Anda di halaman 1dari 6

Socrates

Pemikiran Socrates tentang Negara adalah bahwa Negara bukanlah


organisasi yang dapat dibuat oleh manusia untuk kepentingan dirinya sendiri,
tetapi merupakan jalan susunan objektif berdasarkan pada hakikat manusia
sehingga bertugas menjalankan peraturan-peraturan yang objektif mengandung
keadilan dan kebaikan bersama atau umum, tidak hanya melayani kebutuhan
penguasa yang berganti-ganti orangnya.
Menurut Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu
keharusan yang bersifat objektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti
manusia. Sedang tugas negara adalah untuk menciptakan hukum, yang harus
dilakukan oleh para pemimpin, atau para penguasa yang dipilah secara saksama
oleh rakyat. Disinilah tersimpul pikiran demokratis dari pada Socrates. Ia selau
menolak dan menentang keras apa yang dianggapnya bertentangan dea ajarannya,
yaitu menaati undang-undang.
Negara bukanlah suatu organisasi yang dibuat untu manusia demi
kepentingan drinya pribadi, melainkan negara itu suatu susunan yang objektif
bersandarkan kepada sifat hakekat manusia karena itu bertugas untuk
melaksanakan dan menerapkan hukum-hukum yang objektif, termuat “keadilan
bagi umum”, dan tidak hanya melayani kebutuhan para penguasa negara yang
saling berganti ganti orangnya.
Pemikiran seperti ini bisa menjadi modal untuk menegakkan keadilan,
karena menurut Socrates keadilan merupakan tujuan politik yang layak dan
Negara sebagai lembaga politik itu sendiri memiliki tujuan untuk mencapai
kebaikan

PLATO
Menurut Plato munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik
dan saling membutuhkan antara sesama manusia. Plato juga mengatakan bahwa,
negara ideal menganut prinsip mementingkan kebajikan (virtue). Kebajikan
menurut Plato adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama Negara
haruslah dimaksudkan untuk mencapai kebajikan itu. Plato menilai bahwa negara
yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di dambakan manusia.
Begitu pentingnya prinsip kebajikan, hingga Plato beranggapan bahwa negara
yang terbaik bagi manusia adalah negara yang penuh dengan kebajikan
didalamnya. Mereka yang berhak menjadi pemimpin atau penguasa hanya mereka
yang mengerti sepenuhnya prinsip kebajikan ini.
Terkait dengan bentuk negara, Plato meletakkan bentuk
negara aristokrasi sebagai negara terbaik dari empat bentuk negara lainnya, yakni
timokrasi, oligarki, demokasi, dan tirani. Menurut plato, pemerintahan aristokratik
berada di tangan para cendekiawan yang oleh Plato dikatakan sebagai orang orang
terbaik yang penuh dengan kebajikan serta keadilan. Para cendekiawan tersebut
memerintah dengan dengan bijaksana, senantiasa berorientasi pada kepentingan
bersama sehingga keadilan, kebajikan, dan kebaikan dapat dinikmati oleh seluruh
warga negara. Bagi Plato, Aristokrasi adalah bentuk negara yang paling tepat dan
sempurna bagi suatu negara ideal.
Namun hal tersebut tidaklah abadi sebagaimana sifat dan kondisi jiwa
manusia yang terus berubah. Perubahan bentuk negara dimulai ketika keutuhan
dan kesatuan kelas penguasa menjadi retak dan terbagi ke dalam kelompok-
kelompok yang saling bertentangan Kemungkinan terbesar penyebab keretakan
tersebut adalah ketika generasi  muda (anak-anak arsitokrat) mulai memasuki
pemerintahan negara. Oleh karena mereka memeroleh kekuasaan dengan mudah
yang diiringi dengan rendahnya kadar idealisme yang tidak sejalan dengan para
pendahulunya, maka pemerintahan pun berubah tidak lagi tertuju kepada
kepentingan bersama, melainkan bergeser pada kepentingan mereka sendiri.
Kekuasaan yang mereka miliki digunakan untuk meraih kemahsyuran, kemuliaan,
dan kehormatan yang sebesar-besarnya. Aristokrasipun kemudian merosot
menjadi timokrasi.
Timokrasi pun tidaklah kekal. Pendewaan terhadap kehormatan dan
kemuliaan akan berakhir dan bergeser pada kekayaan. Sebab demi meraih
kehormatan dia berlomba memperoleh kekayaan diantara mereka untuk
menunjang kepentingannya. Pendewaan kekayaan ini membuat orang berlomba-
lomba untuk menumpuk harta kekayaan sehingga kemudian terbagilah ke dalam
dua golongan, yakni golongan kaya dan golongan miskin. Karena kekayaan
menjadi ukuran, maka tentu saja yang kaya lebih dimuliakan daripada yang
miskin ini sekalipun memiliki kebaikan dan kebijakan. Akibatnya rakyat menjadi
pecinta uang dan pemuja kekayaan. Terlebih lagi, mereka yang duduk di
pemerintahan tidaklah lagi berdasarkan kecakapan dan keterampilan mereka,
melainkan karena kekayaan. Kemerosotan timokrasi inilah yang kemudian disebut
dengan oligarki, yakni negara yang dikuasai oleh golongan kaya yang terus ingin
memperkaya diri.
Keadaan yang terus berlangsung sedemikian rupa dalam oligarki
menyebabkan rakyat sadar bahwa keadaan mereka semakin memburuk. Penguasa
tidak pernah puas memperkaya diri, maka rang-orang yang tersingkir dari
persaingan menimbun harta akan melarat. Jumlah orang melarat semakin
bertambah hingga akhirnya mereka mau melawan dan merebut kekuasaan, serta
membunuh orang kaya. Ketika penguasa tersebut dapat ditaklukkan maka
kemudian dibentuklah pemerintahan yang penguasa dan rakyatnya sederajat,
sebab pemerintah dipilih oleh rakyat dan berasal dari rakyat.
Lahirlah demokrasi sebagai bentuk keempat pemerosotan negara ideal Plato.
Dalam pemerintahan ini kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang
paling utama.
Ketika rakyat semakin lama semakin mengejar kebebasan, hal ini
membuat setiap orang ingin mengatur dirinya sendiri dan berbuat sesuka hati
sehingga timbullah berbagai kekacauan, kekerasan, ketidaktertiban, bahkan
anarki. Situasi chaos yang sedemikian rupa membuat rakyat merasakan perlu
adanya penguasa yang kuat dan seseorang yang dapat  diangkat untuk menjadi
pelindung dirinya. Namun karena kewenangan yang besar ia pun semakin
bertindak sewenang-wenang, rakyat tidak lagi dilindungi namun justru ditindas
dan ditelan. Kemorosotan demokrasi seperti inilah yang kemudian disebut
dengan tirani.
Aristoteles
Menurut Aristoteles asal usul negara tidak bisa dipisahkan dari watak
politik manusia. Manusia menurut Aristoteles adalah makhluk yang berpolitik
(Aon politicon), karena demikianlah watak alamiahnya. Negara dibutuhkan
sebagai sarana untuk aktualisasi watak manusia itu. Dilain pihak, Aristoteles
menganalogikan negara sebagai organisasi tubuh, negara lahir, dalam bentuknya
yang sederhana (primitif), kemudian berkembang menjadi dewasa dan kuat,
setelah itu hancur. Mengenai ukuran atau luas wilayah satu negara, Aristoteles
berpendapat bahwa sebuah negara hendaknya tidak terlalu luas, tetapi juga tidak
terlalu kecil. Sebab negara yang kecil sulit mempertahankan diri, mudah dikuasai
negara lain. Sedangkan negara yang luas atau terlampau besar akan sulit menjaga
kontrol atas negaranya. Negara ideal menurutnya adalah seperti polis (kota) atau
cit States (Negara-kota).
Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat.
Meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Negara memiliki
kekuasaan tertinggi hanyalah karena Ia merupakan lembaga politik yang memiliki
tujuan yang paling tinggi dan mulia. Tujuan dibentuknya negara adalah untuk
mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu- individu tertentu (Seperti
Plato).
Aristoteles menerapkan beberapa kriteria dalam melihat bentuk negara,
antara lain:
1. Berapa jumlah orang yang memegang kekuasaan, apakah dipegang
satu orang, beberapa orang, ataukah banyak orang.
2. Apakah tujuan di bentuknya negara, apakah untuk mensejahterakan
dan demi kebaikan umum, ataukah hanya untuk si penguasa saja?
Berdasarkan kriteria tersebut, Aristoteles mengklasifikasikan negara ke
dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Monarki, Apabila kekuasaan terletak ditangan satu orang, seorang
penguasa yang filsuf, arif, dan bijaksana, bertujuan untuk kebaikan kesejahteraan
semua. Ini bentuk pemerintah terbaik, negara ideal namun Aristoteles menyadari
bahwa monarki nyaris tidak mungkin ada dalam realitas. Bentuk penyimpangan
monarki adalah;
2. Tirani/otoriter, Dimana kekuasaan ditangan satu orang dan
kekuasaan demi kepentingan pribadi dan sewenang – wenang.
3. Aristokrasi, Apabila kekuasaan dikuasai oleh beberapa orang dan
bertujuan baik untuk kepentingan bersama/umum. Bentuk penyimpangan dari
Aristokrasi adalah;
4. Oligarkhi, dimana kekuasaan dipegang oleh beberapa orang dan
bukan untuk kesejahteraan bersama, tapi untuk pengumpulan harta dan kekayaan
semata.
5. Politea, Apabila kekuasaan terletak ditangan orang banyak/rakyat
dan bertujuan demi kepentingan semua masyarakat. Tetapi apabila negara
dipegang oleh banyak orang (miskin dan kurang terdidik) maka negara tersebut
adalah;
6. Demokrasi, dimana kekuasaan dipegang oleh banyak orang/rakyat,
dan hanya bertujuan untuk kepentingan mereka. (Demokrasi seakan memiliki
konotasi negatif dan Aristoteles tidak menyebutnya sebagai bentuk negara ideal).
Aristoteles menyebutkan terdapat tiga bentuk pemerintah baik, yang
sanggup memanusiakan manusia, yakni monarki, aristokrasi, dan
politeia/demokrasi konstitusional. Monarki adalah bentuk pemerintahan dengan
kekuasaan tertinggi dalam negara berada pada satu tangan orang dan tujuan
pemerintahan adalah kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum. Aristokasi
merupakan bentuk pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan
beberapa orang dan tujuan memerintah adalah kepentingan, kebaikan, dan
kesejahteraan umum. Sedangkan politea meletakkan kekuasaan tertinggi pada
kepentingan banyak orang dan tujuan memerintahnya adalah untuk kepentingan,
kebaikan, dan kesejahteraan umum.
Bagi Aristoteles bentuk negara yang paling ideal adalah monarki yang
diperintah oleh seorang filsuf raja. Oleh karena seorang filsuf raja adalah dia yang
paling unggul dalam kebajikan, maka negara yang diperintah oleh seorang filsuf
raja ini tidak memerlukan hukum sebab kebajikan berada di atas hukum. Namun
bentuk monarki yang sedemikian ideal menurut Aristoteles sangatlah sulit dalam
kenyataan karena sulitnya pula menemukan seseorang yang benar-benar paling
unggul dalam kebajikan dan kearifan yang merupakan kualitas dari sang filsuf
raja. Jikapun ditemukan kualitas tersebut dia patut disebut sebagai dewa di antara
manusia. Sehingga bagi Aristoteles bentuk yang demikian hanya memungkinkan
secara teoritis. Oleh sebab itu bagi Aristoteles yang ideal belum tentu benar-benar
bermanfaat bagi manusia. Apa artinya bia sesuatu itu sangat baik, indah, dan
menawan hati (seperti gagasan Plato) tetapi hanya berada dalam khayalan belaka?
Yang dibutukan manusia adalah yang realistis. Pemikiran inilah yang kemudian
mendorongnya jatuh pada pilihan yang ketiga, yaitu bentuk politeia dengan
kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh warga negara dan pelaksanan
pemerintahan oleh pemerintah berdasarkan kontitusi demi kebaikan, kepentingan,
dan kesejahteraan umum. Kendati politeia bukan negara yang ideal, namun itu
bentuk yang paling realistis dan sangat dianjurkan.
Selain tiga bentuk pemerintahan baik, Plato juga mengungkapkan terdapat
tiga bentuk pemerintahan yang buruk sebagai penyimpangan dari yang benar,
yakni tirani, oligarki, dan demokrasi ekstrem. Tirani merupakan bentuk
penyimpangan dari monarki karena kekuasaan yang berada di tangan satu orang
digunakan hanya untuk kepentingan sendiri. Penguasa tunggal tersebut kemudian
bertindak sewenang-wenang dan tidak segan-segan menindas rakyatnya. Oligarki
merupakan bentuk penyimpangan dari aristokrasi karena kekuasaan yang berada
di tangaan beberapa orang kaya ini digunakan untuk kepentingan pribadi dan
menambah pengaruh serta kekayaan mereka dengan memeras rakyat. Demokrasi
ekstrem merupakan penyimpangan dari politeia, yakni kekuasaan yang berada di
tangan banyak orang ini (terdiri dari rakyat miskin) digunakan untuk kepentingan
rakyat miskin yang memegang kekuasaan itu. Ketiga bentuk negara tersebut telah
gagal melaksanakan tugas negara manusia yang sangat mulia, yaitu
memanusiakan manusia.

Anda mungkin juga menyukai