Anda di halaman 1dari 29

UNIVERSITAS PADJAJARAN

TUGAS PEMBANGUNAN POLITIK

“IMPLEMENTASI DEMOKRASI KONTEKS


INDONESIA”

Nama : Achmad Dima


NPM : 170410120093
Jurusan: Ilmu Pemerintahan “A”
BAB I

LATAR BELAKANG MASALAH

Dari pelajaran sejarah kita menjadi maklum, betapa masa lalu selalu
menarik dan penting diperebutkan. Sungai waktu menjadi saksi, sejarah adalah
kisah tentang pemenang, dan jelaslah bahwa kebenaran sejarah tak ubahnya
sebuah rekonstruksi kebenaran oleh penguasa, demi memeroleh pijakan bagi
masa kininya. Memungut puing masa lalu kemudian menyusun bangunan kisah
yang lain pastilah mengandung bahaya, menjadi subversif, persis karena masa
depan begitu sulit digenggam oleh status quo.

Satu kisah malang juga menimpa demokrasi. Mungkin ia kini menjadi


salah satu kata yang paling sering diucapkan sebagai mantra sekaligus penanda,
bahwa saya adalah bagian dari dunia kebanyakan. Tetapi, olehnya pula,
demokrasi mudah jatuh dalam pengertian yang dangkal. Demokrasi lalu kawin-
mawin dengan beragam ideologi dan pemikiran, dan di negeri ini belumlah
sahih ucapan seseorang jika belum menyeru dirinya seorang ‘demokrat,’ atau
belum fasih bertutur tentang demokrasi.

Baiklah, mari kita uji ikhwal demokrasi itu sendiri, dengan belajar dari
masa lalu. Dengan resiko, kita buru-buru dituduh usang dan kuno, terlalu
romantisis, bahkan sentimentil. Namun mari dicoba, barangkali itu juga cermin
ketakutan dari hilangnya kuasa atas masa kini, persis ketika kita memeroleh
sesuatu yang berbeda dari hasil berguru ke masa lalu.

Josiah Ober dalam The Original Meaning of Democracy (2008)


dan Origin of Democracy in Ancient Greece (bersama Kurt A. Raaflaub dan
Robert Wallace, 2007) mengajukan pertanyaan provokatif, jika demokrasi
dirunut asal usulnya dari kata Yunani yang terdiri dari demos dan kratos,
dengan demos seringkali diartikan rakyat dan kratos sebagai kekuasaan, lalu
demokrasi berarti “kekuasaan oleh rakyat”. Tapi kekuasaan dalam pengertian
apa? Dalam cuaca politik modern kita lantas akan tegas menjawab, kekuasaan
memutus perkara dan pilihan atas dasar aturan oleh mayoritas. Jika demikian
halnya, Ober meneruskan, demokrasi akan menghadapi dilema: sebagai sistem
politik yang direduksi menjadi sekedar mekanisme pengambilan keputusan
berdasarkan voting, dan jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai
mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi secara inheren juga cacat
sebagai sistem politik (Kenneth Arrow,1963; Anthony Downs,1957).
Karenanya kita perlu memikirkan definisi demokrasi secara lain akibat
kedangkalan dan pemburukan makna ini.

Berguru ke masa lalu tak serta merta mengikat dan menjadi keharusan
bila makna hakiki ditemukan di masa kini. Ia menjadi normatif saat apa yang
ada sekarang dirasakan tidak memadai. Yang jelas, reduksi demokrasi pada
sekedar sebuah sistem voting, yakni penentuan putusan atas dasar suara
terbanyak, adalah mengaburkan nilai dan potensialitas demokrasi. Dalam
literatur kita mengenal setidaknya tiga model rejim: monarchia (monos =
sendiri),oligarchia (hoi oligoi = sedikit), dan demokratia. Memperhatikan tiga
model ini saja kita dapat mulai bertanya,pertama mengapa yang disebut
terakhir tidak merujuk pada jumlah? Demokrasi, dengan kata demos tak
merujuk pada jumlah melainkan pada “tubuh kolektif”.

Jelas bahwa demokrasi tidak tepat untuk disodori pertanyaan berapa


banyak yang berkuasa? Istilah Yunani yang merujuk istilah “yang banyak”
adalah hoi polloi dan sejauh kita melacak ke literatur klasik, tak ditemukan
istilah pollokratia, dan jika pun istilah poliarchia ada, itu tak lebih dari olok-
olok kemudian terhadap demokrasi oleh pendukung oligarkhi. Kedua, mengapa
yang disebut terakhir memiliki unsur bentukan yang berbeda?

Jika monarchia dan oligarchia memiliki sufiks (berakhiran) –arche,


demokrasi berakhiran –kratos. Di sini kita dapat mengajukan simpulan
sementara bahwa kratos memiliki arti atau makna yang berbeda dengan arche.
Untuk membantu kita mendedah beda yang terperam, baiklah kita menengok ke
Max Weber.

Perspektif Weberian dapat memandu kita menilik makna kratos ini,


ketika Weber membedakan Herrschaft (basis legitimasi )
dan Macht (kekuasaan belaka ) atas dasar legitimasi.
Istilah arche dan kratos dapat diteropong dari sudut legitimasi ini. Arche
memiliki makna “asal usul”, “imperium atau lembaga kekuasaan yang
hegemonik”, atau “magistrasi”. Intinya arche menunjuk pada lembaga
kekuasaan (office), baik oleh satu orang (monos) dalammonarchia atau oleh
beberapa orang (oligos), dalam oligarkhia. Sebaliknya, kratos tidak pernah
terkait dengan office(lembaga), melainkan pada power (kekuasaan).

Akan tetapi kekuasaan dalam arti apa? Ada tiga arti bagi kratos, yang
merentang dari “dominasi”, “aturan”, hingga “kapasitas”. Melalui analogi pada
istilah Yunani isokratia yang berarti akses yang sama bagi warganegara
terhadap barang publik, kratos berarti kekuasaan publik mewujudkan kebaikan
umum melalui pelaksanaan hal-hal baik di ranah publik. Dengan
demikian kratos – dalam pemakaian sebagai sufiks model-model rejim – berarti
kapasitas untuk melakukan sesuatu. Implikasinya adalah demokratia tidak
pernah berarti “demos yang memonopoli lembaga-lembaga kekuasaan”, dan
tidak sekedar bermakna “demos yang memiliki kekuasaan monopolistik di
antara pemegang kekuasaan lain dalam sebuah Negara”. Demokratia adalah
kekuatan dan kemampuan kolektif untuk bertindak mewujudnyatakan kebaikan
umum. Praktik berdemokrasi di zaman Yunani antik juga tak melulu berpusat
pada voting. Bahwa voting perlu bagi pengambilan keputusan tidak dimungkiri,
namun prinsip utamanya adalahdemos terpilin atas tubuh individual yang secara
sosial berbeda, keunikannya dihargai, dan masing-masing mampu memilih
secara bebas sesuai dengan yang dikehendaki. Bahkan mengenai siapa yang
memeroleh giliran memimpin, kita bisa lakukan undian atau lotere.

Belajar dari masa lalu, kita bertanya, sejak kapan istilah demokrasi
dipadankan dengan “kekuasaan oleh mayoritas” atau “pengambilan keputusan
melalui voting”? Tampaknya itu dimulai ketika terbit pamphlet oleh pendukung
rejim oligarkhia di abad ke-5, yang mengolok-olok demokrasi sebagai
kemerosotan akibat pemerintahan oleh “mereka yang banyak”, yakni si miskin.
Kini kita dihadapkan pada dua soal itu, pengagungan voting sebagai satu-
satunya mekanisme pengambilan keputusan dan mendaku suara terbanyak
sebagai representasi kedaulatan rakyat. Dari tilikan praktik zaman antik,
keduanya memang bagian dari sejarah, namun bukanlah contoh baik bagi
sebuah virtue(keutamaan). Barangkali terlalu mewah berbicara tentang
kebaikan umum, kesetaraan, atau kapabilitas. Kita hidup dalam mentalitas
pasar, di mana aku berjuang bagi keuntunganku, tidak lebih, dan pasar lebih
mengandaikan dan menyukai orang sebagai kerumunan, bukan jejaring individu
yang sadar akan hak dan kapasitasnya.

Membandingkan kekayaan pemikiran dan praktik masa lalu dengan


praktik dan pemikiran masa kini, kita pantas malu tatkala di abad ke-5, polemik
anti-demokrasi mengemuka dan persis mewartakan apa yang kurang lebih kita
saksikan akhir-akhir ini, bahwa hampir semua politisi memahami demokrasi
sebagai kekuasaan oleh mayoritas, dan karenanya mereka pun berlomba
menjadi pemenang, padahal kesadaran dan keikhlasan menjadi pecundang
yangfair juga bagian dari kualitas unggul. Yang di zaman lalu bahkan dihargai
dengan cara lotere, kini diutamakan, dan sebaliknya yang di masa lalu dianggap
penting yakni kesetaraan, penghargaan akan perbedaan, dan penempatanbonum
commune sebagai telos kini sama sekali tak disinggung sebagai keutamaan etis.
Menghargai kapabilitas dan kesetaraan individu berarti menyodorkan konsep,
program, mengajak diskusi dan berdebat secara sehat, tak sekedar memajang
gambar molek, slogan narsis, dan janji utopis.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penentuan anggota legislatif


dengan suara terbanyak tampaknya bagian dari kesalahpahaman terhadap
konsep inti demokrasi, di mana kedaulatan dikuantifikasi dan demokrasi
dipahami sebagai praktik kekuasaan atau penguasaan lembaga kekuasaan.
Sebaliknya kecurigaan pada oligarki oleh partai politik juga beralasan ditilik
dari elitisme dan jauhnya aktivisme partai politik tentang pendidikan politik dan
konsistensi pada fatsoen politik yang baik. Dan akhir-akhir ini diimbuhi taburan
hasil jajak pendapat, bahkan iklan yang menamai diri dengan ‘demokrasi’
namun sama sekali tak melakukan pendidikan publik, bahkan sekedar
menggiring opini publik secara dangkal.

Petaka bagi demokrasi adalah ketika ia gagal setia pada makna asali.
Lebih mengkhawatirkan jika demokrasi yang telah direduksi ini dianggap
sebagai satu-satunya pilihan yang ada, hanya karena bercermin pada partisipasi
dalam pemilihan umum yang dianggap mewakili mayoritas. Tanpa pendidikan
politik, pada akhirnya pertunjukkan politik negeri ini terasa sedemikian hambar
dan menyesatkan. Hanya bertarung melalui citra dan polesan iklan, saling
mendaku keberhasilan tapi emoh mengakui kegagalan dengan rendah hati. Di
mana-mana hantu bergentayangan siap menyandera daulat rakyat kembali
menjadi daulat tuanku. Dan agaknya pepatah kuno tetaplah nyaring bergema
‘tak ada sesuatu yang baru di muka bumi’

Demokratisasi di Indonesia adalah sebuah proses panjang yang masih


harus kita lalui dengan semua beban politiknya. Bila kita berbicara tentang
demokrasi secara formal atau prosedural, pemilu secara langsung adalah salah
satu lompatan besar bagi prestasi demokrasi Indonesia. Namun ketika kita
berbicara tentang demokrasi substansial, banyak pertanyaan dan permasalahan
yang masih harus kita jawab bersama.

Pilkada langsung menjadi sebuah perkembangan yang cukup signifikan


dalam konteks demokratisasi di Indonesia. Masyarakat Indonesia dengan
demikian telah membuka gerbang baru dengan bisa memilih secara langsung
pemimpin-pemimpin mereka dari berbagai level. Tetapi pilkada langsung
ternyata juga menghadapi polemik. Permasalahan seperti biaya yang cukup
besar untuk bisa bersaing sebagai calon kepala daerah menjadi salah satu isu
yang berkembang. Selain itu anggaran dana yang besar sekaligus celah-celah
korupsi banyak menjadi kritik atas proses pemilukada hingga saat ini.

Kontroversi mulai menguak ketika muncul RUU tentang Pemilihan


Kepala Daerah yang bertujuan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah
tidak langsung. Beban biaya dan celah korupsi yang disebutkan di paragraf
sebelumnya banyak digunakan oleh pihak yang mendukung adanya RUU
tersebut sebagai argumen untuk meloloskan RUU ini. Tetapi di sisi yang
berlawanan, RUU ini dianggap akan membuat demokrasi Indonesia mundur
kembali setelah mencapai prestasi adanya pemilihan secara langsung.
Banyak yang mulai berspekulasi akan latarbelakang dari dirumuskannya
RUU ini. Muatan politis atas perumusan RUU ini menjadi kental ketika para
pendukungnya banyak yang berasal dari kubu koalisi Merah Putih, seperti
halnya Gerindra dan PAN, yang merupakan pihak yang kalah dalam
pertarungan pilpres 2014 yang baru saja kita lewati. Adapun yang menolak
adanya RUU ini dikomandoi oleh PDIP yang merupakan pemenang pemilu. Isu
perlawanan terhadap RUU ini semakin memanas ketika Basuki Tjahaya
Purnama, Plt Gubernur DKI Jakarta, menyatakan mundur dari Gerindra yang
menjadi partai pendukung RUU tersebut. Bersamaan dengan itu perlawanan
dari kepala-kepala daerah mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur daerah
lainnya mulai turut andil melakukan protes.

Nuansa politis sebagai alasan diperjuangkannya RUU belakangan


semakin kuat. Sebagai contoh bisa kita lihat dari kursi yang ada di DPRD DKI
Jakarta dan Jawa Tengah saat ini. Bila kita pisahkan antara dua kubu, koalisi
Merah Putih (Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, Demokrat) mendapatkan 57
kursi, sedangkan koalisi Indonesia Hebat (PDIP, PKB, Hanura, Nasdem)
mendapatkan 49 kursi dari total 106 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Di Jawa Tengah koalisi Merah Putih juga mendapatkan kursi lebih
banyak dengan 56 kursi berbanding 44 kursi.[1] Menjadi menarik ketika Jawa
Tengah saat ini dikuasai oleh Kepala Daerah dari partai PDIP sedangkan DKI
Jakarta saat ini memiliki Kepala Daerah tanpa partai (dikarenakan pengunduran
diri Basuki Tjahaya Purnama). Bila kita melihat komposisi koalisi sebagai
sebuah variabel yang tetap, maka dengan mudah bisa kita katakan bahwa
koalisi Merah Putih akan menguasai pilkada berikutnya bila dilakukan
pemilihan tak langsung. Hal ini semakin menarik ketika Demokrat mengubah
arah dukungannya menuju koalisi Indonesia hebat yang membuat anggapan
bahwa koalisi Merah Putih akan menguasai pilkada menjadi dipatahkan.

Meski demikian, hal di atas tentu masih dipengaruhi oleh berbagai


faktor seperti permainan elite-elite partai di dalam DPRD dan pragmatisme
partai-partai politik. Kebenaran dalam niatan politis tersebut pun akan sulit
untuk dibuktikan. Tetapi di samping hal-hal politis semacam itu, masih ada hal
lain yang perlu dilihat dalam konteks pilkada langsung yang sejatinya dapat
dijelaskan dari segi teoritis dan fakta yang terjadi dalam konteks Indonesia. Hal
itu meliputi pertanyaan tentang bagaimana legitimasi dari masyarakat dan juga
kekuatan dari representasi politik yang ada dalam menentukan seorang kepala
daerah antara lewat pemilihan tidak langsung dan lewat pemilihan langsung
oleh rakyat.

Apakah ini demokrasi yang di melekat di negara kita? Sebetulnya


demokrasi di Indonesia itu yang seperti apa?

BAB II

PERUMUSAN MASALAH

Dengan penjelasan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, dapat


ditemui beberapa masalah, sehingga penulis mencoba merumuskan
permasalahan agar pembahasan tidak melebar dan dapat ditemukan solusi untuk
permasalahan-permasalahan tersebut;

1. Bagaimana penerapan demokrasi di Indonesia saat ini?

BAB III
LANDASAN TEORI

Pemilu merupakan sebuah produk dari Demokrasi. Tanpa Demokrasi, maka tak
akan ada yang dinamakan Pemilu. Lantas apa itu demokrasi? Kata Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang
terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau
"kekuasaan" . Demokrasi sendiri sudah berkembang pada abad ke-5 SM di
Yunani. Maka dari itu, banyak para ahli dari masa ke masa yang
mengemukakan definisi dari Demokrasi. Berikut pengertian demokrasi menurut
para ahli:

Menurut C.F. Strong

Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota


dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan
yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-
tindakannya pada mayoritas tersebut.

Menurut Samuel Huntington

Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam
sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan
berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh
suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.

Menurut Abrahan Lincoln, 1863


Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (
government of the people, by the people, and for the people).

Menurut Abdul Ghani Ar Rahhal

Di dalam bukunya, Al Islamiyyin wa Sarah Ad Dimuqrathiyyah mendefinisikan


demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh rakyat”. Rakyat adalah sumber
kekuasaan. Ia juga menyebutkan bahwa orang yang pertama kali mengungkap
teori demokrasi adalah Plato. Menurut Plato, sumber kekuasaan adalah
keinginan yang satu bukan majemuk. Definisi ini juga yang dikatakan oleh
Muhammad Quthb dalam bukunya Madzahib Fikriyyah Mu’ashirah

Pengertian Demokrasi

Dewasa ini kita mengenal banyak sekali konsep demokrasi. Ada yang
dinamakan sebagi demokrasi konstitusional, demokrasi terpimpjn, demokrasi
pancasila, demokrasi parlementer, demokrasi raktyat, demokrasi nasioanl,
bahkan akhir-akhir ini muncul suatu konsep demokrasi yang dinamakan sebagai
demokrasi asimetris. Kesemua konsep demokrasi itu jika diruntut dari asala
katanya adalah sama yaitu rakyat yang berkuasa atau government by the people.
Banyak definisi mengenai apa itu demokrasi, secara etimologi demokrasi
sendiri berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata “demos” yang artinya rakyat,
dan “cratein” yang artinya kekuasaan, jadi dapat diartikan sebagai kekuasaan
yang berada di tangan rakyat. Demokrasi sendiri lahir sebagai perlawanan pada
kekuasaan yang mutlak pada jaman abad pertengahan , dimana kekuasaan raja
dan juga dominasi gereja sangat kuat di eropa. Menurut seorang ahli yang
bernama abraham lincoln memberikan definisi mengenai demokrasi, yaitu
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
(democracy is the government from the people, by the people, and for the
people). Sedangkan Menurut Hennry B. Mayo demokrasi merupakan
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan
atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana
terjadi kebebasan politik.

Dalam perkembangannya demokrasi lahir dari pemikiran bahwa rakyat


harus terlepas dari pemerintahan yang berdasarkan pada kekuasaan penguasa
yang mutlak. Oleh karena pemikiran rakyat terus berkembang munculah suatu
konsep yang disebut sebagai demokrasi, dimana dalam konsep ini rakyat
dipandang sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Penguasa hanya di pandang
sebagai pemegang mandat yang telah rakyat berikan untuk menciptakan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang merupakan tujuan dari setiap
negara. hal tersebut melatarbelakangi lahirnya lembaga-lembaga dalam negara
yang memiliki tugas masing-masing, artinya kekuasaan itu tidak tertumpuk
pada satu pihak saja. lahirnya teori trias politica merupakan salah satu
implementasi dari demokratisasi, dimana telah adanya pemisahan kekuasaan.
konsep trias politica ini telah mengenal pembagian kekuasaan dalam proses
kenegaraannya, yaitu terdapat lembaga yang berkewajiban untuk menjalankan
konstitusi (lembaga eksekutif), membuat konstitusi (lembaga legislatif), dan
ada juga lembaga yang menjadi pengawas terhadap jalannya proses-proses
tersebut (lembaga yudikatif).

Konsep demokrasi terus berkembang dari suatu konsep yang paling


sederhana menjadi suatu konsep yang syarat akan kompleksitas yang tentunya
perubahan tersebut sejalan dengan perubahan zaman, contohnya adalah
demokrasi konstitusional pada abad ke-20 yang berdasarkan pada rule of law
dalam penyelenggaraan proses kenegaraannya. Pada periode ini berbeda dengan
pada periode sebelumnya yaitu pada peiode abad ke-19, dimana terdapat suatu
pandangan bahwa pemerintah tidak boleh turut campur dalam bidang sosial
maupun ekonomi, namun pada periode perkembangan abad ke-20 hal ini
berubah total, pasalnya pada periode ini pemerintah justru dipandang harus
turut campur dalam bidang sosial dan ekonomi. Untuk menciptakan
pemerintahan yang berdasarkan pada rule of law ini setidaknya tedapat
beberapa syarat yang harus ada, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Perlindungan konstitusional, artinya konstitusi melindungi hak-hak tiap


individu serta hak asasi manusia
b. Lembaga kehakiman yang adil dan tidak memihak
c. Pemilu yang bebas dan rahasia
d. Kebebasan untuk menyampaikan pendapat
e. Kebebasan untuk berserikat
f. Pendidikan kewarganegaraan.

Demokrasi sendiri didasari oleh beberapa nilai, yang menurut seorang ahli
bernama Henry B. Mayo nilai tersebut bergantung pada aspek historis serta
budaya politik masing-masing. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah sebgai
berikut :

a. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan melembaga. Salam


setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat serta kepentingan,
yang dalam alam demokrasi dianggap sebagai hal yang wajar untuk
diperjuangkan. Perselisihan-perselisihan ini harus dapat diselesaikan
melalui perundinga serta dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai
kompromi, konsesnsus atau mufakat. Dan dalam hal kelompok-
kelompok yang berkepentingan tidak mampu mencapai kata mufakat,
maka akan ada bahaya bahwa keadaan semacam ini dapat mengundang
kekuatan-kekuatan luar untuk campur tangan dan memaksakan dengan
kekerasan untuk mncapai kompromi atau mufakat. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa setiap pemerintah menggunakan persuasi serta
paksaan. Dalam beberapa negara, perbedaan antara dukungan yang
dipaksakan dan dukungan yang diberikan secara sukarela hanya terletak
pada intensitas dari pemakaian paksaan dan persuasi yang tadi
disebutkan. Intensitas inidapat terlihat dai sejauh mana kkuasaan
dipergunakan, saluran apa yang dipergunakan untuk melakukan
persuasi, ataupun seberapa sering perundingan dan dialog terbuka
dilaksanakan.
b. Menjamin perubahan secara damai dalam masyarakat yang sedang dan
terus berubah. Dalam setiap masyarakat yang memodernisasikan diriny
terjadi perubahan sosial, hal ini disebebkan oleh faktor-faktor seperti
kemajuan teknologi dan informasi, perubahan yang menyangkut
demografi penduduk, perubahan pola-pola perdagangan dan lain
sebagainya. Dalam hal ini pemerintah harus dapat menyesuaikan diri,
berupa penyesuaian kebijakan yang dikeluarkan dengan perubahan
yang terjadi di masyarakat, kemudian sedapat mungkin pemerintah
berkewajiban untuk membina jangan sampai perubahan ini tidak
terkendali. Sebab apabila hal ini terjadi, maka ada kemungkinan sistem
demokratis tidak akan berjalan, sehingga akan menimbulkan sistem
olitik yang diktator.
c. Mengadakan penggantian pemimpin secara teratur. Pergantian
pemimpin atas dasar keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri
sendiri, ataupun secara ekstrim dengan cara kudeta (coup d’etat),
dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar dalam demokrasi.
d. Meminimalisir pemakaian kekerasan. Golongan-golongan minoritas
yang sedikit banyak akan kena paksaan akan lebih menerimanya kalau
diberi kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi yang tebuka
dan kreatif. Mereka akan lebih terdorong untuk memberikan dukungan
sekalipun bersyarat, karena merasa turut bertanggung jawab.
e. Menganggap wajar adanya perbedaan dalam masyarakat yang tercermin
dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku.
Untuk hal ini perlu terselenggaranya ssuatu masyarakat yang terbuka
(open society) serta kebebasan-kebebasan politik (political liberties)
yang memungkinkan timbulnya fleksibilitas dan tersedianya alternatif
dalam jumlah yang cukup banyak. Dalam hubungan ini, demokrasi
sering disebut sebagai suatu gaya hdup (way of life). Tetapi
keanekaragaman perlu dijaga jagan sampai melampaui batas, sebab
disamping keanekaragaman diperlukan juga persatuan serta integrasi.
f. Menjamin tegaknya keadilan. Dalam suatu masyarakat yang demokratis
umumnya pelanggaran terhadap keadilan tidak akan terlalu sering
terjadi karena golongan-golongan terbesar diwakili dalam lembaga-
lembaga perwakilan, tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa beberapa
golongan akan merasa diperlakukan secara tidak adil. Maka yang dapat
dicapai secara maksimal ialah suatu keadilan relatif (relative justice).
Keadilan yang dapat dicapai barangali lebih bersifat kadilan dalam
jangka panjang.

Dalam upaya untuk melaksanakan nilai-nilai diatas diperlukan lembaga-


lembaga yang dapat mewujudkannya, lembaga-lembaga tersebut diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Pemerintahan yang bertanggung jawab
b. Dewan perwakilan yang mampu mewakili golongan-golongan serta
kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih dengan pemilihan
umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua
calon untuk setiap kursi. Dewan perwakilan ini mengadakan
pengawasan (kontrol), memungkinkan oposisi yang konstruktif dan
memungkinkan penilaian terhada kebijaksaan pemerintah secara
kontinu.
c. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik
(sistem dwi-partai, multi-partai). Partai-partai menyelenggarakan
hubungan yang kontinu antara masayarakat umumnya dan pemimpin-
pemimpinnya.
d. Pers dan media masa yang bebas untuk menyatakan pendapat,
e. Sistem peradilan yang bebas dalam rangka untuk menjamin tegaknya
hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan.

Berdasarkan apa yang telah di paparkan diatas, dapat disimpulakan bahwa


demokrasi merupakan suatu konsep pemerintahan yang mendasarkan pada
kedaulatan yang paling tinggi dalam suatu sistem kenegaraan berada pada
tangan rakyat, dan rakyat memberikan kedaulatannya kepada elit politik yang
berada diatas untuk melaksakan apa yang menjadi tujuan rakyat dan apa yang
rakyat kehendaki. Jika dianalogikan demokrasi bisa diibaratkan sebagai
prosesor dalam sebuah unit komputer yang akan memproses input yang berupa
tuntutan dan apa yang rakyat harapkan , serta lembaga yang akan menghasilkan
kebijakan itu bisa diibaratkan sebagai hardware yang akan menghasilkan output
dari setiap input yang dimasukan setelah melalui pemrosesan.
BAB IV

PEMBAHASAN

Implementasi demokrasi di Indonesia baru pada tahap prosedural dapat


dilihat dari tersediannya berbagai institusi demokrasi seperti partai, parlemen,
eksekutif yang berfungsi sesuai dengan aturan hukum yang ada.Namun sangat
disayangkan institusi yang ada belum mampu memenuhi keinginan dari rakyat
seperti pemenuhan tingkat kesejahtraan, perlindungan terhadap hak minoritas
dan terciptanya keadilan. Menurut Putra Erawan yang terjadi saat ini adalah
para tokoh politik yang terpilih melalui proses demokrasi justru terperangkap
dalam perangkap politik, harus ada perbaikan proses perekrutan terhadap elit
politik di Indonesia, jika ingin ada kemajuan yang lebih baik bagi
pembangunan demokrasi di Indonesia. Apalagi dengan mahalnya proses politik
menyebabkan tokoh atau elit yang ingin mengabdi pada negara tidak mampu
ikut bersaing.

Perkembangan Pilkada

Saat ini DPRD ditempatkan sebagai lembaga legislatif daerah. Namun


bila kita melihat ke belakang, DPRD ditempatkan, bersama dengan kepala
daerah, sebagai pemerintah daerah. Sehingga dengan demikian DPRD bertugas
juga sebagai eksekutif bersama dengan kepala daerah dalam mengatur
daerahnya. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menjadi
pintu awal dipisahkannya DPRD dari fungsi Pemerintah Daerah menjadi fungsi
lembaga legislatif. Namun mengacu pada UU ini, DPRD memiliki kekuasaan
yang besar karena kepala daerah bertanggung jawab langsung kepada DPRD.
Penguatan ini bertolak belakang dengan UU sebelumnya dimana kekuatan
DPRD sangat lemah karena kepala daerah akan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dilakukan ketika muncul UU


Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara
langsung seperti halnya pemilu presiden dan wakil presiden. Perubahan ini
dianggap sebagai sebuah perubahan revolusioner, terlebih karena yang menjadi
penyelenggaranya adalah KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) yang
bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Hal yang menarik adalah ketika
dalam RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, KPUD hanya ditugaskan di
dalam tahap pertama yang hanya berkutat pada masalah pendaftaran yang
bersifat administratif. Sedangkan proses kampanye, pemungutan suara, sampai
dengan perhitungan suara dilakukan oleh DPRD. Bisa dikatakan pada poin ini
bahwa KPUD tidak lagi memiliki kekuatan apapun dan DPRD sangat
mengontrol siapa yang akan terpilih sebagai Kepala Daerah.

Dari sudut pandang politik, DPRD masih bisa kita tempatkan dalam
porsi legislatif. Meski demikian pendapat dari kalangan hukum masih
menempatkan DPRD hingga saat ini sebagai perpanjangan tangan dari
birokrasi, dengan kata lain merupakan eksekutif. Apabila pendapat tersebut
benar, akan menjadi aneh jika eksekutif (gubernur) dipilih oleh eksekutif pula
(DPRD). Tetapi dalam tulisan ini kami tidak akan membahas mengenai
permasalahan hukum lebih dalam karena bukan merupakan fokus tulisan ini.

Pelaksanaan Pilkada secara langsung dapat diartikan sebagai


pengukuhan otonomi daerah. Itu terwujud dari otonomi masyarakat dalam
menentukan sendiri siapa yang akan memimpin mereka. Adanya pemilihan
secara langsung, baik di pilpres atau pilkada, memuat semangat untuk
mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Dengan adanya pemilihan secara
langsung maka seorang pemimpin yang terpilih bisa dikatakan mendapat
legitimasi yang kuat dari masyarakat. Legitimasi masyarakat itu sendiri datang
langsung dari mereka tanpa perlu direpresentasikan terlebih dahulu kepada
elite-elite partai. Sehingga bila kita lihat kembali, semangat untuk mendekatkan
pemerintah kepada rakyat akan berkurang ketika pilkada kembali tidak
langsung.

Representasi Politik yang Kuat

Lebih jauh lagi kita bisa melihat dari perspektif representasi politik.
Argumen yang berkembang dari pihak yang mendukung pemilihan oleh DPRD
salah satunya adalah bahwa para anggota DPRD telah dianggap
merepresentasikan suara masyarakat. Dengan kata lain mereka menganggap
berhak untuk memilihkan kepala daerah untuk rakyat. Pertanyaannya adalah,
masyarakat mana yang direpresentasikan? Atau dalam artian lain, apakah
semua masyarakat telah direpresentasikan?

Dalam kondisinya yang paling ideal, setiap kelompok dalam masyarakat


patut memiliki wakil politiknya masing-masing agar semua kepentingan yang
ada bisa diakomodasi dengan adil. Bila kita lihat kembali, demokrasi elektoral
yang kita lakukan di satu sisi menjadi sebuah tantangan terhadap hal itu. Perlu
diketahui terlebih dahulu bahwa representasi mau tak mau memiliki sifat
eksklusi terhadap masyarakat. Menurut Carl Schmitt, akademisi representasi
politik, ketika seorang wakil terpilih ia akan memiliki dua sifat yang berbeda.
Satu sisi sebagai seorang agen dari rakyat, dan di sisi yang lain bersifat
aristokrasi. Pergolakan antara dua sisi mata uang itu akan menentukan apakah
si wakil bertindak sebagai atasan atau sebagai bawahan rakyat. Bila kita ingin
menempatkan masyarakat sebagai atasan, seharusnya setiap tindakan dan
keputusan yang diambil oleh wakil haruslah berdasarkan persetujuan atau
pandangan dari masyarakat. Namun yang sering terjadi di Indonesia, para wakil
bertindak sesuai dengan pemikiran mereka sendiri tanpa ada sebuah mekanisme
tertentu dalam menjaring aspirasi dari masyarakat. Hal ini banyak disebabkan
oleh sudut pandang yang tidak egaliter antara wakil dengan terwakil. Mereka
yang telah menjadi wakil dianggap telah memiliki kemampuan atau pun
kelebihan, ketimbang yang memilih, untuk bisa merumuskan dan mengambil
sebuah kebijakan. Di samping itu, dalam demokrasi elektoral akan terjadi
kondisi dimana rantai representasi politik itu terputus ketika calon yang dipilih
oleh seorang pemilih tidak berhasil lolos. Dengan adanya pilkada langsung
semua persoalan tersebut bisa teratasi karena semua orang bisa memiliki hak
untuk bersuara dengan ikut pemilu. Ini berarti mereka yang tidak memilih
DPRD sekalipun, atau yang merasa sudah tidak terwakili oleh anggota DPRD
karena alasan tertentu, dapat memilih calon yang dirasanya tepat.

Sehingga mereka yang ada di DPRD pada dasarnya tidak bisa


merepresentasikan semua kepentingan dan golongan yang ada di dalam suatu
daerah. Ditambah lagi saat ini sulit untuk ditemukan konstituen dengan Party
ID (identitas partai) yang kuat. Dalam risetnya, Saiful Mujani melihat
kecenderungan kepercayaan terhadap partai politik yang semakin menurun
setiap tahunnya dari tahun 2001. Masyarakat lebih memilih untuk melihat
ketokohan seorang calon sekaligus rekam jejaknya ketimbang melihat partai
pengusungnya. Pandangan ini senada dengan yang disampaikan oleh Bernard
Manin. Ia memandang bahwa yang terjadi sekarang ini adalah ketokohan
personal seorang kandidat telah mengalahkan platform partai.
Hal paling nyata bisa kita lihat pada pemilihan presiden secara langsung
saat ini dengan pemilihan lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai pembanding. Pada pemilihan tidak langsung terakhir Gus Dur berhasil
menjadi Presiden terpilih meskipun PDIP menjadi partai dengan kursi
terbanyak pada masa itu. Permainan elite itu terjadi secara tertutup tanpa bisa
dilihat langsung oleh rakyat pada masa itu. Hal ini bisa terjadi karena adanya
permainan elite partai poros tengah yang ternyata dapat mempengaruhi hasil
akhir voting anggota dewan. Dalam konteks pilkada, kita bisa jelas melihat
contoh nyata pada pilgub DKI Jakarta yang memenangkan pasangan Jokowi-
Ahok meskipun partai Demokrat mendominasi parlemen pada masa itu.
Fenomena ini menandakan bahwa keputusan di dalam parlemen dengan
kehendak rakyat bisa berbeda hasilnya Tentu bila melihat pada bagian
sebelumnya, kepercayaan masyarakat yang kuat pada ketokohan seseorang
ketimbang partai akan sangat mempengaruhi hasil pemilu atau pilkada.

Adanya kesempatan partisipasi yang lebih besar ini akan menggiring


kita pada legitimasi kepala daerah tersebut. Dari sisi legitimasi sendiri, pilkada
langsung memiliki legitimasi yang lebih kuat dibandingkan dengan pemilihan
tidak langsung oleh DPRD. Ini dikarenakan kepala daerah tersebut mendapat
suara langsung dari rakyat. Sedangkan bila dipilih secara tidak langsung,
kepentingan-kepentingan elite partai dapat lebih mendominasi ketimbang
kebutuhan dari rakyat sendiri. Selain itu bila dipilih oleh DPRD, praktis Kepala
Daerah yang terpilih akan memiliki beban politik kepada para anggota dewan
yang telah memenangkannya. Hal ini akan berdampak pada ruang gerak yang
sempit dari Kepala Daerah terpilih dalam menerapkan kebijakan-kebijakan.
Sebaliknya, bila dipilih secara langsung, kepala daerah akan bertanggung jawab
langsung kepada rakyat yang telah memilihnya dan yang akan dikejar adalah
memuaskan rakyat ketimbang memuaskan kepentingan para elite partai atau
fraksi di DPRD. Mekanisme check and balance dapat lebih berjalan karena para
kepala daerah mendapatkan suaranya langsung dari rakyat sehingga memiliki
daya tawar yang tinggi kepada DPRD. Fungsi DPRD disini juga akan fokus
pada pengawasan kepala daerah sebagai representasi formal masyarakat.

Reformasi Partai Politik

Telah disebutkan sebelumnya bahwa konflik kepentingan yang terjadi di


dalam DPRD (atau parlemen secara umum) bersifat elitis dan sulit dijangkau
oleh rakyat. Ada jarak yang tercipta dari seorang wakil dan terwakil pada saat
mereka telah terpilih sebagai anggota DPRD. Karena arus politik di dalam
DPRD bersifat tertutup maka rakyat tidak banyak bisa melakukan intervensi
bila mereka tidak sejalan dengan apa yang dilihat oleh para wakil mereka di
DPRD. Hal ini menjadi krusial ketika permasalahannya adalah memilih kepala
daerah. Lebih dari itu tidak ada pihak pengawas yang bisa membantu
masyarakat mengawasi jalannya pemilihan kepala daerah tersebut.

Salah satu unsur dari proses politik yang tertutup adalah politik uang
yang digunakan oleh para calon kepala daerah maupun arus uang lainnya. Oleh
karena berada di dalam parlemen, sirkulasi uang akan sulit untuk bisa terlihat
oleh pantauan masyarakat luas. Sedangkan dalam pilkada langsung masyarakat
bisa ambil bagian dalam melihat bagaimana politik uang itu berjalan dalam
masa pemilu. Terlebih lagi dana kampanye pilkada langsung sudah lebih bisa
dipantau oleh masyarakat.

Sri Budi Eko Wardani, peneliti Pusat Kajian Politik Universitas


Indonesia (Puskapol UI), dalam buku Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah
dan Mitos Good Governance, memiliki pendapat yang menarik terkait dengan
politik uang. Menurut beliau dalam sistem pemilu apapun, baik itu langsung
atau tidak langsung, politik uang akan tetap ada. Bila pemilihan dilakukan tidak
langsung, maka politik uang akan terjadi untuk membeli suara para anggota
dewan. Meski demikian, hal yang dianggap lazim ini memang sulit untuk
dibuktikan secara hukum atau sulit menemukan pihak yang mau
membongkarnya. Ini bisa kita lihat sebagai turunan sifat tertutup dari pemilihan
tak langsung di DPRD.

Poin yang perlu diambil adalah bahwa biaya yang besar dari sebuah
pilkada langsung adalah hal yang perlu untuk kita hadapi. Namun terlepas dari
itu, esensi dalam mendekatkan pemimpin dengan rakyat dengan cara memilih
langsung tidak perlu untuk dicabut hanya karena permasalahan biaya tersebut.
Ada banyak mekanisme yang bisa dilakukan untuk mengontrol biaya kampanye
dan politik uang yang terjadi di pilkada tanpa harus mengebiri substansi dari
demokrasi itu sendiri seperti pembatasan dana kampanye dan kewajiban
melaporkan aset atau harta kekayaan bagi calon pemimpin daerah.

Meskipun politik uang masih akan sulit untuk diatasi, pilkada langsung
pun diyakini dapat memicu reformasi di dalam tubuh partai agar lebih diminati
oleh rakyat. Partai politik harus membuka diri mereka agar dapat memenangkan
calon yang mereka usung. Masing-masing partai didorong untuk turun langsung
ke masyarakat melihat apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh mereka. Oleh
karena dipilih secara langsung, partai politik harus bekerja ekstra keras untuk
bisa menarik hati masyarakat dengan memberikan jawaban-jawaban atas
permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Mereka akan didorong untuk
memperkenalkan calon-calon mereka secara terbuka dan akan menerima
penilaian langsung pula dari masyarakat.
Dengan demikian partai-partai politik akan lebih didorong untuk
melihat kebutuhan apa sebenarnya yang menjadi urgensi dan keprihatinan dari
masyarakat. Hal ini tentu akan memicu partai pengusung seorang calon kepala
daerah untuk menjual program-program mereka dalam mengatasi berbagai
masalah yang ada di daerah tersebut, dan yang paling utama program tersebut
dapat dinilai secara langsung oleh seluruh masyarakat. Alhasil fungsi rekrutmen
dari partai politik dapat lebih tepat sasaran meskipun banyak tantangan yang
harus dihadapi dengan serius.

Melihat demokrasi Indonesia saat ini, patut kita soroti poin


penting dalam kekuasaan sendiri, Ketika Televisi menayangkan iklan Rano
Karno, yang tengah merayu penonton agar memilih pasangannya sebagai bupati
dan wakil bupati Tangerang, sesungguhnya itu bukan pertama kalinya seorang
mantan selebriti tenar muncul di TV. Jauh hari sebelumnya, Rano Karno sudah
dikenal masyarakat Tangerang, sebagai artis terkenal terutama melalui serial Si
Doel Anak Sekolahan.

Berbekal popularitas plus iklan media, tak heran jika Rano Karno
berhasil menghantarkan pasangannya sebagai orang nomor satu di Tangerang,
dalam pemilihan kepala daerah. Kasus ini menunjukkan, popularitas yang
dibangun melalui media seperti TV, cukup efektif dalam mengatrol citra calon
pemimpin.

Persoalannya, jika dikaitkan dengan demokrasi, sejauh mana televisi


sebagai media iklan bagi calon kepala daerah, mampu menghasilkan kualitas
demokrasi? Dari fakta, hanya calon yang memiliki uang yang mampu
memasang iklan dan membangun citra diri (termasuk merayu agar memilih
dirinya). Dari sini saja bisa dikatakan, demokrasi telah didistorsikan oleh
kepemilikan uang. Siapa yang berkuasa atas uang dan media, besar
kemungkinan akan mendulang perolehan suara. Artinya, proses demokrasi
masih tetap dikangkangi oleh hubungan kekuasaan dan kepemilikan di ranah
kekuatan produksi, berupa modal dan media.

Fakta lainnya, setelah pemilihan berakhir, yang tersisa adalah kekalahan


bagi rakyat, karena tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi
dan politik, yang dilakukan oleh pasangan yang menang. Sebab, iklan tak lebih
dari promosi diri. Apa yang bisa diharapkan dari tayangan satu dua detik?

TV bukanlah media yang netral atau tanpa kepentingan ekonomi-politik.


Sebagaimana telah ditunjukkan banyak pengamat kirits, TV adalah sebuah
kekuatan yang berpihak dan berusaha mengarahkan masyarakat ke dalam gaya
hidup tertentu. Melalui tayangan-tayangannya, TV mengonstruksi cara berpikir
masyarakat. Tujuannya, mengarahkan pola pikir masyarakat sesuai selera TV.
TV dengan demikian, menjadi aparat utama dalam mencetak generasi yang
kondusif bagi pelanggengan tatanan kapitalis, yang menginginkan keuntungan
dengan cara merubah corak budaya masyarakat.

Berkaitan dengan itu, sesungguhnya media seperti TV, hanya


menjadikan masyarakat sebagai pemuja para elit, terutama selebriti. Kritisisme
dan tindakan partisipatif warga agar bisa mengontrol elit, justru menjadi hal
yang menakutkan. Padahal, demokrasi berjalan dan mencapai arah kematangan
jika kesadaran masyarakat tercipta. Akibatnya, industrialisasi media kapitalis
menciptakan—apa yang disebut Alex Comfort sebagai— “masyarakat
penonton” yang “berjejal-jejal tetapi kesepian, dipandang dari segi teknik sama
sekali tidak merasa aman, dikendalikan oleh suatu mekanisme tata tertib yang
rumit tetapi, tidak bertanggungjawab terhadap individu”.Tak heran jika sejak
awal, sosiolog ternama seperti C. Wright Mills, mengajukan pandangan yang
pesimistik terhadap fungsi media. Dalam bukunya “The Power Elite” (1956),
Mills mengutuk fungsi media yang lebih berfungsi sebagai instrument
fasilitator dari apa yang disebutnya “kebutahurufan psikologis.” Mills juga
memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo-world), yang
menyajikan realitas eksternal dan pengalaman internal serta penghancuran
privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang
masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi.”

Ketika tampil di TV dalam bentuk iklan untuk mencoblos, calon kepala


daerah memang telah berhasil memasuki dunia pencitraan. Pencitraan tentu saja
adalah dunia yang tidak sesuai dengan realitas sejatinya, ia adalah representasi
dan citra (image). Dan ketika dunia citra menjadi dominan, masyarakat lupa
pada aspek yang paling riil dari hidupnya. Misalnya, bagaimana mereka dapat
mencukupi kebutuhan akan makan, sekolah anak, harga-harga yang terjangkau,
dan masa depan yang aman dari pemenuhan kebutuhan ekonomis mereka.

Ketika saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) akan
dilakukan di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur, di masyarakat juga terjadi keresahan yang luar biasa: harga kebutuhan
bahan pokok melonjak drastis, bencana datang silih berganti. Rentetan kejadian
ini menjelaskan, krisis kesejahteraan itu masih sedang dan akan terjadi hingga
waktu yang belum jelas.

Tetapi, dunia TV telah menciptakan masyarakat imagologis yang akut, akibat


serangan beruntun media pada kesadaran masyarakat. Sehingga, apa yang
muncul di TV, dunia imagologis itu, seakan adalah yang nyata dan justru dirasa
paling ‘nyambung’ dengan kebutuhan (psikologis) mereka. Karenanya,
kehadiran calon kepala daerah melalui (iklan yang dibuat di) TV, punya peran
dalam memperkuat legitimasi mereka. Tampil di TV akan menambah kekuatan
seperti kewibawaan, kecerdasan, modern, dan menjelaskan pemenuhan
kebutuhan masyarakat.

KESIMPULAN

Melihat hal di atas, dapat dikatakan pilkada langsung akan memberikan


akses kontrol masyarakat yang lebih luas ketimbang pemilihan tidak langsung.
Dengan adanya pilkada langsung, seluruh komponen masyarakat, baik yang
merasa terwakili oleh wakil di parlemen atau pun tidak, dapat menentukan
sendiri siapa yang akan memimpin. Ketidakpercayaan terhadap partai politik
bisa diatasi dengan adanya cara memilih langsung siapa yang rakyat anggap
cocok untuk memimpin mereka. Partai politik juga didorong untuk melihat
langsung apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga, partai politik akan
bekerja secara optimal dalam menyodorkan nama-nama yang kredibel untuk
memimpin daerah dan langsung dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Calon pemimpin daerah yang terpilih juga akan memiliki legitimasi


yang lebih kuat dibandingkan dengan apabila ia dipilih oleh DPRD. Kebijakan-
kebijakan yang dihasilkan pun akhirnya akan bertujuan untuk memuaskan
kebutuhan masyarakat dibandingkan kepentingan elite-elite di DPRD semata.
Terkait dengan borosnya biaya politik yang harus dikeluarkan,
sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan ini, hal tersebut bisa diatasi dengan
cara-cara yang lebih bijak tanpa harus mengebiri substansi dari demokrasi itu
sendiri. Pada akhirnya, kita akan dihadapkan pada dua pilihan yang sebenarnya
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun berdasarkan
analisis yang sudah dipaparkan, saya percaya bahwa pilkada langsung
merupakan jalan yang lebih baik untuk memperkuat kedaulatan rakyat menuju
konsolidasi demokrasi yang diimpikan.

Masalahnya, dalam kehidupan struktur sosial yang eksploitatif


kini, media informasi dan komunikasi telah mendesain dunia manusia dan
kebutuhannya, menjadi dunia semu (hyperreality). Dalam dunia seperti itu,
sandaran eksistensial manusia tak lagi ditemukan pada realitas sejati yang
kuantitatif tetapi, pada dunia citra yang dibentuk oleh media (terutama TV).

Kondisi ini menyebabkan masyarakat hidup dengan kesadaran yang


palsu, terbalik, dan goncangnya dunia kenyataan menjadi dunia ilusi. Persis
seperti masyarakat feudal menyebarkan dongeng-dongeng agar massa rakyat
percaya pada kaum elit bangsawan dan raja-raja, sehingga rakyat mau
membayar upeti dan mempersembahkan semua hasil kerjanya pada kalangan
raja. Dan raja di era (pos)industrialisasi adalah media.

Inilah kenyataan hari ini. Media telah menjadi tentara yang efektif dari dunia
citra, untuk mengalahkan dunia nyata. Maka tak aneh banyak yang
berpendapat, jika ingin menguasai medan pertempuran politik, sangat penting
untuk menguasai dan memanfaatkan media.

DAFTAR PUSTAKA

 B.N Marbun, S.H, DPRD: Pertumbuhan dan Cara Kerjanya (Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 2006)
 RUU Tentang Pemilihan Kepala Daerah tahun 2014
 Pheni Chalid, et al., Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah Dan
Mitos Good Governance (Jakarta: Partnership for Governance Reform
In Indonesia dan Pusat Kajian Politik, 2005)
 Nuri Soeseno, Representasi Politik: Perkembangan Dari Ajektiva Ke
Teori (Depok: Pusat Kajian Politik, 2013)
 Saiful Mujani , R. William Liddle, Kuskridho Ambardi, Kuasa
Rakyat (Jakarta: Mizan,2012)
 Budirdjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009
 Hikam, Muhammad. Civil Society. Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996

Anda mungkin juga menyukai