sumber: https://worldhistory.us/
Rakyat Athena sangat berkomitmen dalam urusan politik sehingga ada yang bilang pekerjaan
mereka adalah berpolitik. Bahkan obrolan mereka sehari-hari adalah tentang negara dan politik.
Thucydides pernah bilang gini: “Konstitusi kita disebut demokrasi karena kekuatan ada di
tangan seluruh rakyat, bukan di tangan minoritas… Di sini, masing-masing individu tak hanya
mengurusi urusan pribadi mereka tapi juga urusan negara.”
Pada sekitar 430 SM, Athena terlibat perang dengan Sparta di perang Peloponnesos. Sparta
adalah sebuah negara dengan sistem oligarki militeristik; semua warganya diwajibkan menjadi
tentara. Tak ayal, Athena pun kalah, hancur, bahkan sebagian rakyatnya jadi budak. Tetapi,
kemudian Athena bangkit kembali dengan babak baru kelahiran gerakan filsafat dari kaum Sofis.
Sebagai gerakan beraliran pragmatisme, Sofisme menganggap kebenaran itu relatif dan bisa
ditentukan manusia. Beberapa dari mereka bahkan mengatakan kebenaran itu tidak ada.
Di masa ini, lahirlah seorang filsuf bernama Socrates. Dia adalah sosok yang sangat kritis dalam
mencari kebenaran hakiki. Ia mengecam pandangan pragmatisme Sofis karena menurutnya,
manusia harus punya tolak ukur tentang kebenaran dan moral, yaitu lewat akal. Socrates juga
suka keliling kota dan mengutarakan pertanyaan kepada orang-orang untuk mengecek kebenaran
yang mereka yakini. Karena itulah, Socrates disebut sebagai penganut Skeptisisme. Tapi, gara-
gara itu, Socrates malah dianggap sesat dan membuat onar negara. Dia diadili dengan cara
‘demokratis’ ala Athena, yaitu ratusan orang diberikan hak voting apakah Socrates harus
dihukum mati atau tidak. Hasil voting-nya? Dia dihukum mati.
Jadi, inilah inti dari konsep demokasi. Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) yang berarti
suara rakyat (atau suara mayoritas) adalah kebenaran. Rakyat adalah pemimpin. Ketika
mayoritas menyatakan Socrates bersalah, ya itulah kebenaran. Ketika mayoritas mengatakan
seorang koruptor tidak perlu dihukum, ya itulah yang harus terjadi.
Kematian Socrates memancing amarah dari muridnya sendiri bernama Plato. Plato menjadi
orang yang skeptis terhadap demokrasi karena gurunya sendiri menjadi korban dari sistem itu.
Oh ya, sebelumnya, Socrates sendiri juga skeptis dengan demokrasi. Lewat buku yang ditulis
Plato, Socrates menunjukkan kekurangan demokrasi dengan membandingkannya dengan kapal.
Kira-kira begini kata-katanya: Kalau lo sedang berlayar dengan kapal, siapa yang lebih baik
memimpin kapal itu? Bolehkah semua kru diberi hak memimpin? Ataukah lebih baik orang yang
lebih berpendidikan tentang urusan laut dan kapal? Mengapa rakyat yang tidak punya
kemampuan, pengalaman, dan pendidikan diperbolehkan memilih pemimpin (dan artinya suara
rakyat dianggap sebagai kebenaran)?
Untuk itulah, Plato mengatakan demokrasi itu berlawanan dengan kebenaran. Seperti halnya kita
ingin seorang dokter profesional mengerjakan operasi jantung, begitu pula urusan negara yang
lebih baik dijalankan oleh orang-orang ahli karena mereka lebih tahu kebenaran. Dalam
bukunya, Republic, Plato mengatakan bahwa negara itu harus diatur oleh sekelompok kecil orang
dengan pendidikan tinggi (ini disebut dengan aristokrasi). Dan, sekelompok kecil orang ini tidak
dipilih oleh rakyat (bukan demokrasi).
Ketidaksukaan Plato terhadap demokrasi bukan hanya karena apa yang terjadi dengan gurunya.
Tetapi, ia juga melihat demokrasi memicu ketidakstabilan politik Athena yang menyebabkan
kekalahan perang dengan Sparta. Plato justru memuji sistem oligarki Sparta karena minim
konflik kepentingan ketika dikuasai oleh sekelompok kecil orang. Justru di negara demokrasi,
setiap individu menjadi terlalu bebas melakukan apapun dengan absennya pengontrolan dari
negara. Setiap hal-hal buruk seperti kekerasan, kekacauan, dan ketidakbermoralan dibenarkan
atas nama kebebasan.
Jadi, dari penjelasan di atas, mungkin kita jadi ikutan skeptis tentang demokrasi. Benarkah
demokrasi adalah sistem terbaik yang sering digadang-gadang?
Wait a minute. Pertama-tama, harus kita ketahui bahwa Plato itu mengkritik demokrasi versi
Athena yang sebenarnya tidak betul-betul demokratis juga. Loh, kok bisa? Jadi, ternyata, ‘rakyat’
yang dibilang aktif berpolitik, yang punya hak suara, yang ikut berdiskusi di Assembly
sebenarnya terbatas pria dewasa dan ‘bebas’ saja. Perempuan dan budak tidak punya hak-hak
tersebut. Ini jelas berbeda dengan demokrasi versi lain (sepeti di masa modern) di mana semua
warga dengan status gender dan ekonomi apapun bisa ikut berpartisipasi.
Terlepas dari itu, konsep Plato tentang dikotomi demokrasi versus kebenaran tetap menarik
untuk kita bicarakan. Di kelas Teori Politik Klasik kemarin, dosenku bertanya tentang
keberpihakan kami di antara kedua posisi itu. Dosenku mengandaikan, jika mayoritas anak di
kelas kami setuju untuk membunuh si A walaupun dia tidak bersalah, apakah itu legitimate?
“Apakah Anda berpihak ke suara mayoritas untuk membunuh si A atau Anda berpihak kepada
kebenaran bahwa si A tidak bersalah dan tidak boleh dibunuh?” Pilihan kita akan mencerminkan
keberpihakan kita kepada demokrasi atau Plato.
Pertanyaan menarik kedua: bolehkah seorang penyanyi dangdut nyalon hanya karena
‘kepopulerannya’ (bukan terpilih karena dipercaya mampu memimpin)? Kalau Anda menolak
itu, Anda akan dicap tidak demokratis, karena dalam sistem demokrasi, semua orang berhak
berpartisipasi dalam pemerintahan.
Dari pertanyaan di atas, aku menolak untuk berpihak ke salah satu. Akalku mengatakan, kita
tidak perlu membuat dikotomi demokrasi versus kebenaran. Keduanya sangat mungkin
diintegrasikan. Nah, di sini, kita bisa mengintip apa yang dinyatakan oleh Pancasila. Dalam sila
keempat Pancasila, ada kalimat seperti ini: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan…” Itu artinya, Pancasila memerhatikan suara rakyat, namun rakyat tersebut harus
dipimpin oleh orang yang bijaksana (yang punya lebih banyak pengetahuan). Itu artinya, orang
yang berhak nyalon haruslah orang yang bijaksana (penyanyi dangdut itu otomatis blacklisted)
sehingga pilihan rakyat yang demokratis pastilah menghasilkan pemimpin yang oke, bukan yang
malah menghancurkan negara. Agar ada calon pemimpin yang bijaksana, berarti harus ada
peraturan ketat dari segi tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang negara.
Maka, kita bisa bilang bahwa demokrasi ala Pancasila adalah demokrasi aristokrasi. Sebaliknya,
penyataan bahwa ‘melarang penyanyi dangdut nyalon berarti tidak demokratis’ berasal dari
pandangan demokrasi liberal yang tidak membatasi siapa yang berhak jadi pemimpin.
Jika kita perhatikan, sekarang ini Indonesia tidak menjalankan demokrasi ala Pancasila itu.
Masak syarat pendidikan seorang presiden minimal SMA? Bukannya merendahkan lulusan
SMA, tapi bukankah seorang kapten yang memimpin negara seluas dan sekompleks Indonesia
harus punya pengetahuan lebih banyak? Meskipun ada sosok seperti Bu Susi Pudjiastuti yang
pintar walaupun bahkan tidak lulus SMA, itu fenomena yang jarang terjadi.
Poin terakhir yang ingin aku sampaikan sebagai penutup adalah “apakah sistem demokrasi yang
berlaku di negara manapun—dari Athena, AS, sampai Indonesia—dipilih secara demokratis?”
Bayangkan kalau dalam sebuah negara ada referendum “sistem apa yang paling cocok untuk
negara kita” dan mayoritas bilang “tirani”, what do you say? Faktanya, bentuk negara Indonesia
sebagai republik dan demokrasi tidaklah dipilih secara demokratis, tapi dipilih oleh sekelompok
orang yang merasa bijaksana. Begitu pula dengan negara-negara lain, kecuali, fun fact, Iran dan
Irak. Jadi, kita tidak bisa menyombongkan diri sebagai ‘negara demokrasi’ jika sistem itu sendiri
bahkan tidak dipilih rakyat.
DEMOKRASI
MAKNA DAN HAKIKAT DEMOKRASI
Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga
masyarakat tentang demokrasi. Pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa
(epistemologis) dan istilah (terminologis). Secara epistemologis “demokrasi” terdiri dari dua kata
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ”demos” yang berarti rakyat atau penduduk
suatu tempat dan “cretein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara
bahasa demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan Negara di mana dalam system
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat dan oleh rakyat.
Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli
sebagai berikut:
Henry B. Mayo
Menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu system yang menunjukkan
bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil- wakil yang diawasi
secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan- pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Affan Ghaffar (2000) memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara
normatif ( demokrasi normatife) dan empirik ( demokrasi empirik):
Demokrasi Normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah
Negara.
Demokrasi Empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.
NILAI DEMOKRASI
Henry B. Mayo (1990: 46) merincikan nilai-nilai dalam demokrasi, sebagai berikut:
Sehubungan dengan perlunya menumbuhkan keyakinan akan baiknya sistem demokrasi, maka
harus ada pola perilaku yang menjadi tuntunan atau norma/nilai-nilai demokrasi yang diyakini
1. Kesadaran akan pluralisme. Masyarakat yang hidup demokrastis harus menjaga keberagaman
hak dan kewajiban setiap warga negara. Maka kesadaran akan pluralitas sangat penting
dimiliki bagi rakyat Indonesia sebagai bangsa yang sangat beragam dari sisi etnis, bahasa,
2. Sikap yang jujur dan pikiran yang sehat. Pengambilan keputusan didasrkan pada prinsip
Pengambilan keputusan membutuhkan kejujuran, logis atau berdasar akal sehat dan tercapai
3. Demokrasi membutuhkan kerja sama antarwarga masyarakat dan sikap serta itikad baik.
untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau kekalahan dalam pengambilan
keputusan.
5. Demokrasi membutuhkan pertimbangan moral. Demokrasi mewajibkan adanya keyakinan
bahwa cara mencapai moral serta tidak menghalalkan segala cara. Demokrasi memerlukan
pertimbangan moral atau keluhuran akhlak menjadi acuan dalam berbuat dan mencapai
tujuan.
1. Demokrasi Langsung
Apa sih demokrasi langsung itu? Seperti namanya, demokrasi ini merupakan demokrasi
yang secara langsung melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan tanpa
adanya perwakilan. Biasanya kalau akan membentuk undang-undang atau peraturan-
peraturan pemerintah, pertemuan atau rapat akan diadakan untuk mengumpulkan seluruh
warganya.
Wah, kalau seluruh warga negara dikumpulkan apa mungkin? Nah, hal ini memang
menjadi kekurangan dari demokrasi langsung, Sobat. Karena, sulit untuk diterapkan di
negara yang jumlah penduduknya banyak.
Melansir dari website Council of European Portal, jenis demokrasi ini digunakan beribu-
ribu tahun yang lalu di kota Athena di Yunani pada abad ke-5 Sebelum Masehi. Karena
itu, kota Athena kuno dianggap sebagai nenek moyang demokrasi.
Waktu itu, di Athena jumlah penduduknya sangat sedikit dan hanya laki-laki dewasa dan
bukan budak saja yang bisa turut berpartisipasi dalam kegiatan politik ini. Itu kenapa
sangat mungkin untuk jenis demokrasi ini diterapkan.
Di era modern sekarang, salah satu negara yang paling dikenal karena menerapkan sistem
demokrasi langsung adalah Swiss. Terus, gimana sih demokrasi langsung diterapkan di
negara Swiss? Kita bisa melihat dengan jelas dari sistem pemilihan umum dan perumusan
undang-undangnya, Sobat.
Menurut The International Observatory on Participatory Democracy (IOPD), di Swiss,
pembuatan undang-undangnya sangat mementingkan jumlah vote dari rakyatnya. Jadi
setelah undang-undang itu dirumuskan oleh ahli, dinilai oleh masyarakat, lalu
didiskusikan oleh pihak parlemen, adanya referendum atau pemungutan suara publik
sangatlah dimungkinkan.
Referendum akan diadakan jika mendapat persetujuan dari 50.000 warganya. Jadi
memutuskan undang-undang yang berlaku bisa menggunakan vote dari rakyatnya secara
langsung gitu.
Sistem pemungutan suara itu disebut juga Landsgemeinde, yang juga merupakan bentuk
tertua dari demokrasi langsung. Kira-kira suasana ketika pemungutan suara dilakukan
seperti pada gambar di atas.
Seperti melansir World Economic Forum (2017), sistem Landsgemeinde juga masih
digunakan untuk memilih wakil rakyat dengan cara mengangkat tangan di Appenzell
Innerrhoden, salah satu daerah di Swiss.
Berbeda dengan demokrasi langsung, seperti yang didefinisikan dalam laman Detik
(2021), demokrasi tidak langsung adalah demokrasi yang menggunakan sistem
perwakilan.
Menurut laporan dari Thoughtco (2021), hampir 60% negara di dunia menerapkan
demokrasi ini dalam pemerintahannya, termasuk Amerika Serikat, Britania Raya, dan
Prancis.
Kalau menerapkan demokrasi ini, maka ciri yang paling menonjol adalah pengambilan
keputusan dalam pemilihan pejabat pemerintahan seperti presiden, wakil presiden, dan
pembuatan peraturan-peraturan akan diwakili oleh badan perwakilan rakyat, seperti MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Jadi, seluruh rakyat nggak turun langsung dalam pengambilan keputusan seperti yang
dilakukan oleh warga Swiss, atau warga Athena Kuno ribuan tahun lalu. Mereka harus
menyalurkan aspirasinya terlebih dahulu melalui lembaga-lembaga perwakilan.
Nah, pada kesempatan kali ini gue akan membahas tentang jenis yang parlementer dan
presidensial. Kedua jenis itu sendiri sama-sama turunan dari demokrasi tidak langsung, Sobat.
Apa sih yang membedakan kedua jenis sistem tersebut? Perbedaan dari keduanya terletak pada
sistem pemilihan, pembagian kekuasaan eksekutif dan parlemennya, dan peran partai politik di
dalamnya.
1. Demokrasi Parlementer
Nama parlementer sendiri diambil karena kekuasaan tertinggi negara untuk menjalankan
pemerintahan diberikan kepada lembaga legislatif suatu negara atau parlemen. Menurut
laporan dari Kompas, parlemen memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengatur masa
jabatan kepala negara dan pemerintahannya, dan kabinet yang membantu jalannya
pemerintahan.
Sedangkan, parlemen sendiri terdiri atas orang-orang dari partai politik tertentu yang
dipilih melalui pemilihan umum.
Seperti sistem pemerintahan Indonesia pada masa Orde Lama yang menggunakan sistem
parlementer, pemerintahan parlementer dikepalai oleh seorang perdana menteri.
Sedangkan, kepala negara dijabat oleh raja, sultan, maupun presiden.
Nah, dengan besarnya kekuasaan parlemen tersebut, kita bisa tahu kalau demokrasi yang
dilakukan terutama pada sistem pemilihan pejabat negaranya mayoritas ada pada tingkat
legislatif atau parlemen saja.
Contoh negara yang masih menerapkan sistem pemerintahan dan demokrasi ini adalah
Inggris, India, Malaysia Jepang, dan Australia (Rahayu, 2014).
2. Demokrasi Presidensial
Kalau di demokrasi parlementer tadi kekuasaan tertinggi ada pada parlementer. Dalam
demokrasi presidensial kekuasaan tertingginya adalah seorang presiden yang berperan
baik sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan.
Oleh karena itu, sebagai kepala pemerintahan, presiden bukan merupakan anggota
parlemen, sebagaimana perdana menteri di sistem parlementer. Dan, partai politik
dianggap sebagai wadah masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pemerintahan.
Pada sistem ini, pemilihan presiden dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Dijelaskan pada website rumahpemilu.org, secara langsung berarti dipilih oleh rakyat
melalui pemilihan umum, secara tidak langsung dipilih oleh badan perwakilan rakyat,
seperti MPR.
Di Indonesia sendiri pemilihan langsung baru dilakukan pada pemilu tahun 2004 setelah
yang dimenangkan oleh pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla.