang dan hadir dengan blueprint dan rancangan
progamnya secara konkrit. Jika demikian, maka Pemilu belum sepenuhnya dijadikan ruang merumuskan
intelektualitas, tetapi sirkuit mengejar elektabilitas, terlebih lagi mencari popularitas.

Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan diatas, kita sebenarnya butuh kekuatan intelektual. Namun relasi politik
dan intelektual rasanya tak baik belakangan ini. Seorang Intelektual justru kerap diasingkan dari pentas politik.
Tak heran, narasi intelektual seperti tak laku di arena kekuasaan. Kita semacam punya pertanyaan yang sinis,
memangnya intelektualitas berharga di pentas politik ?. Pantaskah seorang intelektual masuk di pentas politik ?.
Pertanyaan-pertaanyaan itu tak jarang mengasingkan peran-peran intelektualitas di pentas politik. Jangan-jangan,
di pentas Pemilu, harga intelektualitas justru ditentukan oleh popularitas.

Kerja Politik = Kerja Intelektual

Belakangan ini, bahkan telah lama, narasi kerja politik lebih pada narasi kalah menang. Orang berpikir bagaimana
menang, untuk selanjutnya memikirkan bagaimana ber-intelektual (juga integritas). Akibatnya politik diartikan dalam
narasi kuantitas. Siapa yang mengumpulkan suara sebanyak mungkin. Sangat matematis, pikiran-pikiran politik
semisal ini. Politik kemudian bekerja dalam perangkat-perangkat kekuasaan saja. Politisi lebih menghitung jumlah
kepala, bukan menimbang isi kepala. Gagasan apda akhirnya tidak bekerja, namun kerja-kerja politik lebih pada
bagaimana memobilisasi jutaan kepala. Bukan bagaimana mengkonsolidasikan isi kepala. Dalam sistem kerja
seperti itulah, tak heran Pemilu kerap melahirkan orang yang surplus dukungan kuantitas, namun defisit kualitas.

Sejarah Pemilu Jerman di tahun 1930 yang melahirkan Hitler sebagai pemimpin adalah contoh bahwa Pemilu bisa
memfasilitasi seorang bejat berkuasa. Hitler yang terpilih dari kerja politik itu, kemudian dengan leluasanya dapat
membunuh 80-an anak Cekoslovakia di Kamar Gas. Bahkan, ia begitu bernafsu membantai 6-juta Yahudi kala itu.
Terlepas dari perdebatan soal apakah Holocaust (pembantaian) itu fakta ataukah fiktif, satu yang terpenting adalah,
dari cerita itu, kita belajar bahwa ruang politik yang tidak disentuh dengan kerja intelektual, pada akhirnya
menjadkan politik sebagai arena kalah-menang, terlebih lagi mengartikannya sebagai absolutas ke-berkuasa-an.
Sebuah tragedi, dimana intelektual kalah oleh kerja-kerja politik.
Sebagai ruang politik, Pemilu seyogyanya tidak dipandang sebagai pertarungan kuasa, apalagi menempatkan politik
vis a vis intelektualitas. Seakan-akan dengan politik segala perkakas intelektual dilepas, dan dengan intelektual
segala perangkat politik dihapus. Kita seharusnya memikirkan kerja politik sebagai kerja intelektual. Kerja politik
sebagai kerja-kerja yang memfasilitas mengalirnya inetelektualitas. Cara pandang opposisi binner, mengakibatkan
tidak tersedianya jalan lain bagi intelektual dan kekuasaan untuk bisa hadir secara berdampingan (Lay, 2019).

Perlu ditegaskan kembali bahwa, dalam diskursus ini Intelektualitas yang dimaksud adalah bekerjanya sejumlah
konsep-konsep ilmiah secara kritis. Pekerjanya pastilah seorang intelektual, yang jika di kampus disebut sebagai
akademisi. Dalam terminologi tersebut, maka kekuasaan politik haruslah berdiri secara dialogis. Politik
berhutang pada intelektualitas, sebaliknya intelektualitas membutuhkan politik sebagai fasilitas bekerjanya sejumlah
konsep-konsep ilmiah secara kritis.

Alarm Romo Magnis Suseno, tentang pentingnya Politik sebagai upaya mencegah pemimpin yang buruk berkuasa
patut diingat kembali sebagai dasar pikir untuk menempatkan politik sebagai kerja-kerja intelektual. Sehingga publik
diberi ruang untuk menyeleksi secara intelektual, sejumlah visi politik yang ditawarkan. Sebaliknya, seorang politisi
diberi kuasa untuk bekerja secara intelektual. Usaha-usaha ini secara langsung dapat memfilter Pemilu tidak saja
sebagai pentas kalah-menang, melainkan ruang uji intelektual. Artinya mereka yang datang sebagai kontestan
tidak hanya mengandalkan nama besar, logika asal calon, pengisi DCT (Daftar Calon Tetap), atau prasyarat
pemenuhan parlementary threeshold. Para kontestan dipaksa untuk cerdas secara politik, sebaliknya berpolitik
secara cerdas jika ingin masuk ke bursa Pemilu.

Jalan Ketiga Politik

Dahulunya Anthony Gramsci dalam tulisannya De Prison Notebooks, membagi intelektual ke dalam dua kutub yang
kontras, intelektual organik dan intelektual mekanik. Ia mengartikan intelektual organik adalah mereka yang
bertindak sebagai artikulator ideologis atau kepentingan kelas, yang kemudian dianggap harus terpisah dari
kekuasaan. Sebaliknya, intelektual mekanik adalah mereka yang bertindak sebagai antek penguasa. Definisi
membentuk pembilahan tegas antara politik dan intelektual. Para intelektual dipaksa mengambil jarak dari sebuah
kekuasaan. Akibatnya, alih-alih mengklaim diri sebagai yang kritis, ia justru jatuh dalam sinisme yang pasif.
Seseorang yang kekuatan kritiknya terpisah dari realitas dan kuasa.

Kekuasaan politik adalah kekuasaan intelektual. Argumen Gramsci itu dapat dibaca dengan perbandingan yang
diberikan Bacon dalam terma klasiknya, ipsa scientia protestas est, “bahwa pengetahuan adalah kekuasaan”.
Artinya, antara kekuasaan dan politik tidak dapat didudukan secara terpisahkan. Jika saja seorang intelektual tidak
terjun dalam kekuasaan politik, dan jika seorang politisi tidak punya intelektualitas, maka politik akan kering dengan
intelektualitas, sebaliknya intelektualitas tak bisa menjadi kuasa baru dalam mengenotrol arena kekuasaan (politik).

Salah satu akibatnya adalah, kekuasaan politik akan cenderung memanfaatkan jaringan (politic networking) yang
dimilikinya sebagai kerja kuasa. Bahkan dalam klimaksnya, ia bisa menciptakan institusi-institusi kuasa baru yang
sebenarnya hanya menjadi alat untuk mengkohokan kekuasaan. Kelak kemudian dalam institusi itu, ia memproduksi
sejumlah orang/struktur berdasarkan mekanisme “catering” (deal and request). Kekuasaan pun pada akhirnya
dipesan berdasarkan selera kuasa, bukan selera kerja. Preposisi ini bisa kita buktikan pada lembaga-lembaga yang
dikelola berdasarkan kekuatan nepotik.

Bersandar pada uraian itu, maka Pemilu sebagai arena politik tidak bisa dipisahkan dari kerja-kerja intelektual.
Pemilu harus dipandang sebagai aktifitas politik yang mendidik public sekaligus mendidik politisi.
Kita tak menginginkan pentas politik yang dianggap lumrah dengan adagium “politisi boleh berbohong tapi tak boleh
salah, sedangkan intelektual boleh salah tapi tak boleh berbohong”. Pemakluman pada adagium itu, membawa kita
untuk membiasakan kebohongan dalam dunia politik, sekaligus menjadikan para intelektual bertindak apatis pada
kekuasaan politik. Dalam pentas Pemilu yang kering intelektualitas, maka tak heran jika para intelektual pun ikut
mengambil jarak dari kekuasaan politik, bersikap netral, apatis bahkan apolitis terhadap politik. Akibat yang
berbahaya adalah Pemilu akan berulang, dan para intelektual tersubordinasi dalam relasi kuasa yang hegemonik.

Kita menginginkan intelektualitas yang peka pada kondisi politik, sebaliknya juga kuasa politik yang akomodatif pada
intelektualitas. Dengan begitu, keduanya didamaikan pada jalan politik yang ketiga. Saya ingin menamakannya
sebagai jalan Intelektualitas Politik. Sebuah peran-peran politik yang memberi harga atas intelektual. Bagi saya, baik
intelektualitas dan politik , keduanya punya harga yang sangat mahal. Kita tidak bisa menegasikan salah satunya.
Apalagi di era informatif, tempat dimana pengetahuan berkeliaran tanpa batas ruang dan waktu. Dalam jalan yang
ketiga ini keduanya punya jalan untuk berdiri dalam relasi yang mutual, dialogis dan tidak saling meniadakan.
Akibat-Akibat yang Akan Kita Tanggung

Jika intelektual dan politik terintegrasi secara mutual, adakah akibat-akibat yang bakal kita tanggung ?.
Tentu saja. Ia pasti punya implikasi tersendiri. Saya ingin membagi akibat-akibat itu dalam dua bagian. Akibat yang
pertama adalah, resistance effect of mutual (akibat resistensi karena keduanya mutual), dimana para politisi akan
merasa resisten karena berpotensi kehilangan basis masa irasional-nya, namun disisi lain mereka juga sedang
menikmati dampak positif. Ia akan menerima manfaat karena kebijakan-kebijakan diusahakan secara intelektual,
namun ia juga berpotensi kehilangan jaringan politik yang tidak intelektual, yang darisana ia memperoleh sejumlah
basis masa pendukung yang militan. Ia akan punya kepuasaan politik karena kebijakan-kebijakannya dilakukan
dengan argumentasi yang rasional, namun juga rawan kehilangan basis masa militan.

Akibat yang kedua adalah, mutual combinate, secara fungsional akan terjadi kombinasi gagasan yang mutual,
yang berdasar pada perhitungan-perhitungan intelektual yang terencana. Kebijakannya tidak saja berasal dari
pertimbangan rasionalnya, melainkan pula ditujukan untuk memberi edukasi publik. Disamping itu juga,
jika saja intelektualitas dibangun berdasarkan kombinasi kerja-kerja intelektual, maka seorang intelektual akan punya
peran-peran yang luas dan konkrit untuk melibatkan diri lebih jauh dalam kerja-kerja politik. Ia tidak akan berdiri
netral untuk menyikapi kekacauan politik.

Dalam kombinasi-kombinasi itulah, kita kemudian dapat memberi harga atas intelektualitas. Seorang intelektual
akan tetap mempertahankan identitasnya dengan mahal tanpa harus hilang kepekaan politiknya. Ia juga,
dapat menyalurkan kerja-kerja intelektualitasnya secara kritis melalui lajur-lajur kekuasaan. Sebagai pentas politik,
Pemilu juga akan dipandang sebagai sebuah kontestasi politik yang syarat intelektualitas. Ia tidak akan menjadi
lapangan kerja politik bagi mereka yang “miskin intelektualnya”, melainkan akan menjadi ruang uji intelektual,
bagi mereka yang hendak kesana.

Anda mungkin juga menyukai