Anda di halaman 1dari 13

Nama:M.

Bima Sakti

NPM:1913032049

Kelas: A(Ganjil)

Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Politik

I.Soal-soal

1. Analisis pengertian politik menurut Roger F. Soltau dan Harlod D. Laswell dan jelaskan
perbedaannya?
2. Buatkan garis besar perkembangan ilmu politik sejak zaman Romawi Kuno hingga Abad
kedua puluh?
3. Gambarkan perbedaan pendekatan tradisional dan pendekatan behavioral?
4. Buatkan suatu bagan yang menjelaskan bidang kajian ilmu politik menurut UNESCO?
5. Sebutkan dan jelaskan pengelompokkan teori ilmu politik dalam dua kelompok besar
berdasarkan sifat dan ciri-ciri yang sama?

II.Jawaban

1. Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah who gets what, when, how, atau
masalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. “Mendapatkan apa” artinya
mendapatkan nilai-nilai. “Kapan” berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk
menentukan siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak. “Bagaimana” berarti
dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai.Sedangkan Roger F.Soltau, dalam
bukunya Introducation to politics mengatakan:”Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-
tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu,
hubungan anatar negara dengan warganya serta hubungan antarnegara.”Dapat
disimpulkan perbedadaan definisi politik menurut kedua ahli ini adalah bagaimana
konsep politik dan tujuan negara dalam konteks konstitusi negara.

2. Ilmu politik merupakan salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang

ada, meskipun beberapa cabang ilmu pengetahuan yang ada telah mencoba melacak asal-
usul keberadaannya hingga zaman yunani kuno, tetapi hasil yang dicaopai tidak
segemilang apa yang telah dicapai oleh ilmu politik.1[3]
1
Apabila ilmu politik di pandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu
social yang memilik dasar, rangka, focus, dan ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan
bahwa ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19. Pada tahap itu
ilmu politik berkembang secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu social lainnya,
seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, dan psikologi, dalam perkembangan ini saling
mempengaruhi.2[4]
Untuk mengetahui perkembangan ilmu politik, kita harus meninjau ilmu politik
dalam kerangka yang luas. Sebagaimana telah diterangkan pada presentasi makalah
minggu yang lalu bahwa ilmu politik ditinjau dari kerangka yang luas telah ada sekitar tahun
427 S.M. Sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik,
maka ilmu politik tersebut memiliki umur yang lebih tua lagi. Ilmu tersebut dikatakan tua karena
pada taraf perkembangannya, ilmu politik masih bersandar pada sejarah dan filsafat.
Contohnya di Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengenai negara sudah dimulai pada
tahun 450 S.M., yang terbukti dalam karya-karya ahli seperti Herodotus, Plato, Aristoteles,
Socrates, dan lain sebagainya. Bahkan Plato yang telah meletakan dasar-dasar pemikiran ilmu
politik dikenal sebagai Bapak filsafat politik, sedangkan Aristoteles yang telah meletakan
dasar-dasar keilmuan dalam kajian politik dikenal sebagai Bapak ilmu politik.

Mengenai konsep negara ideal pada masa plato (427 – 347 SM) dan selanjutnya
dilanjutkan oleh aristoteles (384 – 322 SM) paling tidak ada 3 buah karya yang sangat relevan
dengan masalah kenegaraan, yaitu: pertama ’politea’ (the Republica); kedua, Politicos, (the
Stateman); dan ketiga, Nomoi (the Law).3[5] Keduanya memandang Negara dari perspektif
filosof yang melihat semua pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang utuh.4[6]
Politea ini muncul dilatarbelakangi adanya penyelenggaraan negara yang dipimpin oleh
orang yang haus oleh harta, kekuasaan, dan gila hormat. Pemerintah sewenang-wenang yang
tidak memperhatikan penderitaan rakyatnya. Oleh karena itu, pemikirannya yang dituangkan
dalam Politea adalah, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat,

4
tempat keadilan dijunjung tinggi. Agar supaya negara menjadi baik, maka pemimpin negara
harus diserahkan kepada filosof, kerena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, yang
menghargai kesusilaan, berpengetahuan tinggi. Filosoflah yang paling mengetahui apa yang baik
bagi semua orang, dan apa yang buruk yang harus dihindari. Karena itu kepada filosoflah
seharusnya pimpinan negara dipercayakan, tidak usah dikhawatirkan bahwa ia akan
menyalahgunakan kekuasaan yang diserahkan kepadanya. Ternyata, cita-cita yang ideal tersebut
tidak pernah terwujud, karena hampir tidak mungkin mencari manusia yang sempurna, bebas
hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Berdasarkan kenyataan inilah kemudian muncul pemikian ’Politicos’, yang menganggap
bahwa adanya hukum untuk mengatur warga negara, sekali lagi hanya untuk warga negara saja.
Hukum yang dibuat manusia tentunya tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri, karena
penguasa di samping memiliki pengetahuan untuk memerintah juga termasuk pengetahuan
membuat hukum.
Dalam pemikiran selanjutnya, yang disebut ’Nomoi’ yang kemudian dilanjutkan oleh
muridnya bernama Aristoteles. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum, dengan menyatakan, ’Aturan yang
konstitusional dalam negara konstitusional dalam negara berkaitan secara erat, juga dengan
pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum terbaik, selama suatu
pemerintahan menurut hukum, oleh sebab itu supremasi hukum diterima sebagai tanda negara
yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak selayaknya’.5[7]
Warisan jaman romawi kuno kepada ilmu politik yang utama adalah sumbangannya
dibidang hokum, yurisprudensi dan administrasi Negara, kesemua bidnag tersebut sejalan
dengan stoicisme mengenai kesamaan manusia, persaudaraan setiap orang , ketuhanan dan
keunikan nilai individu, yang bagaimanapun rendahnya, mempercayai cahaya tuhan menjiwai
seluruh semesta. Filsafat demokrasi dengan asumsinya tentang rasionalitas, moralitas dan
persamaan serta konsepnya tentang hokum alam dan hak-hak alamiah, banyak menurun dari
faham stoic dan cicero, yang memadukan filsafat stoic kedalam pemikiran barat.6[8]
Kemudian selaama abad pertengahan, Negara menjadi kurang penting dibandingkan
gereja, yang bisa memaksakan kekuasaanya pada raja dan memecat para pangeran dan mengatur

6
kebijakan umum. Dibawah dominasi intelektual dan politik gereja Kristen, pemikiran politik
pada abad pertengahan peratama-tama berurusan dan untuk menjawab persoalan mengenai yang
seharusnya (nilai), bukan pertanayaan tentang yang ada (fakta). Dengan demikian pemikiran
politik pada masa abad pertengahan lebih dekat dengan tradisi Plato (filsafat) daripada dengan
tradisi Aristoteles (ilmu).7[9]
Di Asia ada beberapa pusat kebudayaan terkait dengan perkembangan ilmu politik, antara
lain : India dan China yang telah mewariskan tulisan-tulisan politik yang bermutu. Tulisan-
tulisan dari India terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang
berasal dari masa kira-kira 500 SM. Di antara Filsuf China yang terkenal, seperti : Confucius
atau Kung Fu Tzu (500 SM), Mencius (350 SM) dan mazhab Legalist (antara lain Shang Yang
350 SM).
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulisan yang membahas masalah sejarah dan
kenegaraan, seperti : Negara Kertagama (yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13
dan 15 M) dan Babad Tanah Jawi. Namun sayang di negara-negara Asia tersebut kesusastraan
yang mencakup bahasan politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena
terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara, seperti : Inggris, Jerman,
Amerika Serikat dan Belanda dalam rangka imperialism.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik pada abad ke-18 dan ke-
19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena itu ilmu politik hanya berfokus pada negara.
Selain ilmu hukum, pengaruh ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai
perang Dunia II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada keinginan untuk
membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih mendasarkan diri pada pengumpulan data
empiris. Perkembangan selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi,
sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik. Perkembangan
selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan didirikannya American Political Science
Association (APSA) pada 1904.8[10]
Ilmu politik masa kini telah berkembang dari berbagi bidang studi yang berkaitan
termasuk sejarah, filsafat, hokum dan ekonomi. Ditinjau dari tahap perkembangannya sebagai

8
ilmu, memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu politik agak tertinggal dibelakang jika
dibandingkan dengan ilmu lainnya, seperti ilmu ekonomi yang mengalami kemajuan yang pesat
seiring denagn era “revolusi industry” pertengahan abad XVIII.
Sesudah perang dunia ke II perkembangan ilmu politik semakin pesat. Di Negara
Belanda, dimana waktu itu penelitian mengenai Negara dimonopoli oleh Fakultas Hukum,
didirikan Faculteit der Sociale Wetenschappen pada tahun1947 di Amsterdam. Di Indonesia pun
didirikan fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan fakultas Ilmu Sosial dan Politik (seperti
pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau Fakultas ilmu-ilmu Sosial (seperti pada
Universitas Indonesia, Jakarta) dimana ilmu politik merupakan Departemen tersendiri. Akan
tetapi, oleh karena pendidikan tinggi ilmu Hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila
pada permulaan perkembangannya, ilmu politik di Indonesia terpengaruh kuat oleh ilmu itu.
Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang berangsur-angsu mulai di kenal.
Pesatnya perkembangan ilmu politik sesuda perang dunia ke II tersebut juga disebabkan
karena mendapat dorongan kuat dari beberapa badan internasional, terutam UNESCO(United
Nations Educational Scientific and Cultural Organization). Terdorong oleh tidak adanya
keseragaman dalam terminology dalam ilmu politik, UNESCO dalam tahun 1948
menyelenggarakan suatu survey mengenai kedudukan ilmu politik dalam kira-kira 30 negara.
Proyek ini dipimpin oleh W. Ebenstein dari Princeton University Amerika Serikat kemudian di
bahas oleh beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku
“Contemporary Political Science”.9[11]
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science Association (IPSA) yang
mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya negara Barat, di samping India, Meksiko, dan
Polandia. Pada tahun 1952 hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris
dan hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and Political Science
dalam buku The University Teaching of Political Science. Buku ini diterbitkan oleh UNESCO
untuk pengajaran beberapa ilmu social (termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi)
di perguruan tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu politik dan
mempertemukan pandangan yang berbeda-beda. Pada masa-masa berikutnya ilmu-ilmu sosial
banyak memanfaatkan penemuan-penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi,
dan dengan demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak mengambil

9
model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah ilmu politik telah banyak berubah
dan ilmu politik menjadi ilmu yang penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.
Oleh karena itu, sejarah ringkas perkembangan ilmu politik yang paling mudah kita
pahami menurut sejarah adalah bahwa politik sudah ditemukan dalam literature klasik yunani
kuno. Periode awal ada Plato, kkemudian disusul oleh muridnya Aristoteles yang
mengemukakan gagasan besar dan brilian mengenai upaya mencapai kebaikan bersama.
Kemudian disambung pada awal abad pertengahan ada pemikir seperti augustinus (354-430)
dengan doktrin tentang dua belah pedang (civitate dei dan civitate terena). Kemudian ditengah
abad pertengahan ada Thomas Aquinas (1225-1274) yang memberikan gambaran pentingnya
hokum sebagai roda penggerak kehidupan kemasyarakatan. Lantas pada abad pencerahan,
pemikir seperti Niccolo Machiaveli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1778), john Locke
(1632-1704), Montesquieu (1689-1755), serta jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang
menjelaskan berbagai hal tentang politik. Kemudian pemikir-pemikir abad Modern mulai dari
Karl Marx hingga Gabriel Almond, Robert Dahl, juga Samuel Huntington. Bahwa menurut
mereka semua tuujuan dari politik adalah melembagakan kebaikan bersama, melalui organisasi
yang kemudian kita kenal sampai saat ini dengan pemerintah.10[12]

3.Perbedaan pendekatan tradisional dan pendekatan behavioral adalah sebagai berikut

Tradisional Behavioral Postbehavioral


Fakta dan nilai
Mencampuradukkan fakta Memisahkan fakta dengan bergantung pada tindakan
dengan nilai; Spekulatif nilai serta relevansi antar
keduanya
Bersifat kemanusiaan
Nonpreskriptif, obyektif,
Preskriptif dan normatif serta berorietasi masalah;
dan empiris
Normatif
Kualitatif Kuantitatif Kualitatif dan kuantitatif
Memperhatikan Memperhatikan
Memperhatikan keteraturan
keseragaman dan keteraturan atau
atau ketidakteraturan
keteraturan ketidakteraturan
Etnosentris; Fokus
Etnosentris; Fokus utama
utamanya pada negara
pada model Anglo Fokus pada Dunia Ketiga
demokrasi Barat (AS dan
Amerika
Eropa)
Deskriptif, parokial, dan Abstrak, konservatif Teoretis, radikal, dan

10
secara ideologis, dan
negara sentries berorientasi perubahan
negara-sentris
Fokus utama pada
Fokus utama pada struktur Fokus pada kelompok
struktur serta fungsi
politik yang formal kelas dan konflik
kelompok-kelompok
(konstitusi dan pemerintah) antarkelompok
formal dan informal
Historis atau ahistoris Ahistoris Holistik
A.     Pendekatan Legal/Institusional/ Tradisional
Pendekatan Legal/Institusional sering dinamakan pendekatan tradisional, mulai berkembang
abad 19 sebelum Perang Dunia II. Dalam pendekatan ini negara menjadi fokus pokok, terutama
segi konstitusional dan yuridisnya. Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat dari UUD,
masalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Bahasan ini lebih bersifat
statis dan deskiptif daripada analitis, dan banyak memakai ulasan sejarah.
Yang terjadi, pendekatan tradisional lebih sering bersifat normatif (yaitu sesuai dengan
ideal atau standar tertentu) dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi Barat. Di samping
itu, bahasan biasanya terbatas pada negara-negara demokrasi Barat, seperti Inggris, Amerika,
Prancis, Belanda dan Jerman. Pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari
kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya salah satu dari sekian
banyak faktor (sekalipun mungkin penentu yang paling penting) dalam proses menbuat dan
melaksanakan keeputusan.
Penerapan di Indonesia, yakni karena berpedoman dengan UUD, masalah kedaulatan,
kedudukan dan kekuasaan serta keamanan masyarakat. maka seringkali pemerintah, menerapkan
kebijakan, seperti pembatasan jam malam, demi melindungi masyarakat, mencegah pencurian,
mencegah adanya penindasan antarwarga, mencegah perkosaan antarwarga termasuk juga
menerapkan pembekuan kritikan dari masyarakat, demi membuat pekerjaan pemerintah lebih
efektif, selaras, cepat, efisien, pembangunan berjalan dengan lancer. Hanya saja dampak negatif
dari pendekatan tradisional, yakni masyarakat akan merasa tertekan, karena perilaku pemerintah
yang seakan semena-mena terhadap masyarakatnya.

B.     Pendekatan Perilaku/ Behavioral


Pendekatan Perilaku timbul dan mulai berkembang di Amerika pada tahun 1950-an seusai
Perang Dunia II. Adapun sebab-sebab kemunculannya adalah sebagai berikut. Pertama, sifat
desktiptif dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat berbeda
dengan kenyataan sehari-hari. Kedua, ada kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak maju
dengan pesat, ia akan ketinggalan dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi dengan
tokohnya Max Weber (1864-1920) dan Talcott Parson (1902-1979), antropologi dan psikologi.
Ketiga, di kalangan pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai kemampuan sarjana
ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
Salah satu pemikiran pokok dari Pendekatan Perilaku ialah bahwa tidak ada gunanya
membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberi
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat untuk
mempelajari perilaku (behaviour) manusia karena merupakan gejala yang benar-benar dapat
diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai titik sentral atau
sebagai aktor yang independent, tetapi hanya sebagai kerangka bagi kegiatan manusia.
Mereka pada umumnya meneliti tidak hanya perilaku dan kegiatan manusia, melainkan
juga orientasinya terhadap kegiatan tertentu seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan,
harapan, dan sebagainya.
Salah satu ciri khas Pendekatan Perilaku ini ialah pandangan bahwa masyarakat dapat
dilihat sebagai suatu sistem sosial, dan negara sebagai suatu sistem politik yang menjadi
subsistem dari sistem sosial. Gabriel Almond berpendapat bahwa semua sistem mempunyai
struktur (institusi atau lembaga) dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa
fungsi. Fungsi ini bergantung pada sistem dan juga bergantung pada fungsi-fungsi lainnya.
Konsep ini sering disebut pandangan structural-functional.
Penerapan di Indonesia yakni perilaku penyelenggara urusan publik, yang dilakukan oleh
Birokrasi, seperti oknum Pegawai Negeri Sipil/ Aparatur Sipil Negara.
Kondisi birokrasi di Tanah Air selama ini dianggap masih banyak kekurangan. Birokrasi
di negara ini dipandang sebagai sesuatu yang boros, tidak efektif, lambat, tidak kreatif, kurang
responsif dan sensitif terhadap publik. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis
ketidakpercayaan terhadap pemeritah yang akut di Indonesia. Persepsi masyarakat terhadap
birokrasi sering kali kurang simpatik dan berkonotasi negatif. Hal ini berdasarkan pengalaman,
bahwa birokrasi yang lalu mendapatkan tantangan berat dalam menampilkan model birokrasi
yang ideal, seperti terjadinya politisasi birokrasi yang telah menyebabkan tidak netralnya
birokrasi dalam pemerintahan (terutama menjelang pilkada atau pilpres). Ada beberapa faktor
yang dapat diidentifikasi sebagai tantangan birokrasi saat ini. Pertama, rendahnya pengetahuan
dan keterampilan aparat birokrasi. Kedua, birokrasi yang terlalu ‘gemuk’ sehingga membebani
keuangan negara. Ketiga, perilaku dan gaya birokrasi yang jauh dari jati diri masyarakatnya.
Aparat birokrasi telah terkooptasi sikap dan perilakunya oleh kepentingan-kepentingan
pribadi dan politik sang patron (pimpinan) yang cenderung vested interest. Profil aparat birokrasi
telah dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak lagi menjadi alat rakyat, tetapi telah menjadi alat
penguasa dan bahkan mereka seringkali menampakkan dirinya sebagai penguasa itu sendiri.
Mereka menjadi sangat arogan, ingin menang sendiri, merasa benar sendiri dan menafikan
kepentingan rakyat dan terlebih lagi lemahnya proses rekruitmen, seleksi serta pengembangan
sumberdaya manusia (SDM) yang tidak terprogram dengan baik. Seperti yang dapat dilihat
bahwa banyak birokrasi publik yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak profesional (the wrong
man in the right place). Tidak diterapkannya merit sistem, tetapi atas dasar rasa like and dislike.
Adanya tenaga profesional, tetapi seringkali karena berbeda ideologi politik dengan pimpinannya
ditempatkan pada tempat atau posisi yang tidak semestinya (the right man in the wrong place).
Dalam hal tertentu, tenaga profesional ini juga seringkali tidak dapat didayagunakan secara
optimal karena alasan kepangkatan posisi dan sebagainya.
Evaluasi program kepegawaian sangat jarang dilakukan dan walaupun ada hasilnya,
biasanya sangat diragukan obyektivitasnya, karena selain bernuansa ‘asal bapak senang’ juga
dilakukan hanya untuk memenuhi formalitas belaka. Masih kaburnya kode etik bagi aparat
birokrasi publik (code of conduct), sehingga tidak mampu menciptakan adanya budaya birokrasi
yang sehat, seperti kerja keras, keinginan untuk berprestasi, kejujuran, rasa tanggung jawab,
bersih dan bebas dari KKN, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, pembangunan ke depan harus diletakkan dalam bingkai penguatan politik
birokrasi yang terarah pada reformasi birokrasi. Birokrasi harus dibangun dalam konteks
pembangunan, sebab birokrasi harus bisa menjadi instrumen pembangunan yang andal dimasa
yang akan datang.

C. Pendekatan Post Behavioralisme


Post Behavioralisme muncul pada era pertengahan 1960-an, sebagai bentuk penolakan sebagian
ilmuwan politik terhadap Behavioralisme. Pendekatan ini diprakarsai oleh sekelompok teoritisi
muda, yang didukung oleh salah seorang ilmuwan politik senior, yaitu : David Easton. Post
Behavioralisme muncul juga dipengaruhi oleh perang Vietnam, kemajuan teknologi di bidang
persenjataan, deskriminasi ras yang melahirkan gejolak sosial. Post Behavioralisme sebagai
gerakan protes dipengaruhi oleh tulisan : Herbert Marcuse, C. Wright Mills, Jean Paul Sartre.
Post Behavioralisme berpendapat, semakin ilmiah ilmu politik, justru ia akan semakin
kehilangan relevansinya. Penekanan pentingnya empirisme, mendasarkan semua statemen
kepada hasil observasi, mengkuantifikasikan semua kasus, akan menjebak behavioralisme
mengkaji masalah masalah yang bersifat trivial. Topik topik yang sangat penting seperti
penyebab perang, hanya memperoleh sedikit perhatian, sementara itu persoalan persoalan yang
sebenarnya lebih mudah (seperti voting behaviour) ternyata malah memperoleh perhatian yang
sangat berlebihan.

Penerapan di Indonesia, dapat diambil salah-satu segi pada supremasi hukumnya,


Sistem Hukum,
Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara. Hukum merupakan
faktor penting dalam penegakan good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh
besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan., pemerintahan yang baik tidak akan
berjalan dengan semestinya, apabila di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu
penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya
pemerintahan yang bersih dan baik
Sebagai contoh, mencari orang yang jujur dan memilik integritas tinggi sama halnya
dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang
unggul akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Dengan berpedoman pada
hukum, maka diharapkan masyarakat maupun pejabat, baik yang duduk di pemerintahan
(eksekutif),seperti presiden, gubernur, bupati/walikota, camat maupun lurah, begitu juga di
lembaga legislatif (dpr, mpr dan dpd, dprd) dan lembaga yudikatif (Mahkamah agung,
mahkamah konstitusi dan komisi yudisial) serta pihak birokrasi (pegawai negeri sipil, tentara dan
kepolisian) tidak akan melakukan tindak pidana korupsi dan peran penegakan hukum yang
tentunya harus berani mengambil sikap dalam menegakkan hukum, diatas segala-galanya.
Akan tetapi yang terjadi, justru korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini, sehingga
ini merupakan salah satu faktor yang mempersulit dicapainya good governance dan clean
government, dalam pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menjadi momok/
agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal yang tidak boleh
dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik.
Mencegah (preventif) dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan.
Pencegahan dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka
(open government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak
memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak
mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Jaminan yang
diberikan jika memang benar-benar bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.

4. Kajian ilmu politik UNESCO meliputi teori politik, lembaga politik, partai, golongan dan
pendapat umum serta hubungan internasional sedangkan kajian politik menurut Andrew
Heywood meliputi teori politik, bangsa-bangsa dan globalisasi, interaksi politik, mesin
pemertintahan serta kebijakan dan kinerja. Pada bagian lain, buku Contemporary Political
Science terbitan
UNESCO 1950 menjelaskan bahwa ilmu politik dibagi dalam empat bidang,
yaitu:
I. Teori Politik
a.Teori Politik
b.Sejarah perkambangan ide-ide politik

II. Lembaga-lembaga Politik


a.Undang-Undang Dasar
b.Pemerintahan nasional
c.Pemerintahan daerah dan lokal
d.Fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintahan
f.Perbandingan lembaga-lembaga politik

III.Partai-partai, golongan (Group) dan pendapat umum


a.Partai politik
b.Golongan-golongan dan asosiasi
c.Partisipasi warga negara dalam pemerintahan
d.Pendapat umum

IV. Hubungan Internasional


a. Politik Internasional
b. Organisasi dan Administrasi

5. Thomas P. Jenkin (1967) sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo (2008) dan Landman
(2000) membedakan dua macam teori politik ke dalam valuational theories dan empirical
theories, sekalipun perbedaan antara kedua kelompok teori tidak bersifat mutlak. Pembedaan
kedua jenis teori tersebut didasarkan pada adanya nilai (value) yang terkandung dalam teori
politik tersebut.
Pertama, Valuational Theories. Teori politik dalam kategori pertama adalah teori yang
mendasarkan pada norma, moral, dan nilai sehingga dapat menentukan norma-norma untuk
perilaku politik (norms for political behavior). Oleh karena adanya unsur norma-norma dan nilai
ini, maka teori-teori ini dinamakan valuational (mengandung nilai). Filsafat politik dan ideologi
politik termasuk dalam teori politik kategori pertama ini.
Kedua, Empirical Theories. Berbeda dengan teori politik kategori pertama, teori politik ini
“membangun hubungan-hubungan sebab akibat antara dua atau lebih konsep dalam usaha untuk
menjelaskan terjadinya fenomena politik yang diamati.” (Landman 2000, h. 15). Apabila
dikontraskan dengan jenis teori dalam kategori pertama, teori-teori kategori ini tidak terlalu
mempersoalkan norma-norma. Teori dalam kategori ini biasanya menggunakan tahapan-tahapan
seperti mendeskripsikan, mengklasifikasikan lalu mengomparasikan fenomena kehidupan politik
untuk kemudian disistimatisir dan disimpulkan dalam generalisasi-generalisasi. Miriam
Budiardjo berpendapat teori empiris ini tidak mempersoalkan norma atau nilai, oleh karena itu
teori-teori ini dapat dinamakan teori-teori yang bebas nilai (value free).

Anda mungkin juga menyukai