Anda di halaman 1dari 19

CRITICAL REVIEW

“Perkembangan Ilmu Politik Sebagai Suatu Disiplin: Tradisionalisme,


Behavioralisme, dan Post-Behavioralisme Karya SP Varma”

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah


Teori-Teori Ilmu Politik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Maswadi Rauf, M.A

Disusun Oleh:
Teddy Chrisprimanata Putra
221186918005
Kelas C1

SEKOLAH PASCA SARJANA ILMU POLITIK


UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2022
I. Pendahuluan

Ilmu politik menjadi salah satu ilmu tertua yang ada di dunia. Beberapa di

antaranya telah melacak asal-usul keberadaan ilmu pengetahuannya hingga zaman

Yunani, tetapi tidak menorehkan hasil segemilang ilmu politik. Sejak sekelompok orang

hidup bersama, kesadaran untuk mengatur dan mengawasi mulai muncul. Mulai sejak

itu, para pemikir politik merumuskan hal-hal yang menyangkut lingkup serta batasan

penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah, serta

sistem yang dianggap paling baik dalam menjamin pemenuhan kebutuhan akan

pengaturan dan pengawasan. Para pemikir politik kuno memusatkan perhatiannya pada

masalah negara ideal. Para pemikir mencoba melibatkan diri pada pengembangan sebuah

kerangka untuk hadirnya sebuah negara yang ideal. Sedang pemikir-pemikir politik

selanjutnya melibatkan diri pada masalah-masalah lain seperti, kekuasaan, wewenang,

dan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, ilmu politik mulai berfokus pada masalah

kelembagaan dan pendekatan yang digunakan pun meluas. Pendekatan yang digunakan

bersifat historis—pemikir politik memusatkan perhatian pada upaya-upaya melacak serta

menggambarkan berbagai fenomena politik, perkembangan politik yang bersifat khusus,

hingga melibatkan elemen-elemen yang bersifat abstrak.

Pendekatan historis banyak digunakan pada abad ke-19. Sebuah aliran hukum yang

bersifat historis didirikan oleh Eichron dan Sovigni yang berhasil memberikan pengaruh

begitu besar terhadap penelitian-penelitian ilmu politik. Beberapa di antaranya menjadi

sejarah yang gemilang, namun hampir tidak dapat dilukiskan sebagai sebuah ilmu politik

dalam pengertian yang ada pada masa itu. Kemudian, perkembangan ilmu politik sebagai

sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dibahas secara runut dari

tradisionalisme, behavioralisme, dan post-behavioralisme pada Bab I dalam buku “Teori

Politik Modern” yang ditulis oleh SP. Varma.


II. Pembahasan

Francis Lieber menjadi simbol bahwa pengaruh Eropa Kontinental, khususnya

Jerman memiliki peranan penting terhadap perkembangan ilmu politik di Amerika

Serikat. Karyanya yang berjudul Civil Liberty and Self Government pada tahun 1853

dianggap telah menggunakan perspektif filsafat hukum Jerman dalam meneliti lembaga-

lembaga politik Anglo Amerika. Meski demikian, ilmu politik baru menemukan

identitasnya sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri pada tahun 1880 atas

didirikannya “School of Political Science” di Columbia College atas prakarsa dari John

W. Burges. Lahirnya sekolah tersebut sepenuhnya merupakan buah pemikiran Burges

dan rekan sekerjanya yang masih muda. Kemudian pada tahun 1886, sekolah ini

menerbitkan The Political Science Quarterly yang selanjutnya menjadi saluran utama

dalam penulisan berbagai karya ilmiah ilmu politik dalam jangka waktu yang cukup

panjang.

Herbert Baxter Adams di Universitas John Hopkins yang didirikan pada tahun

1876 juga melakukan usaha-usaha serupa. Usaha tersebut dilakukan dalam bentuk

berbagai pelatihan dan penelitian lanjutan di bidang sejarah dan ilmu politik. Adams

kemudian mendirikan “The John Hopkins Historical and Political Science Association”

pada tahun 1877 dan kemudian pada tahun 1883 mendirikan The John Hopkins Studies

in Historical and Political Science. Di sisi lain, Universitas Michigan di bawah pimpinan

Charles Kendall Adams telah memperkenalkan program pengajaran untuk mencapai

magister, dan juga program penelitian untuk mencapai Ph.D di bidang sejarah dan politik.

Meski demikian, Columbia College lebih membuka diri terhadap interaksi dengan

disiplin-disiplin selain sejarah (inter-disipliner). Besarnya keinginan terhadap keilmuan

ini menambah keyakinan bahwa secara analitis dan pada derajat tertentu secara empiris,
politik dapat dibedakan dari keseluruhan ilmu sosial. Inilah ciri ilmu politik Amerika

yang membedakannya dengan corak Eropa kontinental yang menjadi asalnya.

Meski para peneliti kerap kali memberi penekanan pada penelitian historis dari

lembaga-lembaga, para pemikir politik terkadang menganalisa konsep-konsep, seperti:

Negara, Hukum, Kedaulatan, Hak-hak, Keadilan, dan sebagainya, serta cara kerja dari

suatu pemerintahan. Meski para sarjana mulai membicarakan aspek-aspek fungsional

dari organisasi-organisasi serta proses-proses politik, tetapi pendekatannya masih tetap

terbatas pada suatu kerangka kelembagaan yang bersifat legal. Maksudnya bahwa

konsep-konsep yang dianalisa selalu saja dihubungkan dengan lembaga yang bersifat

legal. Pada kuartal pertama abad ke-19, telah ditambahkan perspektif yang bersifat

normatif. Sehingga panulis masalah politik mulai membahas kelebihan dan kekurangan,

keuntungan dan kerugian, dari berbagai kelembagaan politik dengan membandingkan

antara sistem parlementer dengan presidensil, sistem distrik dan proporsional, negara

kesatuan dengan negara federal, hingga akhirnya ditemukanlah sebuah kesimpulan terkat

mana yang lebih baik tanpa mengindahkan berbagai kondisi yang terdapat dalam sebuah

negara.

Pada tahun terakhir abad ke-19, barulah muncul tentang suatu kesadaran bahwa

ilmu politik bukanlah sebuah ilmu yang hanya dipelajari di dalam ruang perpustakaan

atau ruang belajar. Lebih dari itu, ilmu politik adalah sebuah disiplin ilmu yang harus

dipelajari di lapangan—tempat berbagai interaksi politik berlangsung. Para pemikir

politik sadar bahwa sejauh ini mereka belum memberikan perhatian yang memadai dalam

memahami serta menganalisa berbagai lembaga politik pemerintahan sebagaimana

mestinya berjalan. James Bryce layak diberikan penghargaan atas karyanya yang

berjudul American Commonwealth pada tahun 1888. Dalam karyanya tersebut ia

mengatakan bahwa “Untuk melukiskan lembaga-lembaga serta Amerika sebagaimana


adanya… untuk menghindari godaan-godaan yang bersifat deduktif, serta semata-mata

untuk menyajikan fakta-fakta dari suatu kasus, maka yang kita butuhkan adalah fakta”.

“Hanya fakta, fakta dan fakta”. Hal serupa juga disampaikan Bryce dalam karyanya yang

berjudul Modern Democracies yang terbit di tahun 1924. Ia berkali-kali berbicara tentang

pemikiran: bagaimana politik menjadi suatu ilmu, dan ia selalu teguh pada suatu

kenyataan bahwa: “terdapat ketetapan dan keseragaman pada berbagai kecenderungan

dalam sifat manusia, yang memungkinkan kita beranggapan bahwa tindakan seseorang

pada suatu saat selalu dikarenakan oleh sebab yang sama, yang telah pula menentukan

tindakan-tindakan mereka pada waktu sebelumnya”. Bryce benar-benar mendukung

upaya pencarian fakta yang tak terhingga jumlahnya. Hal ini menjadi ciri utama ilmu

politik Amerika dan diperlakukan sebagai suatu sinonim untuk suatu pengertian tentang

ilmu.

Tantangan terhadap metode perbandingan sejarah telah muncul sejak semula saat

Columbia College dan Universitas John Hopkins. Pada tahun 1880-an, Woodrow Wilson

mengemukakan sanggahannya bahwa penelitian-penelitian melalui dokumen-dokumen

tidaklah sesuai bagi suatu penelitian tentang kehidupan politik. Seperti halnya dengan

esai yang ditulis pada 1887, Woodrow memiliki tujuan untuk melindung serta

memelihara demokrasi di Amerika Serikat. Seiring berjalannya waktu, metode

perbandingan sejarah mulai berkurang penggunannya oleh para peneliti. Hal ini dapat

dilihat dari apa yang dikatakan oleh Waldo, bahwa “Pada pertengahan abad ke-20,

sejarah cenderung dipandang tidak lagi sebagai sumber utama hukum-hukum politik atau

bahkan sumber pemahaman politik, tetapi hanya sebagai salah satu dari sekian banyak

sumber yang terkadang berguna untuk mendapatkan hipotesa, serta sebagai suatu

kumpulan ilustrasi yang baik dan sebagai sarana pengecekan terhadap kesimpulan-

kesimpulan yang didapat dari penelitian-penelitian keadaan masa kini.


Perkembangan-Perkembangan Baru

Didirikannya American Political Science Association di tahun 1903, serta

pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh American Historical Association yang berdiri

pada tahun 1884 dan American Economic Association yang didirikan pada 1885, telah

menegaskan perkembangan tahap keempat—yang digambarkan sebagai pendekatan

bersifat taksonomi deskriptif, di mana suatu penekanan yang begitu besar diletakkan pada

pengumpulan dan penggolongan fakta-fakta tentang lembaga-lembaga dan proses-proses

politik.

Sejatinya pendekatan-pendekatan dalam ilmu politik tradisional yang bersifat

analitis historis, legal kelembagaan, normatif preskriptif dan taksonomi deskriptif

tidaklah terlalu eksklusif, bahkan terkadang saling bertemu satu sama lain. Menurut

Charles Hyneman, lingkup ilmu politik semakin diperluas yang diistilahkan dengan

“struktur organisasional, proses pembuatan keputusan dan tindakan, politik pengawasan,

kebijaksanaan, dan tindakan serta lingkungan manusia dari suatu pemerintahan yang

legal”.

Sebelum kaum behavioralis muncul, dalam kerangka pendekatan tradisional, pada

awal abad ke-19 para ilmuwan politik telah mengembangkan pengetahuan yang lebih

luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik, daripada apa yang dilakukan pada

beberapa abad sebelumnya. Telah dimulai berbagai upaya menyelidiki masalah di mana

pusat kekuasaan terletak dalam suatu masyarakat serta bagaimana pengoperasianya di

dalam sebuah pemerintahan. Kini, mereka lebih menekankan pada analisa unsur-unsur

pembuatan suatu kebijaksanaan, serta pada penelitian terhadap karakter dan tipe-tipe

kepemimpinan politik serta perubahan pola-pola hubungan antara ideologi dan

kepemimpinan. Tidak hanya itu, mereka pun telah tertarik pada proses-proses pemilihan
dan melakukan berbagai perbaikan terhadap alat-alat perlengkapan observasi dan analisis

yang digunakan untuk penelitian secara lebih efektif dalam proses-proses ini.

Ruang lingkup ilmu politik kini tidak lagi terbatas pada filsafat-filsafat politik dan

deskripsi kelembagaan, tapi mulai cenderung menggunakan metode-metode yang

bersifat empiris dalam meneliti lembaga-lembaga dan organisasi. Juga terdapat

penekanan yang semakin besar kepada apa yang digambarkan sebagai penelitian

terhadap suatu sistem dalam keadaan beraksi (research on system in action), terhadap

cara-cara kerjanya, sebagaimana juga kepada sumber-sumber serta urutan-urutan resmi

suatu pemerintahan. Melalui penekanan-penekanan tersebut, timbul sebuah kebutuhan

akan pentingnya data-data generalisasi-generalisasi yang baru, serta pengertian-

pengertian yang semakin kritis tentang cara kerja suatu pemerintahan. Hal ini akan

membawa para peneliti kepada rasa tidak puas terhadap perangkat konseptual dan teknik

dari ilmu politik yang ada.

Keberhasilan yang dicapai oleh ilmu politik untuk menjadi sebuah subjek yang

bersifat interdisipliner dianggap sebagai jasa dari kaum behavioralis pun tidak bisa

dianggap sepenuhnya benar. Pada awal abad ke-20, Gettell menunjukkan bahwa ilmu

politik mulai dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam beberapa tahapan

penelitian kalangan intelektual. Gettell sendiri menganggap bahwa Biologi dan

Antropologi dianggap telah merangsang berkembangnya metode-metode penelitian

ilmiah, serta menekankan adanya suatu sudut pandang yang berkembang secara bertahap,

dengan maksud menyangkal sifat-sifat keramat masa lampau, serta dukungan terhadap

doktrin-doktrin liberal tentang perubahan reformasi. Menurut Gettell, berlawanan

dengan metode-metode ilmu politik yang bersifat a priori dan deduktif yang timbul

menjelang menjelang tahun 1850, dan juga dengan metode-metode pengukuran

perbandingan dan historis, yang dominan pada 50 tahun terakhir abad ke-19, metode-
metode modern menunjukkan suatu kecenderungan yang berbeda, dalam observasi,

survei dan pengukuran. Mereka juga mulai menentang apa yang pada waktu itu

digambarkan sebagai “hyper-factualism”, kebiasaan mengumpulkan fakta yang tidak

ada hubungannya dengan teori. Hal ini dianggap dapat menggagalkan tujuan dari

pengumpulan data itu sendiri.

Berdasar atas semua upaya dalam pencarian metode dan peralatan riset yang lebih

baik, bagaimana pun setiap pihak harus mengakui bahwa terobosan-terobosan yang nyata

adalah hasil upaya kaum behavioralis. Peralatan-peralatan riset yang digunakan Bryce

dan penulis-penulis lainnya masih bersifat primitive, meskipun beberapa yang didapat

bisa dianggap sangatlah akurat. Namun, ilmu politik masih belum menjangkau metode-

metode pengumpulan data, pengolahan data serta analisa data yang canggih dan teliti,

yang dikembangkan para era behavorial. Oleh Kirkpatrick ditunjukkan ketidakpuasan

tersebut telah menimbulkan keresahan dan berbagai perubahan yang meresahkan.

Pandangan baru ini merupakan ekspresi dari apa yang dikenal sebagai pendekatan

analisa, metode, teknik, data yang baru untuk mengembangkan suatu teori yang

sistematis.

Akan menjadi sebuah kesalahan apabila terdapat pandangan yang mengatakan

bahwa dalam ilmu politik dapat ditarik sebuah garis demarkasi antara pendekatan

tradisional dengan pendekatan perilaku (behavioral). Berdirinya American Political

Science Association pada tahun 1903, kemudian terbitnya American Political Science

Review atas bantuan lembaga tersebut tiga tahun kemudian, dapat dipandang sebagai

suatu peristiwa yang amat penting. Meski beberapa ketua dengan kinerjanya dianggap

tidak mampu melahirkan hal-hal baru, tetapi para ketua asosiasi lainnya, seperti: Frank

J. Goodnow, James Bryce, Lawrence Lowell, dan Woodrow Wilson benar-benar

memiliki pemikiran yang jauh ke depan. Pada umumnya, mereka yakin bahwa setiap
penelitian di bidang politik, harus mempunyai relevansi langsung terhadap kenyataan

politik praktis yang ada. Charles Beard, A.L. Lowell, serta Arthur Bentley juga berperan

penting dalam upaya memperluas ruang lingkup ilmu politik. Graham Wallas dalam

bukunya berjudul Human Nature in Politics yang terbit pada tahun 1908 memberikan

sebuah penekanan yang disebut sebagai “sosio-psikologi”, landasan suatu perilaku

politik, serta lebih sebagai kekuatan-kekuatan psikologis daripada bentuk dan

infrastruktur. Ia juga mencoba menghubungkan kondisi ilmu politik yang tidak

memuaskan pada waktu itu dengan masih dipertahankannya konsep-konsep psikologi

yang salah dan using, serta memberikan komentarnya bahwa semua orang yang

mempelajari politik hanya menganalisa berbagai macam lembaga tetapi mengabaikan

analisa terhadap faktor manusianya sendiri. Penulis Inggris lainnya, George Catlin dalam

bukunya mengatakan antisipasi manfaat pendekatan yang bersifat inter-disipliner, yang

berakar pada ilmu politik yang bersifat behavioral, serta menekankan—seperti yang

pernah dilakukan oleh Lasswell, namun bukan berarti ia terpengaruh olehnya, melainkan

bahwa hubungan-hubungan kekuasaan telah menciptakan titik perhatian utama dari

masalah-masalah politik.

Arthur Bentley dan Konsep Tentang Proses

Arthur A.F. Bentley dan Charles Merriam adalah tokoh penting dalam meletakkan

landasan bagi berdirinya ilmu politik yang bersifat behavorial. Adapun dua sumbangan

dari Bentley, yakni: gagasan tentang “kelompok” sebagai tingkat kenyataan yang tepat

bagi pemahaman serta penelitian politik, dan konsep tentang proses yang menjadi satu-

satunya pendekatan yang andal untuk memahami realitas. Hal ini ia sintesakan dalam

karyanya yang berjudul The Process of Government, sebuah buku yang digambarkan

oleh Bertram Gross pada empat puluh tahun kemudian sebagai salah satu buku tentang

pemerintahan yang terpenting di dunia. Bentley sendiri merupakan seorang ahli teori dan
sekaligus metodologi di mana konsepnya tentang proses berhasil menentukan sebagian

besar pendekatan perilaku (dari kaum behavioralis) dan merupakan sebagian dari

sumbangannya kepada bidang teori. Bentley juga merupakan pengecam keras ilmu

politik tradisional. Hal ini disebabkan oleh karena Bentley menganggap ilmu tersebut

mandul dan terlalu formalistis, animistis, mandul, dan statis—ini disebabkan tidak

adanya penekanan yang memadai kepada penelitian-penelitian tentang proses—

merupakan sebuah konsep yang diserap ke dalam ilmu politik yang bersifat behavioral,

seperti proses legislatif dan yudikatif, proses pembuatan keputusan, proses politik dan

sebagainya.

Charles Merriam dan Awal Suatu Pendekatan Ilmiah

Charles Merriam dianggap sebagai bapak pembaptisan intelektual dari ilmu politik

yang bersifat behavioral, memulai karirnya di Universitas Chicago sebagai seorang ahli

ilmu politik tradisional, yang menulis buku-buku menurut adat pemikiran politik Eropa

dan Amerika. Hasil karyanya adalah Pripary Election pada tahun 1908 merupakan suatu

analisa empiris, meskipun ia tidak menyelaminya secara mendalam. Pada tahun 1921

dalam suatu artikelnya yang dimuat dalam American Political Science Review, ia

meminta perhatian lebih besar kepada berbagai metode dan penemuan dari ilmu seperti

sosiologi, psikologi sosiologi, geografi, etnologi, biologi dan statistic. Pada tahun 1924

ia semakin menyadari kemungkinan munculnya ilmu psikologi politik. Ia menekankan

bahwa kebutuhan dasar yang diperlukan bagi ilmu politik adalah pengembangan suatu

teknik serta metodologi ilmiah dalam penelitian akan seluk-beluk dari fenomena politik

yang ada dengan teliti, sabar dan intensif.

Merriam menganggap hasil kerja para ahli sejarah tidak relevan, mereka terlalu

mengabaikan faktor-faktor psikologis, sosial dan ekonomi dalam kehidupan manusia, ia

juga menganggap pendekatan tradisional dari disiplin ilmu ini merupakan landasan yang
tidak memadai lagi bagi adanya suatu ilmu politik yang baru. Pergeseran dari

progresisme historis ke arah behavioralisme psikologis yang disajikan oleh Merriam ini

juga merupakan indikasi kecenderungan umum dari pemikiran-pemikiran yang terdapat

di antara para ilmuwan politik. Menarik untuk dicatat bahwa tiga sidang dalam

konferensi nasional tentang ilmu politik yang diselenggarakan pada tahun 1923, 1924

dan 1925, diselenggarakan di Chicago memberikan arah baru bagi ilmu politik yang

dihadiri oleh para ahli psikologi dan justru tidak dihadiri oleh ahli sejarah maupun

sosiologi. Laporan konferensi tersebut sebagai kesimpulan atas pandangan-pandangan

dari mereka yang hadir menyatakan “tidak ada keragu-raguan lagi bahwa berbagai hal

yang telah dicapai ilmu politik baru bisa menyajikan pengukuran-pengukuran yang

akurat serta generalisasi yang bersifat ilmiah bila kita dapat menemukan metodenya”.

Hasil karyanya yang berjudul New Aspect of Politics yang ditulis pada tahun 1925

akhirnya menjadi kekuatan intelektual yang berpengaruh dalam Chicago Round, dimana

para ilmuwan politik behavioralis yang lebih muda berkumpul kemudian mendirikan The

Chicago School of Behavioral Political Science. Di bawah kepemimpinannya,

Departemen Ilmu Politik Universitas Chicago menjadi pusat utama kegiatan-kegiatan

akademik, serta berhasil menghasilkan ilmuwan-ilmuwan politik terkemuka, seperti

Leonard White, Horald Gosnell, Quinchy Wright, Horald Laswell, Frederich Schuman,

V. O. Key Jr, Gabriel Almond, Avery Leiserson, Herbert Simon dan David Truman.

Merriam sendiri percaya akan pentingnya manfaat ilmu dalam pelaksanaan prinsip-

prinsip demokrasi. Ia juga tidak pernah menentang pentingnya ilmu politik menjadi ilmu

tentang kebijaksanaan.

Pengaruh Ahli-Ahli Sosiologi Eropa

Faktor-faktor penting lainnya yang menyebabkan perkembangan behavioralisme

dalam ilmu politik di Amerika Serikat adalah pengaruh dari sekelompok sarjana Eropa,
dan di antara mereka begitu dipengaruhi oleh pendekatan-pendekatan ilmu politik yang

bersifat sosiologis. Kita dapat menyebutkan nama Marx di sini. Pada tahun 1867, Marx

mengatakan bahwa masyarakat bukanlah suatu kristal yang padat tetapi merupakan

organisme yang mampu secara konstan berubah. Tetapi pengaruh yang lebih besar datang

dari Comte, Durkheim, Weber dan Frued, semuanya dianggap sebagai perintis jalan bagi

behavioralisme. Agus Comte sebagai penemu istilah sosiologi, menaruh perhatian

terutama pada pengembangan suatu ilmu tentang masyarakat yang bersifat empiris dan

mencoba menerapkan metode-metode ilmiah, bersama-sama dengan suatu teori ilmiah

tentang sosial. Dalam tulisannya ia membahas dengan rinci pengaruh dari suatu

masyarakat yang sedang berubah terhadap negara dan lembaga-lembaga politiknya.

Perang Dunia II dan Pengaruhnya

Perang Dunia II telah membuat banyak ilmuwan politik di Amerika Serikat turun

dari menara gading serta menempatkan mereka langsung pada kenyataan-kenyataan

politik dan administratif yang terjadi di Washington dan tempat-tempat lainnya. Tahun-

tahun peperangan menjadi sangat penting, karena berhasil mengumpulkan ilmuwan

politik, ekonomi, sosiologi dan psikologi sosial dari berbagai bagian negara tersebut.

Penekanan pada penelitian tentang sikap-sikap, motivasi serta persepsi dari individu telah

menyebabkan semakin tingginya pemanfaatan wawancara sebagai sumber data. Teknik-

teknik wawancara benar-benar diperbaiki. Perhatian juga diberikan kepada teknik-teknik

analisa isi atau kadar (content analysis), di mana statistik dimanfaatkan jauh lebih besar.

Dengan ditingkatkannya penggunaan teknik survei dan wawancara sebagai suatu

sumber data serta suatu metode verifikasi telah membawa para ilmuwan politik kepada

masalah-masalah pengukuran sikap, bentuk-bentuk skala, pengujian validitas dan

reliabilitas dan lain-lain. Para ilmuwan politik juga kini menangani masalah-masalah
yang selama ini merupakan monopoli ahli-ahli sosiologi dan psikologi. Kemudian

ilmuwan politik juga mulai mempelajari penelitian-penelitian tentang pemilihan.

Tahun-Tahun Sesudah Perang

Pada masa ini, behavioralisme yang bersifat thrustonian yang lama mulai

ditinggalkan, karena konsepsinya tentang metode ilmiah didasarkan terlalu sempit dan

pilihannya terhadap sikap sebagai unit yang fundamental dianggap terlalu terbatas. Ilmu

politik pada saat itu berada di bawah pengaruh ahli-ahli sosiologi serta pendekatan

sistem. Tetapi antara tahun 1945-1955 sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kirkpatrick,

istilah ilmuwan behavioral masih menggambarkan suatu pendekatan dan tantangan,

suatu orientasi dan gerakan reformasi. Selama periode ini beberapa perangkat asumsi,

metode-metode, teknik-teknik serta data-data yang berbeda selalu diidentifikasikan

dengan gerakan behavioral dalam ilmu politik. Sejak awal tahun 1920-an, suatu dewan

riset ilmu sosial (Social Science Research Council) telah didirikan di Amerika Serikat.

Badan ini merupakan suatu badan swasta yang terdiri dari para ilmuwan sosial yang

berusaha membantu para peneliti dalam mengembangkan tema-tema serta metode-

metode yang lebih baik. Program ini mengarah pada berdirinya pusat penelitian lanjutan

ilmu perilaku di Palo Alto. Dengan metode statistik yang sudah begitu maju dan

tersedianya komputer elektronik yang semakin banyak, benar-benar memudahkan

penelitian-penelitian dalam lapangan baru tersebut.

Para ahli behavioralisme secara tegas dapat dibagi dalam sejumlah hal, seperti: a).

kemungkinan dan keinginan akan adanya suatu paradigma bagi ilmu politik secara

keseluruhan, b). keunikan serta kemiskinan akan hal-hal yang bersifat politik, c). peran

serta status penelitian terapan, dan d). kemungkinan, potensi dan keinginan akan

penelitian tentang kebijaksanaan. Kaum behavioralisme menghadapi tantangan keras dan


terorganisir dari para kaum tradisionalis, namun pada pertengahan kedua dekade 1960-

an behavioralisme benar-benar merupakan fakta yang bisa diterima.

Pendekatan-Pendekatan Inter-Disipliner

Marx menemukan sumber utama perilaku politik dalam tingkat perkembangan

teknologi dan struktur kelas, yang merupakan faktor-faktor yang erat hubungannya

dengan sosiologi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gabriel Almond “Teori-teori politik

klasik lebih merupakan suatu sosiologi dan psikologi politik, serta teori yang bersifat

normatif daripada teori tentang proses politik”. Tahun 1920-an telah berdiri Social

Science Research Council, ilmu politik mulai terlibat dalam suatu kegiatan kerja ilmu

sosial yang bersifat inter-disiplin. Pada akhir tahun 1920-an dan awal tahun 1930-an, di

bawah pengaruh sarjana-sarjana imigran dari Eropa mencoba menghidupkan kembali

perhatian terhadap masalah-msalah yang bersifat normatif, filosofis dalam ilmu politik.

Lazersfeld dianggap sebagai ahli sosiologi politik yang mengembangkan penilaian-

penilaian tentang perilaku dalam pemungutan suara di Amerika Serikat. Ahli-ahli

sosiologi politik lainnya menerapkan analisanya terhadap struktur birokrasi, seperti Max

Weber dan Robert Michels.

Berakhirnya Perang Dunia II, juga menandakan bahwa para ilmuwan politik telah

sukses menyerap pendekatan-pendekatan teoritis dan metodologis dari sosiologi politik

dan psikologi ke dalam analisa politik, dan penelitian-penelitian tentang perilaku dalam

pemungutan suara serta sikap-sikap politik telah menjadi suatu pokok permasalahan

umum bagi suatu penelitian ilmiah.

Hubungan Dengan Sosiologi dan Antropologi

Berbagai istilah yang muncul, seperti: relativisme budaya, evolusi sosial, difusi

budaya dan akulturasi yang digunakan oleh ilmuwan politik merupakan konsep-konsep

dari antropologi. Demikian juga beberapa istilah teori politik yang kini digunakan secara
umum dalam antropologi. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat-

masyarakat politik di daerah-daerah yang sedang berkembang, sangatlah penting bagi

ilmuwan politik untuk memperhitungkan lingkungan sosial budaya dari kehidupan

mereka, maka bantuan dari sosiologi dan antropologi sangatlah penting. Oleh karena itu

para ilmuwan politik harus mempelajari tentang studi kawasan (country studies), tidak

hanya meneliti elit-elit nasional atau kebijakan pemerintah pusat saja, melainkan juga

harus memperhatikan masalah-masalah politik lokal atau daerah. Sosiologi dalam ilmu

politik merupakan disiplin yang mempunyai asal-usul yang serupa. Sudah sejak lama

ilmu politik telah melibatkan dirinya dengan masalah-masalah negara dan masyarakat.

Kita perlu melihat ilmu sosial sebagai suatu “total enterprice”, serta: a). mengamati

sistem tersebut dalam hubungannya dengan lingkungan, b). mempelajari pengaruh suatu

pembaharuan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan itu, c). menganalisa sistem

tersebut, terutama struktur-strukturnya yang bersifat menyatukan (integratif) dan

mengatur (directif).

Pendekatan ilmu sosial juga akan sangat membantu para ilmuwan politik dalam

memberi penekanan pada aspek-aspek prosesional dalam sistem itu. Penelitian terhadap

ketegangan yang timbul dalam pengaturan budaya, di mana sosiologi begitu menaruh

perhatian secara khusus akan membantu menyelesaikan konflik-konflik politik.

Ilmu Politik, Ekonomi, dan Psikologi

Ilmuwan politik mulai banyak menggunakan paradigma ilmu ekonomi, model-

model penukaran yang didasarkan pada alokasi beban, pembagian kerja secara politik

dan sebagainya. Namun bukan berarti hal baru ini kemudian menggeser sosiologi politik

secara keseluruhan, karena ilmu politik akan terus menaruh perhatian pada masalah-

msalah yang tidak dapat dipecahkan dari sudut pandang ekonomi saja.
Hal yang begitu mendasar membedakan ilmu politik dan psikologi, sehingga

penerapan perangkat psikologi dalam analisa-analisa politik terkadang menjadi

pengalaman yang mengandung risiko dan sungguh membingungkan. Oleh karena itu,

meskipun terdapat kecenderungan ke arah psikologi, ilmu politik belumlah mampu

memanfaatkan secara penuh perkembangan teori dan kerangka konseptual yang terjadi

dalam bidang psikologi untuk tujuan analisa politik. Bagian terpenting dalam psikologi

mempengaruhi penelitian-penelitian politik adalah psiko-analisa. Psikologi Freud sendiri

dianggap sebagai salah satu dari dua model pemikiran paling berpengaruh, yang muncul

dalam peradaban barat pada dua abad belakangan ini. Satu orang lainnya ialah Marx.

Pemikiran Freud menjadi pengaruh besar terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan

daripada terhadap psikiatri. Freud sendiri sama sekali tidak mempercayai manusia dalam

masyarakat. Ilmu psikologi semacam ini tentu saja belum dapat memberikan pengaruh

yang mendalam terhadap studi ilmu politik.

Pada awal tahun 1930-an, Karen Horney, Erich Fromm dan Harry Stack Sullivan

menciptakan suatu konsep psiko-analisa yang disosialisasikan (Socialised psyco-

analysis), yang mempunyai pengaruh lebih besar terhadap penelitian-penelitian politik,

dan sering digambarkan sebagai Neo-Freudians. Erich Fromm dan Karen Horney justru

lebih dipengaruhi oleh Karl Marx. Teori psiko-analisa baik socialised psico-analysis

maupun neo freudian benar-benar mempengaruhi pemikiran-pemikiran sosial di barat,

khususnya di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Ahli-ahli psikologi terkemuka

masa itu seperti Heinz Hartmann, Thimas French dan Erik H. Erikson telah menggunakan

suatu pendekatan terhadap psiko-analisa yang secara metodologis lebih dapat diterima.

Dari Behavioralisme ke Post Behavioralisme

Di antara prinsip-prinsip serta adanya kecenderungan-kecenderungan post-

behavioral yang penting, terdapat penekanan-penekanan baru pada nilai-nilai dalam


masalah keadilan, kebebasan dan persamaan. Kaum behavioralis yang kini beralih

menjadi post-behavioralis menyadari bahwa terlalu banyak waktu yang terbuang oleh

mereka, untuk penelitian-penelitian yang dangkal dan sering kali tidak relevan. Mereka

memikirkan masalah-masalah stabilitas, ultra stabilitas, homeostatis, ekuilibrium, pola-

pola pemeliharaan dan sebagainya dengan bidang pekerjaan yang dilakukan kadang-

kadang didasarkan pada seluk-beluk, skala-skala, indek-indeks, serta teknik-teknik

khusus untuk mengumpulkan dan menganalisa data.

Terdapat 7 sifat karakter post-behavioralisme yang menggambarkannya sebagai

The Credo of Relevance atau A Distillation of Maximal Image, yaitu:

1. Dalam penelitian politik, substansi atau isi pokok harus mendahului teknik.

2. Ilmu politik masa kini seharusnya memberikan penekanan utamanya kepada

perubahan sosial dan bukan kepada pemeliharaannya, sebagaimana tampak

yang dilakukan oleh kaum behavioralis.

3. Ilmu politik selama masa behavioral, secara penuh telah melepaskan dirinya dari

realitas politik yang sifatnya masih kasar.

4. Kaum behavioralis, meskipun tidak sepenuhnya mengingkari peranan dari suatu

sistem nilai, telah memberikan penekanan yang begitu besar kepada paham-

fpham keilmiahan serta pendekatan yang bebas nilai, sehingga masalah nilai

untuk tujuan praktis tak pernah menjadi suatu bahan pertimbangan.

5. Kaum pendukung post-behavioralisme, ingin mengingatkan para ilmuwan

politik bahwa sebagai kaum intelektual mereka mempunyai peranan yang harus

dimainkan, tugas penting yang harus dilaksanakan dalam masyarakat.

6. Apabila kaum intelektual memahami masalah-masalah sosial dan merasa dirinya

terlibat di dalamnya, mereka tidak akan pernah menjauhkan diri dari tindakan-

tindakan nyata.
7. Apabila diakui bahwa, a). kaum intelektual memiliki peranan positif dalam

masyarakat dan b). peranan ini berusaha menentukan tujuan yang pantas bagi

masyarakat, membuat masyarakat bergerak sesuai dengan tujuan tersebut, maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa politisasi profesi dari semua asosiasi

profesional, begitu juga universitas-universitas tidak dapat dielakkan dan sangat

diperlukan.

III. Kesimpulan

Adapun buku berjudul “Teori Politik Modern” yang ditulis oleh SP. Varma

merupakan sebuah referensi yang cukup lengkap. Dalam buku ini dibahas terkait

perkembangan politik modern ala Barat, terutama Amerika Serikat. Namun dalam buku

ini tidak menjelaskan lebih banyak bagaimana perluasan pengaruhnya terhadap dunia

timur atau terhadap belahan dunia lainnya. Penjelasannya sangat bergantung pada

pendapat dan pandangan para ilmuwan politik Eropa dan Amerika. Pembahasan

perkembangan ilmu politik sebagai pengantar memasuki wilayah pemahaman pemikir

politik yang lebih dalam seharusnya menjelaskan prosesi pengaruh terhadap dunia,

misalnya: pemikiran politik Karl Marx yang sangat berpengaruh pada belahan dunia

bagian timur (Asia). Namun, tidak dijelaskan lebih jauh dalam konteks pemahaman

politik baru dalam buku ini yang jauh lebih banyak menjelaskan pengaruhnya pada

perkembangan ilmu politik Barat.

IV. Critical Review

Setelah membaca buku berjudul “Teori Politik Modern”, khususnya di Bab I yang

berjudul “Perkembangan Ilmu Politik Sebagai Suatu Disiplin: Tradisionalisme,

Behavioralisme, dan Post-Behavioralisme” karya dari SP. Varma, penulis memandang

bahwa SP. Varma mencoba menguraikan perkembangan ilmu politik dari barat terutama

Amerika Serikat di mana pendekatan-pendekatan behavioral maupun post-behavioral


lahir. SP. Varma mencoba mengurai secara proses perubahan-perubahan yang terjadi dari

tradisionalisme, behavioralisme sampai ke post-behavioralisme, namun tidak

digambarkan atau dijelaskan secara rinci bagaimana paham tradisionalisme tersebut.

Dalam buku ini juga cukup dijelaskan bahwa tradisonalisme merupakan kaum yang

menganut keyakinan tradisi klasik ilmu politik, sedangkan post-behavioralisme

merupakan paham dari kaum yang tidak puas atas hasil capaian kaum behavioralis dan

mulai mencoba untuk mendorong ilmu politik lebih maju lagi ke arah baru. Dalam buku

ini, seharusnya SP. Varma menguraikan lebih engkap tentang beberapa peradaban yang

pernah hidup, tidak hanya didasarkan atas gerakan modern yang pernah terjadi di

Amerika Serikat dan Eropa, namun gerakan ilmu politik di Asia pun juga penting untuk

diuraikan. Dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Miriam Budiardjo menyebutkan

bahwa di Asia juga sudah berkembang kebudayaan dalam politik, seperti China dan

Indiaa. Terhitung sudah begitu banyak tulisan-tulisan politik yang bermutu, bahkan di

Indonesia sendiri kita dapat menemukan karya-karya besar yang membahas masalah

sejarah dan kenegaraan.

Bahan Bacaan

Budiardjo, Miriam. (2021). Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi cetakan ketujuhbelas).
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Varma, SP. (1999). Teori Politik Modern. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai