Anda di halaman 1dari 4

Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada.

Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas masalahmasalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan

pengawasan. Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri. Berikut sejarah perkembangan ilmu politik dari para pemikir dari zaman ke zaman: Plato (429 347 SM) Gagasan plato tentang negara hampir senada dengan Aristoteles. Murid terbaik socrates itu menytakan bahwa negara memerlukan kekuasaan mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Hanya saja, kekuasaan mutlak (absolutisme) negara itu harus diarahkan pada moral hazard kekuasaan, yakni melindungi warga negara, menjamin kesetaraan hukum, keadilan dan kemakmuran ekonomi seluruh warganya. Plato lahir dari keturunan bangsawan di athena yang menjadi pusat peradaban yunani. Latar belakang pendidikannya yang tinggi dan

persentuhannya dengan socrates menjadikan Plato sebagai pemikir yang gelisah dengan perkembangan masyarakat yunani ketika itu. Politik kacau balau, para penguasa sewenang-wenang dan korupsi merajalela mengiriing plato pada kecemasan-kecemasan intelektual. Karena merasa muak dengan kondisi di sekelilingnya, Plato lalu lebih memusatkan pada dunia pemikiran, mengikuti jejak gurunya, Socrates. Bedanya, Socrates mengemukakan gagasan dan pemikirannya secara lisan melalui diskusi dan pidato-pidato, Plato lebih konseptual. Pemikirannya dituangkan dalam tulisan dan dibukukan. Diantaranya yang menyangkut negara dan kekuasaan ialah politea atau the republic yang membahas tentang negara, lalu politicon atau the statement membahas tentang negarawan berisi tentang peraturan dan undang-undang. Lewat buku politea ajaran Plato tentang negara didasarkan pada aliran idealisme, filsafatnya juga digolongkan dengan

filsafat idealisme. Buku itu mengurai tentang konsep negara sempurna yang berbentuk ide-ide atau cita-cita. Dalam politea Plato membagi dua dunia yakni dunia ide, cita atau pikiran yang merupakan kenyataan sejati dan dunia alam, bersifat materil atau dunia fana yang bersifat palsu. Untuk mencapai tatanan negara yang sempurna, maka dunia alam harus disamakan dengan dunia ide. Yakni negara yang memenuhi tiga jenis ide, yakni ide tentang kebenaran, keindahan atau seni dan kesusilaan. Pada zaman yang sama gagasan bahwa rakyat dapat menentukan kebijakan negara yang dikenal dengan nama demokrasi mulai lahir dengan bentuk masih sangat sederhana. Sistem demokrasi di negara kota yunani kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung yaitu pemerintahan dimana hak membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasar prosedur mayoritas. Walaupun pengambilan keputusan secara kolektif telah mulai diselenggarakan, pelembagaannya belum dikenali secara utuh karena pemikiran mengenai teori negara baru muncul. Plato sebenarnya mengritik demokrasi langsung di negara kota atau polis. Ini karena praktek demokrasi seperti itu berpotensi memunculkan praktek kekeliruan dalam memilih penguasa. Sebagai alternatif, Plato berargumen manusia perlu diatur oleh orang yang punya akal sehat, merekalah yang pantas jadi pmimpin. Pembiaran kepada semua orang untuk berkuasa melalui proses demokrasi langsung ala polis tidak benar hingga Plato menginginkan terbentuknya pemerintahan segelintir orang terdiri dari orang-orang terpelajar. Yang dipikirkan Plato sebetulnya sebuah orang yang bisa melawan demokrasi ala polis yang setiap saat berpeluang melahirkan otokrasi atau kekuasaan tergenggam di satu tangan. Plato berpendapat untuk mencapai tatanan sempurna, negara harus diperintah para cerdik pandai, pemerintah harus ditujukan pada kepentingan umum dan rakyat harus berdaulat atau mencapai kesusilaan sempurna. Sesuai sifat manusia (kebenaran, keberanian dan kebutuhan), Plato membagi kelas-kelas dalam negara para penguasa, para pengawal negara dan pekerja. Pada zaman Plato maupun Aristoteles pada dasarnya menjadikan negara sebagai perspektif filosofis, dan pandangan mereka tentang

pengetahuan merupakan sesuatu yang utuh. Perbedaan keduanya terletak pada tekanan dan obyek pengamatan yang dilakukan, kalau Plato bersifat normatif-deskriptif, sedangkan Aristoteles sudah mendekati empiris dengan memberikan dukungan dan preferensi nilai melalui fakta yang dapat diamati dengan nyata. zaman ini yang terkenal dengan zaman Romawi Kuno

memberikan sumbangan yang berharga bagi ilmu politik, antara lain: bidang hukum, yurisprudensi dan administrasi negara. Bidang-bidang tersebut didasarkan atas persefektif mengenai kesamaan manusia, persaudaraan

setiap orang, ke-Tuhan-an dan keunikan nilai-nilai individu.

Memasuki

abad

pertengahan

eksistensi

ilmu politik

justru

mengalami

kemandekkan. Hal ini disebabkan karena telah terjadi pergeseran institusi kekuasaan dari negara kepada gereja. Pada masa ini negara menjadi kurang penting, sehingga pemikiran politik didominasi oleh intelektual dan

politik gereja Kristen. Dalam keadaan seperti pemikiran politik lebih cenderung berurusan untuk menjawab apa yang seharusnya, apa yang baik/buruk, bukan pernyataan tentang apa yang ada/nyata. Jadi kajian politik pada masa ini mengalami kemunduran seperti era Plato (filosofis) bukan

bersifat keilmuan. Namun, abad ini tetap memberikan sumbangan konsepsial bagi ilmu politik, seperti konsepsi mengenai penyatauan dunia, upah yang jujur, dan hukum tertinggiyang perlu ditaati manusia. Setelah memasuki abad kelima belas ilmu politik mengalami kemajuan yang berarti terutama dalam obyek dan metode yang digunakan dalam pengkajian maupun pengamatan/penelitian dibidang politik dibandingkan masa-masa

sebelumnnya. Analisa normatif dan deduktif walau tetap masih dipergunakan tetapi telah terpengaruhi oleh penemuan-penemuan baru dan teori diberbagai bidang pengetahuan kemanusiaan lainnya. Sedangkan perkembangan politik di negara Eropa. Anda tentu mengenal beberapa negara di Eropa yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan ilmu politik pada khusunya. Di negara-negara seperti Jerman, Prancis dan Austria

perkembangan ilmu politik memasuki abad kedelapan belas sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Itulah sebabnya fokus perhatian perhatiannya hanya terpusat pada negara. Lain halnya perkembangan ilmu politik di Inggris dan Amerika serikat. Pada abad kedelapan belas, di Inggris permasalahan politik lebih banyak merupakan kajian filsafat serta pembahasannya tidak terlepas dari sejarah. Sedangkan di Amerika Serikat yang telah menempatkan pangajaran politik di

universitas semenjak tahun 1858, mula-mula studinya lebih bersifat yuridis,

akan tetapi semenjak abad ini telah melepaskan diri dari kajian yang bersifat yuridis dengan lebih memfokuskan diri atas pengumpulan data empiris. Baru memasuki awal abad kedua puluh kajian ilmu politik telah menjauhi studi yang semata-mata legalistis normatif maupun yang murni normatif dan

deduktif. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teori ilmu pengetahuan sosial lainnya, terutama konsepsi yang berubah tentang hakekat manusia,

pragmatisme dan pluralisme. Faktor pertama tentang hakekat manusia, telah diakui bahwa sifat manusia sangat beragam dan kompleks. Pengakuan akan sifat manusia tersebut menimbulkan implikasi-implikasi yaitu: pertama, digugatnya pernyataan

mengenai hukum menentukan pemerintahan yang baik, hal ini disebabkan sifat manusia yang berbeda-beda. Kedua, tidak semua manusia akan berperilaku sama dalam suatu lembaga tertentu. Ketiga, sifat itu diyakini sebagai obyek resmi penelitian. Faktor yang kedua yang mempengaruhi ilmu politik adalah fragmatisme. Ini berarti bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan manusia tidak dapat dinilai dari logika, melainkan dari hasil tindakan atau perilaku tersebut. Misanya, sesorang dicap sebagai nasionalis, karena hasil dari tindakan dan perilakunya selalu menunjukkan sikap antipati terhadap bangsa sendiri, terhadap produksi dalam negeri, menjelek-jelekan bangsa sendiri di hadapan bangsa lain, dan sebagainya. Sedangkan faktor yang ketiga, yakni pluralisme, mengandung pengertian bahwa kekuasaan dalam politik dibagi-bagi antara berbagai kelompok, partai dan lembaga-lembaga pemerintahan. Misalnya, organisasi kemasyarakatan, golongan, partai politik, dan yang lebih ekstrim seperti partai oposisi memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah. Hal ini

disebabkan karena organisasi kemasyarakatan dan partai politik tersebut memiliki kekuasaan untuk melakukan itu walaupun kekuasaan tersebut belum tentu mampu mempengarui kekuasaan yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai