Anda di halaman 1dari 55

Kedudukan Demokrasi dalam Pemikiran Barat

sejak Plato hingga Marx


 

PENDAHULUAN

Fenomena demokrasi telah menjadi wacana luas sejak berakhirnya perang dingin di tahun 1991.
Runtuhnya simbol kekuasaan komunis yakni Uni soviet menjadi determinasi penerimaan konsep
demokrasi secara menyeluruh oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Demokrasi
merupakan konsep penyelenggaraan pemerintah yang diusung oleh pemahaman liberal Barat,
utamanya Amerika sebagai pencetus pertama konsep demokrasi. Walaupun demikian, banyak
pula yang berpendapat bahwa demokrasi secara partikular berakar dari nilai nasionalisme dan
kebebasan berpendapat yang berkembang sekitar awal abad 20.

Konsep demokrasi bukanlah hal yang sama sekali baru bagi dunia internasional. Konsep
demokrasi tertua telah diperkenalkan secara implisit oleh filsuf Yunani kuno, yakni Plato dan
Aristoteles. Akan tetapi, posisi demokrasi dalam ketatanegaraan berdasarkan pemikiran filsuf-
filsuf tersebut belumlah substansial seperti masa sekarang. Hal itu disebabkan demokrasi
dianggap merupakan konsep negara yang buruk dalam dunia filsuf Yunani saat itu.

Pada masa-masa selanjutnya nilai demokrasi ditelan oleh konsep negara politea dan otokrasi, hal
ini sejalan dengan pemikiran Santo Agustinus dan Thomas Aquina. Sedangkan pada masa
berikutnya, yakni pada masa pemikiran Machiavelli dan Thomas Hobbes, konsep demokrasi
mengalami nasib naas, dikubur oleh kekuasaan yang terpusat pada satu penguasa saja.
Selanjutnya, demokrasi mulai mendapatkan angin segar dari Montesquieu dan J.J. Rousseau
sehingga meraih kepercayaan diri sebagai konsep negara yang idealis dan banyak diidam-
idamkan oleh orang-orang di dunia, khususnya orang-orang yang tertindas. Demokrasi meraih
momentum keemasan ketika ia diembeli oleh nilai-nilai liberalisme seperti kebebesan
berpendapat dan kebebasan pasar ekonomi yang seluas-luasnya.
Berbeda dengan pemikir-pemikir barat era sebelumnya, seperti yang telah disebutkan di atas,
Freidrich Engels, Karl Marx dan Engels muncul sebagai pemikir radikal yang kontroversional.
Dinamakan kontroversional karena seolah-olah pemikiran ketiganya mendirikan parameter jelas
yang membatasi konsep demokrasi yang berlebihan. Dikatakan oleh ketiganya, bahwa demokrasi
yang dijunjung tinggi oleh demokrasi mesti diawasi oleh keterlibatan pemerintah pusat dalam
melakukan kontrol yang ketat, bila perlu.

Berikut dalam tulisan ini akan dibahas satu persatu perspektif pemikir barat dalam
menerjemahkan konsep demokrasi sesuai dengan konteks zamannya masing-masing dengan
harapan semoga tulisan ini menjadi bacaan ringan dan menambah pengetahuan pembaca
budiman. Segala kritik dan saran diterima dengan terbuka demi memperbaiki tulisan ini di masa
datang.

1. Zaman Yunani Kuno, Plato (429-347 Sm) dan Aristoteles (384-322 SM)
Keilmuan Yunani, pusat awal perkembangan peradaban Barat, memperkenalkan metode-metode
eksperimental dan spekulatif guna mengembangkan pengetahuan melalui semangat rasionalisme
dan empirisme dengan menempatkan akal di atas segala-galanya. Dengan kata lain sumber
kebenaran hanya dapat dikenali melalui akal. Berbeda dengan pemikiran di atas yang lazim di
Yunani, Socrates, salah satu pemikir Yunani yang paling signifikan dan inspiratif,
mengungkapkan bahwa kebenaran dapat dikenali melalui metode retoriknya. Yakni kebenaran
akan diketahui buktinya dengan melakukan investigasi, dengan bertanya, terus-menerus. Athena,
tempat lahirnya para filsuf Yunani dahulunya terkenal dengan sistem pemerintahan yang
demokratis.

Dalam sejarah awal perkembangannya demokrasi juga memakan korban. Socrates, filsuf
terkemuka negara Yunani kuno, sangat kritis membela pemikiran-pemikirannya, yaitu agar kaum
muda tidak mempercayai para dewa dan mengajari mereka untuk mencapai kebijaksanaan sejati
dengan berani bersikap mencintai kebenaran sehingga terhindar dari kedangkalan berpikir.

Socrates sangat meyakini adanya kebenaran mutlak, maka para penguasa Athena menganggap
Socrates sebagai oposan. Mereka menganggap Socrates menyesatkan dan meracuni kaum muda
dengan ajaran-ajarannya. Socrates menemukan argumen untuk membela diri, yaitu dengan
metode induksi (penyimpulan dari khusus ke umum). Dengan metode induksi ini ia menentukan
pengertian umum yang berhasil membuktikan bahwa tidak semua kebenaran itu relatif.

Meskipun tidak meninggalkan ajaran gurunya, Plato mengungkapkan bahwa kebenaran yang
mutlak terletak pada ide dan gagasan yang abadi. Seluruh filsafat Plato bertumpu pada ide yang
menurutnya realitas (kenyataan) sebenarnya dari segala sesuatu yang ada dan dapat dikenal lewat
panca indra.

Melalui idealisme yang empiris, Plato mengungkapkan bahwa hal terpenting berhubungan
dengan penguasa adalah,penguasa mesti berasal dari kalangan filsuf. Dengan sejumlah
argumentasi, menurut Plato, hanyalah filsuf yang dibekali dengan nilai-nilai kebenaran.
Landasan pemikiran Plato tentang negara berawal dari idenya yang menggolongkan manusia ke
dalam kelas dalam negara, berturut terdiri dari akal, semangat, dan nafsu yang kemudian
memperoleh interpretasi berbeda yakni sebagai penasihat, militer, dan pedagang.

Plato mempercayai bahwa masing-masing individu mesti melaksanakan fungsinya dengan


sebaik-baiknya dan tidak ada pelanggaran hierarkis. Hierarki inilah yang kemudian
dipertahankan oleh plato sebagai justifikasi pemikirannya mengenai demokrasi. Artinya,
demokrasi kerakyatan tidak bisa diterima oleh pemikiran plato seperti di atas karena rakyat biasa
tidak mempunyai waktu untuk memikirkan negara, dan lebih pentingnya lagi, Plato menegaskan
bahwa rakyat tidak memiliki pengetahuan ketatanegaraan sama sekali. Penyerahan wewenang
pada rakyat yang demikian sepenuhnya merupakan awal kehancuran suatu entitas kekuasaan itu
sendiri.

Pemikiran ini serupa dengan muridnya Aristoteles, meskipun sedikit berbeda, Aristoteles dan
Plato berbagi kemiripan landasan pemikiran. Pemikiran Aristoteles mengenai demokrasi
diungkapkan dalam pandangannya mengenai warganegara. Menurutnya tidak semua individu
dikelompokkan ke dalam warganegara. Warganegara adalah individu yang memiliki waktu
untuk memperluas pengetahuan tentang urusan publik dan mengupayakan kewajiban.
Sebaliknya, individu yang secara alamiah merupakan budak dan kelas produsen, petani tidak
masuk kategori warganegara. Singkat cerita, implementasi pemikiran Aristoteles terdapat pada
pengertian, filsuf yang notabene mengusahakan kebajikan bisa disebut warganegara; sementara
budak, bukan warganegara. Jadi ketika wewenang diberikan kepada individu secara meluas
seperti golongan petani, golongan penghasil produsen, dan budak, mengakibatkan negara berada
pada bentuk terburuknya. Hal ini ditegaskan oleh tulisan Aristoteles, Republik, yang
menempatkan bentuk negara demokrasi sebagai bentuk terburuk suatu negara.

1. Abad Pertengahan, Santo Agustinus (354-450) dan Thomas Aquinas (1229-1274)


Watak filsafat politik Santo Agustinus, bekas penganut Manikheisme dan pembuat onar semasa
remajanya ini, bisa dikarakterkan menjadi tiga: filsafat murni, yakni membahas teori tentang
waktu; filsafat tentang sejarah yang membahas City of God; dan teori tentang penebusan dosa.
Ia meletakkan bentuk negara politea yang berdasarkan dengan konsep ketuhanan sebagai konsep
negara paling baik. Secara simbolis ia mengungkapkan bahwa penguasa tunggal, monarki,
merupakan representasi Tuhan di dunia. Ia melihat wewenang representasi Tuhan tersebut mesti
diikuti oleh rakyat umum atas dasar nilai kebaikan dan kepatuhan bersama. Secara singkat ini
menyiratkan seolah Tuhan mengatur kehidupan ketatanegaraan, semacam bentuk negara
kesemakmuran Kristiani. Sehingga ia melihat konsep negara dengan wewenang terletak pada
rakyat luas—demokrasi, sebagai suatu negara yang tidak ideal karena negara demokrasi
merupakan refleksi negara duniawi yang penuh dengan kekacauan, pertikaian, dan peperangan.

Dalam beberapa tulisannya dia memperkenalkan konsep pemahaman dalam memahami

fenomena budak sebagai keadaan alamiah yang mesti diterima dengan lapang sebagai suatu
keadaan dalam rangka upaya untuk menebus dosa. Masyarakat bawah menurutnya terdiri dari
banyak orang yang masih berposisi budak. Sehingga ketika wewenang diberikan pada rakyat
secara luas, maka wewenang tersebut cenderung dilaksanakan jauh dari cita-cita negara Tuhan.

Selain itu, Thomas Aquinas lahir 1225, terkenal dengan tulisannya Summa Theologika. Ia
mengatakan bahwa hakikat manusia adalah berasal dari tuhan, yang mana tuhan kemudian
menetapkan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan politik. Dalam tulisanya ia juga sering
mengusung pola hukum yang meliputi hukum kodrat, hukum alam dan hukum abadi.
Menurutnya negara merupakan aktualisasi sifat alamiah manusia, sehingga terbentuknya suatu
negara merupakan cerminan kebutuhan kodrati manusia.
Negara memuat serangkaian kewajiban salah satunya adalah mengarahkan setiap kelas-kelas
sosial dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan doktrin kristiani
meyakini keberadaan alam akhirat yang abadi.

Dalam hal ini, pemikiran Thomas Aquinas tidak jauh berbeda dengan Santo Agustinus.
Keduanya memiliki pandangan yang sama bahwa negara mesti dibentuk oleh nilai ketuhanan.
Bentuk negara yang sesuai dengan cita-cita keduanya yakni politea.

Thomas Aquinas berpikirn bahwa tentang kehendak bebas manusia dan tujuan akhir manusia
yang selalu bermuara pada kebaikan, idealnya, pada tujuan ketuhanan. Meski tidak dijelaskan
secara tersurat dalam berbagai tulisan baik Santo Agustinus dan Thomas Aquinas mengenai
posisi demokrasi. sedikit sekali mereka menyinggung bentuk negara demokrasi. adapun Thomas
Aquinas pernah mengatakan bahwa bentuk negara terbaik adalah monarki, dan yang terburuk
adalah tirani denga tambahan demokrasi, setidaknya telah mendapatkan posisi yang lebih baik
daripada dulu pada zaman filsuf. Menurutnya, demokrasi, meskipun buruk, tapi masih lebih baik
daripada tirani.

1. Abad Pencerahan, Machiavelli (1467-1527) dan Thomas Hobbes (1588-1679)


Machiavelli meletakkan, demokrasi di tempat terburuk, dan tirani di tempat terbaik dalam hirarki
bentuk negara menurut pemikirannya. Hal berdasarkan pemikiran realis klasiknya yang
berlebihan, ia beranggapan negara akan mengalami kejayaan manakala pemimpimnya terlepas
dari nilai moral dan etika yang dulu pada abad pertengahan pernah diagung-agungkan. Akan
tetapi, dalam lingkaran pemikirannya Machiavelli menyiratkan salah satu nilai demokrasi, yakni
kebebasan individu. Menurutnya, kebebasan individu disediakan sepanjang tidak mengganggu
keselamatan dan stabilitas tatanan politik. Walaupun Machiavelli tidak secara eksplisit
menunjukkan nilai-nilai demokrasi, ia telah memulai anggapan bahawa sebenarnya nilai
demokrasi itu tetap digenggam dalam bentuk negaranya. Akan tetapi, tetap, monarki absolut
berada di tataran tertinggi bentuk negara terbaik berdasarkan pemikirannya.
Pemikiran ini selaras dengan Thomas Hobbes. Meninggalkan pemikiran ekstrem Machiavelli,
Thomas Hobbes, meletakkan demokrasi di tempat terburuk, dan monarki di tempat tertinggi
dalam hierarki bentuk negara sesuai dengan pemikirannya. Menurutnya pemerintahan akan
sebaik-baiknya dijalankan jika kekuasaan terpusat pada satu orang saja. Akan tetapi, meletakkan
adanya kewenangan dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Kewenangan tersebut diperoleh dari
kontrak sosial dimana sekelompok orang secara pasrah dan sadar memberikan seluruh kekuatan
politiknya pada orang di luar kelompok mereka. kontrak sosial memiliki kemiripan struktur
dengan bentuk negara demokrasi saat ini. Kemiripan tersebut dapat ditelusuri pada periode
pemikir barat selanjutnya, yakni JJ Russeau melalui penerbitan lembaga-lembaga pemerintahan
atau biasa dikenal dengan distribusi kekuasaan.

1. Era Westphalia, John Locke  (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), dan Jean Jacques
Russeau (1712-1778)
Benih nilai-nilai demokrasi baru mendapatkan perhatian penuh oleh pemikir politik abad
selanjutnya, ketika pertama kali John Locke mengungkapkan bahwa dalam keadaan alamiah,
manusia lahir dengan persamaan dan kebebasan—kebebasan di sini masih tunduk dalam hukum
alam yang bersifat normatif (hukum manusia).  Nilai kebebasan ini kemudian dituankan dalam
kontrak sosialnya John Locke yang bersifat sangat liberal. John Locke memberikan dukungannya
bahwa rakyat sipil atau warganegara juga termasuk dalam masyarakat politik. Oleh karena itu
semestinya dilibatkan dalam setiap kegiatan politis pemerintahan. John Locke juga tampil

dengan mengurusng konsep kekuasaan mayoritas. Namun, karena saat itu negara gereja masih
mendominasi keadaan politik, maka pemikirannya ini masih berkembang secara rahasia.

‘Manusia dilahirkan bebas’, merupakan …JJ Russeau. Ia mengungkapkan adanya kehendak


umum sebagai bentuk penyatuan sosial yang menciptakan pribadi kolektif baru, yaitu negara. JJ
Russeau memperkenalkan untuk pertama kalinya konsep kedaulatan rakyat yang menempatkan
kebebasan manusia sejajar dengan kehendak negara. kedaulatan rakyat ini bersifat tidak terbatas
dan tidak dapat dibagi-bagi. Akan tetapi, kewenangan untuk menjalankan kedaulatan rakyat.
Karena rakyat adalah subyek hukum maka dia harus menjadi pembautnya, semua anggota
komunitas politik memiliki kedudukan sama dalam pembuatan hukum. Keadaulatan ada di
tangan komunitas kapasita kolektif. Parlemen yang representatif dipilih oleh rakyat. Individu
bebas dari pengaruh orang lain dalam menyatakan kehendak bebasnya. JJ Russeau mengatakan
bahwa itdak ada sistem pemerintahan perwakilan, oleh karena itu, pemikirannya tentang konsep
kedaulatan rakyat ini biasa dikenal dengan demokrasi langsung.

Berbeda dengan JJ Russeau, prinsip pemerintahan Montesquieu bisa dikategorikan ke dalam tiga
kelompok,yakni republik, monarki, dan depotisme. Dalam Republik, Montesquieu mengatakan
bahwa nilai penggerak pemerintahan adalah civic virtue dan spirit publik dari rakyat dalam cinta
pada negara, kesediaan menundukkan kepentingan diri, patriotisme, kejujuran, keserhanaan dan
persamaan. Demokrasi terletak di dalam republiknya Montesquieu, yang didefinisikan sebagai
kedaulatan yan gdiserahkan pada lembaga kerakyatan.

Karakter pemerintahan, demokrasi, mencakup kedaulatan tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh
hak pilih rakyat dalam pemilu, yang merupakan kehendak rakyat sendiri. Montesquieu melatar
belakangi konsepsi bahwa kedaulatan rakyat bisa dibagi (didistribusikan) melalui tiga,
pemisahan kekuatan pada legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan fungsionalnya masing-
masing.

1. Abad Imperialisme dan Kolonialisme, Fredrich Hegel (1818-1883), Karl Marx (1770-
1831), dan Fredrich Engels (1820-1895)
Pandangan Hegel mengenai demokrasi, menurutnya demokrasi pada masanya dan sedikit pada
masa sekarang bukanlah hasil akhir dan terbaik dari bentuk negara yang ada. Hegel dikenal
sebagai pemikir yang mengedepankan disposisinya berkaitan dengan nilai-nilai kristiani. Ia
menarasikan bahwa negara bukanlah alat melainkan tujuan itu sendiri sehingga untuk kebaikan
bersama, maka rakyat harus menjadi abdi negara.

Posisi individu dalam pemikirannya, tidak mungkin bertentangan dengan negara, akan tetapi
keberadaannya tetap diakui. Pemirikirannya yang seperti ini berasa dari pengarku pemikiran
Kristiani Protestanisme. Konsepnya yang meletakkan rakyat harus sebagai abdi negara seolah
menjustifikasi adanya bentuk negara yang demokratis, dalam tanda kutip. Dalam tanda kutip,
artinya dengan suatu persyaratan bahwa warganegara wajib dibekali dan memiliki pengetahuan
ketatanegaraan untuk kemudian diberi wewenang untuk menjalankan kedaulatan. Akan tetapi,
pemikirannya yang Kristiani Protestanisme seolah menegaskan negara dengan orientasi nilai
kebaikan yang berlandaskan pada ketuhanan. Seolah Hegel nampak menempatkan kembali
negara dengan kekuasaan di tangan abdi negara dan agama dalam posisi sejajar, dan equal.
Berasal dari keadaan politis yang bersangkut paut erat dengan mass produksi dan ekonomi yang
menyebabkan terciptanya dua kelas yakni kelas pemilik modal produksi dan kelas yang tidak
memiliki modal. Keberadaan dua kelas ini seringkali menciptakan pertentangan.
Dilatarbelakangi oleh adanya dua kaum ini, kelas bawah terus menerus berusaha melawan kelas
atas dengan menghilangkan kelas. Perjuangan kelas bawah untuk menghilangkan gap tersbut
inilah yang seringkali identik dengan perjuangan menuju revolusi. Karl Marx tidak bicara secara
khusus tentang demokrasi, sebaliknya ia mendukung adanya regulasi ketat pemerintah, yang
mengusung persamaan semua kelas. Pahamnya yang demikian sering dikenal dengan nama
sosialis. ia tidak memposisikan demokrasi di ujung tanduk, sebaliknya ia memposisikan
kekuasaan mesti diletakkan terpusat. Adapun demokrasi bisa ditarik ke haluan Marx, demokrasi
rakyat yang disebut juga demokrasi proletar, adalah demokrasi yang berhaluan Marxisme-
komunisme, mencita-citakan kehidupan yang tidak mengenal kelas sosial, manusia dibebaskan
dari keterkaitannya kepada kepemilikan pribadi tanpa penindasan dan paksaan. Tetapi untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan cara paksa atau kekerasan.

KOMUNISME: MARX, DAN ENGEL

Pengertian Komunisme
DIstilah komunis mulai popular dipergunakan setelah revolusi tahun 1830 di Prancis, yakni suatu
gerakan revolusi yang menghendaki perubahan pada pemerintahan yang bersifat parlementer dan
dihapuskan adanya raja. Akan tetapi yang terjadi justru dihapuskannya sistem republik dan Louis
Philippe diangkat sebagai raja. Hal tersebut melahirkan munculnya gelombang perkumpulan
revolusioner rahasia di Paris pada tahun 1930-1940an.

Istilah komunis awalnya mengandung dua pengertian. Pertama, hubungan mengenai komune,
satuan dasar bagi wilayah negara yang berpemerintahan sendiri, dengan negara sebagai federasi
komune-komune tersebut. Kedua, lebih erat hubungannya dengan serikat rahasia dan serikat
yang terbuang seperti perkumpulan Liga Komunis (1847) di kalangan orang Jerman yang hidup
terbuang di negara lain (Paris). Dan yang ketiga, ia dapat digunakan untuk menunjukkan milik
atau kepunyaan bersama seperti yang digunakan oleh Cabet dan pengikutnya di Inggris pada
1840-an.[1]
Istilah komunis sebagai suatu paham gerakan (ideologi) yang kemudian digunakan oleh
golongan sosialis yang tergolong militan. Marx dan Engels menggunakan istilah dari karya
mereka dengan apa yang disebut dengan manifesto komunis. Ini untuk memberikan pengertian
yang revolusioner sekaligus memperlihatkan kemauan untuk “bersama”, bersama dalam arti hak
milik dan dalam hal menikmati sesuatu.

Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin yang kemudian disebut
dengan ideologi sosialisme-komunisme. Jika sosialisme lebih pada sistem ekonomi yang
mengutamakan kolektivisme dengan titik ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, komunisme
lebih menunjuk pada sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak
sipil dan politik individu. Dan pada makalah ini penulis akan lebih mengusut pada ideologi
komunisme.

A. Plato (429-347 SM)


Bagi Plato kepentingan orang-seorang harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, Plato lebih cenderung untuk menciptakan rasa kolektivisme, rasa bersama,
daripada penonjolan pribadi orang perorang. Oleh karena itu, mengenai cara kehidupan sosial,
Plato mengemukakan “semacam komunisme” yang melarang adanya hak milik dan kehidupan
berfamili atau berkeluarga. Ia memandang adanya hak milik hanya akan mengurangi dedikasi
seseorang pada kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Dan keperluan jasmaniah seseorang
akan dicukupi oleh negara sepenuhnya.[2]
Akan tetapi “komunisme” cara Plato ini terbatas pada kelas-kelas penguasa dan  pembantu
penguasa saja, sedangkan kelas pekerja dibenarkan memiliki hak milik dan berkeluarga sebab
merekalah yang akan menghidupi kelas-kelas lainnya.[3]
Semua pemikiran Plato dilatarbelakangi oleh keadaan kehidupan masyarakat di Athena pada
masa itu di mana pertentangan antara yang kaya dan miskin sangat menyolok. Kekuasaan
aristokrasi, oligarki, dan demokrasi datang silih berganti tanpa mampu mendudukkan suatu
pemerintahan yang tetap. Latar belakang inilah yang mengilhaminya agar terdapat pembagian
tugas yang ia sebut dengan “keadilan” di mana masing-masing anggota menjalankan perannya
masing-masing.

Pemimpin perintah harus dipegang oleh idea tertinggi, yakni dari golongan pemerintahan atau
filsuf. Mereka bertugas membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya, selain
memperdalam ilmu pengetahuan dengan budi kebijaksanaannya. Mereka tidak diizinkan untuk
berkeluarga tetapi dilindungi dan dihidupi oleh negara. Begitu pula dengan kelas pembantu
penguasa, yaitu militer. Mereka tidak diperbolehkan memiliki harta milik pribadi (kecuali
kebutuhan pokok sehari-hari), tidak diperbolehkan memiliki rumah pribadi (harus tinggal di
asrama), dan juga dilarang terlibat dalam urusan emas dan perak. Namun negara akan memenuhi
segala keperluan dan kebutuhan mereka sebagai upah pengawalan mereka terhadap keamanan
negara.
Sementara dari kelas penghasil diperkenankan memiliki harta milik pribadi dengan ketentuan
tidak boleh menjadi kaya namun tidak boleh juga menjadi miskin. Sebab jika terlalu kaya akan
menyebabkan kemalasan dan jika terlalu miskin akan membuat mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan negara, penguasa, dan juga pembantu penguasa.

Oleh karena golongan mayoritas – yang merupakan kelas penghasil – tetap diperkenankan
memiliki harta pribadi dan juga berkeluarga, maka komunisme Plato disebut dengan komunisme
terbatas. Revolusi komunisme barulah benar-benar terjadi ketika Marx dibantu oleh sahabatnya,
Engel, dalam mengembangkan ide tersebut.

1. Karl Marx (1770-1831)


Penggunaan istilah komunis dalam hasil karya mereka (dengan sebutan manifesto komunis)
adalah untuk memberikan pengertian yang bersifat revolusioner sembari terus mengusung
keinginan mereka untuk “bersama”, bersama dalam hal milik maupun menikmati sesuatu.

Masyarakat komunisme yang digambarkan oleh Marx adalah suatu komunitas yang tidak
berkelas, namun tenteram dan tenang, manusia yang memiliki disiplin diri dan memandang
pekerjaan sebagai sumber kebahagiaan, lepas  dari pemikiran perlu tidaknya sebuah pekerjaan
dipandangan dari segi keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Bekerja merupakan sumber dari
segalanya, sumber dari kebahagiaan serta kegembiraan. Orang bekerja bukan untuk memenuhi
nafkah melainkan panggilan hati. Oleh sebab itu, selayaknya tiap-tiap orang menjalani peran
sesuai dengan kesanggupannya.

Karena saat itu tingkat produksi telah demikian melimpah, maka pendapatan seharusnya tidak
lagi berupa upah melainkan berdasar pada keperluan tiap-tiap individu. Kemajuan teknologi
telah memungkinkan segala kemudahan, maka baginya tidak ada lagi perbedaan kerja otak dan
otot sebab pembagian bukan lagi berdasarkan jenis melainkan berdasarkan keperluan hidup
masing-masing individu.[4]
Pada tahun 1844 Marx menulis Economic and Philosophic Manuscript. Dalam tulisannya Marx
dengan cerdas mengemukakan bahwa industrialisme benar-benar nyata dan sepantasnya
disambut sebagai harapan untuk membebaskan manusia dari keterpurukan hawa nafsu akan
kebendaan, ketidakpedulian, dan penyakit. Sementara kaum romantik kala itu lebih memandang
industrialisme sebagai sebuah kejahatan, Marx mengartikan alienasi sebagai akibat dari
industrialisme kapitalis. Dalam manuskrip, Marx mengungkapkan bahwa kapitalisme manusia
dialienasikan dari pekerjaan, barang yang dihasilkannya, majikan, rekan sekerja, dan diri mereka
sendiri. Maka buruh, menurut Marx, akibat dari industrialisme kapitalis, kini tidak bekerja untuk
mengaktualisasikan diri serta potensi kreatifnya sebab “pekerjaannya tidak atas dasar
kesukarelaan tetapi atas dasar paksaan”.[5]
Keterasingan dari pekerjaan itu terungkap dalam keterasingan manusia dari manusia itu sendiri.
Buruh terasing dari majikannya yang diakibatkan oleh kepentingan yang kontradiktif; buruh
ingin bekerja dengan kebebasan sesuai kreativitasnya sendiri (minimal ia ingin mendapatkan
upah yang optimal) sementara itu majikan membutuhkan ketaatan dari buruh. Majikan pun
melakukan penekanan terhadap upah buruh demi perhitungan untung-rugi perusahaan.
Akibatnya buruh terasing dari para buruh sebab mereka saling bersaing berebut tempat kerja.
Majikan terasing dari majikan lainnya karena terlibat juga dalam persaingan. Dalam kondisi
demikian, sistem kerja upahan sebenarnya berdasar pada hak milik pribadi yang mana
meciptakan kondisi di mana baik buruh maupun majikan menjadi egois. Maka untuk
mengembalikan kesosialan manusia yang sesungguhnya, hak milik pribadi atas alat-alat produksi
harus dihapuskan. Akan tetapi, menurutnya, pantas kiranya untuk diketahui bahwa hak milik
pribadi bukan merupakan suatu perkembangan kebetulan melainkan merupakan akibat dari
pembagian kerja. Oleh karenanya, hak milik pribadi tidak dapat begitu saja dihapus.
Penghapusan dilakukan berdasar pada kondisi perekonomian secara objektif. Ajaran tentang
kondisi itu oleh Marx disebut dengan “pandangan materialis sejarah.”[6]
The Manifesto of The Communist Party, atau Manifesto Partai Komunis yang dicetak pada
Februari 1845 merupakan karya Marx dan Engels mendapatkan respon yang luar biasa. Dalam
buku ini dikemukakan mengenai hakikat perjuangan kelas. Dengan tegas ia menjelaskan bahwa
persoalan perjuangan kelas adalah bagian yang tidak terlepas dari pergulatan manusia sepanjang
zaman. Ini bagian dari pergolakan untuk melakukan perubahan sosial dari golongan masyarakat
yang tertindas melawan golongan yang menindasnya sejak kemunculan kelas sosial itu sendiri.
Menurut Marx polarisasi ini terdiri atas kelas Borjuis (kelas yang menindas karena memiliki hak
milik atas alat-alat produksi) dan kelas Proletar (kelas terindas yang hanya memiliki tenaga yang
dapat diperjualbelikan pada pihak yang memiliki alat-alat produksi).
Menurutnya, untuk melakukan perubahan menuju masyarakat sosialis yang kemudian menuju
masyarakat komunis yang tanpa kelas (unclasses) diperlukan adanya sebuah revolusi. Revolusi
yang digambarkan menurut Marx mengalami dua tahapan: pertama, revolusi yang dipelopori
kelas Borjuis untuk menghancurkan kelas feodal dan yang kedua adalah revolusi yang dilakukan
kelas pekerja dalam usahanya menghancurkan kelas Borjuis. Pada revolusi tahap pertama, kaum
pekerja tidak tinggal diam, mereka membantu kaum Borjuis untuk menghancurkan golongan
feodal. Dan pada tahap kedua, kaum pekerja akan melakukan revolusi untuk menghancurkan
kelas Borjuis. Pada tahap transisi dari masyarakat kapitalis menuju tahap komunisme, kekuasaan
dilaksanakan oleh kelas pekerja dengan menggunakan sistem kekuasaan yang
disebut proletar.  Dikator ini diperlukan untuk menghancurkan sisa-sisa borjuis agar kelas
pekerja memegang kendali sistem pemerintahan untuk keseluruhan masyarakat. Kekuasaan harus
dipegang oleh kaum komunis yang merupakan komune yang termaju, paling teguh, dan yang
paling memahami kondisi, garis perjuangan, dan hasil umum dari gerakan proletar.[7]

Bagi Marx dan Engel lahirnya kelas itu tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah dalam
tahapan perkembangan kapitalis, dan pada akhirnya dengan adanya kemauan dari kelas
proletariat untuk mengubah nasib mereka akan melahirkan revolusi di mana kaum proletar yang
mengendalikan kekuasaan secara diktator. Tindakan dikator itu merupakan bagian dari revolusi
guna menghancurkan sisa-sisa kaum borjuis dan menuju tahap transisi yang puncaknya akan
tercipta suatu masyarakat yang tanpa kelas.[8] Suatu masyarakat kapitalis akan tumbuh dan terus
tumbuh hingga akhirnya berhenti bertumbuh karena mengakibatkan kesengsaraan missal,
sehingga muncullah suatu perubahan masyarakat yang disebut dengan revolusi.[9]
Marx kemudian memandang etika sebagai sesuatu yang berubah-ubah menurut zaman dan
tingkat produksi. Dalam masa-masa sebelum diktator proletariat, etika itu baginya sama saja
dengan etika kalangan berpunya, kalangan berkuasa. Dengan demikian, etika itu bersifat nisbi,
tidak ada yang absolut, termasuk dalam apa yang telah disebutkan tadi (oberbau). Berbeda
dengan etika pekerja di masa dikatator proletariat, ia mengemukakan bahwa etika pekerja itu
penuh dengan sifat-sifat kemanusiaan yang cenderung pada keabsolutan. Semua alat dihalalkan
asalkan tujuan tercapai. Dan baginya ini mutlak adanya.[10]
Sementara itu, bagi Marx, agama adalah the opium of people yang mana agama tidak
menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri melainkan menjadi sesuatu yang berada di luar
dirinya yang menyebabkan manusia dengan agama menjadi makhluk terasing dari dirinya
sendiri. Agama adalah sumber  keterasingan manusia. Agama harus dilenyapkan karena agama
merupakan alat kaum Borjuis kapitalis untuk mengeksploitasi kelas pekerja. Agama pada
masanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan kaum borjuis. Ia digunakan
agar rakyat tidak melakukan perlawanan dan pemberontakan, rakyat dibiarkan terlena agar
tunduk patuh atas penguasa. Dengan kata lain agama adalah produk dari perbedaan kelas, selama
perbedaan kelas ada, maka agama akan tetap ada. Marx percaya bahwa agama adalah perangkap
yang dipasang oleh kelas penguasa untuk menjerat kaum proletariat. Menurutnya jika perbedaan
itu dapat dihilangkan maka dengan sendirinya agama akan lenyap.

C.   Fredrich Engels (1820-1895)


Sementara itu bagi Engel, istilah komunis ini tidak terlalu mengandung suatu pemikiran yang
utopis sebagaimana Marx seakan mendalilkan bahwa komunisme sebagai satu-satunya cara
pemecahan masalah alienasi manusia yang diciptakan oleh kapitalisme. Komunisme bagi Marx
merupakan penghapusan yang pasti atas hal milik pribadi dan alienasi siri manusia karena
merupakan pemberian yang nyata atas hakikat kemanusiaan oleh dan untuk manusia.
Komunisme sebagai naturalisme yang telah berkembang secara sempurna merupakan sebuah
humanisme dan sebagai humanisme yang sempurna merupakan sebuah naturalisme. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan ambisius Marx sewaktu muda: “Komunisme merupakan pemecahan
terhadap segala teka-teki sejarah. Dan komunisme sadar akan perannya tersebut”.[11]
Engel lebih menghubungkan istilah tersebut dengan perjuangan kelas pekerja serta konsepsi
materialis dari sejarah (The Manifesto of The Communist Party, halaman 28). Engel
mengemukakan bahwa bila tiba suatu waktu ketika kelas sosial lenyap, maka kekuasaan  politik
pun akan lenyap. Engel – yang merupakan seorang profesor dan filsuf berpengaruh di Jerman –
sangat dikenal dengan filsafat dialektikanya untuk memahami suatu sejarah. Ia mengungkapkan
pernah ada suatu masa masyarakat tanpa negara dan tanpa memiliki pengetahuan tentang negara
dan kekuasaannya. Pada tingkat tertentu dari tahapan ekonomi yang berhubungan dengan
terpecahnya masyarakat menjadi kelas-kelas, negara pun hadir sebagai sebuah kebutuhan.
Kemudian dalam tahapan perkembangan produksi di mana kelas-kelas menjadi suatu kebutuhan
sekaligus “penghalang” yang baik bagi produksi, kelas-kelas tersebut akan dihancurkan oleh
sebuah gerakan revolusioner yang bersifat komunal. Bersama dengan hilangnya kelas-kelas
tersebut maka negarapun lenyap (sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai buku Marx dan
Engel yang berjudul The Manifesto of The Communist Party).
Analisis
Pada akhirnya, sebagaimana dikemukakan oleh Magnis Suseno, paham Marx mengenai komunis
dan segala macam bentuk masyarakat tanpa kelas, tanpa pembagian kerja, dan juga tanpa
paksaan adalah suatu pemikiran yang absurd. Sebab ide Marx ini bersifat utopis dan bersifat
kontradiktif. Akibatnya ide ini hanya akan mengalihkan perhatian manusia dari usaha
memperbaiki kehidupan masyarakat.
Hal tersebut terkait dengan pandangan Marx terhadap fungsi agama yang bertentangan dalam
perspektif sosiologi agama itu sendiri. Dalam perspektif sosiologi, agamalah yang telah
memberikan peran sebagai ideologi pembebasan bagi kalangan tertindas terhadap kaum yang
menindasnya. Pemikiran Marx mengenai agama hanya didasari oleh pragmatisme fungsi agama
pada masanya saja. Maka pada hakikatnya Marxisme dalam perkembangan penafsiran secara
analisis merupakan suatu istilah yang merangkum sekelompok doktrin menyangkut pendiriannya
yang mana tidak mungkin bisa menyatukan kesemua doktrin tersebut karena beberapa
tafsirannya saling bertentangan satu sama lain.

Sementara teori klasik yang dikemukakan oleh Marx dan Engels mengenai perjuangan kelas
banyak mendapat kritik dari para teoritis sosial sebab rumusan mereka tidak lagi relevan dengan
perkembangan sosiologi politik. Namun banyak juga yang terpikat oleh metode perjuangan yang
dikemukakan mereka. Pemikiran ini berkembang di Eropa dan menjadi inspirasi yang demikian
revolusioner di kalangan pejuang politik yang menuntut perubahan dan pembebasan,
sebagaimana tokoh revolusioner Antonio Gramsci, Lenin, Stalin, dan lain-lain yang mengusung
gagasan ini dengan beberapa penyesuaian.

Pemikiran dan isi pemikiran machiavelli

Machiavelli adalah salah satu tokoh politik barat yang berpengaruh di zamannya, machiavelli
dicela sebagai guru par excellence yaitu penipuan dan penghianatan politik, sebagai ingkarnasi
dari kekuatan licik dan brutal dalam dunia politik karena ia di anggap sebagai totalitarianisme
modrn. Dipihak lain iya di puji sebagai pahlawan italia yang mengadikan dirinya bagi kebaikan
umum warga negaranya, sebagai demokrat besar dan sebagai pemikir yang bersahaja dalam
mewujudkan kebebasan manusia dan membebaskan filsafat politik dari belenggu masa lampau.

Machiavelli di lahirkan di florence tahun 1469 dari keluarga dermawan yang termasyhur.
Ayahnya adalah seorang pengacara yang terkadang menangani urusan publik di negara kota
florence, pada tahun 1498 ia ditunjuk sebagai sekretaris utama republik florentine, jabatan yang
dijalaninya selama 14 tahun, dan ia juga sering dikirim keluar negri untuk membicarakan
masalah politik. Masalah politik di Italia pada zaman machiavelli adalah situasi yang sulit,
semenanjung terbagi kelima negara yang terpisah yaitu, Milan, Venice, Naples, Florence, dan
negara Paus. Banyak terjadi pertentangan internal antara negara kotanya, yang ingin meraih
kontrol atau kekuasaan lebih. Demi mempertahankan diri, negara-negara kota Italia biasanya
bersekutu dengan salah satu negara.

Republik Florence bersekutu dengan prancis. Karen aprancis diusir oleh kekuatan lain pada
tahun 1512. Medici (yang diusir pada tahun 1494) mampu memperoleh kembali kontrol kota ini
dan mengakhiri pemerintahan Republik. Machiavelli ditahan dalam operasi pembersihan yang
mengiringi kekuasaan Medici, dan setelah itu ia menjalani hukuman singkat, ia diasingkan ke
tanah kelahirannya di San Casciano. Disanahlah ia menulis karya-karya besarnya termasuk The
Prince, Discrurses, A Histiry of florence. Machiavelli hidup di era yang penuh politik Itali.
Perpecahan golongan terjadi di dalam kota-kota serta kesulitan dan kecemburuan antar kota-kota
hingga timbulnya perang, meluasnya kekerasan dan penghianatan dalam jabatan politik.

 Pemikiran Niccolo Machiavelli

Machiavelli tidak banyak menaruh perhatian pada orientasi yunani pertengahan yang
menekankan hal-hal yang seharusnya ada dalam tatanan politik. Pendekatanya agak paradoks
karena ia berusaha memisahkan etika dari politik, dan pada saat yang sama, ia sebenarnya
membuat penilaian etis dalam wilayahy politik. Ia terus mengkritik dunia pada masanya dan
berulang kali memberi tahu kepada negarawan bagaimana seharusnya mereka bertindak.

Machiavelli menggunakan metode komparatif dalam pendekatan studi politiknya


menggandalkan sejarah bagi data empirisnya. Dalam pendahuluan Discourses ia menyatakan
maksuknya untuk menghubungkan “apa yang saya pahami dengan membandingkan kejadian
masa lampau dan kejadian modren, dan memikirkan apa yang di perlukan bagi pemahaman yang
lebih baik atas kejadian tersebut, sehingga mereka yang membaca apa yang saya katakan bisa
lebih mudah mengambil pelajaran yang berguna yang memang seharusnya perlu dicapai dari
studi sejarah”

Machiavelli menciptakan ilmu politik , yang di maksud dengan ilmu ini adalah seperangkat
aturan yang bisa diikuti dan diandalkan oleh pemerintah secarah penuh. Dalam prosesnya ia
memberi pembacanya sekumpulan prinsip atau kaidah nyata bahwa penguasa harus
mempertimbangkan berbagai keadaan jika meraka ingin berhasil, jadi baginya ilmu politik
berarti ilmu keahlian praktis bagi negarawan. Machiavelli menaruh perhatian pada metodologi
yang bisa diterapkan untuk menemukan rangkaian sebab dalam domain polotik dan prilaku
sosial.

Keserjanaan modrn biasanya berpendapat bahwa tujuan pokok machiavelli itu adalah kebaikan
rakyat Italia. Pemikiran machiavelli mengikuti tradisi kuno, membedakan antara kerajaan dan
tirani, yang pertama merupakan penjelmaan kekuasaan bagi kebaikan umum rakyat, dan yang
kedua adalah memenuhi kepentingan pribadi penguasa. “penguasa yang baik bagi machiavelli
adalah orang yang bukan tujuannya untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi kebaikan umum
dan bukan demi kepentingan penggantinya tapi demi tanah air milik semua orang”

Menurut machiavelli dalam bukunya Discourse:Demi tujuan yang baik bisa menggunakan semua
cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai pembatasnya adalah bahwa ia
harus menggunakan tujuan yang benar (kebaikan umum) dalam pemikiran klasik dan
kristen.Cara harus selalu sejalan dengan tujuan.

Ajaran Niccolo Machiavelli tentang negara dan hukum ditulis dalam bukunya yang sangat
terkenal yang diberi nama II Principle artinya Sang Raja atau Buku Pelajaran untuk Raja. Buku
ini dimaksudkan untuk dijadikan tuntutan atau pedoman bagi para raja dalam menjalankan
pemerintahanya, agar raja dapat memegang dan menjalankan pemerintahan dengan baik, untuk
menyatukan kembali negara Italia yang pada wkatu itu mengalami kekacauan dan daerah negara
terpecah-belah. Dalam buku tersebut juga menerangkan Pendirian Machiavelli terhadap azas-
azas moral dan kesulilaan dalam susunan ketatanegaraan. Ia menunjukkan dengan terang dan
tegas pemisahan antara azas-azas kesusilaan dengan azas-azas kenegaraan yang berarti bahwa
orang dalam lapangan ilmu kenegaraan tidak perlu menghiraukan atau memperhatian azas-azas
kesusilaan. Orang, bahkan negara kepentingannya akan terugikan apabila tidak berbuat
demikian.

Ajaran atau pandangan Niccolo Machiavelli tersebut diatas sangat terpengaruh bahkan dapat
dikatakan merupakan pencerminan daripada apa yang dikenalnya dalam praktek sebagai seorang
ahli negara dan apa yang dijalankannya, karena dianggapnya perlu sekali untuk
menyelenggarakan kepentingan-kepentingan negara, diangkatnya menjadi toeri umum mengenai
praktek ketatanegaraan dengan cara yang gagah dan berani. Disinilah Niccolo Maciavelli
kelihatan sangat terpengaruh oleh keadaan di tanah airnya, Italia, karena keadaan di Italia pada
waktu itu sedang mengalami kekacauan dan perpecahan, maka ia menginginkan terbentuknya
Zentral Gewalt (sistem pemerintah sentral). Maksudnya ialah agar dengan demikian keadaan
dapat menjadi tentram kembali.

Sebab itu berkatalah Niccolo Maciavelli dalam bukunya II Principe dalam bab 19 bahwa,
“penguasa, yaitu pimpinan negara haruslah mempunyai sifat-sifat seperti kancil dan singa. Ia
harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi singa untuk mengejutkan serigala.
Jadi jelaslah bahwa raja atau pimpinan negara harus memiliki sifat-sifat cerdik pandai dan licin
seibarat seekor kancil, akan tetapi harus pula memiliki sifat-sifat yang kejam dan tangan besi
seibarat singa.

Tujuan Niccolo Maciavelli ialah untuk mencapai cita-cita atau tujuan politik demi kebesaran dan
kehormatan negara Italia, agar menjadi seperti masa keemasan Romawi. Untuk itu diperlukan
kekuatan dan kekuasaan yang dapat mempersatukan daerah-daerah sebagai negara tunggal. Oleh
karena itu tujuan negara lain dengan masa lampau. Tujuan negara masa lampau menurut
pendapatnya : kesempurnaan, kemuliaan abadi, untuk kepentingan perseorangan berupa
penyempurnaan dari manusia. Sedangkan tujuan negara sekarang menghimpun dan mendapatkan
kekuasaan yang sebesar-besarnya.

Berhubung dengan hal itu raja atau pimpinan negara boleh berbuat apa saja asalkan tujuan bisa
tercapai maka dengan demikian terjadilah het doel heilight de middeled (tujuan itu menghalalkan
/ membenarkan semua cara atau usaha). Maka ajarannya disebut ajaran negara harus diutamakan
dan apabila perlu negara dapat menindak kepentingan individu.

Dari ajaran Niccolo Machiavelli ini menjelma dan timbullah pengertian real
politik berdasarkan itu harus diambil sikap yang nyata, karena itu disebut juga
machiavellismus.

 Penguasa Negara dan Kekuasaan menurut Machiavelli

Bagi Machiavelli kekuasaan adalah raison d’etre Negara. Negara juga merupakan
simbolisasi tertinggi kekuasaan politik yang sifatnya mencakup semua dan mutlak. Machiavelli
memiliki obsesi terhadap Negara kekuasaan dimana kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan
penguasa dan bukan rakyat dan prinsip-prinsip hukum.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan seorang penguasa, Machiavelli membahas perebutan
kekuasaan ( kerajaan ). Bila seorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara
memerintah dan mempertahankan Negara yang baru saja direbut itu, yaitu :
a) Memusnahkannya sama sekali dengan membungihanguskan Negara dan membunuh
seluruh keluarga penguasa lama.tidak boleh ada yang tersisa dari keluarga penguasa lama
sebab hal itu akan menimbulkan benih-benih ancaman terhadap penguasa baru suatu
saat kelak.
b) Dengan melakukan kolonisasi, mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan
menempatkan sejumlah besar infantri di wilayah koloni serta menjalin hubungan baik
dengan Negara-negara tetangga terdekat. Dari kedua cara tersebut, menurut Machiavelli
cara pertama adalah cara yang paling efektif meski bertentangan dengan aturan
moralitas.

Machiavelli berpendapat bahwa penguasa Negara bisa menggunakan cara binatang


terutama ketika menghadapi lawan-lawan politiknya. Dalam The Prince dikemukakan bahwa
seorang penguasa bisa menjadi singa disuatu saat, dan menjadi rubah di saat lainnya.
Menghadapi musuhnya yang ganas bagai seekor serigala, penguasa hendaknya bias berperang
seperti singa, karena dengan cara itulah ia bisa mengalahkan lawannya.
Bertitik tolak dari premis itu, Machiavelli berpendapat bahwa seorang penguasa ideal
adalah Archilles yang belajar jadi penguasa dari Chiron. Chiron adalah makhluk berkepala
manusia, berbadan dan berkaki kuda dalam mitologi Yunani Kuno. Artinya seorang penguasa
harus memiliki watak manusia dan watak kebinatangan pada saat yang sama. Machiavelli
menulis bahwa dengan belajar dari makhluk seperti Chiron penguasa diharapkan bisa
mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang. Menggunakan salah satu
cara berkuasa tanpa cara lainnya tidak akan berhasil.

Machiavelli meletakkan demokrasi di tempat terburuk, dan tirani di tempat terbaik dalam
hirarki bentuk negara menurut pemikirannya. Hal berdasarkan pemikiran realis klasiknya yang
berlebihan, ia beranggapan negara akan mengalami kejayaan manakala pemimpimnya terlepas
dari nilai moral dan etika yang dulu pada abad pertengahan pernah diagung-agungkan. Akan
tetapi, dalam lingkaran pemikirannya Machiavelli menyiratkan salah satu nilai demokrasi, yakni
kebebasan individu.
Menurutnya, kebebasan individu disediakan sepanjang tidak mengganggu keselamatan
dan stabilitas tatanan politik. Walaupun Machiavelli tidak secara eksplisit menunjukkan nilai-
nilai demokrasi, ia telah memulai anggapan bahawa sebenarnya nilai demokrasi itu tetap
digenggam dalam bentuk negaranya. Akan tetapi, tetap, monarki absolut berada di tataran
tertinggi bentuk negara terbaik berdasarkan pemikirannya.
Pemikiran ini selaras dengan Thomas Hobbes. Meninggalkan pemikiran ekstrem
Machiavelli, Thomas Hobbes, meletakkan demokrasi di tempat terburuk, dan monarki di tempat
tertinggi dalam hierarki bentuk negara sesuai dengan pemikirannya. Menurutnya pemerintahan
akan sebaik-baiknya dijalankan jika kekuasaan terpusat pada satu orang saja. Akan tetapi,
meletakkan adanya kewenangan dalam menjalankan kekuasaan tersebut.
Kewenangan tersebut diperoleh dari kontrak sosial dimana sekelompok orang secara
pasrah dan sadar memberikan seluruh kekuatan politiknya pada orang di luar kelompok mereka.
kontrak sosial memiliki kemiripan struktur dengan bentuk negara demokrasi saat ini. Kemiripan
tersebut dapat ditelusuri pada periode pemikir barat selanjutnya, yakni JJ Russeau melalui
penerbitan lembaga-lembaga pemerintahan atau biasa dikenal dengan distribusi kekuasaan.
 Nilai Utilitarianisme Politik Agama menurut Machiavelli

Machivelli melihat agama dari sudut pragmatism dan kepentingan politik praktis. Agama
memiliki makna bila berguna bagi kepentingan politik kekuasaan. Tidak penting bagi
Machiavelli apakah dari segi doktrin dan ajaran agama itu benar atau salah. Machiavelli tidak
tertarik dengan kebenaran suatu agama, atau asal muasal agama itu, dalam hal ini kita bisa
mengakategorikan Machiavelli sebagai penganut utilitarianisme pragmatisme.
Dengan cara pandang itulah ia berkesimpulan bahwa agama Kristen kering dan tak
bermakna dibandingkan dengan agama-agama kuno bangsa romawi. Agama romawi kuno
menurutnya lebih bersifat intregratif jika dibanding agama Kristen. Agama itu berhasil
memersatukan Negara, membina loyalitas, kepatuhan dan ketundukan rakyat terhadap otoritas
penguasa romawi. Itu dikemukakannya dalam bukunya The Discourse. Dalam tulisannya ia
menyatakan bahwa agama berhasil membuat keberingasan rakyat menjadi kepatuhan, dan
agama juga merupakan alat yang diperlukan untuk memelihara suatu Negara yang beradab dan
telah menciptakan kejayaan romawi.
Ringkasnya adalah bahwa dalam pandangannya mengenai agama dan penguasa baginya
tetap tidak harus dipisahkan. Wibawa penguasa tanpa agama tidak cukup menjamin lestarinya
persatuan dan kesatuan. Itu berarti agama tidak dapat dilepaskan dalam proses politik. Akan
tetapi rasa simpatiknya terhadap agama romawi kuno sangatlah besar tapi sebaliknya sinis dan
antipasti terhadap agama Kristen. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa watak
sesungguhnya dari seorang Machiavelli adalah merupakan pecinta tanah air yang kuat, nasionalis
tulen yang berkobar-kobar, politikus dan demokrat yang yakin serta penyelidik tanpa perasaan
sekalian orang yang sinis.
Ia merupakan sosok yang terlalu praktis untuk menjadi filosof yang teliti, akan tetapi di
dalam politik ia memiliki pandangan terluas dan pengetahuan yang paling jelas mengenai arah-
arah umum daripada perkembangan Eropa. Yang jelas ia hanya menulis dan berpikir tentang
politik, seni memerintah, dan cara-cara berperang terhadap masalah masyarakat yang lebih
dalam.

D. Jhon Locke

John Locke merupakan salah satu filsuf politik yang terkenal dalam sejarah politik dunia.
Pemikiran-pemikirannya merupakan salah satu pemikiran yang membuka jalan bagi
munculnya demokrasi dan liberalism di kemudian hari. John Locke sebagai filsuf politik
menentang kekuasaan absolut monarki yang dominan pada saat itu. Locke berpendapat,
kebebasan individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintah yang memiliki
kewenangan yang terbatas. Sebelum terbentuknya masyarakat dan pemerintah, secara
alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama sekali dan berkedudukan sama.
Karena bebas dan berkedudukan sama, tiada orang yang bermaksud merugikan kehidupan,
kebebasan dan harta milik orang lain. Manusia bersifat rasional, karena ia satu-satunya
makhluk yang memiliki akal budi. Dilema pada pemerintahan gaya John Locke adalah suatu
pemerintah memiliki kewenangan yang menjamin hak-hak individu, tetapi setiap
pemerintahan yang stabil harus meminta agar individu (warga masyarakat) mengurangi
kebebasan mutlak demi terciptanya tertib sosial.

Biografi Singkat John Locke (1632-1704)

            John Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 di Wrington, Somerset, Inggris Barat
dan wafat di Essex, Inggris pada tanggal 28 Oktober 1704. Ayahnya merupakan seorang
pengacara. Locke merupakan seorang filsuf yang menandai lahirnya era pemikiran modern
pasca era Descartes. Sebagai seorang siswa yang menempuh pendidikan di Universitas
Oxfrod, John Locke ialah salah satu dari beberapa filsuf di zaman pencerahan dan juga
menjadi salah satu pemikir yang mempelopori pemikiran mengenai liberalisme. Hal ini
dilaterbelakangi dengan situasi politik ketika Locke lahir. Keadaan Eropa pada waktu itu
diwarnai dengan konflik, terutama konflik agama, antara agama Protestan dan agama
Katolik. Selain itu, terdapat pula konflik diantara kerajaan dan parlemen. John Locke
menyuarakan pemikirannya mengenai tugas negara yang dibentuk melalui teori kontrak
sosialnya, adalah untuk menjamin dan melindungi milik pribadi segenap masyarakatnya,
sebagai bentuk dari embrio lahirnya pemikiran liberalisme. Penolakan terhadap kekuasaan
absolutisme negara juga diperlihatkan dengan idenya mengenai pembagian kekuasaan untuk
menghindari kesewenang-wenangan pemerintahan yang absolut. Selama hidupnya, Locke
menulis karya-karyanya, seperti A Letter Concerning Toleration, Two Treatises of
Government, An Essay Concerning Human Understanding, dan  Some Thoughts Concerning
Education.

Pemikiran John Locke

            Cikal bakal konsep hak asasi manusia di dunia barat terdapat dalam karangan
beberapa filsuf abad ke-17, salah satunya ialah John Locke. Locke merumuskan beberapa
hak alam (natural rights) yang dimiliki manusia secara alamiah. Locke membayangkan suatu
masa lalu dimana manusia hidup dalam “keadaan alam” (state of nature). Dalam keadaan
alam ini semua manusia sama martabatnya (equal), tunduk kepada hukum alam dan memiliki
hak-hak alam. Tetapi, suatu saat manusia mengembangkan akal sehatnya dan sampai pada
kesimpulan bahwa untuk menjamin terlaksananya hak-hak itu, “keadaan alam” perlu
ditinggalkan dan diganti dengn kehidupan bernegara berdasarkan suatu kontrak sosial antara
penguasa dan masyarakat. Ini yang dinamakan sebagai Teori Kontrak Sosial.
Hak-hak alam menurut John Locke ialah hak atas hidup, kebebasan dan kepemilikan (life,
liberty and Property) serta pemikiran bahwa penguasa harus memerintah dengan persetujuan
rakyat. Menurut John Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Fungsi
pemerintah menurut Locke ialah memelihara “milik pribadi”, yakni perdamaian, keselamatan
dan kebaikan bersama setiap warga masyarakat. Milik pribadi itu dapat dijamin dengan cara
menetapkan hukum sebagai patokan atas dasar benar dan salah, memilih hakim-hakim yang
tidak pandang bulu dengan kewenangan untuk memutuskan semua perselisihan dan dengan
membentuk suatu administrasi yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum.
Bagi Locke, pembatasan kekuasaan menjadi penting karena kekuasaan tersebut berasal dari
kesepakatan warga dengan penguasa yang dipilihnya, demi perlindungan kepentingan
individu dan karena kekuasaan dari rakyat maka rakyat dapat mengawasi pula. Menurut
Locke, kemungkinan munculnya negara totaliter juga bisa dihindari dengan adanya
pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah
sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan
dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif. Dengan demikian, maka penguasa tidak dapat
bertindak sewenang-wenang, karena rakyat tidak memberikan hak sepenuhnya kepada
penguasa dan hal ini sangat baik untuk diterapkan dalam suatu negara dan contohnya dapat
kita lihat dalam negara kita Indonesia. Dengan begitu rakyat juga punya peranan yang
penting dalam pemerintahan yang ada seperti peran dalam pemilihan umum untuk memilih
pemimpin dan di Indonesia terlihat dalam pemilihan Presiden setip lima tahun sekali yang
rakyat dapat memilih langsung. Kekuasaan itu didasarkan atas hukum alam, maka dengan
demikian kekuasaan penguasa itu tidak mungkin bersifat mutlak. Kontrak sosial menurut
Locke merupakan perpaduan antara hukum dan kedaulatan yang mana kedaulatan tergantung
pada keinginan individu. Sehingga pemerintah tidak memiliki kuasa penuh pada rakyatnya,
namun hanya jika terikat pada civil dan natural law. Karena pemerintah hanya bertugas untuk
melindungi hak alami rakyatnya. Locke menciptakan konsep saling percaya antara rakyat
dan pemerintah. Konsep pemikiran Locke tertuang dalam bukunya yang berjudul Two
Treatises on Government berisi tentang dasar demokrasi liberal.
            Dilema pada pemerintahan gaya John Locke adalah suatu pemerintah memiliki
kewenangan yang menjamin hak-hak individu, tetapi setiap pemerintahan yang stabil harus
meminta agar individu (warga masyarakat) mengurangi kebebasan mutlak demi terciptanya
tertib sosial. Jalan keluar atas dilema itu ialah Locke mengemukakan pemerintah ditetapkan
berdasarkan persetujuan yang diperintah. Dengan menaati hukum yang ditetapkan
pemerintah, sesungguhnya warga masyarakat berarti menaati diri sendiri karena
pemerintahan itu ditetapkan sesuai dengan persetujuan warga masyarakat. Persetujuan warga
masyarakat terhadap tindakan pemerintah dapat dilakukan oleh warga masyarakat sendiri
atau wakil-wakil mereka. Persetujuan rakyat (warga masyarakat) berarti persetujuan
mayoritas warga masyarakat. Bagi Locke, setiap individu harus menyesuaikan diri dengan
kehendak mayoritas. Karena setiap individu menyumbangkan jumlah “kekuatan” (fisik dan
moral) yang sama maka setiap keputusan yang disetujui oleh jumlah individu yang lebih
banyak harus diterima sebagai keputusan yang mengikat karena kekuatan yang lebih besar
itu.

            Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dengan meletakkan
kekuasaan tertinggi kepada masyarakat hal tersebut akan menghindarkan negara dari
pemimpin absolut yang totaliter, hak masyarakat terlindungi, masyarakat mampu
memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya tanpa terbelenggu kendali pemimpin
yang totaliter, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan yang absolut rawan
menyebabkan tindak kekerasan. Dengan adanya pembatasan dan pemisahan kekuasaan
menurut Locke (eksekutif, legislatif, federatif) dan teori kontrak sosial akan membuat
kekuasaan menjadi terbatas sehingga tidak terjadi kekuasaan yang absolut, masyarakat bisa
bertindak sebagai pengontrol dan pengawas otoritas kepada penguasa yang telah mereka
percayai untuk memimpin, karena masyarakat telah menyerahkan sebagian kekuasaan
kepada penguasa untuk mengatur kehidupan masyarakatnya.

Friedrich Nietzsche

Manusia dan Kehendak Berkuasa

Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman di akhir abad ke-19, dan dikenal sebagai
seorang pemikir yang melakukan serangan terhadap Kristianitas dan moralitas tradisional di
Eropa pada jamannya. Fokus filsafatnya adalah pengembangan diri manusia semaksimal
mungkin, dan analisis kebudayaan di nya. Ia menekankan sikap menerima dan merayakan
kehidupan, kreativitas, kekuasaan, segala kontradiksi, serta absurditas hidup manusia. Ia
menolak untuk mengakui adanya dunia lain di luar dunia ini.

Friedrich Nietzsche lahir pada 1844, dan meninggal pada 1900. Ia adalah seorang filsuf Jerman
di akhir abad ke-19, dan dikenal sebagai seorang pemikir yang melakukan serangan terhadap
Kristianitas dan moralitas tradisional di Eropa pada jamannya. Fokus filsafatnya adalah
pengembangan diri manusia semaksimal mungkin, dan analisis kebudayaan di jamannya. Ia
menekankan sikap menerima dan merayakan kehidupan, kreativitas, kekuasaan, segala
kontradiksi, serta absurditas hidup manusia. Ia menolak untuk mengakui adanya dunia lain di
luar dunia ini. Ide paling penting di dalam filsafat Nietzsche, menurut saya, adalah ide
penerimaan pada hidup.

Konsekuensinya semua ajaran dan pemikiran di dalam peradaban manusia yang menolak
kehidupan ditolak olehnya. Dengan pemikirannya ini ia memberikan inspirasi besar bagi para
penyair, psikolog, filsuf, sosiolog, artis, dan para pemikir progresif di kemudian hari. Di abad ke-
20 lalu, pengaruh pemikiran Nietzsche amat terasa di daratan Eropa.  Di mata para pemikir
progresif, pembaharu-pembaharu keilmuwan, maupun seniman, Nietzsche dianggap sebagai
seorang “nabi”. Beragam bidang kehidupan mulai dari arsistektur, metodologi penelitian ilmiah,
filsafat, seni, sampai dengan fashion mengambil inspirasi dari ide-idenya yang kreatif dan
mencerahkan. Percikan-percikan pemikirannya selalu terasa segar, baru, dan inspiratif. Di dalam
bidang psikologi, Nietzsche berpetualang mengangkat aspek-aspek hewani dan ketidaksadaran
manusia, yang kemudian memberikan inspirasi bagi Freud untuk mengembangkan
psikoanalisisnya. Tak jarang pula pemikiran-pemikiran Nietzsche digunakan untuk
membenarkan hal-hal kejam, seperti perang, penaklukan, diskriminasi, seperti yang dilakukan
oleh NAZI Jerman dan partai fasis Italia.

Pada era 1960-an, pengaruh filsafat Nietzsche hanya terasa di kalangan seniman dan penulis.
Pada masa-masa itu dunia akademik belum mengangkat kekayaan pemikirannya.

Dunia filsafat sendiri masih terpesona pada pemikiran-pemikiran Hegel, Husserl, dan Heidegger.
Strukturalisme Saussure dan Levi-Strauss baru mulai berkembang. Namun pada akhir dekade
1960-an, terutama di Prancis, para filsuf mulai menengok ke filsafat Nietzsche untuk
mengembangkan tradisi filsafat mereka sendiri. Inilah yang nantinya mengental menjadi
posmodernisme yang menantang cara berpikir lama, dan melakukan kritik sosial yang bersifat
menyeluruh (dari kritik ekonomi sampai gaya hidup) pada jamannya. Di negara-negara
berbahasa Inggris, karena kaitannya dengan fasisme dan NAZI Jerman, para filsuf baru mulai
membuka diskusi tentang pemikirannya setelah 1970-an. Walaupun hidup sakit-sakitan,
Nietzsche tetap mampu menulis dengan amat baik dan kreatif selama bertahun-tahun di masa
hidupnya. Rasa sakit tubuh pun terus datang dan pergi.

Ini semua menggambarkan kekuatan mental yang ia miliki di dalam berpikir dan mencipta.
Bahkan menurut saya rasa sakit dan penderitaan itulah yang menjadi sumber inspirasi dari
tulisan-tulisan filsafatnya. Dari rasa sakit dan ketabahannya, ia menuliskan gagasan-gagasan
pencerahan yang mempengaruhi peradaban manusia, sampai sekarang ini. Kehendak Untuk
Berkuasa Konsep kehendak untuk berkuasa adalah salah satu konsep yang paling banyak
menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai
seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari
sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk
hidup lainnya.

Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional,
seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ketiga
makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta
beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche
kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan,
dan tak dapat dihancurkan.” Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa,
Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur
terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang
disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa. “Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini
tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri.
Tubuh itu sendiri tetap merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa, tubuh itu akan
ingin tumbuh, menyebar, memegang, memenangkan dominasi – bukan karena soal moralitas
atau imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena hidup itu sendiri adalah kehendak
untuk berkuasa.” Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan
kehidupan alam semesta pada umumnya.
Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal
dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan
sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus
ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual manusia.
Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun
yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini
terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah
gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah. Bagi Nietzsche
dunia adalah sesuatu yang hampa.

Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di
dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh
pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation).
Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. Dengan
subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat
(causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri,
sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya.
Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam
menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya.
Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia.

Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna
karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan
menjadikannya “manusiawi” (human). Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia
secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan
merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki
kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia
bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada
dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik.
Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca
mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk
berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu
sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai.

Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati. Sebagai bagian dari
dunia yang dimotori kehendak untuk berkuasa, manusia pun tidak lagi dipandang sebagai
mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi
(sensational being) yang diterimanya dari dunia. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta
dunia (world-creating activity). Jadi karena dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa, manusia
pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan
bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah subyek seutuhnya,
karena ia adalah bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa.

Manusia adalah subyek yang bukan subyek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak
untuk berkuasa. “Para ahli fisiologi”, demikian tulis Nietzsche, “harus berpikir dua kali sebelum
menempatkan dorongan untuk mempertahankan diri sebagai dorongan paling utama dari mahluk
hidup. Di atas semua itu, mahluk hidup mau mengeluarkan kekuatannya –hidup itu sendiri
adalah kehendak untuk berkuasa-: mempertahankan diri hanya salah satu konsekuensi yang tidak
langsung dan paling sering muncul dari ini.” Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari
pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang
ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia adalah efek-efek yang ditimbulkannya, yakni
penciptaan.

Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa. Pemikiran Nietzsche tentang
kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic
worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam
dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa
diperlakukan sebagai konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani
Kuno, atau substansi. Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh
Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari
realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia
seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih
“puitis” tentang hakekat dunia yang memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi
manusia. Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari
imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia.

Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk
memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih
imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan
dunia, sementara imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya. Nietzsche
sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa adalah
suatu mitos. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer,
bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and
representation).

Walaupun begitu kita tetap harus membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche
melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap optimis, dan memilih untuk
merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya. Sementara Schopenhauer melihat dunia
sebagai kehendak buta, bersikap pesimis, serta memilih untuk melarikan diri darinya. Dua sikap
ini pada hemat saya juga dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di
dalam memandang kehidupan. Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang
memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke berbagai “candu”.
Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan
absurditas kehidupan itu sendiri.

Sikap yang terakhir inilah yang disarankan oleh Nietzsche. Konsep kehendak untuk berkuasa
memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk
berkuasa adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan
segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas Dionysian
yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat
sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan
diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang
patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan
konsep kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern,
yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena
alasan-alasan moral. “Keberatan-keberatan, ketidaksetiaan-ketidaksetiaan kecil,
ketidakpercayaan yang gembira, rasa senang di dalam sikap menghina”, demikian tulisnya,
“adalah tanda-tanda kesehatan.

Segala sesuatu yang tanpa pamrih berasal dari patologi (ketidaknormalan, atau sakit yang
bermuara pada kejahatan –Reza).” Penolakan terhadap kehendak untuk berkuasa menciptakan
ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia
menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan
kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari
manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau
bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia,
yakni kekuasaan. “Masa-masa hebat dalam hidup kita”, demikian tulisnya, “datang ketika kita
mendapatkan keberanian untuk melihat kejahatan-kejahatan di dalam diri kita sebagai bagian
terbaik dari kita.” Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif,
tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta. “Siapa yang bertarung dengan monster”,
demikian tulis Nietzsche, “harus melihat bahwa ia sendiri tidak menjadi monster.

Dan ketika kamu melihat dalam waktu lama ke dalam jurang yang kosong, jurang tersebut
melihat kembali kepadamu.” Inilah orang-orang yang munafik, yang mengingkari kehendak
untuk berkuasa atas nama moralitas. Ia bertarung melawan kejahatan atas nama kebaikan, namun
dalam perjalanan, ia sendiri berubah menjadi kejahatan itu sendiri, yang, mungkin sekali, lebih
parah dari kejahatan yang ia perangi. Ketika ia mengutuk kejahatan, maka kejahatan kembali
menatapnya, dan menjadi satu dengan dirinya. Pengakuan pada sisi-sisi jahat diri membawa
manusia pada kebijaksanaan, bahwa ia adalah ketidaksempurnaan itu sendiri. Hidup yang
dirayakan tidak akan pernah jatuh ke dalam pemutlakkan tertentu yang mencekik, termasuk pada
pemutlakkan nilai-nilai kebaikan itu sendiri

Walaupun hidup sakit-sakitan, Nietzsche tetap mampu menulis dengan amat baik dan kreatif
selama bertahun-tahun di masa hidupnya. Rasa sakit tubuh pun terus datang dan pergi. Ini semua
menggambarkan kekuatan mental yang ia miliki di dalam berpikir dan mencipta. Bahkan
menurut saya rasa sakit dan penderitaan itulah yang menjadi sumber inspirasi dari tulisan-tulisan
filsafatnya. Dari rasa sakit dan ketabahannya, ia menuliskan gagasan-gagasan pencerahan yang
mempengaruhi peradaban manusia, sampai sekarang ini.

Konsep kehendak untuk berkuasa adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik
perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang
pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar
insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup
lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat
tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan
sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara
baru.

Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran
Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (1), proses transendensi insting-insting
alamiah manusia (2), dan cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism) (3). Pemikiran
tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai
fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua
fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk
berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek
terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality) (2), dan sebagai realitas itu sendiri
apa adanya (reality as such) (3).

Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam
semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa
Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya
pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.” Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak
untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas
tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur
terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa.

“Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama
seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap merupakan pembadanan dari
kehendak untuk berkuasa, tubuh itu akan ingin tumbuh, menyebar, memegang, memenangkan
dominasi – bukan karena soal moralitas atau imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan
karena hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa.”

Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun
yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini
terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah
gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.

Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa
hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada
pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas
(subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche
lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri.

Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab
akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri,
sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya.
Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam
menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya.
Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini
dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia,
dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya
“manusiawi” (human).

Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita
memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan
adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka
untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan
digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai
kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari
kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam,
kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah
“afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak
memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.

Montesquieu

Montesquieu memiliki nama asli Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu. Ia lahir
pada tanggal 18 Januari 1689 di Chateau de la Brede, sebelah selatan dari kota Bordeaux,
Prancis. Ia dilahirkan dari keluarga kaya kelas ningrat (petite noblesse), ibunya wafat ketika ia
masih berusia 7 tahun. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 24 tahun. Kemudian ia diasuh oleh
pamanya, Jean Bastiste de Secondat, seorang pastor yang kaya dan terhormat. Ia mendalami
hukum dan pernah menjadi praktisi hukum di pengadilan.[1]

Pendidikan formal menengah ditempuh Montesquieu pada College of Juilly, Paris. Berkat
adanya fasilitas yang bagus dan kehidupan yang berkecukupan serta keseriusan yang matang,
akhirnya ia berhasil memasuki Akademi Prancis lalu ia melanjutkan studi hukum pada
Universitas Bordeaux. Seusai meraih derajat sarjana, Montesquieu mengikuti ujian lisensi untuk
menjalankan praktik hukum, dan memulai merintis karir sebagai penasihat, pengacara dan
kemudian ketua parlemen Guyenne. Akan tetapi minatnya pada ilmu pengetahuan dan institusi
politik segera mengarahkan aktivitasnya untuk menulis. Ia meninggalkan profesi dan jabatan
sebelumnya karena dianggap membosankan. Tepat pada tahun 1716, Montesquieu diterima
menjadi anggota Academie des Sciences di Bordeaux dan kemudian membuatnya makin rajin
dalam menekuni ilmu-ilmu secara otodidak.[2]

Montesquieu adalah pemikir politik Prancis yang hidup pada Era Pencerahan. Ia dilahirkan
sebagia seorang pemikir yang seakan ditakdirkan Tuhan untuk membaca dan menulis sepanjang
hidupnya, karena sebagian hidupnya dihabiskan hanya untuk kegiatan intelektual. Demikian
banyaknya ia membaca sampai mengalami kebutaan di akhir hidupnya. Montesquieu dikenal
dalam literatur barat tidak hanya sebagai pemikir dan filosof politik. Raymon Aron
mengkategorikannya sebagai sosiolog mendahului Auguste Comte yang memperoleh julukan
‘Bapak Sosiologi Modern’ (Father of Modern Sociology). Auguste Comte juga menyebut
Montesquieu sebagai pemuka golongan empiris di Eropa Barat.[3]
Kesukaan Montesquieu adalah melakukan perjalanan dan kunjungan ke berbagai negara.
Mengembara merupakan obsesi sepanjang hidupnya. Ia pernah mengunjungi Jerman, Austria,
Italia, Switzerland, Belanda, Inggris serta Persia. Kunjungan ke berbagai negara itu memiliki
makna penting, tidak hanya bagi hidupnya melainkan juga karya-karyanya di kemudian hari.
Pengalaman-pengalamanya selama mengunjungi negara-negara itu memberikan inspirasi, cerita,
data, dan fakta bagi tulisan-tulisannya. Pemikir ini juga mengagumi karya-karya pemikir Yunani
dan Romawi kuno seperti Polybus, Levy, Thucydides, Aristoteles maupun Machiavelli.
Pengaruh mereka terlefleksi dalam karya-karyanya. Ia mulai mengarang sejak usia 30 tahun.
Ketekunannya dalam menulis, Gaya penulisannya yang cemerlang, pemikirannya yang imajinatif
dan keberanian mengungkapkan pernyataan-pernyataan hipotetis serta asumsi teoritis
menjadikannya sebagai seorang penulis yang andal.[4]

Di samping kelebihan-kelebihannya, Montesquieu juga memiliki kelemahan-kelemahan.


Seperti apa yang dikemukakan oleh John Plamenatz. Ia dinilai kurang kritis. Data, cerita atau
fakta yang kurang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis tetap diterima sebagai bahan
penulisan karyanya tanpa menguji apakah data tersebut fakta sesungguhnya, otentik  ataukah
fiktif. Misalnya cerita-cerita Levy mengenai sejarah Romawi kuno, analisa Chardin tentang
persia kontemporer dan Halde mengenai kehidupan di Cina. Akhirnya, Charles-Louis de
Secondat Baron de la Brede et de Montesquieu wafat pada 10 februari 1755 di Paris, Prancis. [5]

B.    Pemikiran-Pemikiran Montesquieu
Montesquieu lebih dikenal dengan pemikirannya tentang pemisah kekuasaan. Pemikirannya
ini tertuang dalam karyanya yang berjudul Spirit of Law, karyanya ini menjadi inti dari
pemikiran sosial dan politiknya dalam membahas segala hal, mulai dari politik, hukum, dan
ekonomi analisis sampai gosip dan anekdot-anekdot murahan pada masa itu. Prinsip-prinsip yang
mempunyai signifikansi khusus pada perkembangan pemikiran politik sekarang ini muncul dari
karya Montesquieu, Spirit of Law. Prinsip pertama mengacu pada peran lingkungan dan keadaan
dalam membentuk hukum dalam masyarakat; prinsip kedua pada hubungan antara norma dan
relativitas dalam hukum dan masyarakat; dan prinsip ketiga terletak pada doktrin pemisahan
kekuasaan sebagai upaya preventif menghadapi despotisme.
Pandangan Montesquieu mengenai sebuah hukum seringkali disandingkan dengan
lingkungan, sejarah, geografi, dan iklim dimana orang-orang tinggal. Tidak ada aturan hukum
yang pasti dan tidak ada bentuk pemerintahan yang berlaku bagi semua masyarakat. Rekonsiliasi
antara otoritas publik dan hak pribadi, masalah pokok dari filsafat politik bukanlah pemecahan
yang bisa diterapkan secara universal. Pemecahan ini harus dilakukan dengan cara yang berbeda
dalam lingkungan budaya yang berbeda; ia tergantung pada konfigurasi waktu, ruang, dan
tradisi. Oleh karenanya, bentuk pemerintahan yang paling tepat menurut pandangannya ialah
pemerintahan yang paling sesuai dengan karakter orang-orang yang untuk mereka pemerintahan
tersebut didirikan. Karena berbagai kekuatan alam seperti iklim dan tanah memengaruhi perilaku
manusia, hukum dan institusi sosial haruslah “bersifat relatif dengan iklim masing-masing
negara, dengan kualitas tanah, dengan situasi dan keadaan sekitarnya, dengan status sosial orang-
orang pribumi, apakah sebagai suami, pemburu, atau pengembala binatang... dengan agama
penduduk, dengan pekerjaan mereka, kekayaan, jumlah, perdagangan, kebiasaan dan adat
istiadat.” Iklim yang dingin membantu tumbuhnya tindakan yang giat, ketenangan, dan
pemilikan diri, sementara iklim panas menimbulkan kemalasan, hasrat, dan emosi.[6]

Dalam klasifikasi pemerintah, Montesquieu membaginya ke dalam tiga bagian, yakni


republik, monarki, dan despotik. Republik dapat berupa demokrasi, ketika kedaulatan diserahkan
kepada semua lembaga kerakyatan, atau aristokrasi, ketika kekuasaan tertinggi hanya diserahkan
sebagian anggota masyarakat. Monarki adalah pemerintah konstitusional oleh satu orang,
sedangkan despotisme adalah kekuasaan yang sewenaang-wenang oleh satu orang. Monarki juga
memerlukan keberadaan aristokrasi atau beberapa kekuasaan perantara yang berdiri diantara
penguasa dan rakyat dan bertindak sebagai penengah. Despotisme tidak mentolerir intervensi
semacam ini; pedang penguasa yang diacungkan menjadi aturan dan pedomannya. Karena tidak
dibatasi hukum, seorang tiran berkuasa menurut kehendak dan nafsunya sendiri.[7]

Montesquieu menyatakan bahwa tidak ada bentuk pemerintahan yang bisa dipahami tanpa
apresiasi yang benar terhadap prinsip-prinsipnya atau kekuatan pengggeraknya. Jadi sebuah
republik, apakah dijalankan oleh beberapa orang atau banyak orang, tergantung pada civic
virtue (nilai kebajikan warga negara) dan spirit publik dari rakyat, kesediaan untuk menundukan
kepentingan diri sendiri demi kebaikan umum, jiwa patriotisme, kejujuran, kesederhanaan, dan
persamaan.[8]

Mengenai konsep kebebasan, Montesquieu tetap mempertahankan pendekatan empiris.


Motesquieu tidak memulai perhatiannya dengan mengajukan konsep-konsep umum yang
abstrak. Menurutnya, kebebasan berakar dalam tanah. Maksud dari berakar dalam tanah ini
adalah bahwa kebebasan lebih mudah dipertahankan dengan dua prasyarat pokok, yaitu keadaan
geografis negara dan ketentraman yang timbul dari keamanan. Prasyarat kedua menghendaki
perundang-undangan menetapkan batas-batas kekuasaan negara serta adanya jaminan hak-hak
individu di dalam hukum. Montesquieu mendefinisikan hukum sebagai rasio manusia yang
mengatur semua penduduk bimi: hukum politik dan sipil setiap bangsa seharusnya hanya
merupakan kasus-kasus partikular sebagai buah dari proses akal manusia dan harus disesuaikan
dengan orang-orang yang untuk merekalah hukum-hukum tersebut dikerangkakan. Hukum
memiliki perbedaan sesuai dengan tempat dan waktu hukum itu berlaku. Perbedaan tempat dan
masa ini menyebabkan adanya perbedaan kebiasaan dan adat istiadat. Pengaruh iklim, alam
lingkungan sekitar dan sebagainya juga menjadi penyebab perbedaan hukum. Oleh karnanya,
terdapat perbedaan hukum dan sifat-sifat pemerintahan di tiap-tiap negara. Ia juga berpendapat
bahwa keadailan merupakan suatu pengertian yang telah ada terlebih dahulu sebelum adanya
hukum positif. Oleh sebab itu dalam suatu masyarakat, manusia harus menyesuaikan diri dengan
keadailan. Hukum posistif yang sesuai dengan keadailan itu adalah hukum yang benar.[9]

C.     Karya-karya Montesquie
Semasa hidupnya, Montesquieu banyak sekali menulis dan berkarya. Dari sekian banyak
karyanya, terdapat tiga karyanya yang lebih menonjol dan sangat monumental. Ketiga karya
tersebut adalah Lettres Persanes (1721), Considerations surles causes de la grandeur des
Romains et de leur decadence (1734), dan De L’Esprit des Lois (1748).
a.      Lettres Persanes
Lettres Persanes (Surat-surat Persia) merupakan karya sastra yang mengungkap kabiasaan
hidup, tata pergaulan orang paris sehari-hari, serta situasi politik dan agama di Prancis.
Penyajiannya penuh ejekan dan sindiran, dilatarbelakangi kekhasan Persia sebagai wakil dunia
timur. Karya ini juga merupakan salah satu contoh penting terpengaruhinya pengarang Prancis
oleh gerakan Pencerahan yang luas itu dan berkembang menjadi lebih radikal dari pada di
Inggris.  Karya ini juga merefleksikan pengalaman Montesquieu ketika mengunjungi negara-
negara tetangganya khususnya Persia. Maksud penulisan karya ini adalah sebagai cermin diri,
kritik dan semangat untuk mengubah diri kepada rakyat dan penguasa Prancis di zamannya.
Montesquieu berani mengkritik kebijakan pemerintahan negara yang acapkali dipaksakan, untuk
sebaliknya mengunggulkan kebajikan yang timbul dari inisiatif diri manusia sendiri.
Kesemuanya itu tergambarkan dengan terjadinya kemerosotan ahklak orang-orang Eropa.[10]
The Persian Letters atau Lettres Persanes ini diterbitkan anonim (tanpa nama pengarang)
pada tahun 1721 di Amsterdam, Belanda. Dengan tidak dicantumkannya nama penulis dalam
karya ini bertujuan untuk menghindari dari kemungkinan pembredelan atau bahkan ancaman
hukuman keras dari kekuasaan despotisme Prancis terkait dengan isi di dalamnya. Surat-surat
Persia merefleksikan kelanjutan semangat Abad Pencerahan yang memadukan rasionalisme
Descartes, empirisme Locke  dan skeptisme Pierre Bayle. Walaupun karya ini lebih cocok
disebut karya satire atau novel yang sepenuhnya fiktif belaka. Isinya tidaklah sesederhana seperti
banyak terdapat dalam karya sejenis. Surat-surat Persia ditulis Montesquieu berdasarkan
pengamatannya yang jeli terhadap kehidupan sosial sehari-hari rakyat, pemuka agama dan
penguasa negrinya. Karya ini juga berisikan pemikiran serius mengenai politik , sosiologi,
sejarah dan agama. Meskipun yang lebih menonjol hanyalah kritikan-kritikan pedas saja.[11]

Dalam Surat-surat orang Persia ini, Montesquieu menggunakan dua tokoh orang Persia yang
saling mengirim pesan sesamanya. Kedua tokoh tersebut ia namakan, Usbek dan Rica. Melalui
kedua tokoh inilah Montesquieu mengemukakan tujuan dituliskannya karya ini. Usbek adalah
nama suku dari Usbekistan yang dilukiskan watak dan kepribadiannya oleh Montesquieu sebagai
Muslim ortodoks yang taat melaksanakan kegiatan ritual aneh seperti yang dilakukan oleh orang-
orang Kristen. Usbek cerdas dan memiliki motivasi kuat mencari pengalaman dan pengetahuan
di negeri asing.[12] Tapi ia seorang despotik yang memiliki banyak harem (istri-istri simpanan)
di belakang rumahnya. Dengan harem-harem itulah ia memuaskan nafsu birahinya selama hidup
di Persia. Sedangkan Rica adalah sahabat Usbek yang dilukiskan sebagai seorang periang, pandai
membuat sketsa watak tokoh-tokoh tertentu, berusia lebih muda dari Usbek, tidak memiliki
harem, humoris serta sangat menyukai suatu pengalaman yang baru.[13]

Montesquieu dengan bebas dan leluasa mengkritik, menyindir, mencemooh tajam Raja dan
Gereja dengan berpura-pura seolah-olah pengunjung dari Persia itu yang dapat menulis dan
berpendapat demikian. Montesquie menyindir dan mengkritik Raja Prancis saat itu, Louis XIV.
Raja ini ia juluki sebagai ‘tukang sulap’ yang telah menyebabkan terjadinya pembodohan rakyat,
pembantaian massal dan peristiwa-peristiwa berdarah lainnya. Dalam suratnya, Rica menulis
bahwa kaisar Prancis adalah seorang penguasa yang sangat congkak. Ia tidak memiliki tambang
emas seperti raja Spanyol, tetapi kekayaannya melebihi raja Spanyol. Kekayaannya itu
bersumber dari kecongkakannya kepada rakyatnya dengan cara menjual gelar-gelar
kebangsawanan dengan harga mahal atau menipu rakyatnya dengan mengatakan bahwa satu
keping uang sama nilainya dengan dua, atau mengatakan bahwa secarik kertas sama dengan
dua.  Melalui watak Usbek, Montesquieu menentang segala bentuk despotisme. Termasuk
konsep despotisme yang tercerahkan. Ia mengkritik despotisme jenis ini mengandung cacat
teoritis. Bagi dirinya apa pun bentuk despotisme, tetap akan selalu menindas rasionalitas dan
kebebasan berfikir dan menyebabkan terjadinya penindasan manusia yang membinasakan.[14]

b.      Considerations surles causes de la grandeur des Romains et de leur decadence

Karya ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1734 di Amsterdam, Belanda. Sebagaimana
karya-karya sebelumnya, karya ini terbit tanpa nama, yang kemudian direvisi pada edisi 1748.
Karya ini merupakan salah satu karya-karya pertama dari semua usaha untuk memahami setiap
jengkal sejarah romawi. Karya ini dianggap mengandung sindirian pada rezim yang berkuasa
serta otoritas gereja di Prancis, karena memaparkan secara historis penyebab utama kemerosotan
bangsa di masa Romawi tak lain ialah pemimpin-pemimpin negara dan gereja. Atas karya ini,
para sarjana kontemporer menganggap Montesquieu sebagai pelopor aliran dan metode
historis  di Eropa. Sebagian karya ini menggunakan kerangka historis, dimulai dengan asal mula
Romawi dan diakhiri dengan keruntuhannya. Keterangan yang terdapat pada judulnya
mengindikasikan bahwa Montesquieu kurang tertarik untuk memaparkan sejarah umum
Romawi, atau bahkan juga sejarah kejayaan dan keruntuhannya, tetapi lebih difokuskan pada
penjelasan tentang sebab-sebab dari kejayaan dan keruntuhan itu.[15]

The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Romansditulis
Montesquieu berdasarkan data dan sumber penulisan pada karya Levy, Polybius, Thucydides dan
dipengaruhi Machiavelli. Menurut Plamenatz, karya ini memiliki cacat-cacat akademis, sehingga
tak banyak populer dan dikagumi oleh banyak orang, apalagi kaum cendikiawan. Dari sedikit
cendikiawan yang mengagumi karya Montesquieu ini adalah Edward Gibbon, penulis buku
monumental Decline and Fall of the Roman Empire.[16] Jikalau Gibbon mefokuskan kajiannya
pada kejatuhan Romawi, sedangkan Montesquieu pada kebangkitan, kebesaran dan sekaligus
kejatuhan imperium Romawai. Ia menjelaskan bahwa hakikat Roma, ibu kota pemerintahan
imperium Romawi, menurutnya Roma bukanlah sebuah kota dalam pengertian modern sekarang,
melainkan sebagai sebuah tempat pertemuan umum. Di dalamnya orang-orang berkumpul dan
membicarakan berbagai persoalan sosial kemsyarakatan secara bebas. Tidak begitu jelas siapa
yang diperintah dan siapa yang memerintah. Dengan demikian, Roma tidak dapat dijadikan
sebagai sebuah model pemerintahan.
Kejayaan Romawi mengandung beberapa sebab diantaranya: kebajikan masyarakatnya,
sistem konsul, kebijakan senat, kekuasaan rakyat yang terbatas, konsentrasi perang,
kemenangan-kemenangan, pembagian harta rampasan, pembagian tanah yang merata, censorship
(pemeriksaan), pembagian kekuasaan politik, dan dukungan senat terhadap militer dan terhadap
politik luar negeri.
Sedangkan kemunduran Romawi antara lain disebabkan oleh merosotnya kerjasama antara
rakyat dan militer, kesenjangan ekonomi dan kekuasaan, hilangnya identitas kewarganegaraan
rakyat Romawi, yang kesemuanya membuat Republik tidak mungkin dapat dipertahankan.
Montesquieu juga mencurahkan perhatiannya pada perkembangan paham atheisme,
materialisme, dan hedonisme yang menyebabkan hancurnya moral, agama, patriotisme dan
kebajikan masyarakat Romawi. Kehancuran moral itu seperti kekejaman, kebiadaban dan
kebrutalan para jendral militer atau kaisar telah membuat rakyatnya tertindas.[17]
c.       De L’Esprit des Lois
De L’Espirit des Lois (Spirit of Law) merupakan karya terbesar Montesquieu yang berisi
ajaran mengenai sistem-sistem pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikandungnya dan
ajaran pemisahan kekuasaan-kekuasaan negara.  Menurutnya, sistem-sistem pemerintahan dapat
dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu pemerintahan pemerintahan republik (baik demokrasi
maupun aristokrasi), pemerintahan monarkis, dan pemerintahan despotis. Karya terbesar
Montesquieu ini terdiri dari tiga puluh satu buku yang diterbitkan pertama kali di Geneva pada
tahun 1748. Dalam kata pengantar dan buku pertama, setidaknya Montesquieu memiliki dua
sasaran. Sasaran pertama untuk memahami perbedaan hukum manusia dan hukum dalam
kehidupan secara umum. Yangkedua, untuk memberi sumbangsih dasar bagi terbentuknya
pemerintahan yang bijaksana di setiap tempat. Buku ini terbagi ke dalam enam bagian.
Bagian pertama, berisiskan tentang hukum pada umumnya dan bentuk-bentuk
pemerintahan. Kedua, membahas mengenai pengaturan militer, pajak dan sebagainya. Ketiga,
membahas alam atau iklim. Keempat, membahas mengenai masalah perekonomian. Kelima,
membahas agama; dan keenam atau bagian akhir, merupakan suplemen yang berisi uraian
tentang hukum Romawi, hukum Prancis dan Feodalisme.[18]
Seperti apa yang sudah dipaparkan di atas, Montesquieu mengklasifikasikan bentuk-bentuk
negara ke dalam tiga bagian, pertama republik, republik merupakan bentuk negara yang terbaik.
Negara republik diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat yang memegang kedaulatan dan
memberikan mandat serta legitimasi kepada orang-orang yang dipercaya untuk memerintah
negara. pemimpin-pemimpin negara merupakan pilihan rakyat berdasarkan prinsip kebajikan.
Maka pemimpin-pemimpin itu mengakui kebebasan politik rakyat dan tunduk kepada konstitusi.
Hukum berada di atas siapa pun. Apabila rakyat tidak mampu mematuhi hukum undang-undang
yang pada dasarnya penjelmaan kebiasaan rakyat itu sendiri, maka lambat laun negara akan
mengalami kemunduran. Menurut Montesquieu hancurnya negara repubik disebabkan oleh
timbulnya semangat yang ekstrem dan juga karena kekeliruan dalam memahami makna
kebebasan. Kebebasan membuat orang tidak hormat lagi kepada orang yang lebih tua, orang tua,
suami.[19] Republik dapat berupa demokrasi apabila kedaulatan diserahkan kepada semua
lembaga kerakyatan, atau dapat berupa aristokrasi apabila kekuasaan tertinggi hanya diserahkan
kepada sebagaian anggota masyarakat.[20]
Monarki adalah bentuk pemerintahan yang konstitusional yang diperintah oleh satu orang
berdasararkan asal usul keturunan (misalnya raja, ratu, kaisar). Satu orang pemimpin negara
berkuasa berdasarkan prinsip honneur atau kehormatan. Dalam perkembangan suatu negara,
dapat terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab satu orang kepada orang-orang tertentu
berdasarkan prinsip tadi. Pemerintahan monarki ini kadang-kadang dikenali sebagai
pemerintahan aristokratik, yaitu dimana pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang
yang berasal dari golongan aristokrasi dengan berlandaskan undang-undang sebagai pedoman
dalam menjalankan pemerintahan. Monarki terletak pada faktor yang menimbulkan rasa hormat
atau persaingan karena perbedaan di antara hirarki sosial, masing-masing kelas ingin menjaga
kedudukan dan hak-hak istimewanya. Berdasarkan prinsip rasa hormat ini, negara monarki
menciptakan diskriminasi dan kesenjangan posisi di antara manusia. Jadi, tidak semua manusia
sama. Ada sebagian manusia lebih terhormat dari manusia lainnya. Menurut prinsip ini, hal
tersebut merupakan hal yang wajar atau bersifat alamiah. Secara alamiah manusia memang
berbeda.[21]
Kehancuran negara monarki menurut Montesquieu, sama seperti negara republik, yaitu
karena rusaknya prinsip-prinsip kenegaraannya. Aristokrasi rusak apabila semua bangsawan
menjadi sewenang-wenang, hukum yang seharusnya mengatur mereka tidak berfungsi karena
(kekuasaan) mereka berada di atas hukum. Mengambil pelajaran dari kejatuhan dinasti Tsiin dan
Soui, Montesquieu mengatakan sebab kehancuran monarki adalah karena para pengeran ingin
mengatur diri mereka sendiri dari segala sesuatu, dan mengatur sesuatu yang berada diluar
kekuasaannya. Kerusakan monarki juga terjadi akibat penguasa yang melakukan perubahan-
perubahan tradisi yang telah mapan dan para penguasa memiliki sifat egosentrisme yang kuat;
dengan mengarahkan segala sesuatu sepenuhnya kepada diri sendiri. Montesquieu juga
menggingatkan bahwa monarki akan dapat menjadi sebuah negara despotis, meskipun
penguasanya lebih dari satu orang, apabila penguasanya berkuasa mutlak dan melakukan
penyelewengan kekuasan. [22]
Negara despotis adalah negara yang diperintah oleh seorang raja tanpa berlandaaskan
undang-undang atau aturan tertulis yang berkepastian. Hukum yang berlaku disesuaikan dengan
kehendak pribadi sang raja dan cenderung represif. Satu orang pemimpin negara berkuasa
berdasarkan prinsip ketakutan, ambisi kepicikan ingin kaya tanpa usaha, suka akan pujian yang
berlebihan. Pemerintahan kediktatoran ini mengkonsepkan para bawahan tanpa kecuali berada
dalam suasana pengabdian pada raja, sedangkan rakyat diperlakuakan sebagai budak-budak
tanpa ada secuil hak. Negara ini memiliki ciri-ciri yang mirip dengan yang dimiliki negar
Leiviatahan, negara model Hobbes. Negara merupakan lembaga politik yang ganas, menakutkan
dan bisa bertindak menurut kehendaknya sendiri. Menurut Montesquieu, agama menjadi faktor
yang diperhitungkan oleh penguasa negara despotis yang membuatnya harus berhati-hati bila
melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Montesquieu
menyebutkan penyebab utama kehancuran negara despotis adalah ketidaksempurnaan hakikat
maupun prinsip despotis yang mendasarkan kekuasaannya pada satu orang dan kekuasaan
sewenang-wenang. Negara ini akan hancur apabila digunakan sewenang-wenang secara terus
menerus.[23]

Konsep Trias Politica
Trias Politica adalah konsep pemisah kekuasaan negara yang membagi menjadi tiga bentuk
kekuaasan, kekuasaan itu adalah kekuasan eksekutif, legislatif dan kekuasaan yudikatif.
Menurutnya ketiga bentuk kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas
(fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan. Kekuasaan
eksekutif yaitu kekuasaan yang meliputi kegiatan melaksanakan undang-undang, menjaga
keamanan negara, serta menetapkan keadaaan damai dan perang. Kekuasaan ini sebaiknya
merupakan urusan raja karena mampu bertindak lebih baik daripada beberapa orang. Kekuasaan
legislatif yaitu kekuasaan membuat, membentu, memperbaiki, serta mengamandemen undang-
undang. Sedangkan kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan yang menerapkan serta
mempertahankan undang-undang, dan mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap
undang-undang. Berbeda dengan Locke, Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif itu
sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.[24]
Menurut para ahli hukum dan politik kontemporer, trias politika tidak dapat dijalankan
secara konsekuen kerena dua alasan utama, yaitu alasan praktik dan teoritik. Praktik
pengorganisasian kekuasaan yang mutlak tidak pernah terjadi dan ditemukan di negara-negara
manapun di dunia. Beberapa ahli menunjuk Amerika Serikat sebagai negara yang paling
konsekuen melaksanakan doktrin itu. Namun pada kenyataannya di Amerika Serikat justru
mengungkapkan betapa kekuasaan yang dijalankan oleh badan yudisial sudah dianggap
memasuki kekuasaan eksekutif. Sedangkan secara teoritik, pemisah kekuasaan secara mutlak
antara tiga kekuasaan politik tidak mengenal adanya konsep check and balances antara
kekuasaan politik yang satu dengan yang lain. Maka, timbulah kecaman bahwa sesunggungnya
Trias Politica mengadakan kesewenang-wenangan menurut atau di dalam lingkungan masing-
masing cabang kekuasaan tersebut.[25]

Dari paparan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Montesquieu merupakan
tokoh asal Prancis yang pemikirannya hingga detik ini masih diaplikasikan di beberapa nagara.
Keberhasilan penerapan pemikiran Montesquieu tersebut tidak dapat terlepas dari pengaruh latar
belakang kehidupannya, dimana ia menaruh kebencian kepada despotisme dan sikap anti
gereja.  mereka mempunyai pandangan yang optimis akan kemajuan manusia dan kemajuan pada
ilmu pengetahuan. Pemikirannya tentang politik, hukum, sosiologi, dan lainnya ia tuangkan
kedalam karya-karyanya. Dari sekian banyak karyanya, terdapat tiga karya Montesquieu yang
sangat monumenal. Ketiga karya tersebut adalah Letters Persanes (1721), Considerations sur les
causes de la grandeur des romains et de leur decadence (1734). Dan De L’Esprit des
Lois (1748). Dari karya-karyanya itu, Montesquieu membagikan bentuk negara kedalam tiga
bagian, yaitu republik, monarki, dan despotis. Yang masing-masing bentuk negara tersebut
memiliki arti yang berbeda masing-masing.
Adapun sumbangan pemikiran Montesquieu yang masih sangat digunakan di berbagai
negara sekarang ini adalah pemikirannya mengenai teori pembagian kekuasan. Montesquieu
membaginya menjadi tiga. Teori ini dinamakan dengan Trias Politica. Ketiga kekuasaan ini
adalah kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan terakhir kekuasaan yudikatif. Legislatif
ialah kekuasan yang bertugas membuat undang-undang. Eksekutif ialah kekuasaan yang bertugas
melaksanakan undang-undang dan yudikatif bertugas mengadili pelanggaran yang terjadi
terhadap undang-undang. Inti pembagian kekuasaan ini adalah agar tidak terjadi pemusatan
kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang. Maka oleh karnanya
kekuasaan harus dipisahkan.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Gramedia, 2001.


KA Pramana, Pudja. Ilmu Negara. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Schmandt.J, Hendry. Filsafat Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Montesquie.  Membatasi Kekuassan Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang. Jakarta: Gramedia,
1993.
Gibbon, Edward. History of Decline and Fall of The Roman Empire. London: J.M.Dent and
Sons, 1945.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2010.

[1] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat  (Jakarta: PT. Gramedia, 2001) h. 213-214.


[2] Pudja Pramana KA, Ilmu Negara ( yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h.162.
[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat  (Jakarta: PT. Gramedia, 2001) h. 213-214.
[4] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.214
[5]  Ibid, h.215.
[6] Hendry. J. Schmandt, Filsafat Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 369-370.
[7] Ibid, h.370.
[8] Ibid, h.371.
[9] Ibid, h.372-373.
[10] Pudja Pramana KA, Ilmu Negara ( yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h.162.
[11] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.221.
[12] Montesquieu, Membatasi Kekuasaan Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, (Jakarta:
Gramedia, 1993) hal.4.
[13] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.222.
[14] Ibid, h.222-223.
[15] Pudja Pramana KA, Ilmu Negara, h.163.
[16] Edward Gibbon, History of Decline and Fall of The Roman Empire, (London: J.M.Dent
and Sons, 1945).
[17] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.218.
[18] Ibid, h.226.
[19] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.232.
[20] Hendry. J. Schmandt, Filsafat Politik, h. 370.
[21] Ibid, h.371.
[22] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.232-234.
[23] Ibid, h.235
[24] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2010) h. 283
[25] Pudja Pramana KA, Ilmu Negara, h.170.
Diposting oleh Muhammad Mardhiyulloh di 02.17 
Kirimkan Ini lewat Email
 

Referensi :

Budiardjo, Miriam. 1996. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. XVII.  Jakarta: Gramedia.

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia.

Surbakti, Ramlan. 1992.  Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana

https://www.academia.edu (Diakses pada 16 Desember 2015)

https://id.wikipedia.org (Diakses pada 17 Desember 2015)

Noer, Deliar. 1983.  Pemikiran Politik di Negara Barat (Edisi Baru).  Jakarta: Rajawali Press
Ebenstein, William & Fogelman, Edwin.  1985. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga
Suseno, Frans Magnis. 1994. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern.  Jakarta
Struik. 1971. Birth of Communist Manifesto. New York: International Publisher
Bachtiar, Harsa. 1980. Percakapan Sidney Hook tentang 4 Masalah Filsafat: Etika, Iseologi
Nasional, Marxisme, Eksistensialisme. Jakarta: Djambatan
Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Sinar Grafika Offset

[1] Noer, 1983, Pemikiran Politik di Negara Barat,  hlm. 196


[2] Noer, op.cit,  hlm. 11
[3] Ibid
[4] Noer, op.cit,  hlm. 204
[5] Ebenstein & Edwin,  1985, Isme-Isme Dewasa Ini,  hlm. 18
[6] Suseno, 1994, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, hlm. 260
[7] Noer, op.cit,  hlm. 204-205
[8] Struik, 1971, Birth of Communist Manifesto, hlm. 66
[9] Bachtiar, 1980, Percakapan Sidney Hook tentang 4 Masalah Filsafat: Etika, Iseologi
Nasional, Marxisme, Eksistensialisme, hlm. 114
[10] Noer, op.cit,  hlm. 206-207
[11] Ebenstein & Edwin, op. cit,  hlm. 15
 Posted in DEVANIA ANNESYA, FUN ESSAYS, PEMIKIRAN POLITIK BARAT

oleh:
La Ode Muh. Yamin  

A.    Aliran filsafat idealisme, materialisme, dan pragmatisme

Dalam dunia pendidikan, filsafat mempunyai peranan yang sangat besar. Karena, filsafat
yang merupakan pandangan hidup ikut menentukan arah dan tujuan proses pendidikan.Oleh
karena itu, filsafat dan pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat. Sebab, pendidikan
sendiri pada hakikatnya merupakan proses pewarisan nilai-nilai filsafat, yang dikembangkan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan yang lebih baik atau sempurna dari keadaan
sebelumnya.
Dalam pendidikan diperlukan bidang filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan menurut Al-
Syaibany (Sadulloh, 2003: 37) adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam
pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan
menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi
dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis.
Sehingga kita dapat katakan bahwa filsafat pendidikan itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari
dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat
filosofis. Jadi jika ada masalah atas pertanyaan-pertanyaan soal pendidikan yang bersifat
filosofis, wewenang filsafat pendidikanlah untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus
dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga
menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya. Dengan demikian,
muncullah filsafat pendidikan yang menjadi dasar bagaimana suatu bangsa itu berpikir,
berperasaan, dan berkelakuan yang menentukan bentuk sikap hidupnya.
Ajaran filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa ahli
filsafatpendidikan tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu masalah
terdapat perbedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini melahirkan kesimpulan-
kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang dihadapi sama. Perbedaan ini dapat
disebabkan pula oleh factor-faktor lain seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh
zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat. Dengan perbedaan-perbedaan tersebut
para ahli menyusunnya dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga menghasilkan
klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut aliran filsafat pendidikan.
MenurutEdward J.Power (Sadulloh, 2003: 98) aliran filsafat pendidikan terbagi
menjadi  Aliranidealisme, realisme, humanisme religius-rasional, pragmatisme, eksistensialisme,
merupakan pandangan dalam filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan
pendidikan. Dalam makalah ini hanya membahas mengenai aliran idealisme, aliran realisme,
aliran materialisme dan aliran pragmatisme.
B.     KONSEP ALIRAN IDEALISME
Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan sebenarnya sudah berada dalam jiwa (mind)
kita, tetapi membutuhkan usaha untuk dibawa pada tingkat kesadaran kita melalui suatu proses
yang disebut intropoeksi. Jadi mengetahui adalah berfikir kembali tentang idea-idea terpendam
yang ada di dalam jiwa kita. (Sadulloh, 2003: 27)
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah bahwa manusia menganggap ruh atau sukma
lebih beharga dan lebih tinggi dibandingkan materi bagi kehidupan manusia. Ruh merupakan
hakikat yang sebenarnya, sementara benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari ruh atau
sukma (Akhmad, 2008: 1)
Konsep aliran idealisme berimplikasi terhadap konsep pendidikannya (Fajar, 2010: 1)
yaitu:
Tujuan Pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk membantu perkembangan pikiran
dan diri pribadi (self) siswa. Sebab itu, sekolah hendaknya menekankan aktifitas aktifitas
intelektual, pertimbangan-pertimbangan moral, pertimbangan-pertimbangan estetis, realisasi diri,
kebebasan, tanggung jawab, dan pengendalian diri demi mencapai perkembangan pikiran dan
diri pibadi.
Kurikulum Pendidikan. Demi mencapai tujuan pendidikan di atas, kurikulumpendidikan
Idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis.Pendidikan liberal
dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan-kemampuan rasional dan moral, adapun
pendidikan vokasional untuk pengebangan kemampuan suatukehidupan/pekerjaan.
Kurikulumnya diorganisasi menurut mata pelajaran dan berpusat pada materi pelajaran (subject
matter centered).
Metode Pendidikan.  Struktur dan atmosfir kelas hendaknya memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berpikir, dan untuk menggunakan criteria penilaian moral dalam situasi-
situasi kongkrit dalam konteks pelajaran. Metode mengajar hendaknya mendorong siswa
memperluas cakrawala; mendorong berpikir reflektif; mendorong pilihan-pilihan moral pribadi,
memberikan keterampilan-keterampilan berpikir logis; memberikan kesempatan
menggunakan pengetahuan untuk masalah-masalah moral dan social.
Peranan Guru dan Siswa. Para filsuf Idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para
guru. Guru harus unggul (excellent) agar menjadi teladan bagi para siswanya, baik secara moral
maupun intelektual. Guru harus unggul dalam pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan
serta kemampuan-kemampuan para siswa; dan harus mendemonstrasikan keunggulan moral
dalam keyakinan dan tingkah lakunya. Guru harus juga melatih berpikir kreatif dalam
mengembangkan kesempatan bagi pikiran siswa untuk menemukan, menganalisis, memadukan,
mensintesa, dan menciptakan aplikasiaplikasi pengetahuan untuk hidup dan berbuat.
C.    KONSEP ALIRAN REALISME
Tokoh realisme adalah Aristoteles (384 – 332 SM). Pada dasarnya aliran ini
berpandangan bahwa hakekat realitas adalah fisik dan roh, jadi realitas adalah dualistik. Ada 3
golongan dalam realisme, yaitu realisme humanistik, realisme sosial,  dan realisme yang bersifat
ilmiah. Realisme humanistik menghendaki pemberian pengetahuan yang luas, ketajaman
pengalaman, berfikir dan melatih ingatan. Realisme sosial berusaha mempersiapkan individu
untuk hidup bermasyarakat. Realisme yang bersifat ilmiah atau realisme ilmu menekankan pada
penyelidikan tentang alam. Francis Bacon (1561–1626) seorang tokoh realisme ilmu
berpandangan bahwa alam harus dikuasai oleh manusia. Pandangannya tentang manusia
ditentukan oleh kemampuan menggunakan pikirannya. (Sadulloh: 2003: 36)
Realisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa dunia materi diluar kesadaran
ada sebagai suatu yang nyata dan penting untuk kita kenal dengan mempergunakan intelegensi.
Objek indra adalah real, yaitu benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda
itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran kita. Menurut
realisme hakikat kebenaran itu barada pada kenyataan alam ini, bukan pada ide atau jiwa.
Aliran realisme juga memiliki implikasi terhadap dunia pendidikan (Fajar, 2010:
1)sebagai berikut:
Tujuan Pendidikan. Pendidikan pada dasarnya bertujuan agar para siswa dapatbertahan
hidup di dunia yang bersifat alamiah, memperoleh keamanan dan hidup bahagia.Dengan jalan
memberikan pengetahuan yang esensial kepada para siswa, maka mereka akan dapat bertahan
hidup di dalam lingkungan alam dan sosialnya.
Kurikulum Pendidikan. Kurikulum sebaiknya meliputi: (1) sains/IPA dan matematika,
(2) Ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial, serta (3) nilai nilai.
Sains dan matematika sangat dipentingkan. Keberadaan sains dan
matematikadipertimbangkan sebagai lingkup yang sangat penting dalam belajar.
Sebab, pengetahuantentang alam memungkinkan umat manusia untuk dapat menyesuaikan diri
serta tumbuh dan berkembang dalam lingkungan alamnya. Ilmu kemanusiaan tidak
seharusnya diabaikan, sebab ilmu kemanusiaan diperlukan setiap individu untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosialnya. Kurikulum hendaknya menekankan pengaruh
lingkungan sosial terhadap kehidupan individu.
Metode Pendidikan. “Semua belajar tergantung pada pengalaman, baik pengalaman
langsung maupun tidak langsung (seperti melalui membaca buku mengenai hasil pengalaman
orang lain), kedua-duanya perlu disajikan kepada siswa. Metode penyajian hendaknya bersifat
logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama yang diterima oleh para filsuf
Realisme yang merupakan penganut Behaviorisme” (Edward J. Power). Metode mengajar yang
disarankan para filosof Realisme bersifat otoriter. Guru mewajibkan para siswa untuk dapat
menghafal, menjelaskan, dan membandingkan fakta-fakta; mengiterpretasi hubungan-hubungan,
dan mengambil kesimpulan makna-makna baru.
Peranan Guru dan Siswa. Guru adalah pengelola kegiatan belajar-mengajar di dalam
kelas (classroom is teacher-centered); guru adalah penentu materi pelajaran; guru harus
menggunakan minat siswa yang berhubungan dengan mata pelajaran, dan membuat mata
pelajaran sebagai sesuatu yang kongkrit untuk dialami siswa. Dengan demikian guru
harusberperan sebagai “penguasa pengetahuan; menguasai keterampilan teknik-teknik mengajar;
dengan kewenangan membentuk prestasi siswa”. Adapun siswa berperan untuk “menguasai
pengetahuan yang diandalkan; siswa harus taat pada aturan dan berdisiplin, sebab aturan yang
baik sangat diperlukan untuk belajar, disiplin mental dan moral dibutuhkan untuk berbagai
tingkatan keutamaan” (Edward J. Power).
Pendidikan yang didasari oleh realisme bertujuan agar peserta didik menjadi manusia
bijaksana secara intelektual yang dapat memiliki hubungan serasi dengan lingkungan fisik
maupun sosial. Implikasi pandangan realisme adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikannya membentuk individu yang dapat menyelesaikan diri dalam masyarakat
dan memilki tanggung jawab pada masyarakat.
2.      Kedudukan peserta didik ialah memperoleh intruksi dan harus menguasai pengetahuan. Disiplin
mental dan moral diperlukan dalam setiap jenjang pendidikan.
3.      Peran guru adalah menguasai materi, memiliki keterampilan dalam pedagogi untuk mencapai
tujuan pendidikan.
4.      Kurikulum yang dikembangkan bersifat konfrehensif yaitu memuat semua pengetahuan yang
penting. Kurikulum realis menghasilkan pengetahuan yang luas dan praktis.
5.      Metode yang dilaksanakan didasari oleh keyakinan bahwa senua pembelajaran tergantung pada
pengalaman. Oleh karenanya pengalaman langsung dan bervariasi perlu dilaksanakan oleh
peserta didik. Metode penyampaian harus logis dan didukung oleh pengetahuan psikologis.

(Sadulloh: 2003: 42)


D.    KONSEP MATERIALISME
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan
spiritual, atau supranatural. Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan
materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme”. 
Demokritos beserta pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian
kecil yang tidak dapat dbagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom). Atom-atom merupakan bagian
dari yang terkecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya.
Menurut Randal dalam Sadulloh (2003: 49) bahwa karakteristik umum materialisme pada
abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada
sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang. Asumsi tersebut menunjukkan
bahwa:
1.      Semua sains seperti biologi, kimia, fisika, psikologi, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya
ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat, jadi semua
sains merupakan cabang dari sans mekanika.
2.      Apa yang dikatakan “jiwa” dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan
suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat syaraf, atau organ-organ jasmani yang
lainnya.
3.      Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan
kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar nama-nama atau semboyang.
Menurut Tohmas Hobbes (Fadliyanur, 2008: 1) Sebagai penganut empiris materialime, ia
berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal
pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan dikokohkan oleh pengalaman. Hanya
pengalamanlah yang memberikan kepastian. Pengetahuan melalui akal hanya memiliki  fungsi
mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan
pengurangan.
Materialisme maupun positivisme pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan
secara eksplisit. Bahkan menurut Henderson (Agus, 2013: 1), Materialisme belum pernah
menjadi penting dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini
Rasyidin (Anjar,2011: 1) filsafat positivisme sebagai cabang dari materialism lebih cenderung
menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara
factual. Memilih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidikan dan mengutamakan sains
pendidikan.
Pendidikan dalam hal ini proses belajar merupakan proses kondisionaisasi lingkungan.
Hal ini mengandung implikasi bahwa proses pendidikan (proses belajar) menekankan pentingnya
keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains serta perilaku
sosial sebagai hasil belajar (Fadliyanur, 2008: 1)
Menurut Power (Asmal, 2012: 29) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan
positivisem behaviorisme yang bersumber pada filsafat materialisme sebagai berikut
1.      Tema
Manusia yang baik efisien dihasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah.
2.      Tujuan Pendidikan
Perubahan perilaku mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya untuk tanggung jawab
hidup social dan pribadi yang kompleks
3.      Kurikulum
Isi pendidikan mencakup pengetahuan yang dapat dipercaya (handal) dan organisasi selalu
berhubungan dengan sasaran perilaku.
4.      Metode
Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi pelajaran berprogram dan kompetensi.
5.      Kedudukan Siswa
Tidak ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran sudah dirancang.
Siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut belajar.
6.      Peranan Guru
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat
mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.
E.     KONSEP PRAGMATISME
Pandangan ini dapat dianggap sebagai kreasi filsafat yang berasal dari amerika.
Pragmatisme dipengaruhi oleh pandangan empirisme, utilitarianisme dan positivisme. Para ahli
yang mendukung timbulnya pragmatisme di Amerika adalah Charles Sanders Piere (1839–1914)
yang mengembangkan kriteria pragmatisme yakni tidak menemukan kebenaran tetapi
menemukan arti/kegunaan. William James (Sadulloh, 2003: 53) memperkenalkan bahwa
pengetahuan yang bermanfaat adalah yang didasari oleh eksperimen (instrumentalisme). John
Dewey (Sadulloh, 2003: 54)  mengarahkan pragmatisme sebagai filsafat sistematis Amerika
dengan menyebarluaskan filsafat pada masyarakat amerika yang terdidik. Menurut Dewey misi
filsafat adalah Kritis,  konstruktif dan rekonstruktif.
Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu
bekerja. Menurut James  (Edwar, 2012: 1) kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide.
Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak.
Adapun implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Sadulloh: 2003: 56) adalah sebagai
berikut:
1.      Tujuan pendidikannya menggunakan pengalaman sebagai alat menyelesaikan hal-hal baru dalam
kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat.
2.      Kurikulum dirancang dengan menggunakan pengalaman yang telah diuji namun dapat diubah
kalau diperlukan. Adapun minat dan kebutuhan peserta didik diperhitungkan dalam penyusunan
kurikulum.
3.      Fungsi guru adalah mengarahkan pengalaman belajar perserta didik tanpa terlalu mencampuri
minat dan kebutuhannya.
Sedangkan implikasi pragmatisme dalam pendidikan (Edwar, 2012: 1) adalah sebagai
berikut:
1.      Tujuan Pendidikan
Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang
bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi
a.       Kesehatan yang baik
b.      Keterapilan-keterampian dan kejujuran dalam bekerja
c.       Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
d.      Persiapan untuk menjadi orang tua
e.       Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah social
2.      Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisis demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a
self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan
masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman
yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut
akan berubah”
3.      Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem
solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method).
Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi
kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar
bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan
pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
4.      Peranan Guru dan Siswa
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa. Setiap
apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya.
Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat
merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.

F.     PENUTUP
Aliran-aliran filsafat pendidikan yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan
pendidikan antara lain idealisme, realisme, materialisme dan pragmatisme. Idealisme tujuan
pendidikannya menekankan pada aktifitas intelektual, pertimbangan-pertimbangan moral,
pertimbangan-pertimbangan estetis, kebebasan, tanggung jawab, dan pengendalian diri demi
mencapai perkembangan pikiran dan diri pibadi. Realisme tujuan pendidikannya menekannkanb
pada penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial. Materialisme tujuan pendidikannya
menekannkan pada Perubahan perilaku mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya
untuk tanggung jawab hidup social dan pribadi yang kompleks. Sedangkan pragmatisme tujuan
pendidikannya menekankan pada penggunaan pengalaman sebagai alat menyelesaikan hal-hal
baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2013. Ideologi Materialisme dan Sekularisme. http://mamendo-agus-


riyanto.blogspot.com/2013/01/ideologi-materialisme-sekulerisme-dan.html. (diakses 13 Oktober
2015).

Akhmad. 2008. Idealisme Dalam Filsafat


Pendidikan.http://akhmadssudrajat.wordpress.com./2008/11/08/idealisme-dalam-filsafat-
pendidikan.html. (diakses 13 oktober 2015).

Anjar. 2011. Filsafat Pendidikan


Materialisme.http://Anjarthebigreds.Blogspot.Com/2011/12/Filsafat-Pendidikan-
Materialisme.Html. (diakses 13 Oktober 2015).

Asmal, Bakhtiar. 2012. Filsafat ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.


Edwar. 2012. Filsafat Pendidikan Pragmatisme. http://Assalaamu'alaikum-wr-
wb.blogspot.com/2012/01/filsafat-pendidikan-pragmatisme.html. (diakses 13 Oktober 2015).

Fadliyanur. 2008. Aliran Pragmatisme.
http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html. (diakses 13 oktober 2015).
Fajar, Kusuma. 2010. Pendidikan Menurut Aliran Filsafat Idealisme dan Realisme dan Implikasinya
dalam Pendidikan Luar Sekolah.http://fajarkusuma.student.umm.ac.id/2010/02/05/pendidikan-
menurut-aliran-filsafat-idealisme-dan-realisme-implikasinya-dalam-pendidikan-luar-sekolah
%C2%0plsataukses. (diakases 13 Oktober 2015).

Sadulloh, uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan.  Bandung. Alfabeta.


Posted in:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!

Anda mungkin juga menyukai