Munculnya demokrasi di Yunani ditengarai bersamaan dengan munculnya polis, kira-kira pada
abad ke-8 SM. Rekonstruksi yang dibuat juga tidak bisa begitu persis karena diperkirakan ada
semacam evolusi peradaban yang pelan-pelan beranjak dari sistem tiranik ke demokratis.
Andai dituntut suatu teori yang mungkin dapat menggambarkannya, barangkali revolusi
demokratis di antara warga negara yang setara. Itu pun bukan demokrasi dalam arti moderen
yang didasarkan pada ide tentang kesamaan kodrat manusia. Demokrasi Athena bersifat
ekslusif, hanya untuk mereka yang menjadi warga negara, sementara mayoritas populasi yang
bukan warga negara harus tunduk pada demos. Sisa-sisa tradisi aristokratis dan oligarkis pun
Setiap warga negara Athena adalah sekaligus idiotes (individu) dan polites (warga polis). Ia
memeiliki urusan polis yang cukup menyita waktunya. Ia harus mengikuti pertemuan di
Ekklesia secara reguler dan kalau terpilih menjadi anggota Dewan Limaratus, ia juga harus
sepanjang hari bekerja di Dewan yang siang malam memikirkan masalah-malasalah polis.
Warga negara tidak hanya menjalankan kekuasaan legislatif dan eksekutif, terkadang mereka
juga harus menjadi juri dalam sidang-sidang pengadilan yang digelar. Demikian pula untuk
urusan agama, para warga, para warga negara juga bisa terpilih untuk melalui undian untuk
memimpin upacara-upacara keagamaan polis. Agama bukanlah urusan privat. Agama adalah
urusan polis. Belum lagi kewajiban mempertahankan kota, yang menuntut mereka ikut
1
Sekali lagi, yang dinamakan demos hanyalah sebagian kecil dari populasi polis Athena. Lagi
pula, di antara para warga negara setara itu praktis yang bisa sungguh-sungguh berpolitik
adalah mereka-mereka yang secara ekonomis cukup mapan sehingga mampu meluangkan
waktu untuk ke Agora. Orang bisa berpolitik sepenuhnya karena urusan perut sudah tertangani
dengan baik. Namun di Athena agak rumit, karena banyak orang miskin di polis ini. Akibatnya,
kesediaan hadir para warga di Ekklesia tidak selalu murni karena mau berpolitik, melainkan
Jadi, kalau kita mau berandai-andai dengan teori modern yang membedakan ruang privat dan
publik, kita bisa belajar bahwa aktivitas politik yang ditandai oleh isogonia, isonomia, isokratia
dan isegoria di mana warga setara berdiskusi secara bebas memutuskan kepentingan bersama
hanya dimungkinkan apabila urusan ekonomis yaitu kebutuhan niscaya pangan, sandang, dan
Di soal ini kita berhadapan dengan dua ironi. Di satu sisi, kemapanan ekonomis para warga
negara kaya di polis umumnya adalah berkat pekerjaan mayoritas penduduk yang tidak
dianggap warga negara, yaitu wanita dan para budak. Beresnya urusan ekonomi dan kebutuhan
sehari-hari kaum equals adalah berkat hadirnya kaum unequals. Kesadaran modern kita
dengan ironis melihat bahwa kebebasan politik sebagian kecil manusia yang hidup di polis,
yang disebut warga negara mensyaratkan adanya wanita, budak, orang asing, dan anak-anak
Di sisi lain, dalam soal kemapanan ekonomi ini, ternyata di Athena pun tidak banyak warga
negara yang sungguh-sungguh bisa berpolitik. Bagi warga negara yang miskin misalnya kaum
zeguites dan thetes, aktivitas politik justru dijadikan ladang mata pencaharian untuk hidup.
2
Agora yang semula diidealkan sebagai pasar sirkulasi bebas ide-ide berubah menjadi pasar
tempat mencari uang. Rasanya problem ini juga aktual di negeri kita. Pada mulanya orang
berpolitik mungkin karena butuh second life. Setelah tentara pensiun dari dinas militer atau
seorang artis tidak laku lagi di layar kaca, mereka terjun ke dunia politik. Lama-kelamaan
keserakahan akan harta membuat orang menikmati hidup berpolitik. Berkaca pada pengalaman
Yunani, ada bahaya bahwa bila demokrasi menjadi sekedar mencari uang tanpa peduli hukum
dan etika, kita sedang membunuh demokrasi kita sendiri (bdk. Suara Pembaruan, 17 Mei 2013,
hlm.5, Demokrasi Menuju Bunuh Diri: Perilaku Politik Jauh dari Etika Politik).
Dalam sejarah demokrasi ide tentang otonomi pemerintahan oleh rakyat serta supremasi politik
dengan kuasa kata-katanya di Agora menjadikan demokrasi Athena selalu dikenang. Salah
satu ciri demokrasi di Athena adalah kedaulatan mutlak warga negara sebagaimana tampak
polis Athena dalam relasinya dengan polis lain, keuangan dan keagamaan yang menjadi bagian
sangat penting dalam politik diambil secara langsung di Ekklesia. Kata demos yang awalnya
berarti rakyat, berubah menjadi Majelis, dan akhirnya menjadi rejim pemerintahan. Meskipun
begitu, kekuasaan warga negara yang berkumpul di Ekklesia juga terbatas! Batasnya adalah
konstitusi yang disepakati bersama sebagai landasan keberadaan polis. Konstitusi ini muncul
Dalam demokrasi yang makin radikal, kekuasaan warga negara di Ekklesia akan kebablasan
menunjukkan kritik tajamnya atas demagogi rakyat yang menjungkirbalikkan tatanan dengan
3
cenderung memperbesar kekuasaannya sendiri melampauai apa yang semula menjadi batas
arena permainannya. Kekuasaan politis rakyat berubah menjadi merajanya massa rakyat,
mengandung paradoks. Sistem ini bila diradikalkan justru akan membawa masyarakat mundur
ke jaman pra-demokrasi yaitu zaman ketika yang berkuasa bukuan hukum tetapi kekuatan otot
Kemungkinan munculnya anarkisme disebabkan oleh ciri lain dari demokrasi yaitu kebebasan
dan kesetaraan. Kebebasan berarti kemerdekaan warga negara secara yuridis dan politis.
Dibandingkan dengan nasib para budak yang tergantung pada pemiliknya atau wanita dan
anak-anak yang dianggap harta milik, warga negara yang bebas adalah manusia yang membuat
hukum bagi dirinya sendiri sehingga bisa memilih jenis hidup yang ia kehendaki. Pada tingkat
privat, ia bisa melakukan apapun yang dikehendaki. Namun pada tingkat di luar rumah,
kebebasan ini menjadi bersifat politis, yaitu bebas untuk ikut memerintah dan bebas untuk
diperintah. Mampu menunjukkan sebagai diri sebagai anggota warga yang baik maupun
berpartisipasi aktif sebagai bagian pemerintahan adalah ciri seorang warga negara yang bebas.
Beberapa pemikir klasik mengkritik dengan keras premis utama demokrasi yang berbunyi,
Demokrasi senyatanya hanya menjadi ajang kekuasaan para sofis (The Republic, VI 492b)
yang tidak bertanggung jawab dan hanya menyetir massa rakyat dengan senang atau tidak
senang. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang karut-marut, bebas kebablasan, di mana
kelas-kelas sosial saling bertempur tanpa henti (bdk. The Republic, VIII 555b-558c). Saat tidak
mau lagi menerima aturan atau paksaan apa pun dalam hidupnya (The Republic VIII 561d),
4
manusia demokratis yang hanya mencari apa yang menyenangkan bagi dirinya sendiri akan
jatuh ke dalam kebebasan yang kebablasan yang tidak lain adalah perbudakan tanpa batas (The
Prinsip kebebasan berarti ketika setiap warga bebas dan tidak tunduk pada kesewenang-
wenangan warga lain. Supaya hidup bersama dimungkinkan, hukum menjadi jaminan untuk
kebebasan setiap warga; di satu sisi kebebasannya dijaga, di sisi lain ia dilindungi dari
kesewenangan orang lain. Masalahnya, karena terbiasa dilindungi dari kekerasan warga lain,
seseorang yang bebas lalu terbiasa untuk hidup semaunya. Hukum yang pada prinsipnya
menjaga kebebasan tidak bisa berbuat banyak terhadap orang seperti itu. Bila semua bertingkah
seperti itu, akan ada krisis moral secara umum. Mungkin seseorang yang dipilih secara legal
sebagai penguasa bisa menekan kebablasan warganya. Namun di Athena, saat penguasa hanya
dipilih secara acak lewat undian dan menjabat untuk setahun dapatkah ia menangani kebebasan
yang kebablasan? Palton memiliki penilaian keras. Manusia demokratis adalah orang yang
hidupnya nyantai dan immoral. Ia bisa omong apa saja seolah-olah tanpa konsekuensi apapun
Sedangkan bagi Aristoteles, demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dibagi-
bagi di antara kelas-kelas yang ada di masyarakat. Akibatnya, sistem ini tidak pernah bisa
berjalan, karena tiap kepentingan kelas yang berbeda akan saling menyandera keputusan apa
pun yang hendak ditelurkan (bdk. Politics, III, 11-13 dan IV, 4). Berkenan dengan kesetaraan,
kritikan yang diberikan adalah bahwa warga negara yang setara dalam satu bidang, lalu
menganggap dirinya memiliki kemampuan yang sama dalam segala hal lainnya (Politic V 13).
Karena menganggap diri semua warga adalah setara, mereka membutakan diri tidak mau
memilih individu-individu yang sebenarnya memiliki kemampuan dan jasa yang lebih bagi
5
tugas-tugas tertentu yang cocok bagi mereka. Kita semua menjadi sedikit platonisian dan
aristotelesian ketika meyakini bahwa urusan politik seharusnya dilakukan oleh orang yang
memiliki kompetensi dan tidak dipilih secara acak model undian seperti di Athena.
Prinsip kesetaraan tentu cocok dengan prinsip supremasi hukum dan persis hukum memang
fungsinya untuk menjamin bahwa semua warga setara di hadapannya. Namun, prinsip
kesetaraan ini secara alamiah bertentangan dengan kehidupan sosial yang pasti berjenjang dan
hirarkis. Hormat kepada orang tua adalah prinsip umum di mana-mana yang bisa dimentahkan
begitu saja oleh kesetaraan. Buat apa hormat pada orang tua kalau secara hukum kita semua
dijamin setara? Lebih luas lagi, buat pa menghormati penegak hukum apabila, seperti di
Athena, ia hanya dipilih setahun sekali secara undian? Kalau semua warga negara setara, baik
warga yang saleh maupun warga yang nyeleneh, mengapa harus sok suci menggabungkan diri
dalam kelompok warga setara yang saleh? Prinsip kesetaraan memang mempersulit orang
untuk mudah taat. Kehadiran kaum sofis di Athena hanya memperparah krisis moral dan
Prinsip utama demokrasi yang adalah kebebasan dan kesetaraan memang secara alamiah
dengan mengandungi penyakit bernama anarkisme (Jacqueline de Romilly, 149). Namun lebih
dari itu, inti kritikan Platon dan Aristoteles sebenarnya dilandaskan pada sebuah cara pandang
tertentu. Platon dan Aristoteles yakin bahwa tatanan sosial harus dibentuk sesuai prioritas. Ada
tingkat kehidupan yang berorientasi pada kesenangan, yaitu sebuah hidup yang inferior; ada
tingkat kehidupan praktis di mana politik mendapatkan tempat yang lebih tinggi; dan akhirnya
ada tingkat hidup teoritis atau filosofis, yang merupakan bentuk kehidupan tertinggi (bdk. The
Republic VI 496b-d dan VII 519d-521b; Ethica Nikomaxeia X7 dan Politics VII 2).
6
Bukan maksud para pemikir itu untuk mengatakan bahwa vita contemplativa tidak cocok
dengan vita activa! Platon sendiri berbicara tentang keharusan para filsuf untuk turun kembali
ke goa, artinya, para filsuf pun harus terlibat dalam kehidupan politik masyarakatnya (The
Republic VII). Baginya, seni berpolitik adalah seni merajut secara tepat antara benang yang
tipis halus dengan benang yang kasar (Politique, 311-e). Aristoteles juga mengidealkan sebuah
cara hidup yang campuran (Politics VII, 2-3). Setia dengan prinsip jalan tengah, Aristoteles
mengidealkan sebuah komunitas politik yang merupakan campuran antara demokrasi dan
oligarki. Di balik itu semua, mereka hendak menggarisbawahi bahwa sebuah rezim politik
hendaknya mengakui supremasi hukum intrinsik ilmu filsafat. Ini tuntutan yang tidak mudah
karena kita tahu bahwa rezim demokrasi Athenalah yang menghukum mati Sokrates, guru
Platon. Aristoteles pun terpaksa lari dari Athena saat merasakan bahwa rezim demokratis
demikian, supaya warta Athena tidak jatuh dalam kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.
Daftar Pustaka
Sebagian besar bahan sudah pernah terbit dalam A. Setyo Wibowo, Kepublikan dan
Keprivatan di dalam Polis Yunani Kuno, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis
dari Polis sampai Cyberspace (Ed. F. Budi Hardiman), Penerbit Kanisius: 2010, hlm. 23-61.
Artikel ini menggunakan sumber utama buku karya Claude Orrieux dan Pauline Schmitt Pantel,
7
Sumber: Mahalnya Biara Demokrasi: MajalahTempo, 29 April-5 Mei 2013, hlm.48-49, dan
Majalah Tempo, 6-12 Mei 2013, hlm.34-35. Suara Pembaruan, Jumat 17 Mei 2013, hlm.5,
Demokrasi Menuju Bunuh Diri: Perilaku Politisi Jauh dari Etika Politik
Sumber: