Anda di halaman 1dari 10

Demokrasi adalah sebuah sistem negara yang dipercayai pertama kali muncul di Yunani kuno,

tepatnya Athena, di bawah kekuasaan seorang negarawan bernama Pericles. Demokrasi di


Athena bisa dilihat dari partisipasi penuh dari rakyatnya dalam urusan negara dan hak yang sama
rata bagi seluruhnya untuk bersuara. Jadi, warga Athena rajin berkumpul di majelis umum atau
Assembly sekitar seminggu sekali untuk berdiskusi, berdebat, dan memberikan suara langsung
dalam pembuatan kebijakan negara. Topik yang didiskusikan bisa tentang perang, pajak, agama,
hingga fasilitas publik. Ini agak berbeda dengan sistem demokrasi di banyak negara modern di
mana pembuatan kebijakan diamanatkan kepada wakil rakyat. Di sini perlu dicatat bahwa
partisipasi penuh rakyat Athena dalam pembuatan kebijakan bisa terjadi karena wilayah mereka
kecil dan jumlah penduduk juga sedikit.   

sumber: https://worldhistory.us/

Rakyat Athena sangat berkomitmen dalam urusan politik sehingga ada yang bilang pekerjaan
mereka adalah berpolitik. Bahkan obrolan mereka sehari-hari adalah tentang negara dan politik.
Thucydides pernah bilang gini: “Konstitusi kita disebut demokrasi karena kekuatan ada di
tangan seluruh rakyat, bukan di tangan minoritas… Di sini, masing-masing individu tak hanya
mengurusi urusan pribadi mereka tapi juga urusan negara.”

Pada sekitar 430 SM, Athena terlibat perang dengan Sparta di perang Peloponnesos. Sparta
adalah sebuah negara dengan sistem oligarki militeristik; semua warganya diwajibkan menjadi
tentara. Tak ayal, Athena pun kalah, hancur, bahkan sebagian rakyatnya jadi budak. Tetapi,
kemudian Athena bangkit kembali dengan babak baru kelahiran gerakan filsafat dari kaum Sofis.
Sebagai gerakan beraliran pragmatisme, Sofisme menganggap kebenaran itu relatif dan bisa
ditentukan manusia. Beberapa dari mereka bahkan mengatakan kebenaran itu tidak ada.

Di masa ini, lahirlah seorang filsuf  bernama Socrates. Dia adalah sosok yang sangat kritis dalam
mencari kebenaran hakiki. Ia mengecam pandangan pragmatisme Sofis karena menurutnya,
manusia harus punya tolak ukur tentang kebenaran dan moral, yaitu lewat akal. Socrates juga
suka keliling kota dan mengutarakan pertanyaan kepada orang-orang untuk mengecek kebenaran
yang mereka yakini. Karena itulah, Socrates disebut sebagai penganut Skeptisisme. Tapi, gara-
gara itu, Socrates malah dianggap sesat dan membuat onar negara. Dia diadili dengan cara
‘demokratis’ ala Athena, yaitu ratusan orang diberikan hak voting apakah Socrates harus
dihukum mati atau tidak. Hasil voting-nya? Dia dihukum mati.

Jadi, inilah inti dari konsep demokasi. Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) yang berarti
suara rakyat (atau suara mayoritas) adalah kebenaran. Rakyat adalah pemimpin. Ketika
mayoritas menyatakan Socrates bersalah, ya itulah kebenaran. Ketika mayoritas mengatakan
seorang koruptor tidak perlu dihukum, ya itulah yang harus terjadi.

Kematian Socrates memancing amarah dari muridnya sendiri bernama Plato. Plato menjadi
orang yang skeptis terhadap demokrasi karena gurunya sendiri menjadi korban dari sistem itu.
Oh ya, sebelumnya, Socrates sendiri juga skeptis dengan demokrasi. Lewat buku yang ditulis
Plato, Socrates menunjukkan kekurangan demokrasi dengan membandingkannya dengan kapal.
Kira-kira begini kata-katanya: Kalau lo sedang berlayar dengan kapal, siapa yang lebih baik
memimpin kapal itu? Bolehkah semua kru diberi hak memimpin? Ataukah lebih baik orang yang
lebih berpendidikan tentang urusan laut dan kapal? Mengapa rakyat yang tidak punya
kemampuan, pengalaman, dan pendidikan diperbolehkan memilih pemimpin (dan artinya suara
rakyat dianggap sebagai kebenaran)?

Patung Plato. (sumber: https://www.prospectmagazine.co.uk)

Untuk itulah, Plato mengatakan demokrasi itu berlawanan dengan kebenaran. Seperti halnya kita
ingin seorang dokter profesional mengerjakan operasi jantung, begitu pula urusan negara yang
lebih baik dijalankan oleh orang-orang ahli karena mereka lebih tahu kebenaran. Dalam
bukunya, Republic, Plato mengatakan bahwa negara itu harus diatur oleh sekelompok kecil orang
dengan pendidikan tinggi (ini disebut dengan aristokrasi). Dan, sekelompok kecil orang ini tidak
dipilih oleh rakyat (bukan demokrasi).

Ketidaksukaan Plato terhadap demokrasi bukan hanya karena apa yang terjadi dengan gurunya.
Tetapi, ia juga melihat demokrasi memicu ketidakstabilan politik Athena yang menyebabkan
kekalahan perang dengan Sparta. Plato justru memuji sistem oligarki Sparta karena minim
konflik kepentingan ketika dikuasai oleh sekelompok kecil orang. Justru di negara demokrasi,
setiap individu menjadi terlalu bebas melakukan apapun dengan absennya pengontrolan dari
negara. Setiap hal-hal buruk seperti kekerasan, kekacauan, dan ketidakbermoralan dibenarkan
atas nama kebebasan.
Jadi, dari penjelasan di atas, mungkin kita jadi ikutan skeptis tentang demokrasi. Benarkah
demokrasi adalah sistem terbaik yang sering digadang-gadang?

Wait a minute. Pertama-tama, harus kita ketahui bahwa Plato itu mengkritik demokrasi versi
Athena yang sebenarnya tidak betul-betul demokratis juga. Loh, kok bisa? Jadi, ternyata, ‘rakyat’
yang dibilang aktif berpolitik, yang punya hak suara, yang ikut berdiskusi di Assembly
sebenarnya terbatas pria dewasa dan ‘bebas’ saja. Perempuan dan budak tidak punya hak-hak
tersebut. Ini jelas berbeda dengan demokrasi versi lain (sepeti di masa modern) di mana semua
warga dengan status gender dan ekonomi apapun bisa ikut berpartisipasi.

Terlepas dari itu, konsep Plato tentang dikotomi demokrasi versus kebenaran tetap menarik
untuk kita bicarakan. Di kelas Teori Politik Klasik kemarin, dosenku bertanya tentang
keberpihakan kami di antara kedua posisi itu. Dosenku mengandaikan, jika mayoritas anak di
kelas kami setuju untuk membunuh si A walaupun dia tidak bersalah, apakah itu legitimate?
“Apakah Anda berpihak ke suara mayoritas untuk membunuh si A atau Anda berpihak kepada
kebenaran bahwa si A tidak bersalah dan tidak boleh dibunuh?” Pilihan kita akan mencerminkan
keberpihakan kita kepada demokrasi atau Plato.

Pertanyaan menarik kedua: bolehkah seorang penyanyi dangdut nyalon hanya karena
‘kepopulerannya’ (bukan terpilih karena dipercaya mampu memimpin)? Kalau Anda menolak
itu, Anda akan dicap tidak demokratis, karena dalam sistem demokrasi, semua orang berhak
berpartisipasi dalam pemerintahan.

Dari pertanyaan di atas, aku menolak untuk berpihak ke salah satu. Akalku mengatakan, kita
tidak perlu membuat dikotomi demokrasi versus kebenaran. Keduanya sangat mungkin
diintegrasikan. Nah, di sini, kita bisa mengintip apa yang dinyatakan oleh Pancasila. Dalam sila
keempat Pancasila, ada kalimat seperti ini: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan…” Itu artinya, Pancasila memerhatikan suara rakyat, namun rakyat tersebut harus
dipimpin oleh orang yang bijaksana (yang punya lebih banyak pengetahuan). Itu artinya, orang
yang berhak nyalon haruslah orang yang bijaksana (penyanyi dangdut itu otomatis blacklisted)
sehingga pilihan rakyat yang demokratis pastilah menghasilkan pemimpin yang oke, bukan yang
malah menghancurkan negara. Agar ada calon pemimpin yang bijaksana, berarti harus ada
peraturan ketat dari segi tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang negara.

Maka, kita bisa bilang bahwa demokrasi ala Pancasila adalah demokrasi aristokrasi. Sebaliknya,
penyataan bahwa ‘melarang penyanyi dangdut nyalon berarti tidak demokratis’ berasal dari
pandangan demokrasi liberal yang tidak membatasi siapa yang berhak jadi pemimpin.

Jika kita perhatikan, sekarang ini Indonesia tidak menjalankan demokrasi ala Pancasila itu.
Masak syarat pendidikan seorang presiden minimal SMA? Bukannya merendahkan lulusan
SMA, tapi bukankah seorang kapten yang memimpin negara seluas dan sekompleks Indonesia
harus punya pengetahuan lebih banyak? Meskipun ada sosok seperti Bu Susi Pudjiastuti yang
pintar walaupun bahkan tidak lulus SMA, itu fenomena yang jarang terjadi.

Poin terakhir yang ingin aku sampaikan sebagai penutup adalah “apakah sistem demokrasi yang
berlaku di negara manapun—dari Athena, AS, sampai Indonesia—dipilih secara demokratis?”
Bayangkan kalau dalam sebuah negara ada referendum “sistem apa yang paling cocok untuk
negara kita” dan mayoritas bilang “tirani”, what do you say? Faktanya, bentuk negara Indonesia
sebagai republik dan demokrasi tidaklah dipilih secara demokratis, tapi dipilih oleh sekelompok
orang yang merasa bijaksana. Begitu pula dengan negara-negara lain, kecuali, fun fact, Iran dan
Irak. Jadi, kita tidak bisa menyombongkan diri sebagai ‘negara demokrasi’ jika sistem itu sendiri
bahkan tidak dipilih rakyat.

DEMOKRASI
MAKNA DAN HAKIKAT DEMOKRASI

Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai


tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa Negara. Seperti diakui
oleh Moh. Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem
bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara didunia ini telah
menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamamental.; Kedua, demokrasi
sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan
masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya.

Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga
masyarakat tentang demokrasi. Pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa
(epistemologis) dan istilah (terminologis). Secara epistemologis “demokrasi” terdiri dari dua kata
yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ”demos” yang berarti rakyat atau penduduk
suatu tempat dan “cretein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara
bahasa demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan Negara di mana dalam system
pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam
keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat dan oleh rakyat.

Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli
sebagai berikut:

 Henry B. Mayo
Menyatakan demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu system yang menunjukkan
bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil- wakil yang diawasi
secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan- pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip
kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Affan Ghaffar (2000) memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara
normatif ( demokrasi normatife) dan empirik ( demokrasi empirik):
 Demokrasi Normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah
Negara.
 Demokrasi Empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.

Makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung


pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai
kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan Negara, karena kebijakan Negara tersebut
akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian Negara yang menganut sistem
demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat.
Dari sudut organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh rakyat
sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan ditangan rakyat.
Kesimpulan-kesimpulan dari beberapa pendapat diatas adalah bahwa hakikat demokrasi
sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan
penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan berada
di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal, yaitu:
 Pemerintahan dari rakyat (government of the people)
Mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintah yang sah dan diakui
(ligimate government) dimata rakyat. Sebaliknya ada pemerintahan yang tidak sah dan
tidak diakui (unligimate government). Pemerintahan yang diakui adalah pemerintahan
yang mendapat pengakuan dan dukungan rakyat. Pentingnya legimintasi bagi suatu
pemerintahan adalah pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi dan program-
programnya.
 Pemerintahan oleh rakyat (government by the people)
Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan atas
nama rakyat bukan atas dorongan sendiri. Pengawasan yang dilakukan oleh rakyat
( sosial control) dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung
( melalui DPR).
 Pemerintahan untuk rakyat (government for the people)
Mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah
dijalankan untuk kepentingan rakyat. Pemerintah diharuskan menjamin adanya
kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat dalam menyampaikan aspirasinya baik melalui
media pers
maupun secara langsung

NILAI DEMOKRASI

Pengertian Nilai Demokrasi


Nilai (Value) adalah suatu standart perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis
telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya standart perilaku guru dalam pembelajaran
(kejujuran, keterbukaan, dan demokratis).
Nilai demokrasi merupakan sikap toleransi, menghormati perbedaan pendapat,
memahami dan menyadari keanekaragaman dilingkungan sekolah, mampu mengendalikan diri
sehingga tidak mengangu orang lain, kebersamaan, percaya diri tidak mengantungkan diri pada
orang lain dan mematuhi perutaran yang berlaku.
Nilai demokrasi adalah sebuah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban, menghargai kebebasan berpendapat, memahami dan menyadari
keananekaragaman dalam lingkungan sekolah, serta perlakuan yang sama.
Nilai-nilai Demokrasi Pancasila

Henry B. Mayo (1990: 46) merincikan nilai-nilai dalam demokrasi, sebagai berikut:

1.      Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga


2.      Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dan dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah
3.      Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur
4.      Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum
5.      Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman
6.      Menjamin tegaknya keadilan.

Sehubungan dengan perlunya menumbuhkan keyakinan akan baiknya sistem demokrasi, maka

harus ada pola perilaku yang menjadi tuntunan atau norma/nilai-nilai demokrasi yang diyakini

masyarakat. Nilai-nilai dari demokrasi membutuhkan hal-hal berikut :

1. Kesadaran akan pluralisme. Masyarakat yang hidup demokrastis harus menjaga keberagaman

hak dan kewajiban setiap warga negara. Maka kesadaran akan pluralitas sangat penting

dimiliki bagi rakyat Indonesia sebagai bangsa yang sangat beragam dari sisi etnis, bahasa,

budaya, agama, dan potensi alamnya.

2. Sikap yang jujur dan pikiran yang sehat. Pengambilan keputusan didasrkan pada prinsip

musyawarah mufakat dan memerhatikan kepentingan masyarakat pada umumnya.

Pengambilan keputusan membutuhkan kejujuran, logis atau berdasar akal sehat dan tercapai

dengan sumber daya yang ada.

3. Demokrasi membutuhkan kerja sama antarwarga masyarakat dan sikap serta itikad baik.

Demokrasi membutuhkan kerja sama antaranggota masyarakat, untuk mengambil keputusan

yang disepakati semua pihak.

4. Demokrasi membutuhkan sikap kedewasaan. Demokrasi mengharuskan adanya kesadaran

untuk dengan tulus menerima kemungkinan kompromi atau kekalahan dalam pengambilan

keputusan.
5. Demokrasi membutuhkan pertimbangan moral. Demokrasi mewajibkan adanya keyakinan

bahwa cara mencapai moral serta tidak menghalalkan segala cara. Demokrasi memerlukan

pertimbangan moral atau keluhuran akhlak menjadi acuan dalam berbuat dan mencapai

tujuan.

Jenis Demokrasi Berdasarkan Penyaluran Kehendak


Rakyat 
Dua macam demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung dan tidak langsung atau
perwakilan. Kedua macam demokrasi ini perbedaannya terletak dalam sistem penyaluran aspirasi
rakyatnya. Gimana sih perbedaannya? Yuk, kita bahas!

1. Demokrasi Langsung

Apa sih demokrasi langsung itu? Seperti namanya, demokrasi ini merupakan demokrasi
yang secara langsung melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan tanpa
adanya perwakilan. Biasanya kalau akan membentuk undang-undang atau peraturan-
peraturan pemerintah, pertemuan atau rapat akan diadakan untuk mengumpulkan seluruh
warganya.

Wah, kalau seluruh warga negara dikumpulkan apa mungkin? Nah, hal ini memang
menjadi kekurangan dari demokrasi langsung, Sobat. Karena, sulit untuk diterapkan di
negara yang jumlah penduduknya banyak.

Melansir dari website Council of European Portal, jenis demokrasi ini digunakan beribu-
ribu tahun yang lalu di kota Athena di Yunani pada abad ke-5 Sebelum Masehi. Karena
itu, kota Athena kuno dianggap sebagai nenek moyang demokrasi.

Waktu itu, di Athena jumlah penduduknya sangat sedikit dan hanya laki-laki dewasa dan
bukan budak saja yang bisa turut berpartisipasi dalam kegiatan politik ini. Itu kenapa
sangat mungkin untuk jenis demokrasi ini diterapkan.

Di era modern sekarang, salah satu negara yang paling dikenal karena menerapkan sistem
demokrasi langsung adalah Swiss. Terus, gimana sih demokrasi langsung diterapkan di
negara Swiss? Kita bisa melihat dengan jelas dari sistem pemilihan umum dan perumusan
undang-undangnya, Sobat.
Menurut The International Observatory on Participatory Democracy (IOPD), di Swiss,
pembuatan undang-undangnya sangat mementingkan jumlah vote dari rakyatnya. Jadi
setelah undang-undang itu dirumuskan oleh ahli, dinilai oleh masyarakat, lalu
didiskusikan oleh pihak parlemen, adanya referendum atau pemungutan suara publik
sangatlah dimungkinkan.

Referendum akan diadakan jika mendapat persetujuan dari 50.000 warganya. Jadi
memutuskan undang-undang yang berlaku bisa menggunakan vote dari rakyatnya secara
langsung gitu.

 Sistem pemungutan suara itu disebut juga Landsgemeinde, yang juga merupakan bentuk
tertua dari demokrasi langsung. Kira-kira suasana ketika pemungutan suara dilakukan
seperti pada gambar di atas. 

Seperti melansir World Economic Forum (2017), sistem Landsgemeinde juga masih
digunakan untuk memilih wakil rakyat dengan cara mengangkat tangan di Appenzell
Innerrhoden, salah satu daerah di Swiss.

2. Demokrasi Tidak Langsung atau Demokrasi Perwakilan

Berbeda dengan demokrasi langsung, seperti yang didefinisikan dalam laman Detik
(2021), demokrasi tidak langsung adalah demokrasi yang menggunakan sistem
perwakilan. 

Menurut laporan dari Thoughtco (2021), hampir 60% negara di dunia menerapkan
demokrasi ini dalam pemerintahannya, termasuk Amerika Serikat, Britania Raya, dan
Prancis. 

Ilustrasi demokrasi (Dok Colin Lloyd via Unsplash)

Kalau menerapkan demokrasi ini, maka ciri yang paling menonjol adalah pengambilan
keputusan dalam pemilihan pejabat pemerintahan seperti presiden, wakil presiden, dan
pembuatan peraturan-peraturan akan diwakili oleh badan perwakilan rakyat, seperti MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat).

Jadi, seluruh rakyat nggak turun langsung dalam pengambilan keputusan seperti yang
dilakukan oleh warga Swiss, atau warga Athena Kuno ribuan tahun lalu. Mereka harus
menyalurkan aspirasinya terlebih dahulu melalui lembaga-lembaga perwakilan.

Di Indonesia, seperti melansir website Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,


penerapan demokrasi tidak langsung dapat dilihat dari pembuatan undang-undang yang
menjadi tugas DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan dapat dirancang oleh DPR, presiden,
ataupun DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Sobat.
Jenis Demokrasi Berdasarkan Sistem
Menurut Saylor Academy (2019), jenis demokrasi juga bisa dibedakan menjadi tiga berdasarkan
sistemnya, yaitu demokrasi dengan sistem parlementer, demokrasi dengan sistem presidensial,
dan demokrasi campuran.

Nah, pada kesempatan kali ini gue akan membahas tentang jenis yang parlementer dan
presidensial. Kedua jenis itu sendiri sama-sama turunan dari demokrasi tidak langsung, Sobat.

Apa sih yang membedakan kedua jenis sistem tersebut? Perbedaan dari keduanya terletak pada
sistem pemilihan, pembagian kekuasaan eksekutif dan parlemennya, dan peran partai politik di
dalamnya.

1. Demokrasi Parlementer

Nama parlementer sendiri diambil karena kekuasaan tertinggi negara untuk menjalankan
pemerintahan diberikan kepada lembaga legislatif suatu negara atau parlemen. Menurut
laporan dari Kompas, parlemen memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengatur masa
jabatan kepala negara dan pemerintahannya, dan kabinet yang membantu jalannya
pemerintahan.

Sedangkan, parlemen sendiri terdiri atas orang-orang dari partai politik tertentu yang
dipilih melalui pemilihan umum.

Seperti sistem pemerintahan Indonesia pada masa Orde Lama yang menggunakan sistem
parlementer, pemerintahan parlementer dikepalai oleh seorang perdana menteri.
Sedangkan, kepala negara dijabat oleh raja, sultan, maupun presiden.

Nah, dengan besarnya kekuasaan parlemen tersebut, kita bisa tahu kalau demokrasi yang
dilakukan terutama pada sistem pemilihan pejabat negaranya mayoritas ada pada tingkat
legislatif atau parlemen saja. 

Contoh negara yang masih menerapkan sistem pemerintahan dan demokrasi ini adalah
Inggris, India, Malaysia Jepang, dan Australia (Rahayu, 2014).

2. Demokrasi Presidensial

Kalau di demokrasi parlementer tadi kekuasaan tertinggi ada pada parlementer. Dalam
demokrasi presidensial kekuasaan tertingginya adalah seorang presiden yang berperan
baik sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan.

Oleh karena itu, sebagai kepala pemerintahan, presiden bukan merupakan anggota
parlemen, sebagaimana perdana menteri di sistem parlementer. Dan, partai politik
dianggap sebagai wadah masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pemerintahan.
Pada sistem ini, pemilihan presiden dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Dijelaskan pada website rumahpemilu.org, secara langsung berarti dipilih oleh rakyat
melalui pemilihan umum, secara tidak langsung dipilih oleh badan perwakilan rakyat,
seperti MPR.

Di Indonesia sendiri pemilihan langsung baru dilakukan pada pemilu tahun 2004 setelah
yang dimenangkan oleh pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla.

Beberapa contoh negara yang menerapkan sistem pemerintahan dan demokrasi


presidensial adalah Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina (Rahayu, 2014), termasuk
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai