Dari pelajaran sejarah kita menjadi maklum, betapa masa lalu selalu
menarik dan penting diperebutkan. Sungai waktu menjadi saksi, sejarah adalah
kisah tentang pemenang, dan jelaslah bahwa kebenaran sejarah tak ubahnya
sebuah rekonstruksi kebenaran oleh penguasa, demi memeroleh pijakan bagi
masa kininya. Memungut puing masa lalu kemudian menyusun bangunan kisah
yang lain pastilah mengandung bahaya, menjadi subversif, persis karena masa
depan begitu sulit digenggam oleh status quo.
Baiklah, mari kita uji ikhwal demokrasi itu sendiri, dengan belajar dari
masa lalu. Dengan resiko, kita buru-buru dituduh usang dan kuno, terlalu
romantisis, bahkan sentimentil. Namun mari dicoba, barangkali itu juga cermin
ketakutan dari hilangnya kuasa atas masa kini, persis ketika kita memeroleh
sesuatu yang berbeda dari hasil berguru ke masa lalu.
Berguru ke masa lalu tak serta merta mengikat dan menjadi keharusan
bila makna hakiki ditemukan di masa kini. Ia menjadi normatif saat apa yang
ada sekarang dirasakan tidak memadai. Yang jelas, reduksi demokrasi pada
sekedar sebuah sistem voting, yakni penentuan putusan atas dasar suara
terbanyak, adalah mengaburkan nilai dan potensialitas demokrasi. Dalam
literatur kita mengenal setidaknya tiga model rejim: monarchia (monos =
sendiri),oligarchia (hoi oligoi = sedikit), dan demokratia. Memperhatikan tiga
model ini saja kita dapat mulai bertanya,pertama mengapa yang disebut
terakhir tidak merujuk pada jumlah? Demokrasi, dengan kata demos tak
merujuk pada jumlah melainkan pada “tubuh kolektif”.
Akan tetapi kekuasaan dalam arti apa? Ada tiga arti bagi kratos, yang
merentang dari “dominasi”, “aturan”, hingga “kapasitas”. Melalui analogi pada
istilah Yunani isokratia yang berarti akses yang sama bagi warganegara
terhadap barang publik, kratos berarti kekuasaan publik mewujudkan kebaikan
umum melalui pelaksanaan hal-hal baik di ranah publik. Dengan
demikian kratos – dalam pemakaian sebagai sufiks model-model rejim – berarti
kapasitas untuk melakukan sesuatu. Implikasinya adalah demokratia tidak
pernah berarti “demos yang memonopoli lembaga-lembaga kekuasaan”, dan
tidak sekedar bermakna “demos yang memiliki kekuasaan monopolistik di
antara pemegang kekuasaan lain dalam sebuah Negara”. Demokratia adalah
kekuatan dan kemampuan kolektif untuk bertindak mewujudnyatakan kebaikan
umum. Praktik berdemokrasi di zaman Yunani antik juga tak melulu berpusat
pada voting. Bahwa voting perlu bagi pengambilan keputusan tidak dimungkiri,
namun prinsip utamanya adalahdemos terpilin atas tubuh individual yang secara
sosial berbeda, keunikannya dihargai, dan masing-masing mampu memilih
secara bebas sesuai dengan yang dikehendaki. Bahkan mengenai siapa yang
memeroleh giliran memimpin, kita bisa lakukan undian atau lotere.
Belajar dari masa lalu, kita bertanya, sejak kapan istilah demokrasi
dipadankan dengan “kekuasaan oleh mayoritas” atau “pengambilan keputusan
melalui voting”? Tampaknya itu dimulai ketika terbit pamphlet oleh pendukung
rejim oligarkhia di abad ke-5, yang mengolok-olok demokrasi sebagai
kemerosotan akibat pemerintahan oleh “mereka yang banyak”, yakni si miskin.
Kini kita dihadapkan pada dua soal itu, pengagungan voting sebagai satu-
satunya mekanisme pengambilan keputusan dan mendaku suara terbanyak
sebagai representasi kedaulatan rakyat. Dari tilikan praktik zaman antik,
keduanya memang bagian dari sejarah, namun bukanlah contoh baik bagi
sebuah virtue(keutamaan). Barangkali terlalu mewah berbicara tentang
kebaikan umum, kesetaraan, atau kapabilitas. Kita hidup dalam mentalitas
pasar, di mana aku berjuang bagi keuntunganku, tidak lebih, dan pasar lebih
mengandaikan dan menyukai orang sebagai kerumunan, bukan jejaring individu
yang sadar akan hak dan kapasitasnya.
Petaka bagi demokrasi adalah ketika ia gagal setia pada makna asali.
Lebih mengkhawatirkan jika demokrasi yang telah direduksi ini dianggap
sebagai satu-satunya pilihan yang ada, hanya karena bercermin pada partisipasi
dalam pemilihan umum yang dianggap mewakili mayoritas. Tanpa pendidikan
politik, pada akhirnya pertunjukkan politik negeri ini terasa sedemikian hambar
dan menyesatkan. Hanya bertarung melalui citra dan polesan iklan, saling
mendaku keberhasilan tapi emoh mengakui kegagalan dengan rendah hati. Di
mana-mana hantu bergentayangan siap menyandera daulat rakyat kembali
menjadi daulat tuanku. Dan agaknya pepatah kuno tetaplah nyaring bergema
‘tak ada sesuatu yang baru di muka bumi’
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
BAB III
LANDASAN TEORI
Pemilu merupakan sebuah produk dari Demokrasi. Tanpa Demokrasi, maka tak
akan ada yang dinamakan Pemilu. Lantas apa itu demokrasi? Kata Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang
terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau
"kekuasaan" . Demokrasi sendiri sudah berkembang pada abad ke-5 SM di
Yunani. Maka dari itu, banyak para ahli dari masa ke masa yang
mengemukakan definisi dari Demokrasi. Berikut pengertian demokrasi menurut
para ahli:
Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam
sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan
berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh
suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.
Pengertian Demokrasi
Dewasa ini kita mengenal banyak sekali konsep demokrasi. Ada yang
dinamakan sebagi demokrasi konstitusional, demokrasi terpimpjn, demokrasi
pancasila, demokrasi parlementer, demokrasi raktyat, demokrasi nasioanl,
bahkan akhir-akhir ini muncul suatu konsep demokrasi yang dinamakan sebagai
demokrasi asimetris. Kesemua konsep demokrasi itu jika diruntut dari asala
katanya adalah sama yaitu rakyat yang berkuasa atau government by the people.
Banyak definisi mengenai apa itu demokrasi, secara etimologi demokrasi
sendiri berasal dari bahasa yunani yaitu dari kata “demos” yang artinya rakyat,
dan “cratein” yang artinya kekuasaan, jadi dapat diartikan sebagai kekuasaan
yang berada di tangan rakyat. Demokrasi sendiri lahir sebagai perlawanan pada
kekuasaan yang mutlak pada jaman abad pertengahan , dimana kekuasaan raja
dan juga dominasi gereja sangat kuat di eropa. Menurut seorang ahli yang
bernama abraham lincoln memberikan definisi mengenai demokrasi, yaitu
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
(democracy is the government from the people, by the people, and for the
people). Sedangkan Menurut Hennry B. Mayo demokrasi merupakan
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang didasarkan
atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana di mana
terjadi kebebasan politik.
Demokrasi sendiri didasari oleh beberapa nilai, yang menurut seorang ahli
bernama Henry B. Mayo nilai tersebut bergantung pada aspek historis serta
budaya politik masing-masing. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah sebgai
berikut :
PEMBAHASAN
Perkembangan Pilkada
Dari sudut pandang politik, DPRD masih bisa kita tempatkan dalam
porsi legislatif. Meski demikian pendapat dari kalangan hukum masih
menempatkan DPRD hingga saat ini sebagai perpanjangan tangan dari
birokrasi, dengan kata lain merupakan eksekutif. Apabila pendapat tersebut
benar, akan menjadi aneh jika eksekutif (gubernur) dipilih oleh eksekutif pula
(DPRD). Tetapi dalam tulisan ini kami tidak akan membahas mengenai
permasalahan hukum lebih dalam karena bukan merupakan fokus tulisan ini.
Lebih jauh lagi kita bisa melihat dari perspektif representasi politik.
Argumen yang berkembang dari pihak yang mendukung pemilihan oleh DPRD
salah satunya adalah bahwa para anggota DPRD telah dianggap
merepresentasikan suara masyarakat. Dengan kata lain mereka menganggap
berhak untuk memilihkan kepala daerah untuk rakyat. Pertanyaannya adalah,
masyarakat mana yang direpresentasikan? Atau dalam artian lain, apakah
semua masyarakat telah direpresentasikan?
Salah satu unsur dari proses politik yang tertutup adalah politik uang
yang digunakan oleh para calon kepala daerah maupun arus uang lainnya. Oleh
karena berada di dalam parlemen, sirkulasi uang akan sulit untuk bisa terlihat
oleh pantauan masyarakat luas. Sedangkan dalam pilkada langsung masyarakat
bisa ambil bagian dalam melihat bagaimana politik uang itu berjalan dalam
masa pemilu. Terlebih lagi dana kampanye pilkada langsung sudah lebih bisa
dipantau oleh masyarakat.
Poin yang perlu diambil adalah bahwa biaya yang besar dari sebuah
pilkada langsung adalah hal yang perlu untuk kita hadapi. Namun terlepas dari
itu, esensi dalam mendekatkan pemimpin dengan rakyat dengan cara memilih
langsung tidak perlu untuk dicabut hanya karena permasalahan biaya tersebut.
Ada banyak mekanisme yang bisa dilakukan untuk mengontrol biaya kampanye
dan politik uang yang terjadi di pilkada tanpa harus mengebiri substansi dari
demokrasi itu sendiri seperti pembatasan dana kampanye dan kewajiban
melaporkan aset atau harta kekayaan bagi calon pemimpin daerah.
Meskipun politik uang masih akan sulit untuk diatasi, pilkada langsung
pun diyakini dapat memicu reformasi di dalam tubuh partai agar lebih diminati
oleh rakyat. Partai politik harus membuka diri mereka agar dapat memenangkan
calon yang mereka usung. Masing-masing partai didorong untuk turun langsung
ke masyarakat melihat apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh mereka. Oleh
karena dipilih secara langsung, partai politik harus bekerja ekstra keras untuk
bisa menarik hati masyarakat dengan memberikan jawaban-jawaban atas
permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Mereka akan didorong untuk
memperkenalkan calon-calon mereka secara terbuka dan akan menerima
penilaian langsung pula dari masyarakat.
Dengan demikian partai-partai politik akan lebih didorong untuk
melihat kebutuhan apa sebenarnya yang menjadi urgensi dan keprihatinan dari
masyarakat. Hal ini tentu akan memicu partai pengusung seorang calon kepala
daerah untuk menjual program-program mereka dalam mengatasi berbagai
masalah yang ada di daerah tersebut, dan yang paling utama program tersebut
dapat dinilai secara langsung oleh seluruh masyarakat. Alhasil fungsi rekrutmen
dari partai politik dapat lebih tepat sasaran meskipun banyak tantangan yang
harus dihadapi dengan serius.
Berbekal popularitas plus iklan media, tak heran jika Rano Karno
berhasil menghantarkan pasangannya sebagai orang nomor satu di Tangerang,
dalam pemilihan kepala daerah. Kasus ini menunjukkan, popularitas yang
dibangun melalui media seperti TV, cukup efektif dalam mengatrol citra calon
pemimpin.
Ketika saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) akan
dilakukan di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur, di masyarakat juga terjadi keresahan yang luar biasa: harga kebutuhan
bahan pokok melonjak drastis, bencana datang silih berganti. Rentetan kejadian
ini menjelaskan, krisis kesejahteraan itu masih sedang dan akan terjadi hingga
waktu yang belum jelas.
KESIMPULAN
Inilah kenyataan hari ini. Media telah menjadi tentara yang efektif dari dunia
citra, untuk mengalahkan dunia nyata. Maka tak aneh banyak yang
berpendapat, jika ingin menguasai medan pertempuran politik, sangat penting
untuk menguasai dan memanfaatkan media.
DAFTAR PUSTAKA