Anda di halaman 1dari 9

Fasisme adalah ideologi yang berdasarkan prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang

mutlak/absolut di mana perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian. Menjadi
sangat penting dalam ideologi fasis, karena ideologi ini selalu membayangkan adanya musuh,
sehingga pemimpin dan militer harus kuat menjaga negara.[1] Gerakan ini memiliki satu tujuan:
menghancurkan musuh, di mana musuh dikonstruksikan dalam kerangka konspirasi atau ideologi
lain.[1] Dalam pola pikir fasis, musuh berada di mana-mana, baik di medan perang maupun dalam
bangsa sendiri sebagai elemen yang tidak sesuai dengan ideologi fasis.[1] Dalam ideologi fasis,
akibatnya adalah individualitas manusia hilang, dan pengikut menjadi massa yang seragam di
mana individu hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan gerakan fasis tersebut.[1]
Gerakan fasis termasuk adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Dalam ideologi
fasis, massa tak boleh mempunyai identitas yang beragam dan wajib seragam.[1] Individualitas
hilang karena kebhinekaan dilarang, hancurnya identitas individu berdampak massa
mengambang yang dipimpin oleh pemimpin karismatik dengan kekuasaan absolut.[1]

Fasisme adalah anti-komunisme, anti-demokratis, anti-individualis, anti-liberal, anti-parlemen,


anti-konservatif, anti-borjuis dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis Fasisme.
menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung
tindakan, disiplin, hierarki, semangat, dan keinginan. Dalam ilmu ekonomi, fasis
menentang liberalisme (sebagai gerakan borjuis) dan Marxisme (sebagai sebuah gerakan
proletar) untuk menjadi ekonomi berbasis kelas eksklusif gerakan Fasis ini.

Dasar negaranya republic , republic ini bukan bentuk negaranya tetapi hanya konsepnya saja
. republic , yaitu hubungan manusia sbg “mahluk social “ kepada sesame dlm suatu polis yang
biasanya di pimpin 1 orang yg paling bijak / adil
.
BENTUK - BENTUK negaranya
 Aristokrasi , bentuk pemerintahan yg di pegang kaum2 cendekiawan sesuai dgn
pemikiran keadilan
 Timokrasi , bentuk pemerintahan yg di pegang oleh orang2 yang ingin mencapai
kemasyuran kehormatan
 Oligarkhi , bentuk pemerintahan yg di pegang oleh orang bnyak hanya untuk
memperoleh harta , kekayaan
 Demokrasi , pemerintahan di tangan rakyat jelata , bebas mengungkapakan pendapat
, aspirasinya
 Tyrani , bentuk pemerintahan di tangan 1 orang , yg aturan orng itu palin benar dan
tidak ada yg menandingi , jauh dari keadilan
 SIKKLUSNYA , aristokrasi –ke timorkrasi – ke oligarkhi – ke demokrasi – ke tyrani dan
kembali lagi ke aristokrasi dan seterusnya ..
TUJUAN yg di harapkan dari bukunya REPUBLICA adalah mewujudkan “keadaan ideal
“ sesuai dgn prinsip kebajikan ( virtue theory ) dan KEADILAN itu sendiri .

alam buku ke IV, Plato menuliskan tujuan dalam mendirikan Negara adalah bukan untuk
kebahagiaan yang tidak merata dari kelompok masyarakat manapun, melainkan untuk
kebahagiaan yang paling besar dari seluruh lapisan masyarakat. Ia berpikir bahwa di dalam
Negara yang diatur dengan pandangan untuk kebaikan seluruh anak negeri, sangat mungkin
ditemukan keadilan yang sesuai dengan proporsinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Plato
mendambakan sebuah Negara yang bebas dari pemimpin yang serakah dimana keadilan
dijunjung tinggi.
Bentuk-bentuk Negara:

Dalam bukunya Plato memaparkan bahwa segala sesuatu yang memiliki awal pasti juga
memilik akhir, demikianlah pula sebuah pemerintahan tidak akan berlangsung selama-
lamanya, melainkan pada gilirannya akan bubar. Sehingga dalam bentuk pemerintahan yang
baikpun akan mengalami kemerosotannya.

Bentuk pemerintahan yang pertama adalah Aristokrasi. Aristokrasi dipilih Plato sebagai bentuk
Negara yang paling baik. Dimana para filsuf yang bijak mampu menentukan mana yang baik
dan buruk bagi masyarakat. Mereka memimpin dengan bijkasana dan berasaskan pada
kebahagiaan bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga keadilan dan kebaikan dapat dinikmati
oleh seluruh warga Negara.

Namun pergeseran pemerintahan akan terjadi ketika generasi berikutnya mulai memimpin.
Dikarenakan mereka mendapatkan kekuasaan dengan mudah dari generasi para filsuf
sebelumnya, ketamakan akan muncul dalam diri mereka. Sehingga terbentuklah kemerosotan
dari pemerintahan Aristokrasi, yaitu Timokrasi/Timarki.

Timokrasi yang merupakan pergeseran dari Aristokrasi, dipimpin oleh para pemimpin yang
memiliki ketamakan terhadap harta dan kekuasaan. Dimana mereka lebih mementingkan
kepentingan individual mereka sendiri dan melupakan kepentingan rakyat.

Kemerosotan semakin terjadi ketika para penguasa mulai menjadi jauh lebih serakah akan harta
yang mereka miliki. Sehingga terbentuklah pemerintahan yang baru, yang disebut dengan
Oligarki.

Oligarki adalah pemerintahan yang bersandar pada penilaian dan penaksiran harta benda.
Dimana kaum yang kaya memiliki kekuasaan dan kaum papa sama sekali tidak memiliki hak.
Di dalam bentuk pemerintahan inilah terjadi ketimpangan ekonomi dan sosial yang sangat
besar. Dimana kaum kaya akan sebanyak-banyaknya menimbun kekayaan. Dan kaum papa
akan semakin melarat.

Dan dari fenomena ketimpangan itulah dimana orang miskin dan kaya yang hidup di tempat
yang sama selalu berkonspirasi untuk melawan satu sama lain. Hingga pada akhirnya kaum
miskin atau rakyat biasa yang menggabungkan kekuatan mampu mengambil alih
pemerintahan. Sehingga pemerintahan yang penguasanya dipilih karena kekayaan telah hilang.

Bergantilah pemerintahan ini menjadi sebuah bentuk pemerintahan Demokrasi, dimana rakyat
memiliki kebebasan dan kekuasaan yang sama. Bentuk pemerintahan inilah yang para hakim
pada umumnya dipilih oleh orang banyak, sehingga tampaknya bentuk inilah yang tampaknya
akan menjadi Negara yang paling adil.

Namun, sama halnya dengan bentuk pemerintahan lain yang mengalami kemerosotannya,
Demokrasi pun dapat megalami kejatuhannya. Dimana hal tersebut terjadi ketika timbul hawa
nafsu yang tidak pernah terpuaskan akan kebebasan. Kemudian dipilihlah seorang pemimpin
yang diberikan kekuasaan yang lebih besar untuk mengatur. Sehingga munculah Tirani.
Bentuk pemerintahan ini akan memiliki rakyat yang mirip dengan penguasa, dan penguasa
yang sama seperti rakyat. Inilah orang yang menuruti hati nuraninya sendiri, orang yang dipuji
dan dihormati baik secara pribadi maupun sebagai publik. Sang Tirani yang kini memiliki
kewenangan yang begitu besar, semakin bertindak sewenang-wenang dan rakyat tidak lagi
dilindungi melainkan ditindas untuk melenggangkan kekuasaannya.

Aristoteles, satu diantara filsuf Yunani yang getol mengutarakan pandangannya tentang konsep
ideal sebuah negara. Dalam bukunya, Politcs, Aristoteles mendiskripsikan negara sebagai
sebuah komunitas. Kumpulan orang yang punya kesamaan keinginan untuk hidup bersama,
tumbuh-kembang bersama-sama pula.

Karena terdiri dari sekumpulan orang yang punya keinginan dan persepsi berbeda-beda, maka
diperlukan entitas yang mengelola dan menjalankan semua kesepakatan di dalam kelompok
itu.

Entitas itu secara historis, bisa 1 orang (Raja atau Ratu) bisa juga orang-orang yang ditunjuk
oleh komunitas itu untuk memimpin dan menjalankan fungsi kehidupan dalam sebuah negara.

Perbedaanya terletak pada penerapan aturan; hukum dan perundangan yang berlaku di
dalamnya. Dimana seorang Raja terkesan terpisah, tidak (harus) tunduk pada aturan; hukum
dan perundangan yang berlaku. Bahkan ada yang mencapai tahapan Raja adalah Hukum. Apa
titah Raja, harus dipatuhi karena itu hukum.

Disinilah yang membedakan sosok seorang pemimpin yang negarawan. Kemampuannya


menjalankan peran “Statemanship”. Pemimpin yang menerima amanah dari anggota kelompok
(masyarakat) juga terikat dengan aturan yang berlaku. Siapapun, semua orang adalah sama
(equal) di muka hukum.

NEGARA DALAM SEBUAH TUJUAN

Hidup harmonis dan sejahtera merupakan keinginan semua individu. Setiap orang berhak untuk
mendapatkannya. Kalau berbicara tentang Hak tentu tidak terlepas dari Kewajiban sebagai
penyeimbang. Hak seseorang bisa dipastikan berpotensi bersinggungan dengan Hak individu
lainnya. Disinilah peran aturan; hukum dan perundangan diperlukan. Tentu didukung lembaga
atau kelompok orang yang mengawasi penerapannya.

Contoh sederhana, sebuah kelompok yang sepakat hidup bersama kelompok lainnya dalam
lingkup wilayah tertentu, sangat membutuhkan seperangkat aturan sehingga masing-masing
kelompok bisa menjalankan kehidupan secara selaras demi mewujudkan tujuan hidup yang
harmonis dan sejahtera. Stabilitas keamanan.

BENTUK PEMERINTAHAN MENURUT ARISTOTELES

Hidup bersama dan berkembang sesuai keinginan masing-masing individu bisa dipastikan
sangat rentan berujung pada konflik. Pada kondisi ekstrim, di kala beberapa orang berkumpul
dan sepakat hidup bersama, diperlukan sosok (tunggal atau beberapa) yang mengelola dan
menjaga supaya keharmonisan; stabilitas bisa terwujud diantara anggota kelompok; komunitas.

Biasanya sosok yang ditunjuk adalah yang dianggap tua (dituakan); bijaksana; lebih tahu
(pintar) dari rata-rata umumnya warga. Sosok ini bisa tidak tunggal (beberapa) yang mendapat
kepercayaan mengelola kehidupan bersama. Muncullah istilah kaum Aristokrat. Dari bahasa
Yunani : Aristos – sempurna/ lebih dan Kratos – Kekuatan.

Sayangnya dalam perjalanan waktu, terkadang ketegasan dalam mengelola kehidupan


dibumbui kekerasan. Tidak jarang juga diwarnai pertumpahan darah. Semua yang dinggap
berbeda atau terkesan melawan dan membahayakan kekuasaan akan dibabat. Segala bentuk
pertanda mengarah atau diduga menuju ke upaya perlawanan, meski didasari rasa curiga,
ditumpas. Muncullah penguasa tunggal paling dominan. Lahirlah Tirani.

Pemimpin Tiran memegang kekuasaan dengan satu tujuan, supaya kekuasaan (keinginan
pribadi) langgeng.

Bentuk lain pemimpin menurut Aristoteles, Monarchi. Dari kata Monos – tunggal dan Archein
– pemerintah.

Pemerintahan Monarki yang dipegang seorang Raja. Di akhir abad 18 terdapat ribuan negara
yang dipimpin Raja. Di jaman modern ini beberapa masih bertahan. Baik di Eropa dan Asia.

Ratu Elizabeth 2 (yang menerima tahta kerajaan Inggris dari ayahnya) adalah pemimpin
kerajaan yang terlama bertahta.

Tidak semua Raja bisa bertahta; berkuasa menjalankan perannya sebagai pemimpin secara adil
dan bijaksana. Dalam sejarah perkembangan dunia, ada Raja Perancis Louis ke-16 dan Ratu
Antoinette – permaisurinya yang harus menanggung konsekwensi amarah rakyatnya. Puncak
gejolak ini ditandai dengan pemberontakan yang kemudian menghancurkan simbol
kesewenang-wenangnya yaitu Penjara Bastille. (Revolusi Perancis – 1789).

Kepentingan banyak orang tidak bisa dijalankan demi kemaslahatan bersama, maka lahirlah
pemikiran mempercayakan pemerintahan kepada sekelompok kecil (elit) orang. Karena
berangkat dari kepentingan bersama, orang-orang yang menjalankan pemerintahan cenderung
untuk kepentingan mereka atau kelompok mereka sendiri. Inilah yang lazim disebut
pemerintahan Oligarki. Dalam bahasa Yunani : Oligon – sedikit dan Arkho – memerintah.

Dalam perkembangannya, harus diakui mengakomodir kepentingan banyak orang tidaklah


mudah. Dibuatlah semacam kesepakatan diantara anggota kelompok atau masyarakatnya
pengelola negara untuk kepentingan semua. Dalam bukunya Politics, Aristoteles menampilkan
bentuk pemerintah Demokratis.

Demokratis dalam tata bahasa Yunani terdiri Demos – rakyat dan Kratos – kekuasaan.
Pemerintahan Demokratis menempatkan rakyat sebagai sentralnya. Rakyat berkuasa, bahkan
kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.

KONDISI PERKEMBANGAN DI INDONESIA

Meski menganut pemerintahan yang domokratis, rakyat Indonesia masih harus belajar banyak
tentang perjalanan kehidupan berbangsa dan bertanah air Indonesia. Kondisi ideal yang pernah
(dan masih) digembar-gemborkan “Rakyat Pemegang Kedaulatan Tertinggi” hanya berjalan
pada momen tertentu saja.

Di kala Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan “saluran” kekuatan rakyat,


pemimpin negeri ini dipilih sebagai pemegang amanah. Sebagai Mandataris MPR, seorang
Presiden. Peran dan status Mandataris MPR ini berjalan sejak jaman Soeharto dan berakhir di
Abdurahman Wahid “Gus Dur” dan Megawati.

Pencarian bentuk pemerintah yang selaras dan semaksimal mungkin demi kepentingan rakyat
terus berjalan. Ini terpancar dari pembahasan sejumlah pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang
sudah empat kali amandemen. Ditambah dengan terbitnya sejumlah produk perundangan
kehidupan berpolitik dan bernegara. Dan, penerapannya dalam wujud Pemilihan Umum.

Produk sejumlah perubahan dan diberlakukannya Undang-Undang jelas gelegarnya ketika


Indonesia menggelar Pemilihan Umum Langsung, baik Legislatif dan Presiden. Dimana
gelombang dan semangat pencarian bentuk terbaik ini sampai ke level terendah, Pemilihan
Kepala Desa secara langsung pula.

Semua proses dan tahapan ini sedang berjalan. Beberapa desa di Mojokerto, Jawa Timur
misalnya bersiap menggelar Pilkades (Serentak). Sementara 2017 akan ada agenda besar
Pilkada Gubernur yang riak dan hebohnya sudah berkumandang sejak beberapa bulan silam.
Begitu pula menjelang Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden mendatang, hiruk pikuk
persiapan dengan segala nama; agenda dan atribut bermunculan.

Semoga kita tetap menjunjung tinggi semangat untuk hidup berkelompok dalam harmonisasi
perbedaan dengan berpegang pada seruan “Founding Fathers” supaya tidak melupakan sejarah.

Hukum kodrat dapat dipahami dengan mudah, gagasan dari hukum kodrat tersebut adalah "hiduplah
sesuai dengan kodratmu !" Thomas Aquinas menjelaskan bahwa manusia mempunyai
kecenderungan vegetatif, sensitif (emosional), dan rohani. Yang khas dari manusia adalah
kerohaniannya. Manusia bertindak sesuai dengan kodratnya apabila manusia menyempurnakan diri
sesuai dengan kekhasannya, jadi dengan kerohaniannya. Ia harus mengembangkan diri sebagai
mahkluk rohani, sedangkan penyempurnaan kekuatan-kekuatan vegetatif dan emosional harus
dijalankan sedemikian rupa sehingga menunjang penyempurnaannya sebagai mahkluk rohani.

Hukum kodrat muncul dalam bentuk bentuk hukum alam. Bagi semua mahkluk bukan manusia di
dunia ini hukum kodrat itu sama dengan hukum alam, maksudnya mereka lahir, tumbuh dan
bekembang, dan mati menurut hukum alam masing-masing. Sedangkan manusia adalah mahkluk
rohani dan karena itu ia bebas, artinya ia dapat menentukan sendiri apa yang dilakukan. Dalam
bertindak manusia tidak ditentukan oleh hukum kodrat. Oleh karena itu, bagi manusia hukum kodrat
merupakan hukum dalam arti yang sesungguhnya, yaitu sebuah norma yang diharuskan, yang dapat
diketahui, dan di situ manusia harus menentukan sendiri apakah ia mau taat atau tidak padanya.
Manusia adalah satu-satunya mahkluk yang dapat menyeleweng dari kodratnya, yang dapat
bertindak tidak sesuai dengan kodratnya, melawan kodratnya. Bagi manusia hukum kodrat sama
dengan hukum moral, jadi hukum kodrat adalah apa yang sekarang disebut sebagai prinsip-prinsip
dan norma-norma moral. Dalam kata lain, bagi manusia hukum kodrat betul-betul berupa hukum
dalam arti normatif.

Menurut Thomas Aquinas, manusia hidup dengan baik apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya,
buruk apabila tidak sesuai dengan kodratnya. Karena manusia hanya dapat mengembangkan diri,
hanya dapat mencapai tujuannya apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya.

Setiap tindakan manusia akan sesuai atau tidak sesuai dengan akal budi, maka secara moral setiap
tindakan harus bersifat baik atau buruk, tidak ada yang netral. Ia sesuai apabila ia
menyempurnakan manusia sebagai mahkluk rohani atau menunjang penyempurnaan itu, buruk
apabila ia mengganggunya.

Hukum kodrat mengungkapkan dan mencerminkan hukum abadi, kebijaksanaan Ilahi. dengan
menaati hukum kodrat, kita sekaligus menaati hukum abadi, jadi kita taat kepada kebijaksanaan
Ilahi. Itulah sebabnya, hidup sesuai dengan kodrat bukan sekedar perbuatan yang bijaksana,
melainkan wajib. Wajib karena Tuhan menghendakinya.

Negara Indonesia adalah negara hukum, dalam UUD 1945 pasal 1 Ayat 3 setelah diamandemen
ketiga disahkan 10 november 2001. Peraturan perundang-undanganan mempunyai peranan yang
penting dalam negara hukum indonesia. Untuk mewujudkan negara hukum diperlukan perangkat
hukum untuk mengatur keseimbangan dan keadilan di segala bidang kehidupan rakyat melalui
peraturan perundang-undangan. Hukum itu yang mengikat dan sebagai aneka peraturan yang
dihimpun bersama. Menurut Santo Thomas Aquinas, hukum positif artinya hukum yang
diletakkan/diberlakukan dalam masyarakat. disebut positif bukan untuk mengatakan lawan negatif.
Hukum positif memaksudkan yang diberlakukan atau diletakkan. Hukum positif juga disebut sipil.
Thomas Aquinas menggagas hukum adalah soal perintah dan larangan. Menurut Thomas Aquinas,
hukum itu soal akal budi artinya punya daya ikat/ wajib dari hukum didasarkan pada kebenaran
sejauh akal budi manusia dapat memikirkannya. Konsekuensinya yaitu tidak setiap peraturan
hukum yang diperintahkan mengikat/ mewajibkan (secara: moral); hanya perintah/ larangan yang
lolos verifikasi akal budi saja yang memiliki daya ikat. Tatanan akal budi ini juga bermaksud untuk
mengejar kesejahteraan umum. Karena hukum tidak pernah untuk kepentingan pribadi atau
penguasa atau golongan (beberapa orang), melainkan untuk kesejahteraan umum. Peraturan tidak
pernah untuk peraturan. Peraturan itu untuk manusia. Peraturan harus menjadikan manusia baik,
damai dan sejahtera. Pandangan Thomas Aquinas tentang hukum harus berpadanan dengan akal
budi ini tidak selaras dengan hukum yang ada di indonesia. Melihat kasus yang sudah lama terjadi
tetapi masih teringat dibenak yaitu kasus Nenek Minah yang mencuri tiga buah kakao dihukum 1
bulan 15 hari penjara. Hukuman ini awalnya tidak pernah disangka oleh nenek minah karena
perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan
menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan untuk perbuatannya itu dia diganjar
1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Ironi hukum di indonesia ini berawal saat
nenek minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan
garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen
kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekedar memandang,
Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3
buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digelatakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan
tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya,
siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah
pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar
perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya
lagi. 3 buah kakao yang dipetikanya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir
semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaannya meleset. Peristiwa kecil itu tenryata
berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi.
Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus
pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Dua hari (19/11/2009) mejelis hukum yang dipimpin
Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya dengan 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama
3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal KUHP tentang pencurian.
Kasus yang lain terjadi di indonesia yaitu terkait dengan kasus korupsi yang senastiasa merajalela
dan tidak ada habisnya di negara indonesia ini karena kebanyakan orang pun yang melakukan
korupsi adalah mereka yang punya jabatan dan peran dalam pemerintahan, misalnya. Orang yang
melakukan tindakan korupsi hukuman hanya berupa pemenjaraan dan hukuman ini tidak
memiskinkan pelaku korupsi, pemerintah pun melalui petugas lapas, dinilai masih memberikan
kemewahan bagi para koruptor. Misalnya, lapas khusus yang menyediakan berbagai fasilitas bagi
para koruptor walaupu koruptor sudah ditetapkan sebagai terdakwa seorang koruptor tidak
dilakuakan penahanan dan pencekalan. Seorang koruptor yang berstatus sebagai koruptor pun
masih bisa mengikuti pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah, masih dapat menjadi pejabat
publik dan masih mendapat gaji pensiunan, masih bisa menduduki jabatan publik. Tidak kala penting
bagi seorang koruptor hukum tidak membuat mereka jera. Dalam kasus ini pandangan Thomas
Aquinas yang mengatakan bahwa hukum itu berasal dari tatanan akal budi yang bermaksud untuk
kesejahteraan umum tentunya tidak lagi dapat diterima dengan akal budi yang sehat karena hukum
di indonesia bisa dikatakan bahwa ‘Terkesan Tajam Ke Bawah, Tumpul Ke Atas’. Hukum yang
dimaksudkan oleh Thomas Aquinas yaitu hukum yang tidak pernah untuk kepentingan pribadi atau
penguasa atau golongan (beberapa orang), melainkan untuk kesejahteraan umum. Tetapi dalam
kasus ini sangat bertentangan dengan padangan atau teori yang dimaksudkan oleh Thomas Aquinas
karena seperti kasus tersebut hukuman hanya berlaku untuk mereka golongan yang rendah dan
tidak mungkin bisa sejahtera karena adanya pribadi atau penguasa atau golongan tertentu yang
lebih berkuasa yang bisa mengendalikan hukum. Keadilan hukum di indonesia harus nya setara
karena peraturan itu untuk manusia dan perarturan harus menjadikan manusia baik, damai dan
sejahtera.

Penurunan tingkat keuntungan

Dalam model Karl Marx dirumuskan bahwa tingkat keuntungan (P) mempunyai
hubungan positif dengan tingkat surplus Value (S’) dan mempunyai hubungan
negative dengan organic komposition of capita (Q).

P=S’(1-Q)

Dengan asumsi bahwa surpus value dipertahankan untuk tidak berubah. Setiap
kenaikan dalam organic composition of capital akan menghasilkan penurunan pada
tingkat keuntungan, melalui mekanisme sebagai berikut.

Menurut Karl Marx ada pengaruh yang kuat para kapitalis untuk menghimpun modal.
Penghimpunan modal ini berarti bahwa aka nada lebih banya fariabel modal yang
digunakan untuk menambah tenaga kerja, sehingga akan menaikkan upah dan akan
mengurangi tingkat pengangguran. Tingkat surplus value akan mengalami penurunan
sebagai akibat dari naiknya upah, begitu juga tingkat laba juga akan turun. Para
kapitalis akan bereaksi dengan mengganti tenaga kerja manusia dengan mesin dengan
menambah organic composition of capital. Jika tingkat surplus value dipertahankan
untuk tidak berubah maka kenaikan pada organic composition of capital akan
mendorong tingkat keuntungan pada level yang lebih rendah.

Kritik pertama yang muncul adalah bahwa analisa sosial Marx diracuni oleh reduksionisme.
Marx telah mereduksi keanekaan ungkapan sosial manusia pada bidang ekonomi. Faktor
negara/politik dan cara manusia berfikir yang mempengaruhi cara manusia berproduksi, suatu
pengaruh yang sebenarnya timbal balik, terlewatkan dalam analisa Marx. Faktor kekuasaan
(yang merupakan fenomena yang tidak akan hilang) juga tidak terbaca oleh Marx. Bahkan ia
sama sekali tidak menangkap apa yang dialami negara-negara modern saat ini yang
berkembang dari hanya sebagai “penjaga malam” dalam kancah kebebasan transaksi sosial
rakyatnya menjadi penyelenggara kehidupan masyarakat dalam hampir segala segi. Mulai
dari ekonomi-politik, pendidikan, lalu lintas, jaminan sosial, pertahanan sosial, penanaman
modal hingga pencarian pekerjaan.

Disisi lain Marx juga tidak memperhitungkan dimensi kemungkinan reformasi dalam sistem
kapitalisme, sebagaimana yang bisa kita saksikan dewasa ini, yakni dengan menghilangkan
dampak negatif dari mekanisme campuran. Contoh unsur-unsur sosialisme dalam ekonomi
kapitalisme itu adalah tingginya upah yang diterima buruh, tersalurkan aspirasi mereka dan
elit-elitnya lewat serikat-serikat buruh sehingga mereka pun tidak lagi merasa perlu
melakukan revolusi, adanya pajak pendapatan progresif (menurut besarnya pendapatan), dan
peran aktif pemerintah dalam mendistribusikan kekayaan (Johnson, 1994). Karenanya, Marx
dinilai telah melakukan miskalkulasi, karena tak satu pun negara industri kapitalis asli
(mapan) mengalami revolusi. Revolusi sosialis justru semuanya pecah dalam negara-negara
yang masih agraris, atau baru memulai proses indutrialisasi seperti Rusia, Cina, Kuba, dan
lain-lain. Itu pun ternyata kemudian sebagian hancur lebur (semisal Rusia) dan yang ada pun
mencampurnya dengan sistem kapitalisme (Cina). Jadi, tidak murni seperti yang diinginkan
Marx. Pada kenyataan sejarah, revolusi terbukti bukan satu-satunya jalan, karena
pertentangan dua kelas, majikan dan buruh, bisa dikompromikan. Begitu pula dengan
individualitas, yang dalam komunisme murni ditolak, belakangan ternyata dapat diterima
sebagai pendorong dinamisme oleh negara-negara yang mengikuti pemikiran Marx. Justru
demokrasilah ternyata yang menjembatani kapitalisme menuju sikap-sikap sosial
(manusiawi), bukan revolusi.

Dalam hal agama, Marx juga terjebak dalam reduksionisme. Penilaiannya yang parsial
(bukan berangkat dari konsep agama yang mendalam dan menyeluruh), pemusatan
pengamatannya pada agama Katolik, dan tentu saja analisanya yang berangkat dari faktor
ekonomi (produksi) semata, mengakibatkan ia tidak menangkap:

(1) kemunculan agama sebagai kekuatan yang melakukan transformasi sosial, seperti
kemunculan agama Kristen sebagai kritik terhadap Pemerintahan Romawi yang lalim dan
agama Islam dengan tauhidnya, terhadap kesewenang-wenangan Arab Jahiliyah.

(2) Analisanya tidak bisa digunakan pada agama yang tidak memilki doktrin adanya
kehidupan setelah mati.

(3) Analisanya menunjukan luputnya kebutuhan transendental dari perhatian Marx.

(4) Usulannya tentang komunisme yang mengandaikan masyarakat tanpa kelas, tanpa
kepemilikan individu, tanpa pembagian kerja, dan tanpa adanya paksaan, sebagaimana yang
telah digambarkan di atas, merupakan utopia dan kelihatan absurd (Nawawi, 1991 ; Suseno,
1988).

--
Teori nilai kerja adalah labour theory of value yaitu teori yang menyatakan bahwa nilai suatu
barang ditentukan oleh jumlah tenaga yang diperlukan untuk menghasilkannya dengan
pengertian bahwa alat produksi lain dihitung sebagai tenaga kerja yang menghasilkan

Anda mungkin juga menyukai