Anda di halaman 1dari 4

Pemikiran-pemikiran politik politik yang lahir pada zaman Yunani

Soal :

1. Pemikiran-pemikiran politik politik yang lahir pada zaman Yunani, seperti


pemikiran Plato dan Aristoteles dianggap sebagai pemikiran yang sangat
berpengaruh terhadap pemikiran politik Barat mulai abad pertengahan hingga
pencerahan. jelaskan dan tunjukkan dimana pengaruh pemikiran Plato dan
Aristoteles terhadap pemikir Barat yang anda ketahui?
2. Jelaskan pandangan Machiavelli tentang kekuasaan kemudian apa kritikmu
terhadap pemikiran Machiavelli itu?
3. Bandingkan di mana perbedaan teori perjanjian sosial Hobbes dan Locke?

Jawaban:

1. Pemikiran Plato dan Aristoteles tentang negara


Kedua filsuf ini yakni Plato dan Aristoteles merupakah filsuf yang lahir dan
berkembang di peradaban Yunani klasik. Banyak para sejarahwan mengatakan bahwa
peradaban mereka merupakn acuan timbulnya peradaban Barat. Dapat dikatakan
bahwa tanpa adanya peradaban Yunani klasik ini kemungkinan perdaban Barat tidak
akan ada dalam sejarah. Dari dunia politik, pemikiran-pemikiran filsuf ini sangat
penting dalam pembahasan gagasan mengenai, kekuasaan, keadilan, demokrasi yang
berasal dari permikiran yang ada pada politik negara-negara kota dalam zaman
Yunani klasik.
Sangat penting untuk mendalami sejarah pemikiran tentang negara-negara kora.
Mulai dari munculnya negara kota itu , peran penting dengan munculnya negara kota
hingga perkembangannya mulai dari masa Pericles mengenai sistem pemerintahan
kota yang berujung pada perang Pelopennesia antara Athena dan Sparta, karena
penyebab kekalahan Athena yang dinyatakan oleh Plato karena perihal sistem
pemerintahaan (ketatanegaraan) yang begitu demokrasi sehingga dapat dikalahkan
oleh Sparta yang menganut sistem aristokrasi militeristis. Hal inilah mengapa
pemikiran Plato dan Aristoteles sangat mempengaruhi peradaban Barat tentang negara
yang hingga sekarang masih banyak diperbincangkan mengenai mana sistem yang
cocok dan ideal bagi masing-masing negara.
a. Plato
Plato merupakan filsuf dari perdaban Yunani klasik. Plato juga
merupakan murid dari Socrates. Pemikiran-pemikiran dari gurunya yang
sudah mati karena dijatuhi hukuman dengan meminum racun. Pemikirannya
dituangkan dalam karya-karya Plato yakni Dialog, Republik, Negarawan, dan
Pembelaan. Tidak berbeda jauh dengan pemikiran gurunya yakni Socrates,
bagi Plato negara yang ideal adalah negara yang menganut prinsip
mementingkan kebijakan (virtue). Dalam hal ini kebajikan menurut Plato
merupakan pengetahuan. Artinya bahwa segala sesuatu yang dilakukan demi
negara maka haruslah sesuai dengan kebajikan. Dalam menyebarkan
pemahaman kebajikan itu Plato membuat lembaga pendidikan ditujukan untuk
menyebarkan pengetahuan itu.
Dalam pemahama kekuasaan Plato, ia mendefinisikan bahwasannya
yang berhak menjadi penguasa hanyalah mereka yang paham betul mengenai
kebajikan itu sendiri. Karena pengetahuan merupakan sebuah keharusan dan
syarat utama untuk menilai cocok atau tidaknya penguasa itu melaksanakan
tugas atas nama negara. Dalam hal tersebut Plato juga menilai jika negara
mengabaikan prinsip kebajikan, maka negara tersebut jauh dari kata negara
yang diidamkan oleh manusia.
Plato menyatakan bahwa negara ideal baginya juga harus didasarkan
prinsip atasa larangan kepemilikan pribadi baik itu uang, harta, keluarga, anak
dan istri. Istilah ini disebut Robert Nisbet ‘nihilisme sosial’. Dalam konteks
inilah Plato mengemukakan gagasan tentang hak pemilikan bersama,
koletivisme atau komunisme. Dalam pemikiran Plato, ia sangat menentang
individualisme. Dalam logikanya hal ini bertujuan agar manusia tidak terikat
oleh ikatan keluarga dan hanya memiliki loyalitas mati terhadap negara.
Kepemilikan atas kapital dalam negara idealnya Plato juga tidak
diizinkan hal itu bertujuan untuk menghindari kesenjangan ekonomi yang
sangat tajam antara yang kaya dan miskin yang nantinya bisa menyebabkan
permasalahan-permasalahan baru. Plato menegaskan bahwa dalam prinsip-
prinsip kenegaraan ini hanya berlaku bagi para penguasa negara, yaitu mereka
yang berasal dari kelas penjaga. Bagi kelas budak ketentuan ini tidak berlaku.
Plato mendapat tuduhan bahwa beliau merupakan pemikiran yang anti
demokrasi. Hal tersebut karena kekecewaannya terhadap negara yang
dicintainya hancur yakni Athena yang salah satu sebab internalnya karena
adanya ketegangan dalam politik yang menggukan sistem pemerintahan
demokrasi.
b. Aristoteles
Asal usul negara menurut Aristoteles bahwa manusia tidak dapat
dipisahkan dari watak politik manusia. Aristoteles mengartikan manusia
sebagai zoon politicon dimana mkhluk yang berpolitik karena watak
alamiahnya demikia, negara dibutuhkan sebagai sarana untuk aktualisasi
watak manusia itu. Aristoteles menganologikan negara sebagai organisme
tubuh. Negara karena adanya manusia saling membutuhkan.
Menurut Aristoteles negara adalah lembaga politik yang paling
berdaulat, meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan.
Negara memiliki kekuasaan tertinggi hanyalah karena ia merupakan lembaga
politik yang memiliki tujuan yang paling tinggi dan mulia. Tujuan
dibentuknya negara adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara,
bukan individu-individu tertentu seperti Plato.
Dalam buku Politics, Aristoteles mengemukakan beberapa bentuk
negara. Bentuk negara terkait dengan aspek moralitas baik atau buruknya.
Negara yang baik adalah negara yang sanggup mencapai tujuan-tujuan negara.
Negara yang buruk adalah negara yang gagal melaksanakan cita-cita itu.
Aristoteles menetapkan beberapa kriteria dalam melihat bentuk negara.
Pertama, Jumlah orang yang memegang kekuasaaan apakah dipegang satu
orang ataukah banyak. Kedua, apa tujuan dibentuknya negara. Untuk
mensejahterakan dan kebaikan umum atau hanya untuk penguasa saja.
Aristoteles mengklasifikasikan negara ke dalam beberapa kategori.
Monarkhi, penguasa di satu orang dan dengan tujuan kepentingan umum. ini
bentuk pemerintahan yang terbaik, negara ideal. Dan sebaliknya jika
pemerintahan dikuasai oleh beberapa orang dan bertujuan baik demi
kepentingan umum, maka bentuk negara itu adalah aristokrasi. Penyimpangan
terhadap bentuk negara ini adalah oligarkhi.
2. Pandangan Machiavelli tentang kekuasaan
Menurut Machiavelli memiliki pandanga mengenai pemahaman politik dalam
kekuasaan. Dalam hal ini ada poin-poin yang berasalah dari pemikiran Machiavelli,
yang pertama mengenai adanya batasan pemerintah dalam pemisahan antara
kekuasaan dan moralitas dalam ketatanegaraan. Bebrapa pengamat mengatakan
bahwasannya Machiavelli merupakan penganut dari Ultilitarianisme dan
pragmatisme. Machiavelli juga menyampaikan tentang cara mempertahankan
kekuasaan di negara baru, yakni pertama membunuh seluruh anggota keluarga raja
yang sebelumnya. Kedua mendirikan koloni dan menaruh pasukannya di negara
tersebut. ketiga raja yang menetap dan tinggal di negara baru itu untuk menjalin
kedekatan dengan rakyat disana. Keempat, raja bersifat mutlak.
Menurut Machiavelli penguasa atau seorang raja haruslah mampu untuk
mengambil hari dari rakyatnya sehingga rakyatnya mempercayai penguasa atau
kekuasaan raja tersebut. Raja juga harus mampu untuk memiliki pasukan yang besar,
memiliki kekayaan yang mampu untuk mengembangkan angkatan perang.
Machiavelli juga menyatakan bahwa seorang raja lebih baik menjadi seorang yang
dapat ditakuti oleh rakyatnya (asal tidak dibenci). Machiavelli juga berpendapat
bahwa dalam mengurusi urusan politik dapat menggunakan dua cara, yaitu cara
manusia dan cara binatang. Pemikiran politik yang dinyatakan Machiavellii dalam
karya-karyanya merupakan salah satu pilar yang mendasari timbulnya teori realisme.
Seperti yang menganut teori ini di dalam sejarah yakni dua tokoh terkemuka yaitu
Hitler dan Mussolini. Machiavelli juga menegaskan pemahamannya bahwa tujuan
utama dari seorang penguasa adalah mencari kekuasaan tanpa mempertimbangkan
apa itu agama dan etika, maka satu-satunya cara yang mampu untuk menempatkan
diri dalam kekuasaaan adalah dengan jalur berperang.
Kritik
Machiavelli memiliki pandangan bahwa negara yang baik merupakan negara
yang mampu untuk mengembangkan sistem militer yang kuat dan penguasa atau raja
memiliki jiwa yang kuat dan besar untuk mempertahankan kekuasaanya. Namun, ada
celah dalam pemahaman Machiavelli dimana kekuasaan yang didirikan karena
berawal dari perang sehingga ynag menang berkuasa hal tersebut akan terus
mengalami kerugian sendiri dalam negara tersebut akibat adanya biaya perang yang
besar. Karena jika seorang penguasa ini lengah sedikit maka hal itu mampu untuk
membuat dirinya jatuh dari tatahnya, sehingga setiap raja diharuskan untuk siap siaga
dengan rasa ancaman dari faktor eksternal maupun internal. Hal ini membuat
kekuasaan tidak stabil.
Pemikiran Machiavelli tentang kekuasaan tersebutlah banyak mendapatkan
kritik karenanya dapat mengakibatkan kekuasaan yang tidak stabil dan tidak mampu
untuk memenuh harapan masyarakatnya. Hal ini mampun menyebabkan konflik
internal dalam kekuasaannya karena raja akan selalu dihantui rasa tidak aman dan
mampu membuat keputusan yang dapat dikatakan kejam demi menjaga posisinya.
3. Perbedaan teori perjanjian sosial Hobbes dan Locke
John Locke mengemukakan prinsip-prinsip mengenai pentingnya dalam
kekuasaan tertinggi atau dalam kekuasaan negara. Pertama, kekuasaan negara
merupakan bukti dari sebuah kerpercayaan masyarakat dalam kekuasaannya untuk
mengontrol dan mampu melindungi dan juga kepercayaan inilah yang mampu untuk
mmerintah mereka agar terhindar dari segala konflik maupun ancaman luar. Jadi
kekuasaan yang berlangsung itu berasal dari legitimasi penguasa kekuasaan dengan
rakyat bukan dari Tuhan. Prinsip ini menolak untuk menganggap bahwa pengua
kekuasaan harus bertanggung jawab pada Tuhan, karena penguasa kekuasaan
hanyalah diwajibkan untuk bertanggung jawab kepada rakyatnya. Dari sinilah dapat
dikatakan bahwa Locke menjadikan kekuasaan politik bersifat sekuler. Sehingga
kekuasaan yang bersifat duniawi inilah yang tidak ada kaitannya dengan tanggung
jawab mengenai ketuhanan maupun gereja. Inilah perbedaan yang sangat penting
dalam gagasan Locke dengan gagasan kekuasan politik Thomas Hobbes yang
merupakan pemikir politik kristiaani.
Menurut Hobbes, bila rakyat, melalui perjanjian sosial telah sepakat dan
memberikan kepercayaan penuh terhadap penguasa, sehingga penguasa dapat
memiliki kepercayaan itu untuk mengatur diri mereka, maka kekuasaan negara
menjadi bersifat mutlak dan otonom. Negara dapat berbuat apa saja sesuai dengan apa
yang dikehendakinya, tanpa perlu mempertimbangkan apakah tindakan tersebut dan
logikanya sesuai atau tidak dengan kehendak dari aspirasi rakyat.
Bisa dapat disipulkan bahwa perbedaan teori perjanjian sosial dari kedua
pemikir yakni Thomas Hobbes dan John Locke. Yakni Hobbes berpandangan bahwa
penguasa kekuasaan itu mendapatkan hak khusus yakni dapat memiliki otoritas
mutlak dan tidak terikat dalam perjanjian sosial tersebut. Sedangkan dalam
pemahaman John Locke berpandangan bahwa dalam kekuasaanpun penguasa tidak
diperbolehkan untuk berperilaku sewenang-wenang karena penguasa juga terikat
dalam perjanjian sosial. Penguasa tetap diakui legitimasi kekuasaannya selama ia tak
menyalhi kepercayaan itu, otomatis ia tak berhak mengklaim dirinya berkuasa atas
rakyat

Anda mungkin juga menyukai